"Keluarga Bapak Ari, silahkan masuk!" ucap seorang perawat yang memperlihatkan dirinya dari dalam ruangan ICU."Baik. Berapa orang?""Satu orang saja seperti biasa. Kalau bisa istrinya," ucap sang Perawat."Baik, Sus." Aku masuk mengikuti perintahnya.Saat masuk, Perawat sudah menunggu di dekat pintu. "Bu, tadi saya lihat Pak Ari menggerakkan jarinya. Tapi setelah itu nggak lagi. Coba ibu beri lagi yang membuatnya bahagia. Mudah-mudahan bisa direspon, dan akhirnya bisa sadar.""Baiklah, Sus. Saya akan melakukannya. Terima kasih, ya!" Aku akan mencobanya lagi dan lagi.Kudekati Mas Ari yang sedang terlelap dalam tidurnya yang sudah sebulan ini. Badannya lebih kecil dari biasanya, pipinya lebih tirus, tapi wajahnya tetap menawan. Aku sangat menginginkan kesembuhan suamiku."Mas, masih ingatkah saat kita pertama bertemu? Janjian lihat kost-kostan. Saat awal aku tak menyimpan perasaan apapun padamu, Mas. Namun, kamu pria yang sangat baik. Aku benar-benar terkesima dengan kebaikanmu. Samp
"Iya aku lupa saking bahagianya. Aku yakin Mas Ari bakal sembuh, Ma, Pa!""Ya Allah, Sarah. Kami jadi bangga punya menantu kamu. Kamu selalu optimis, nggak kayak kami yang bawaannya pesimis. Ya sudah, Mama juga akan optimis Ari bisa sembuh dan membuka matanya.""Iya, Ma. Kita bareng-bareng berpikir positif untuk kebaikan Mas Ari juga."Mama dan Papa setuju. Mereka mendukungku untuk selalu memotivasi Mas Ari. Walau rasanya lumayan lelah, tapi aku yakin akan ada jalan untuk kami merasakan kebahagiaan lagi.***"Ma, Pa, ada kabar gembira. Tadi, Mas Ari bisa menyentuh tanganku. Mungkin ia merasakan aku ada di sampingnya. Tak lama, matanya bisa terbuka. Namun, pandangannya kosong. Tapi tak apa, aku akan membantu mengembalikan ingatannya." Kukatakan pada kedua mertua yang tak ikut masuk ke dalam."Alhamdulillah. Jika itu benar, berarti Allah mengabulkan doa-doa kita, Sarah. Mudah-mudahan ke depan Ari bisa pulih kesadarannya.""Iya, Ma. Saat disapa dan ditanyai, Mas Ari tidak meresponnya. Ia
Mas Ari tak mengenaliku. Ia hanya mengingat Santi, cinta pertamanya dulu. Aku masih harus berjuang agar ia kembali mengingat semuanya."Mas, Santi sudah tak ada dalam kehidupan Mas Ari. Aku Sarah istrimu sekarang, Mas."Mas Ari memperhatikanku dengan seksama. Aku jadi agak sedih diperhatikan seperti itu. Tatapannya berbeda dari biasanya. Kami biasanya tak ada celah buat tak mengobrol. Selalu saja ada tema untuk kami saling bicara.Namun kali ini, tatapannya adalah tatapan ketidakpercayaan, tatapan asing yang mungkin ia masih bingung siapa aku?"Aku tak tau kamu. Aku hanya tau Santi. Dimana dia?" Mas Ari akan bangkit dari posisi tertidur, namun masih belum bisa."Mas, Santi bagian dari masa lalumu. Ia sudah meninggal, Mas. Sebelumnya kamu ikhlaskan dia menikah dengan Mas Anto. Kamu ingat?"Mas Ari menggeleng. Ia kebingungan. Aku tak pernah melihatnya seperti ini."Tak mungkin itu. Baru kemarin dia bersamaku. Kamu bohong kan?" Mas Ari memandangiku tak percaya."Ya sudah, kalau Mas tak p
