"Sial*n!" Herman meremas kertas yang ada di tangannya. "Siapa yang melakukan hal ini padaku?" desis Herman kesal. "Mbok Sri, mbok Nah, mbok Inem!" Dengan suara keras, dia memanggil semua asisten rumah tangga nya. Semua asisten rumah tangga nya tergopoh-gopoh menghampiri. "Ya, Pak?"Herman menatap semua asisten rumah tangga nya dengan kesal. "Apa ini?" tanya Herman sambil menunjuk kan kertas ancaman di tangan nya. Sontak saja wajah ketiga asisten rumah tangga Herman memucat. "Kalian semua kan ada di rumah untuk menemani anak saya? Kenapa anak saya bisa diculik?" tanya Herman geram. Ketiga asisten rumah tangga nya berpandangan dengan takut-takut. "Maaf, Pak. Kami tidak tahu," sahut Mbok Sri. "Hah! Percuma saja aku menggaji kalian kalau pekerjaan kalian payah seperti ini!" seru Herman kesal. Tangannya terkepal dan diapun segera naik ke tangga dan menuju kamarnya.Lelaki itu lantas membuka brangkas yang berisi emas batangan, uang tunai dan beberapa kartu ATM. Dimasukkan nya semua
Herman terhuyung ke belakang dan koper nya terjatuh. Damar merengsek maju, melompat dan mendorong tubuh Herman sehingga jatuh berdebum di lantai kamar. Herman seketika merasakan kepalanya pusing dan badannya ngilu karena badannya menghantam lantai yang keras. Tapi sekuat tenaga Herman mencoba untuk tidak mengaduh karena dia tidak ingin membuat Riska khawatir. Lagipula jika dia terlihat kesakitan, hal itu akan membuat musuhnya semakin senang. Damar segera bangkit dan menduduki perut Herman. Dicengkeram nya baju Herman sampai kepala Herman mendekat ke arah Damar. "Kenapa? Sakit? Itu belum seberapa dibandingkan perbuatanmu pada keluargaku, brengs*k!" Damar memukulkan kepalanya ke wajah Herman. Hidung Herman menjadi berdarah dan berwarna kebiruan. "Hm, hmm, hmmm!!!" Riska berseru panik. Dia menggerak-gerakkan tangan dan kakinya yang terikat. Air mata mulai menderas di pipi. Walaupun Riska ingin berteriak dan meminta tolong, tapi hanya suara geraman dari mulut nya yang terdengar. Andi
Larasati berpandangan dengan Andi dan Damar. Andi dan Damar serempak menggeleng kan kepalanya. Sebenarnya mereka telah berencana untuk membebaskan Herman dan Riska begitu uang berada di tangan dengan membius dan membuang bapak dan anak itu ke luar daerah lalu mereka bertiga akan langsung kabur keluar daerah dulu lalu keluar negeri. Tapi kalau mereka melepaskan Herman dan Riska saat mereka belum kabur ke luar negeri, bisa-bisa mereka dilaporkan ke polisi dan ditangkap. "Jangan banyak omong! Kami akan melepaskan kalian kalau uang sudah lengkap lima milyar ada di tangan kami!" seru Andi. Herman tertawa. "Lalu setelah uang lima milyar itu di tangan kalian, pembagian nya bagaimana? Apa kalian bisa adil membaginya? Aku tak yakin jika kalian tidak ada yang iri-irian soal uang itu. Atau bahkan setelah uang lima milyar itu lengkap, kalian akan langsung membunuh saya dan Riska, bahkan kalian mungkin juga akan saling membunuh satu sama lain untuk mendapatkan bagian yang lebih besar. Iya kan?
