Tak percaya dengan gambar yang kulihat. Mas Ari terbaring tak sadarkan diri. Di wajahnya ada beberapa luka akibat kecelakaan.Dia begitu lemah tak berdaya. Ada beberapa selang yang terpasang yaitu selang oksigen, selang infus dan ada alat monitor pasien.Aku beristighfar dalam hati melihat kondisi Mas Ari. Lalu, menghela napas dalam-dalam, karena dada ini terasa sesak. Air mata tak segan untuk menganak pinak.'Ya Allah, Mas. Demi mencari Reza, kamu jadi seperti ini. Maafkan aku ya, Mas,' batinku saat ini.Mentalku sepertinya sedang drop. Saat ini, aku amat merasa bersalah. Jika ia tidak menikah denganku, tak mungkin ia seperti itu. Mungkin kondisinya akan sehat-sehat saja.Hingga akhirnya suara tangisanku terdengar oleh ibu. Ibu terbangun, lalu ia mendekat dan memelukku."Ada apa, Sarah? Mengapa kamu belum tidur? Tidurlah, agar kamu sehat dan bisa menjenguk Ari besok," ucap Ibu."Benarkah aku bisa ke sana?""Iya, kamu bisa ke sana besok. Biar ibu temani," timpal Ibu."Baiklah, Bu."Ak
"Ada benturan di kepalanya. Jadi kemarin, dokter langsung melakukan pemeriksaan intensif di kepalanya. Sampai saat ini, masih belum sadar juga sehingga diperlukan operasi darurat dalam beberapa hari ke depan," kata Ayah."Kok bisa seperti itu?","Karena setelah ditelisik, ternyata Ari mengalami cedera otak berat, Sarah.""Astaghfirullah."Aku jadi lemas mendengar penuturan Ayah. Semoga Mas Ari bisa sembuh seperti sedia kala.***Waktu sudah menunjukkan pukul 11.00, tapi belum ada tanda-tanda ruangan boleh dimasuki orang lain selain yang di dalam. Dalam hati ini menjerit, terasa rindu dengan kekasih hati yang telah lama tak bertemu.Aku mulai gelisah. Berjalan bolak balik sekitaran ICU. Mau mengintip pun, tak terlihat. Yang kutahu dari ruangan ICU adalah ruangan yang sangat dingin, ya, sedingin para penghuninya. Mereka di dalam banyak yang tak sadarkan diri, perawat di sana juga biasanya ketus. Aku tau karena berpengalaman dulu saat almarhum kakekku masuk ruang ICU. Akankah Mas Ari ke
"Sarah ... kamu mau kemana? Ini aku, suamimu."Kupandangi seseorang yang memanggilku tadi. Wajahnya tak jelas, lama-lama terlihat ia orang yang sangat kurindukan. Ya, ia adalah Mas Ari."Mas, kamu kemana aja?" tanyaku dengan penuh penasaran."Aku ada kok, selalu memperhatikanmu, Sarah. Kamu harus sehat, jangan sakit. Kasihan Reza dan orang tuamu."Mas Ari tak mau didekati. Saat aku mendekat, ia malah melangkah lebih jauh lagi. "Mas, aku ingin memelukmu. Mengapa kamu selalu menjauh saat kudekati?" tanyaku."Maaf, Sarah. Aku bukannya tak mau, tapi aku harus pergi sekarang juga."Gegas aku mengejarnya. Takkan kubiarkan ia pergi lagi setelah beberapa lama aku tak bertemu dengannya."Mas!" Aku sempat menarik tangannya. Namun, ternyata itu hanya mimpi. Kuterbangun dari mimpi indah itu, bertemu Mas Ari. Ia memintaku jangan sakit. Rasanya ingin sekali mengulang mimpi itu. Mimpi yang membawaku bertemu dengannya.Saat ini perasaanku benar-benar hampa. Diri ini tak biasanya seperti ini. Aku ha
"Oh iya lupa. Ayah kan pernah cerita padaku.""Ya, ia meninggal karena kecelakaan. Sudah dua tahun yang lalu," katanya."Ya Allah, Mas. Aku turut berduka ya!""Makanya aku jadi takut saat mendengar Ari kecelakaan. Semoga Ari bisa bertahan dan kembali sembuh," katanya."Aamiiin." Aku hanya bisa diam saat ini.Waktu menunjukkan pukul sebelas lewat sedikit. Makanya aku meminta Mas Anto untuk masuk menjenguk Mas Ari. Biarlah aku tak menjenguknya hari ini karena kakaknya memang sudah lama tak bertemu dengannya."Makasih, Sarah. Aku masuk ke dalam dulu, ya!" ucapnya."Iya, Mas."Mas Anto menghabiskan waktunya di dalam cukup lama, sekitar tiga puluh menit. Jam kunjungannya juga hanya tiga puluh menit, itu berarti aku memang nggak kebagian menemui Mas Ari."Sarah," panggil Mas Anto saat ia keluar dari ruangan. Saat ini wajahnya sembab, ia terlihat sangat sedih. Pasti ada hubungannya dengan suamiku."Ya, Mas. Ada apa?" "Kamu jagain terus Ari ya! Aku ingin ia bahagia. Ia butuh kamu, Sar. Kamu