"Ya udah, kamu siap-siap berangkat!"Reza segera berganti dengan pakaian seragamnya. Aku pun semangat segera mengantarnya.Di sekolah, Reza nggak mau ditinggalkan. Ia ingin aku menungguinya seperti Mama-mama yang lainnya. Sementara aku inginnya ke rumah sakit kali ini. Aku mau tau keadaan Mas Ari saat ini.Namun Reza selalu mencari Mamanya, walau ia ada di dalam kelas. Aku pun benar-benar tak bisa melarikan diri hingga akhirnya waktunya pulang bagi Reza. Aku harus mengantarkannya pulang."Ma, makasih udah ikut sekolah sama Eza," katanya."Sama-sama, Eza. Tapi Mama nggak bisa anter tiap hari, ya! Kamu hari lainnya sama Mbak Rara," ucapku."Ah, Mama. Sama Mama tiap hari, Ma!""Tapi Mama ada kesibukan juga di luar. Kamu harus nurut, ya! Pergi sama Mbak Rara, ya. Kalau sama Mama sesekali aja, oke!"Akhirnya Reza mengangguk, tapi wajah menahan tangisnya."Nggak usah nangis, Sayang. Kamu laki-laki loh, harus kuat dengan segala sesuatu. Oke!""Iya, Ma."Aku mengantarnya sampai rumah. Setelah
Mengapa Mas Ari memperlakukan aku seperti ini? Sakit rasanya tak dikenali oleh suami sendiri."Mas, aku tak mau apa-apa. Aku hanya ingin berbakti pada suamiku. Kamu harus mengerti aku, Mas. Aku tak mau menjadi musuh bagimu, karena itu tidak mungkin, Mas."Mas Ari sudah tak membalas kata-kataku. Mungkin saat ini ia kehabisan kata-kata. Aku diam, dia juga diam. Tak ada kata lagi diantara kami."Maafkan aku, Mas. Tapi, aku punya bukti kalau kita memang sudah menikah.""Apa buktinya?"Kukeluarkan bukti surat nikah kami kemarin. "Ini, Mas. Surat nikah. Kota baru dua bulan ini menikah. Tapi pada hari pernikahan kita, anakku hilang. Kamu ikut mencarinya, tapi nyatanya kamu mengalami kecelakaan. Kamu sempat tak sadarkan diri, lalu kamu sadar jadi seperti ini, Mas."Mas Ari memperhatikan surat nikah yang kini berada di tangannya. Ia membuk isinya."Aaarrrggghhh! Semua tidak mungkin! Aku tak percaya, aku bisa menikahi wanita yang memiliki seorang anak," ujarnya.Mas Ari terus saja mengatai aku
"Iya, ayah masih di kantor. Sebentar lagi juga datang."Ayah mengagetkanku dari belakang. Seperti biasa Ayah selalu memelukku dari belakang."Ayaaaah!" Aku berbalik memeluknya dari depan."Ya, Sayang. Ada apa?"Tak bisa dicegah, air mata ini tumpah. Sejak di rumah sakit aku menahan untuk tidak meluber. Baru sekarang aku bisa menumpahkan air mata ini. "Keluarkanlah semua air matamu, Sarah. Tumpahkan semua, Ayah siap menampungnya.""Terima kasih, Yah. Aku sedang sangat sedih."Aku dibawa duduk oleh Ayah. Kami duduk bersebelahan di ruang tengah. Aku bersender di pundak ayahku. Ibu pun duduk di sampingku juga."Coba jelaskan semuanya pada kami. Apa yang terjadi pada Ari?" tanya Ayah.Aku masih terisak, mencoba menenangkan diri terlebih dulu sebelum menjawab pertanyaan Ayah."Mas Ari sudah sadar, tapi ia kehilangan ingatannya. Ia malah ingat mantan kekasihnya yang sudah meninggal, Yah. Ia marah ketika tau ada aku, apalagi tadi setelah kutunjukkan surat nikah kami dan tau kalau aku punya s
"Sarah, yakinlah aku pasti akan sembuh." Sebuah suara mirip suara Mas Ari terdengar di telingaku. Suara itu meyakinkanku kalau suamiku pasti akan sembuh.Dari situ, aku kembali bangkit untuk menghadapi semua kemungkinan yang terjadi. Mas Ari yang masih belum mengingatku, beberapa kali membuatku patah hati. Ia merasa yang paling menderita. Padahal justru ia yang membuatku memikirkannya.Lalu aku menitipkan pesan pada Ayah yang akan menemui Mas Ari. Kuhubungi Ayah melalui sambungan telepon."Yah, titip pesan buat Mas Ari kalau aku mencintainya," sahutku melalui sambungan telepon."Baiklah, nanti Ayah sampaikan."Aku bersiap untuk menemani Reza ke sekolahnya. Anakku masih belum bangun juga pagi ini. Segera aku membangunkannya."Eza, ayo kita berangkat ke sekolah!" ucapku."Ayo! Mama yan antar ya!""Iya, Mama antar ke sekolah. Kamu seneng?""Seneng, Ma."Reza kumandikan dan kami berangkat pagi-pagi sekali karena aku takut terlambat ke sekolah."Eza, seneng nggak diantar sama Mama?""Senen
