"Apa? Reza hilang? Kok bisa nggak dijagain? Rara mana? Ra ... Rara?" Aku mencari keberadaan Rara. Bisa-bisanya Rara tak menjaga Reza."Rara sedang mencari Reza juga sekarang, Sarah. Kamu tenangkan dirimu dulu," jawab ibu yang menghampiri."Ya sudah, aku coba cari juga, ya! Kamu tunggu saja di sini!" Mas Ari tiba-tiba dengan sigap mencari keberadaan anakku juga."Aku ikut, Mas! Aku Mamanya!" Mas Ari memandangku, lalu menganggukkan kepalanya."Tapi, bajumu?""Ah, iya. Ya sudah kamu pergi duluan!""Ya sudah, Sayang. Sampai bertemu nanti!" Mas Ari mengecup pucuk kepalaku.Lalu Mas Ari pergi lebih dulu, aku harus mengganti baju dulu. Tak mungkin aku mencari Reza dalam kondisi seperti ini. Kondisi memakai baju kebaya.***Saat di kamar dan mengganti baju, aku selalu kepikiran Reza dan Mas Ari. Dimanakah Reza berada dan Mas Ari juga mencari kemana?Selesai juga aku mengganti baju dalam waktu 20 menit. Selanjutnya aku menyambar kunci mobil untuk segera meluncur juga.Saat tiba di ujung pintu
"Ya, Bu. Huhuhu." Aku terus saja menangis."Mas Ari, Yah. Mas Ari kecelakaan. Kata Mama ia sekarang mengalami koma," ungkapku.Saat aku akan melangkah menuju mobilku, tiba-tiba semua menjadi gelap.***"Aku dimana?" tanyaku. "Jam berapa sekarang?" Ada ibu di dekatku. "Kamu ada di kamarmu, Sarah. Tenanglah, Sarah. Yang terpenting sekarang kamu pulih dulu. Jika belum pulih, kamu tak bisa segera ke rumah sakit."Rumah sakit? Ya, aku ingat sekarang. Mas Ari sedang terbaring di rumah sakit. Aku ingin segera menemuinya. Laki-laki baik itu sedang sakit di sana."Bu, antar aku ke sana. Aku ingin bertemu Mas Ari. Kasihan dia, dengan siapa dia sekarang. Aku istrinya, Bu!" ucapku sambil bergetar. Rasanya seperti mimpi, semua terjadi tiba-tiba."Ada Ayah dan orang tuanya di sana. Kamu ke sana besok saja. Nggak boleh terlalu banyak orang juga, Sarah. Lagipula, badanmu demam saat ini," sahut Ibu.Aku tak sadar kalau aku sedang demam. Rasanya aku sehat-sehat saja. Demam dari mana?Saat kuletakkan t
Tak percaya dengan gambar yang kulihat. Mas Ari terbaring tak sadarkan diri. Di wajahnya ada beberapa luka akibat kecelakaan.Dia begitu lemah tak berdaya. Ada beberapa selang yang terpasang yaitu selang oksigen, selang infus dan ada alat monitor pasien.Aku beristighfar dalam hati melihat kondisi Mas Ari. Lalu, menghela napas dalam-dalam, karena dada ini terasa sesak. Air mata tak segan untuk menganak pinak.'Ya Allah, Mas. Demi mencari Reza, kamu jadi seperti ini. Maafkan aku ya, Mas,' batinku saat ini.Mentalku sepertinya sedang drop. Saat ini, aku amat merasa bersalah. Jika ia tidak menikah denganku, tak mungkin ia seperti itu. Mungkin kondisinya akan sehat-sehat saja.Hingga akhirnya suara tangisanku terdengar oleh ibu. Ibu terbangun, lalu ia mendekat dan memelukku."Ada apa, Sarah? Mengapa kamu belum tidur? Tidurlah, agar kamu sehat dan bisa menjenguk Ari besok," ucap Ibu."Benarkah aku bisa ke sana?""Iya, kamu bisa ke sana besok. Biar ibu temani," timpal Ibu."Baiklah, Bu."Ak
"Ada benturan di kepalanya. Jadi kemarin, dokter langsung melakukan pemeriksaan intensif di kepalanya. Sampai saat ini, masih belum sadar juga sehingga diperlukan operasi darurat dalam beberapa hari ke depan," kata Ayah."Kok bisa seperti itu?","Karena setelah ditelisik, ternyata Ari mengalami cedera otak berat, Sarah.""Astaghfirullah."Aku jadi lemas mendengar penuturan Ayah. Semoga Mas Ari bisa sembuh seperti sedia kala.***Waktu sudah menunjukkan pukul 11.00, tapi belum ada tanda-tanda ruangan boleh dimasuki orang lain selain yang di dalam. Dalam hati ini menjerit, terasa rindu dengan kekasih hati yang telah lama tak bertemu.Aku mulai gelisah. Berjalan bolak balik sekitaran ICU. Mau mengintip pun, tak terlihat. Yang kutahu dari ruangan ICU adalah ruangan yang sangat dingin, ya, sedingin para penghuninya. Mereka di dalam banyak yang tak sadarkan diri, perawat di sana juga biasanya ketus. Aku tau karena berpengalaman dulu saat almarhum kakekku masuk ruang ICU. Akankah Mas Ari ke
