Herman terhuyung ke belakang dan koper nya terjatuh. Damar merengsek maju, melompat dan mendorong tubuh Herman sehingga jatuh berdebum di lantai kamar. Herman seketika merasakan kepalanya pusing dan badannya ngilu karena badannya menghantam lantai yang keras. Tapi sekuat tenaga Herman mencoba untuk tidak mengaduh karena dia tidak ingin membuat Riska khawatir. Lagipula jika dia terlihat kesakitan, hal itu akan membuat musuhnya semakin senang. Damar segera bangkit dan menduduki perut Herman. Dicengkeram nya baju Herman sampai kepala Herman mendekat ke arah Damar. "Kenapa? Sakit? Itu belum seberapa dibandingkan perbuatanmu pada keluargaku, brengs*k!" Damar memukulkan kepalanya ke wajah Herman. Hidung Herman menjadi berdarah dan berwarna kebiruan. "Hm, hmm, hmmm!!!" Riska berseru panik. Dia menggerak-gerakkan tangan dan kakinya yang terikat. Air mata mulai menderas di pipi. Walaupun Riska ingin berteriak dan meminta tolong, tapi hanya suara geraman dari mulut nya yang terdengar. Andi
Larasati berpandangan dengan Andi dan Damar. Andi dan Damar serempak menggeleng kan kepalanya. Sebenarnya mereka telah berencana untuk membebaskan Herman dan Riska begitu uang berada di tangan dengan membius dan membuang bapak dan anak itu ke luar daerah lalu mereka bertiga akan langsung kabur keluar daerah dulu lalu keluar negeri. Tapi kalau mereka melepaskan Herman dan Riska saat mereka belum kabur ke luar negeri, bisa-bisa mereka dilaporkan ke polisi dan ditangkap. "Jangan banyak omong! Kami akan melepaskan kalian kalau uang sudah lengkap lima milyar ada di tangan kami!" seru Andi. Herman tertawa. "Lalu setelah uang lima milyar itu di tangan kalian, pembagian nya bagaimana? Apa kalian bisa adil membaginya? Aku tak yakin jika kalian tidak ada yang iri-irian soal uang itu. Atau bahkan setelah uang lima milyar itu lengkap, kalian akan langsung membunuh saya dan Riska, bahkan kalian mungkin juga akan saling membunuh satu sama lain untuk mendapatkan bagian yang lebih besar. Iya kan?
Perlahan pandangan nya mulai menggelap Ingatannya memutar pada Mawar, Novela, dan Aksara. Lalu Andi pun tersengal dan menghembuskan nafas terakhirnya. Anak buah Herman segera menuju ke arah Herman dan Riska lalu melepaskan tali yang mengikat tangan keduanya. Herman berdiri dan menggerak-gerakkan pergelangan tangannya untuk melemaskannya. 'Ck, kaku dan bikin nyeri! Dasar Andi sial*n! Untung kamu sudah mat*,' batin Herman dalam hati. Lelaki itu lalu mendekat ke arah Riska yang sedang gemetaran setelah ikatan kedua tangan, kaki dan lakban di mulut nya dilepaskan. "Jangan mendekat, Papa!" Tanpa diduga, Riska mengacungkan tangan kanannya ke arah Herman. Lelaki tua itu mengerutkan keningnya. Heran, dengan sikap anak gadisnya. Sementara itu, Riska memegangi lengannya yang nyeri saat dia terjatuh karena menabrakkan diri ke Herman."Kamu kenapa, Ris? Apa kamu terluka?" tanya Herman cemas dengan tetap mendekati anaknya yang berekspresi kesakitan."Papa, aku bilang jangan mendekat!"Herman
