"Oh iya lupa. Ayah kan pernah cerita padaku.""Ya, ia meninggal karena kecelakaan. Sudah dua tahun yang lalu," katanya."Ya Allah, Mas. Aku turut berduka ya!""Makanya aku jadi takut saat mendengar Ari kecelakaan. Semoga Ari bisa bertahan dan kembali sembuh," katanya."Aamiiin." Aku hanya bisa diam saat ini.Waktu menunjukkan pukul sebelas lewat sedikit. Makanya aku meminta Mas Anto untuk masuk menjenguk Mas Ari. Biarlah aku tak menjenguknya hari ini karena kakaknya memang sudah lama tak bertemu dengannya."Makasih, Sarah. Aku masuk ke dalam dulu, ya!" ucapnya."Iya, Mas."Mas Anto menghabiskan waktunya di dalam cukup lama, sekitar tiga puluh menit. Jam kunjungannya juga hanya tiga puluh menit, itu berarti aku memang nggak kebagian menemui Mas Ari."Sarah," panggil Mas Anto saat ia keluar dari ruangan. Saat ini wajahnya sembab, ia terlihat sangat sedih. Pasti ada hubungannya dengan suamiku."Ya, Mas. Ada apa?" "Kamu jagain terus Ari ya! Aku ingin ia bahagia. Ia butuh kamu, Sar. Kamu
"Keluarga Bapak Ari, silahkan masuk!" ucap seorang perawat yang memperlihatkan dirinya dari dalam ruangan ICU."Baik. Berapa orang?""Satu orang saja seperti biasa. Kalau bisa istrinya," ucap sang Perawat."Baik, Sus." Aku masuk mengikuti perintahnya.Saat masuk, Perawat sudah menunggu di dekat pintu. "Bu, tadi saya lihat Pak Ari menggerakkan jarinya. Tapi setelah itu nggak lagi. Coba ibu beri lagi yang membuatnya bahagia. Mudah-mudahan bisa direspon, dan akhirnya bisa sadar.""Baiklah, Sus. Saya akan melakukannya. Terima kasih, ya!" Aku akan mencobanya lagi dan lagi.Kudekati Mas Ari yang sedang terlelap dalam tidurnya yang sudah sebulan ini. Badannya lebih kecil dari biasanya, pipinya lebih tirus, tapi wajahnya tetap menawan. Aku sangat menginginkan kesembuhan suamiku."Mas, masih ingatkah saat kita pertama bertemu? Janjian lihat kost-kostan. Saat awal aku tak menyimpan perasaan apapun padamu, Mas. Namun, kamu pria yang sangat baik. Aku benar-benar terkesima dengan kebaikanmu. Samp
"Iya aku lupa saking bahagianya. Aku yakin Mas Ari bakal sembuh, Ma, Pa!""Ya Allah, Sarah. Kami jadi bangga punya menantu kamu. Kamu selalu optimis, nggak kayak kami yang bawaannya pesimis. Ya sudah, Mama juga akan optimis Ari bisa sembuh dan membuka matanya.""Iya, Ma. Kita bareng-bareng berpikir positif untuk kebaikan Mas Ari juga."Mama dan Papa setuju. Mereka mendukungku untuk selalu memotivasi Mas Ari. Walau rasanya lumayan lelah, tapi aku yakin akan ada jalan untuk kami merasakan kebahagiaan lagi.***"Ma, Pa, ada kabar gembira. Tadi, Mas Ari bisa menyentuh tanganku. Mungkin ia merasakan aku ada di sampingnya. Tak lama, matanya bisa terbuka. Namun, pandangannya kosong. Tapi tak apa, aku akan membantu mengembalikan ingatannya." Kukatakan pada kedua mertua yang tak ikut masuk ke dalam."Alhamdulillah. Jika itu benar, berarti Allah mengabulkan doa-doa kita, Sarah. Mudah-mudahan ke depan Ari bisa pulih kesadarannya.""Iya, Ma. Saat disapa dan ditanyai, Mas Ari tidak meresponnya. Ia
Mas Ari tak mengenaliku. Ia hanya mengingat Santi, cinta pertamanya dulu. Aku masih harus berjuang agar ia kembali mengingat semuanya."Mas, Santi sudah tak ada dalam kehidupan Mas Ari. Aku Sarah istrimu sekarang, Mas."Mas Ari memperhatikanku dengan seksama. Aku jadi agak sedih diperhatikan seperti itu. Tatapannya berbeda dari biasanya. Kami biasanya tak ada celah buat tak mengobrol. Selalu saja ada tema untuk kami saling bicara.Namun kali ini, tatapannya adalah tatapan ketidakpercayaan, tatapan asing yang mungkin ia masih bingung siapa aku?"Aku tak tau kamu. Aku hanya tau Santi. Dimana dia?" Mas Ari akan bangkit dari posisi tertidur, namun masih belum bisa."Mas, Santi bagian dari masa lalumu. Ia sudah meninggal, Mas. Sebelumnya kamu ikhlaskan dia menikah dengan Mas Anto. Kamu ingat?"Mas Ari menggeleng. Ia kebingungan. Aku tak pernah melihatnya seperti ini."Tak mungkin itu. Baru kemarin dia bersamaku. Kamu bohong kan?" Mas Ari memandangiku tak percaya."Ya sudah, kalau Mas tak p