Aku bingung membawanya ke rumah sakit, itu tidak memungkinkan. Namun, Mas Ari bisa pulang kapan pun, aku tak tau."Nanti ya, tunggu papa pulang saja. Anak-anak nggak bisa jenguk ke rumah sakit," jawabku.Reza cemberut. Ia ingin mengunjungi papanya segera."Jangan cemberut ya, Sayang! Insya Allah nanti kita ketemu Papa." Reza sangat dekat dengan Mas Ari, aku jadi sedih kalau ia kangen sama Papanya seperti ini.Aku menghibur Reza dengan membawanya ke minimarket dekat sekolah. Membelikan makanan kesukaannya agar ia kembali tersenyum.***Sore ini, aku sedang bersenda gurau dengan Reza sembari menemaninya makan di depan rumah. Rere juga ada bersama kami. Tak lama ada mobil Ayah datang. Saat turun, ia membukakan pintu sebelahnya. Ketika turun, aku terkejut ternyata Mas Ari turun dari sana."Papa Ari!" Reza langsung menyambut papanya. Ia berlari untuk memeluk papanya.Mas Ari memandangi Reza dengan heran. Namun ia berusaha tersenyum ramah pada anakku. Mudah-mudahan itu pertanda baik ia aka
"Nggak, ah. Aku mau makan aja. Udah laper!" Kupegang perut ini yang sudah keroncongan. Mas Ari memegangi perutku juga."Ini isinya anak kita, Sayang," katanya.Aku tersipu. Anak? Rasanya aku lupa kalau menikah pasti ingin punya anak."Insya Allah, Mas. Nanti ada saatnya kita punya anak lagi," jawabku.Kami mengobrol sembari jalan ke arena bermain anak. Saat Reza melihatku, ia mengeluh laper. Padahal sudah ada bekal yang dibawanya tadi."Ra, bekalnya Reza dimakan kan?" "Iya, Bu. Ini udah habis, Bu," katanya."Alhamdulillah.""Iya, Ma. Udah abis, laper lagi," katanya.Kami mencari restoran yang cocok untuk lidah semuanya. Reza ingin makanan siap saji, kami pun ikuti keinginannya. Tak apalah sesekali.Reza memesan nasi, ayam, cola, kentang goreng dan burger. Kami hanya memesan nasi, ayam dan cola saja."Kamu bener akan menghabiskannya?" tanya Mas Ari ragu."Iya, pasti habis, dong."Lalu kami hanya memperhatikan ia makan setelah kami semua selesai. Tapi ia masih menyisakan burger dan ken
Mas Ari memberikan kejutan berupa reservasi sebuah vila di kawasan puncak. Katanya karena kami belum sempat bulan madu, jadi menginap di tempat dekat saja dulu.Mas Ari masih belum boleh melakukan perjalanan jauh. Kalau Jakarta-Bogor hanya sedikit jaraknya, jadi masih boleh."Terima kasih, Mas. Kejutan yang tak terduga bagiku. Rasanya aku benar-benar bahagia. Kamu sudah kembali seperti dulu. Mas Ari yang selalu berusaha membahagiakanku." Aku bersegera turun dari ranjang karena sudah waktunya pulang, kasihan Reza sudah ditinggal lama."Sama-sama, Dek. Sebagai permohonan maaf dan sejak menikah kita belum bulan madu, kamu pasti menantikan itu. Iya kan?" tanyanya.Aku tersenyum karena memang itu yang kurasakan kemarin. Hatiku benar-benar hancur saat tau Mas Ari kecelakaan, kehilangan ingatannya. Semua kujalankan dengan ikhlas."Iya, Mas. Kita pulang sekarang, yuk! Kasihan Reza pasti nungguin kita.""Siap, Dek. Ayo kamu bersiap saja dulu."Aku mencuci muka dan salat ashar dulu sebelum pula