Perlahan pandangan nya mulai menggelap Ingatannya memutar pada Mawar, Novela, dan Aksara. Lalu Andi pun tersengal dan menghembuskan nafas terakhirnya. Anak buah Herman segera menuju ke arah Herman dan Riska lalu melepaskan tali yang mengikat tangan keduanya. Herman berdiri dan menggerak-gerakkan pergelangan tangannya untuk melemaskannya. 'Ck, kaku dan bikin nyeri! Dasar Andi sial*n! Untung kamu sudah mat*,' batin Herman dalam hati. Lelaki itu lalu mendekat ke arah Riska yang sedang gemetaran setelah ikatan kedua tangan, kaki dan lakban di mulut nya dilepaskan. "Jangan mendekat, Papa!" Tanpa diduga, Riska mengacungkan tangan kanannya ke arah Herman. Lelaki tua itu mengerutkan keningnya. Heran, dengan sikap anak gadisnya. Sementara itu, Riska memegangi lengannya yang nyeri saat dia terjatuh karena menabrakkan diri ke Herman."Kamu kenapa, Ris? Apa kamu terluka?" tanya Herman cemas dengan tetap mendekati anaknya yang berekspresi kesakitan."Papa, aku bilang jangan mendekat!"Herman
Sebelum pistol yang dipegang Herman meletuskan peluru, Larasati memejamkan matanya dan dia melepaskan pegangan tangannya dari akar pohon sehingga tubuhnya terjun bebas dari ketinggian jurang 10 meter menimpa sebatang pohon yang tumbang dan menyisakan pangkal pohon yang ujungnya runcing dan menembus perut Larasati, membuatnya tewas seketika. Herman dan anak buahnya termangu sesaat dan menatap Larasati dengan rasa yang campur aduk. Lelaki itu lantas menghela nafas. "Bereskan mayatnya. Kubur jadi satu dengan mayat laki-laki dan anak buahnya tadi. Sisanya ikut aku mengejar Damar!""Siap, Bos!"Herman berlari meninggalkan Larasati untuk mengejar Damar. Bersama dua anak buahnya. Lelaki itu merasa ngos-ngosan. Dia kelelahan, karena walaupun dia rajin ngegym, tapi tak dapat dipungkiri bahwa usia tuanya membuatnya mudah merasa lelah. Sementara itu Damar yang berlari meninggalkan Larasati mendadak mempunyai ide. Dia membuka koper berisi uang, lalu mengambil uangnya dan menghambur kan lembar
"Hm, mas Ridho hanya memberitahu kalau kamu pingsan di kantor nya. Kamu akan diperiksa dulu gula darah, tekanan darah, dan foto Rontgen untuk mengetahui kemungkinan luka di tubuhmu. Lalu kamu juga harus diobservasi lebih dulu di rumah sakit."Riska menatap wajah Aksara dengan lega. Mungkin memang Aksara belum mengetahui kabar tentang ayahnya. "Lakukan saja yang terbaik agar saya sembuh, Dokter. Untuk penyebabnya biar menjadi urusan pribadi saya," sahut Riska akhirnya. Aksara hanya menghela nafas panjang. "Baiklah. Hal itu memang privasi pasien."Aksara kemudian berlalu dan memanggil Ridho untuk menanyakan pilihan ruangan untuk rawat inap. ***Riska baru saja selesai berganti baju dengan bantuan asisten rumah tangganya yang dikirimkan oleh Herman, saat pintunya diketuk dari luar. Aksara masuk dengan diikuti oleh seorang suster. Lali mendekat kearah Riska. "Pagi ini saya yang akan melakukan visite ya, karena kemarin kamu meminta dirawat dokter umum bukan dokter spesialis dalam. Jad
Beberapa saat sebelumnya, Ponsel Aksara berdering berulangkali saat dia sedang dalam perjalanan pulang dari rumah sakit. Untung lelaki muda itu mengenakan headset bluetooth dan dia segera menerima panggilan telepon dari ibunya. "Halo, Ma.""Halo, Aksa. Dimana kamu sekarang?""Perjalanan pulang dari rumah sakit. Ada apa?"Segera ke rumah nenek sekarang. Mama tunggu, ya. Ada yang harus kita bicarakan.""Oke siap. Apa Nova sudah kesana?""Katanya Nova nggak bisa kesini. Dia ada acara bedah buku sekaligus pertemuan dengan produser yang hendak mengadopsi karyanya dalam bentuk film layar lebar."Aksara menepuk jidatnya. "Oh ya. Aksa lupa. Baiklah, Aksa langsung ke rumah nenek."Baru saja Aksara mengakhiri panggilan telepon nya saat mendadak Mutia menelepon nya. "Halo, Honey," sapa Aksara riang. Hening sejenak lalu terdengar tawa renyah. "Dasar dokter tukang nggombal! Nanti malam jadi apa tidak rencana makan malam kita, Mas?" tanya Mutia. "Hm, nah itu dia. Nanti malam menyusul ya infon
Semua orang terkejut melihat ponsel yang terjatuh. Mawar memungut ponsel yang sudah mati itu. Keningnya berkerut. Dia tidak pernah melihat ponsel itu selama pernikahan nya. "Apa mas Andi tidak membawa hp ketika pergi, Ma?""Sepertinya bawa kok. Tapi tidak bisa dihubungi.""Kalau begitu coba Tante isi ulang ponsel yang ma ti ini. Mungkin saja ada petunjuk setelah dinyalakan."Ambar menerima ponsel dari Mawar, lalu mengisi meraih beberapa charger yang teronggok di atas meja kerja. Mencari charger yang cocok untuk ponsel itu. "Astaga, lihat ini, Mas Aksa!" seru Mutia seraya menunjukkan tulisan di buku harian milik Andi. Mawar dan Andi segera mendekat ke arah Mutia dan melihat isi buku yang sedang dipegang olehnya. Sebenarnya dalam hati Mawar dan Andi merasa heran karena selama ini mereka tidak pernah tahu Andi menulis buku harian. Dan mereka baru mengerti isi buku setelah membacanya bahwa buku itu berisikan rencana balas dendam Andi pada Herman. Mawar mendelik membaca buku itu. "Jad