"Ya udah, kamu siap-siap berangkat!"Reza segera berganti dengan pakaian seragamnya. Aku pun semangat segera mengantarnya.Di sekolah, Reza nggak mau ditinggalkan. Ia ingin aku menungguinya seperti Mama-mama yang lainnya. Sementara aku inginnya ke rumah sakit kali ini. Aku mau tau keadaan Mas Ari saat ini.Namun Reza selalu mencari Mamanya, walau ia ada di dalam kelas. Aku pun benar-benar tak bisa melarikan diri hingga akhirnya waktunya pulang bagi Reza. Aku harus mengantarkannya pulang."Ma, makasih udah ikut sekolah sama Eza," katanya."Sama-sama, Eza. Tapi Mama nggak bisa anter tiap hari, ya! Kamu hari lainnya sama Mbak Rara," ucapku."Ah, Mama. Sama Mama tiap hari, Ma!""Tapi Mama ada kesibukan juga di luar. Kamu harus nurut, ya! Pergi sama Mbak Rara, ya. Kalau sama Mama sesekali aja, oke!"Akhirnya Reza mengangguk, tapi wajah menahan tangisnya."Nggak usah nangis, Sayang. Kamu laki-laki loh, harus kuat dengan segala sesuatu. Oke!""Iya, Ma."Aku mengantarnya sampai rumah. Setelah
Mengapa Mas Ari memperlakukan aku seperti ini? Sakit rasanya tak dikenali oleh suami sendiri."Mas, aku tak mau apa-apa. Aku hanya ingin berbakti pada suamiku. Kamu harus mengerti aku, Mas. Aku tak mau menjadi musuh bagimu, karena itu tidak mungkin, Mas."Mas Ari sudah tak membalas kata-kataku. Mungkin saat ini ia kehabisan kata-kata. Aku diam, dia juga diam. Tak ada kata lagi diantara kami."Maafkan aku, Mas. Tapi, aku punya bukti kalau kita memang sudah menikah.""Apa buktinya?"Kukeluarkan bukti surat nikah kami kemarin. "Ini, Mas. Surat nikah. Kota baru dua bulan ini menikah. Tapi pada hari pernikahan kita, anakku hilang. Kamu ikut mencarinya, tapi nyatanya kamu mengalami kecelakaan. Kamu sempat tak sadarkan diri, lalu kamu sadar jadi seperti ini, Mas."Mas Ari memperhatikan surat nikah yang kini berada di tangannya. Ia membuk isinya."Aaarrrggghhh! Semua tidak mungkin! Aku tak percaya, aku bisa menikahi wanita yang memiliki seorang anak," ujarnya.Mas Ari terus saja mengatai aku
"Iya, ayah masih di kantor. Sebentar lagi juga datang."Ayah mengagetkanku dari belakang. Seperti biasa Ayah selalu memelukku dari belakang."Ayaaaah!" Aku berbalik memeluknya dari depan."Ya, Sayang. Ada apa?"Tak bisa dicegah, air mata ini tumpah. Sejak di rumah sakit aku menahan untuk tidak meluber. Baru sekarang aku bisa menumpahkan air mata ini. "Keluarkanlah semua air matamu, Sarah. Tumpahkan semua, Ayah siap menampungnya.""Terima kasih, Yah. Aku sedang sangat sedih."Aku dibawa duduk oleh Ayah. Kami duduk bersebelahan di ruang tengah. Aku bersender di pundak ayahku. Ibu pun duduk di sampingku juga."Coba jelaskan semuanya pada kami. Apa yang terjadi pada Ari?" tanya Ayah.Aku masih terisak, mencoba menenangkan diri terlebih dulu sebelum menjawab pertanyaan Ayah."Mas Ari sudah sadar, tapi ia kehilangan ingatannya. Ia malah ingat mantan kekasihnya yang sudah meninggal, Yah. Ia marah ketika tau ada aku, apalagi tadi setelah kutunjukkan surat nikah kami dan tau kalau aku punya s
"Sarah, yakinlah aku pasti akan sembuh." Sebuah suara mirip suara Mas Ari terdengar di telingaku. Suara itu meyakinkanku kalau suamiku pasti akan sembuh.Dari situ, aku kembali bangkit untuk menghadapi semua kemungkinan yang terjadi. Mas Ari yang masih belum mengingatku, beberapa kali membuatku patah hati. Ia merasa yang paling menderita. Padahal justru ia yang membuatku memikirkannya.Lalu aku menitipkan pesan pada Ayah yang akan menemui Mas Ari. Kuhubungi Ayah melalui sambungan telepon."Yah, titip pesan buat Mas Ari kalau aku mencintainya," sahutku melalui sambungan telepon."Baiklah, nanti Ayah sampaikan."Aku bersiap untuk menemani Reza ke sekolahnya. Anakku masih belum bangun juga pagi ini. Segera aku membangunkannya."Eza, ayo kita berangkat ke sekolah!" ucapku."Ayo! Mama yan antar ya!""Iya, Mama antar ke sekolah. Kamu seneng?""Seneng, Ma."Reza kumandikan dan kami berangkat pagi-pagi sekali karena aku takut terlambat ke sekolah."Eza, seneng nggak diantar sama Mama?""Senen