"Nanti aku jelaskan, sekarang kita masuk saja. Kita ketemu sama adik-adik mahasiswa," katanya."Baiklah, Mas." Aku manut saja. Kami menemui penghuni kost.Mereka terkejut dengan kedatangan kami. Mas Ari mengingat orang-orang di kostan ini. Aku rasa dugaanku benar, Mas Ari sudah mengingat semuanya.Setelah berbincang cukup lama, kami meninggalkan kostan. Mas Ari membawaku ke restoran tempat ia menyatakan akan menikahiku pertama kali.Ketika mengingat peristiwa itu, ada berbagai rasa tercampur. Kami duduk di meja yang dulu kami tempati."Mas, ini kan tempat yang kita duduki saat itu?""Benarkah?" tanya Mas Ari."Mas ajak aku ke sini, pasti Mas sudah ingat semuanya. Makanya Mas Ari membawaku ke kost-kostan dan ke tempat ini.""Silahkan pesan makanannya dulu," katanya."Jawab dulu," jawabku."Nggak mau. Pesan dulu! Apa mau pilih pesanan saat itu?" tanyanya."Apa?""Eh, iya. Kamu mau pesan makanan seperti saat itu?" tanyanya lagi. Aku mengangguk dengan senyum mengembang di bibir ini."Kena
"Kamu belum tidur?" tanya Mas Ari."Enggak, Mas. Maafkan aku." Segera ku berbalik membelakanginya karena malu kepergok saat memperhatikan wajahnya."Hey! Kamu liat-liat wajah aku kenapa? Ganteng ya?" tanyanya. Aku pura-pura tidur dan tidak menggubrisnya. "Udah tidur?" Mas Ari bertanya lagi, aku tak menjawab. Akhirnya ia menyerah dan tak mau bertanya lagi padaku.***"Mas, mau sarapan apa?" tanyaku pada Mas Ari yang sedang duduk di meja makan."Apa saja, yang penting kamu siapkan," jawabnya."Oke." Alhamdulillah Mas Ari tidak merepotkanku. Dengan seperti itu, ia lebih memudahkanku.Reza datang dan langsung duduk di pangkuan Mas Ari. Aku takut suamiku marah, karena aku tau dia nggak suka menikah dengan orang yang sudah punya anak.Namun, setelah diperhatikan lagi, Mas Ari justru memegangi badan Reza yang sedang duduk di pangkuannya."Papa lama di rumah sakit," ucap Reza."Maafkan Papa, ya! Mungkin Papa harus sembuh dulu seperti ini, biar bisa main sama kamu," jawabnya."Iya, Pa. Papa ud
Aku bingung membawanya ke rumah sakit, itu tidak memungkinkan. Namun, Mas Ari bisa pulang kapan pun, aku tak tau."Nanti ya, tunggu papa pulang saja. Anak-anak nggak bisa jenguk ke rumah sakit," jawabku.Reza cemberut. Ia ingin mengunjungi papanya segera."Jangan cemberut ya, Sayang! Insya Allah nanti kita ketemu Papa." Reza sangat dekat dengan Mas Ari, aku jadi sedih kalau ia kangen sama Papanya seperti ini.Aku menghibur Reza dengan membawanya ke minimarket dekat sekolah. Membelikan makanan kesukaannya agar ia kembali tersenyum.***Sore ini, aku sedang bersenda gurau dengan Reza sembari menemaninya makan di depan rumah. Rere juga ada bersama kami. Tak lama ada mobil Ayah datang. Saat turun, ia membukakan pintu sebelahnya. Ketika turun, aku terkejut ternyata Mas Ari turun dari sana."Papa Ari!" Reza langsung menyambut papanya. Ia berlari untuk memeluk papanya.Mas Ari memandangi Reza dengan heran. Namun ia berusaha tersenyum ramah pada anakku. Mudah-mudahan itu pertanda baik ia aka
"Sarah, yakinlah aku pasti akan sembuh." Sebuah suara mirip suara Mas Ari terdengar di telingaku. Suara itu meyakinkanku kalau suamiku pasti akan sembuh.Dari situ, aku kembali bangkit untuk menghadapi semua kemungkinan yang terjadi. Mas Ari yang masih belum mengingatku, beberapa kali membuatku patah hati. Ia merasa yang paling menderita. Padahal justru ia yang membuatku memikirkannya.Lalu aku menitipkan pesan pada Ayah yang akan menemui Mas Ari. Kuhubungi Ayah melalui sambungan telepon."Yah, titip pesan buat Mas Ari kalau aku mencintainya," sahutku melalui sambungan telepon."Baiklah, nanti Ayah sampaikan."Aku bersiap untuk menemani Reza ke sekolahnya. Anakku masih belum bangun juga pagi ini. Segera aku membangunkannya."Eza, ayo kita berangkat ke sekolah!" ucapku."Ayo! Mama yan antar ya!""Iya, Mama antar ke sekolah. Kamu seneng?""Seneng, Ma."Reza kumandikan dan kami berangkat pagi-pagi sekali karena aku takut terlambat ke sekolah."Eza, seneng nggak diantar sama Mama?""Senen