"Sarah ... kamu mau kemana? Ini aku, suamimu."Kupandangi seseorang yang memanggilku tadi. Wajahnya tak jelas, lama-lama terlihat ia orang yang sangat kurindukan. Ya, ia adalah Mas Ari."Mas, kamu kemana aja?" tanyaku dengan penuh penasaran."Aku ada kok, selalu memperhatikanmu, Sarah. Kamu harus sehat, jangan sakit. Kasihan Reza dan orang tuamu."Mas Ari tak mau didekati. Saat aku mendekat, ia malah melangkah lebih jauh lagi. "Mas, aku ingin memelukmu. Mengapa kamu selalu menjauh saat kudekati?" tanyaku."Maaf, Sarah. Aku bukannya tak mau, tapi aku harus pergi sekarang juga."Gegas aku mengejarnya. Takkan kubiarkan ia pergi lagi setelah beberapa lama aku tak bertemu dengannya."Mas!" Aku sempat menarik tangannya. Namun, ternyata itu hanya mimpi. Kuterbangun dari mimpi indah itu, bertemu Mas Ari. Ia memintaku jangan sakit. Rasanya ingin sekali mengulang mimpi itu. Mimpi yang membawaku bertemu dengannya.Saat ini perasaanku benar-benar hampa. Diri ini tak biasanya seperti ini. Aku ha
"Oh iya lupa. Ayah kan pernah cerita padaku.""Ya, ia meninggal karena kecelakaan. Sudah dua tahun yang lalu," katanya."Ya Allah, Mas. Aku turut berduka ya!""Makanya aku jadi takut saat mendengar Ari kecelakaan. Semoga Ari bisa bertahan dan kembali sembuh," katanya."Aamiiin." Aku hanya bisa diam saat ini.Waktu menunjukkan pukul sebelas lewat sedikit. Makanya aku meminta Mas Anto untuk masuk menjenguk Mas Ari. Biarlah aku tak menjenguknya hari ini karena kakaknya memang sudah lama tak bertemu dengannya."Makasih, Sarah. Aku masuk ke dalam dulu, ya!" ucapnya."Iya, Mas."Mas Anto menghabiskan waktunya di dalam cukup lama, sekitar tiga puluh menit. Jam kunjungannya juga hanya tiga puluh menit, itu berarti aku memang nggak kebagian menemui Mas Ari."Sarah," panggil Mas Anto saat ia keluar dari ruangan. Saat ini wajahnya sembab, ia terlihat sangat sedih. Pasti ada hubungannya dengan suamiku."Ya, Mas. Ada apa?" "Kamu jagain terus Ari ya! Aku ingin ia bahagia. Ia butuh kamu, Sar. Kamu
"Keluarga Bapak Ari, silahkan masuk!" ucap seorang perawat yang memperlihatkan dirinya dari dalam ruangan ICU."Baik. Berapa orang?""Satu orang saja seperti biasa. Kalau bisa istrinya," ucap sang Perawat."Baik, Sus." Aku masuk mengikuti perintahnya.Saat masuk, Perawat sudah menunggu di dekat pintu. "Bu, tadi saya lihat Pak Ari menggerakkan jarinya. Tapi setelah itu nggak lagi. Coba ibu beri lagi yang membuatnya bahagia. Mudah-mudahan bisa direspon, dan akhirnya bisa sadar.""Baiklah, Sus. Saya akan melakukannya. Terima kasih, ya!" Aku akan mencobanya lagi dan lagi.Kudekati Mas Ari yang sedang terlelap dalam tidurnya yang sudah sebulan ini. Badannya lebih kecil dari biasanya, pipinya lebih tirus, tapi wajahnya tetap menawan. Aku sangat menginginkan kesembuhan suamiku."Mas, masih ingatkah saat kita pertama bertemu? Janjian lihat kost-kostan. Saat awal aku tak menyimpan perasaan apapun padamu, Mas. Namun, kamu pria yang sangat baik. Aku benar-benar terkesima dengan kebaikanmu. Samp
"Iya aku lupa saking bahagianya. Aku yakin Mas Ari bakal sembuh, Ma, Pa!""Ya Allah, Sarah. Kami jadi bangga punya menantu kamu. Kamu selalu optimis, nggak kayak kami yang bawaannya pesimis. Ya sudah, Mama juga akan optimis Ari bisa sembuh dan membuka matanya.""Iya, Ma. Kita bareng-bareng berpikir positif untuk kebaikan Mas Ari juga."Mama dan Papa setuju. Mereka mendukungku untuk selalu memotivasi Mas Ari. Walau rasanya lumayan lelah, tapi aku yakin akan ada jalan untuk kami merasakan kebahagiaan lagi.***"Ma, Pa, ada kabar gembira. Tadi, Mas Ari bisa menyentuh tanganku. Mungkin ia merasakan aku ada di sampingnya. Tak lama, matanya bisa terbuka. Namun, pandangannya kosong. Tapi tak apa, aku akan membantu mengembalikan ingatannya." Kukatakan pada kedua mertua yang tak ikut masuk ke dalam."Alhamdulillah. Jika itu benar, berarti Allah mengabulkan doa-doa kita, Sarah. Mudah-mudahan ke depan Ari bisa pulih kesadarannya.""Iya, Ma. Saat disapa dan ditanyai, Mas Ari tidak meresponnya. Ia