"Keluarga Bapak Ari, silahkan masuk!" ucap seorang perawat yang memperlihatkan dirinya dari dalam ruangan ICU."Baik. Berapa orang?""Satu orang saja seperti biasa. Kalau bisa istrinya," ucap sang Perawat."Baik, Sus." Aku masuk mengikuti perintahnya.Saat masuk, Perawat sudah menunggu di dekat pintu. "Bu, tadi saya lihat Pak Ari menggerakkan jarinya. Tapi setelah itu nggak lagi. Coba ibu beri lagi yang membuatnya bahagia. Mudah-mudahan bisa direspon, dan akhirnya bisa sadar.""Baiklah, Sus. Saya akan melakukannya. Terima kasih, ya!" Aku akan mencobanya lagi dan lagi.Kudekati Mas Ari yang sedang terlelap dalam tidurnya yang sudah sebulan ini. Badannya lebih kecil dari biasanya, pipinya lebih tirus, tapi wajahnya tetap menawan. Aku sangat menginginkan kesembuhan suamiku."Mas, masih ingatkah saat kita pertama bertemu? Janjian lihat kost-kostan. Saat awal aku tak menyimpan perasaan apapun padamu, Mas. Namun, kamu pria yang sangat baik. Aku benar-benar terkesima dengan kebaikanmu. Samp
"Iya aku lupa saking bahagianya. Aku yakin Mas Ari bakal sembuh, Ma, Pa!""Ya Allah, Sarah. Kami jadi bangga punya menantu kamu. Kamu selalu optimis, nggak kayak kami yang bawaannya pesimis. Ya sudah, Mama juga akan optimis Ari bisa sembuh dan membuka matanya.""Iya, Ma. Kita bareng-bareng berpikir positif untuk kebaikan Mas Ari juga."Mama dan Papa setuju. Mereka mendukungku untuk selalu memotivasi Mas Ari. Walau rasanya lumayan lelah, tapi aku yakin akan ada jalan untuk kami merasakan kebahagiaan lagi.***"Ma, Pa, ada kabar gembira. Tadi, Mas Ari bisa menyentuh tanganku. Mungkin ia merasakan aku ada di sampingnya. Tak lama, matanya bisa terbuka. Namun, pandangannya kosong. Tapi tak apa, aku akan membantu mengembalikan ingatannya." Kukatakan pada kedua mertua yang tak ikut masuk ke dalam."Alhamdulillah. Jika itu benar, berarti Allah mengabulkan doa-doa kita, Sarah. Mudah-mudahan ke depan Ari bisa pulih kesadarannya.""Iya, Ma. Saat disapa dan ditanyai, Mas Ari tidak meresponnya. Ia
Mas Ari tak mengenaliku. Ia hanya mengingat Santi, cinta pertamanya dulu. Aku masih harus berjuang agar ia kembali mengingat semuanya."Mas, Santi sudah tak ada dalam kehidupan Mas Ari. Aku Sarah istrimu sekarang, Mas."Mas Ari memperhatikanku dengan seksama. Aku jadi agak sedih diperhatikan seperti itu. Tatapannya berbeda dari biasanya. Kami biasanya tak ada celah buat tak mengobrol. Selalu saja ada tema untuk kami saling bicara.Namun kali ini, tatapannya adalah tatapan ketidakpercayaan, tatapan asing yang mungkin ia masih bingung siapa aku?"Aku tak tau kamu. Aku hanya tau Santi. Dimana dia?" Mas Ari akan bangkit dari posisi tertidur, namun masih belum bisa."Mas, Santi bagian dari masa lalumu. Ia sudah meninggal, Mas. Sebelumnya kamu ikhlaskan dia menikah dengan Mas Anto. Kamu ingat?"Mas Ari menggeleng. Ia kebingungan. Aku tak pernah melihatnya seperti ini."Tak mungkin itu. Baru kemarin dia bersamaku. Kamu bohong kan?" Mas Ari memandangiku tak percaya."Ya sudah, kalau Mas tak p
"Ya udah, kamu siap-siap berangkat!"Reza segera berganti dengan pakaian seragamnya. Aku pun semangat segera mengantarnya.Di sekolah, Reza nggak mau ditinggalkan. Ia ingin aku menungguinya seperti Mama-mama yang lainnya. Sementara aku inginnya ke rumah sakit kali ini. Aku mau tau keadaan Mas Ari saat ini.Namun Reza selalu mencari Mamanya, walau ia ada di dalam kelas. Aku pun benar-benar tak bisa melarikan diri hingga akhirnya waktunya pulang bagi Reza. Aku harus mengantarkannya pulang."Ma, makasih udah ikut sekolah sama Eza," katanya."Sama-sama, Eza. Tapi Mama nggak bisa anter tiap hari, ya! Kamu hari lainnya sama Mbak Rara," ucapku."Ah, Mama. Sama Mama tiap hari, Ma!""Tapi Mama ada kesibukan juga di luar. Kamu harus nurut, ya! Pergi sama Mbak Rara, ya. Kalau sama Mama sesekali aja, oke!"Akhirnya Reza mengangguk, tapi wajah menahan tangisnya."Nggak usah nangis, Sayang. Kamu laki-laki loh, harus kuat dengan segala sesuatu. Oke!""Iya, Ma."Aku mengantarnya sampai rumah. Setelah