"Iya, ayah masih di kantor. Sebentar lagi juga datang."Ayah mengagetkanku dari belakang. Seperti biasa Ayah selalu memelukku dari belakang."Ayaaaah!" Aku berbalik memeluknya dari depan."Ya, Sayang. Ada apa?"Tak bisa dicegah, air mata ini tumpah. Sejak di rumah sakit aku menahan untuk tidak meluber. Baru sekarang aku bisa menumpahkan air mata ini. "Keluarkanlah semua air matamu, Sarah. Tumpahkan semua, Ayah siap menampungnya.""Terima kasih, Yah. Aku sedang sangat sedih."Aku dibawa duduk oleh Ayah. Kami duduk bersebelahan di ruang tengah. Aku bersender di pundak ayahku. Ibu pun duduk di sampingku juga."Coba jelaskan semuanya pada kami. Apa yang terjadi pada Ari?" tanya Ayah.Aku masih terisak, mencoba menenangkan diri terlebih dulu sebelum menjawab pertanyaan Ayah."Mas Ari sudah sadar, tapi ia kehilangan ingatannya. Ia malah ingat mantan kekasihnya yang sudah meninggal, Yah. Ia marah ketika tau ada aku, apalagi tadi setelah kutunjukkan surat nikah kami dan tau kalau aku punya s
Mengapa Mas Ari memperlakukan aku seperti ini? Sakit rasanya tak dikenali oleh suami sendiri."Mas, aku tak mau apa-apa. Aku hanya ingin berbakti pada suamiku. Kamu harus mengerti aku, Mas. Aku tak mau menjadi musuh bagimu, karena itu tidak mungkin, Mas."Mas Ari sudah tak membalas kata-kataku. Mungkin saat ini ia kehabisan kata-kata. Aku diam, dia juga diam. Tak ada kata lagi diantara kami."Maafkan aku, Mas. Tapi, aku punya bukti kalau kita memang sudah menikah.""Apa buktinya?"Kukeluarkan bukti surat nikah kami kemarin. "Ini, Mas. Surat nikah. Kota baru dua bulan ini menikah. Tapi pada hari pernikahan kita, anakku hilang. Kamu ikut mencarinya, tapi nyatanya kamu mengalami kecelakaan. Kamu sempat tak sadarkan diri, lalu kamu sadar jadi seperti ini, Mas."Mas Ari memperhatikan surat nikah yang kini berada di tangannya. Ia membuk isinya."Aaarrrggghhh! Semua tidak mungkin! Aku tak percaya, aku bisa menikahi wanita yang memiliki seorang anak," ujarnya.Mas Ari terus saja mengatai aku
"Ya udah, kamu siap-siap berangkat!"Reza segera berganti dengan pakaian seragamnya. Aku pun semangat segera mengantarnya.Di sekolah, Reza nggak mau ditinggalkan. Ia ingin aku menungguinya seperti Mama-mama yang lainnya. Sementara aku inginnya ke rumah sakit kali ini. Aku mau tau keadaan Mas Ari saat ini.Namun Reza selalu mencari Mamanya, walau ia ada di dalam kelas. Aku pun benar-benar tak bisa melarikan diri hingga akhirnya waktunya pulang bagi Reza. Aku harus mengantarkannya pulang."Ma, makasih udah ikut sekolah sama Eza," katanya."Sama-sama, Eza. Tapi Mama nggak bisa anter tiap hari, ya! Kamu hari lainnya sama Mbak Rara," ucapku."Ah, Mama. Sama Mama tiap hari, Ma!""Tapi Mama ada kesibukan juga di luar. Kamu harus nurut, ya! Pergi sama Mbak Rara, ya. Kalau sama Mama sesekali aja, oke!"Akhirnya Reza mengangguk, tapi wajah menahan tangisnya."Nggak usah nangis, Sayang. Kamu laki-laki loh, harus kuat dengan segala sesuatu. Oke!""Iya, Ma."Aku mengantarnya sampai rumah. Setelah