Sebelum pistol yang dipegang Herman meletuskan peluru, Larasati memejamkan matanya dan dia melepaskan pegangan tangannya dari akar pohon sehingga tubuhnya terjun bebas dari ketinggian jurang 10 meter menimpa sebatang pohon yang tumbang dan menyisakan pangkal pohon yang ujungnya runcing dan menembus perut Larasati, membuatnya tewas seketika. Herman dan anak buahnya termangu sesaat dan menatap Larasati dengan rasa yang campur aduk. Lelaki itu lantas menghela nafas. "Bereskan mayatnya. Kubur jadi satu dengan mayat laki-laki dan anak buahnya tadi. Sisanya ikut aku mengejar Damar!""Siap, Bos!"Herman berlari meninggalkan Larasati untuk mengejar Damar. Bersama dua anak buahnya. Lelaki itu merasa ngos-ngosan. Dia kelelahan, karena walaupun dia rajin ngegym, tapi tak dapat dipungkiri bahwa usia tuanya membuatnya mudah merasa lelah. Sementara itu Damar yang berlari meninggalkan Larasati mendadak mempunyai ide. Dia membuka koper berisi uang, lalu mengambil uangnya dan menghambur kan lembar
"Hm, mas Ridho hanya memberitahu kalau kamu pingsan di kantor nya. Kamu akan diperiksa dulu gula darah, tekanan darah, dan foto Rontgen untuk mengetahui kemungkinan luka di tubuhmu. Lalu kamu juga harus diobservasi lebih dulu di rumah sakit."Riska menatap wajah Aksara dengan lega. Mungkin memang Aksara belum mengetahui kabar tentang ayahnya. "Lakukan saja yang terbaik agar saya sembuh, Dokter. Untuk penyebabnya biar menjadi urusan pribadi saya," sahut Riska akhirnya. Aksara hanya menghela nafas panjang. "Baiklah. Hal itu memang privasi pasien."Aksara kemudian berlalu dan memanggil Ridho untuk menanyakan pilihan ruangan untuk rawat inap. ***Riska baru saja selesai berganti baju dengan bantuan asisten rumah tangganya yang dikirimkan oleh Herman, saat pintunya diketuk dari luar. Aksara masuk dengan diikuti oleh seorang suster. Lali mendekat kearah Riska. "Pagi ini saya yang akan melakukan visite ya, karena kemarin kamu meminta dirawat dokter umum bukan dokter spesialis dalam. Jad
Beberapa saat sebelumnya, Ponsel Aksara berdering berulangkali saat dia sedang dalam perjalanan pulang dari rumah sakit. Untung lelaki muda itu mengenakan headset bluetooth dan dia segera menerima panggilan telepon dari ibunya. "Halo, Ma.""Halo, Aksa. Dimana kamu sekarang?""Perjalanan pulang dari rumah sakit. Ada apa?"Segera ke rumah nenek sekarang. Mama tunggu, ya. Ada yang harus kita bicarakan.""Oke siap. Apa Nova sudah kesana?""Katanya Nova nggak bisa kesini. Dia ada acara bedah buku sekaligus pertemuan dengan produser yang hendak mengadopsi karyanya dalam bentuk film layar lebar."Aksara menepuk jidatnya. "Oh ya. Aksa lupa. Baiklah, Aksa langsung ke rumah nenek."Baru saja Aksara mengakhiri panggilan telepon nya saat mendadak Mutia menelepon nya. "Halo, Honey," sapa Aksara riang. Hening sejenak lalu terdengar tawa renyah. "Dasar dokter tukang nggombal! Nanti malam jadi apa tidak rencana makan malam kita, Mas?" tanya Mutia. "Hm, nah itu dia. Nanti malam menyusul ya infon
Semua orang terkejut melihat ponsel yang terjatuh. Mawar memungut ponsel yang sudah mati itu. Keningnya berkerut. Dia tidak pernah melihat ponsel itu selama pernikahan nya. "Apa mas Andi tidak membawa hp ketika pergi, Ma?""Sepertinya bawa kok. Tapi tidak bisa dihubungi.""Kalau begitu coba Tante isi ulang ponsel yang ma ti ini. Mungkin saja ada petunjuk setelah dinyalakan."Ambar menerima ponsel dari Mawar, lalu mengisi meraih beberapa charger yang teronggok di atas meja kerja. Mencari charger yang cocok untuk ponsel itu. "Astaga, lihat ini, Mas Aksa!" seru Mutia seraya menunjukkan tulisan di buku harian milik Andi. Mawar dan Andi segera mendekat ke arah Mutia dan melihat isi buku yang sedang dipegang olehnya. Sebenarnya dalam hati Mawar dan Andi merasa heran karena selama ini mereka tidak pernah tahu Andi menulis buku harian. Dan mereka baru mengerti isi buku setelah membacanya bahwa buku itu berisikan rencana balas dendam Andi pada Herman. Mawar mendelik membaca buku itu. "Jad
Beberapa saat sebelumnya,Damar berlari kencang keluar dari hutan menuju ke arah jalan raya. Sampai disana dia melihat truk yang sedang melaju. Dengan cepat Damar memberhentikan truk yang sedang melaju itu. Tapi lelaki itu terkejut saat melihat siapa yang mengendarai truk dihadapannya. "Dedi?""Damar?" tanya Dedi tercengang saat Damar dengan menenteng kopernya menaiki truknya. "Kamu kok di sini sih?" sambung Dedi heran. Damar mengacungkan telunjuknya ke mulut nya sendiri."Ssstt! Jangan ngomong apa-apa dulu! Sekarang bawa aku sejauh mungkin dari tempat ini. Nanti aku jelaskan apa yang terjadi. Kalau bisa antar aku ke tempat yang tersembunyi dan tidak mungkin ketahuan orang."Dedi mengerutkan keningnya. "Kamu kenapa sih? Kayak orang yang baru saja melakukan tindak kriminal aja. Kamu nggak habis membunuh orang kan?" tanya Dedi dengan beruntun. "Haduh, nggak. Aman! Percaya sama aku! Nanti kamu akan kuberikan uang lima ratus juta cash kalau menolong ku! Aku janji!" seru Damar sangat m
Aksara tampak tampan mengenakan kemeja lengan panjang keemasan dan celana hitam dari bahan drill. Di samping nya tampak Mutia yang berdandan natural dengan gaun selutut warna gold dari bahan perpaduan sifon dan kain tile.Di tempat duduk depan, tampak Riska sedang duduk manis mengenakan gaun dari satin setumit dengan ditemani oleh seorang laki-laki berkebangsaan Australia. Lelaki berambut pirang dan berwajah bule itu terlihat sangat mencintai Riska. Bule itu menggenggam erat tangan Riska lalu menciumnya dengan lembut. "Acara selanjutnya adalah acara yang pasti dinanti-nantikan oleh para undangan, yaitu melempar kan buket bunga kepada para undangan. Diharap semua tamu yang ingin mendapatkan lemparan bunga segera berkumpul di depan pelaminan."Suara pembawa acara membahana dan membuat aula hotel menjadi riuh. Beberapa tamu perempuan dengan bersemangat berkumpul di depan pelaminan dengan wajah harap-harap cemas. Aksara menyenggol Mutia dan memberikan kode pada kekasih nya untuk ikut b
Novela berjalan perlahan memasuki kafe Gardenia. Hatinya berdebar kencang saat melihat laki-laki yang sangat dirindukannya. Sudah beberapa kali Novela mencoba membuka hati dan berkenalan dengan laki-laki lain di selama lebih dari enam bulan ini. Tapi entah kenapa tidak ada yang spesial seperti Ridho. Dan walaupun sudah lama sekali tidak bertemu dengan lelaki itu, Novela tetap masih hafal potongan rambut dan bentuk kepalanya sekalipun dari arah belakang. Novela menghentikan langkahnya sejenak lalu menghela nafas sebelum akhirnya dia maju lagi mendekat ke arah Ridho. "Mas Ridho."Ridho menoleh dan melihat ke arah Novela. Dua pasang mata saling menatap dengan penuh rindu. Dalam diam, tanpa kata, hanya hening di sekitarnya sudah cukup membuat sepasang anak manusia itu tahu bahwa mereka saling mencintai dan saling merindukan. "Kamu sudah datang dari tadi, Mas?" tanya Novela pelan. "Barusan kok. Oh ya, duduk Nov. Aku sudah memesan kan makanan favorit mu. Kwetiau kuah dengan jus jeruk d
Lalu kedua anggota Intel itu melompat dan membekap mulut dan memukul leher belakang anak buah Damar. "Hmmmph! Hhmphhh!"Kedua anak buah Damar yang sedang berjaga di luar pintu depan lainnya berpandangan. Mereka langsung memahami jika telah terjadi sesuatu yang mencurigakan. Kedua anak buah Damar langsung mencabut pistol dari pinggang mereka dan langsung menuju ke arah semak-semak tempat kedua teman mereka menghilang. Namun baru berjalan beberapa langkah, dua anggota polisi melompat dari arah belakang. Dorrr! Dorrr! Namun sayang sekali kedua anggota polisi yang terakhir hendak melakukan penyergapan, tertembak karena rupanya anak buah Damar lebih dulu menarik pelatuk nya. Kedua anggota polisi itu langsung roboh di atas rerumputan. Kedua anak buah Damar mendelik lalu menodongkan pistol ke arah kepala anggota polisi. "Jangan bergerak! Katakan siapa yang menyuruh kalian!" seru salah seorang anak buah Damar.Salah seorang anak buah Damar lalu menunduk mendekat ke arah salah seorang
Beberapa saat yang lalu,"Aksa, lokasi mobil pak Damar sudah ditemukan. Dua mobil ada di kota ini. Dan satu mobil di luar kota. Saat ini sedang dikejar oleh Ragil dan anak buahnya."Aksara yang sedang duduk di mobil di samping Ridho yang sedang mengemudikan mobilnya, sontak menoleh ke arah Ridho. "Mas, minta para polisi itu untuk share loct posisi nya sekarang! Ayo kita ikuti mobil polisi itu dan menuju ke tempat Mutia!""Tapi bahaya, Aksa! Biar polisi saja yang mengurus dan menyelamatkan Mutia!""Nggak bisa, Mas! Aku tidak akan bisa makan dan minum dengan tenang kalau belum memastikan Mutia baik-baik saja."Ridho tampak berpikir sejenak. "Tapi mereka bersenjata, apa kamu tidak takut terjadi sesuatu pada diri kamu?" "Aku juga punya senjata, Mas."Aksara menengok jok tengah mobilnya dan berdiri lalu menjulurkan badannya ke belakang untuk mengambil tas olahraga dari dalam nya.Mata Ridho membeliak saat melihat isi tas milik Aksara. Sepasang senjata api lars pendek, pelurunya, stunt g
"Jangan menyentuhku dengan tangan kotormu itu, Mas! Kamu sudah melakukan banyak hal yang membuat orang lain menderita. Kamu bukan lagi mas Damar yang aku kenal dulu!" seru Mutia tegas. Damar tertawa. "Hahaha, kamu benar sekali, Mutia. Aku memang bukan Damar yang miskin dulu. Damar yang dulu kan nggak punya apa-apa. Tapi lihatlah aku sekarang! Aku punya semuanya! Kamu bisa bahagia kalau menikah dengan ku!"Mutia terdiam sejenak. "Kalau kamu memang kaya, kenapa kamu malah ingin kembali padaku? Kamu kan bisa memilih perempuan lain yang masih gadis, ataupun janda lain yang lebih cantik dan seksi dariku kan banyak? Kenapa harus kembali padaku?! Atau kamu kan bisa kembali pada Larasati?" tanya Mutia. Damar tertawa menyeringai. "Karena aku mencintaimu, Mut!""Jangan bohong, Mas. Kalau kamua mencintaiku, kamu nggak akan selingkuh dengan Larasati! Jadi katakan saja apa alasan dan rencana kamu menculikku sampai melukai teman kosku?""Hm, nggak ada alasan khusus sih. Aku cuma merasa kalau ka
Aksara dan Ridho sampai di polres dan langsung bertemu dengan Ragil, intel polisi yang juga merupakan teman Ridho. Ragil mendengarkan penuturan Aksara dan Ridho secara sungguh-sungguh. "Baiklah ini harus diselidiki lebih lanjut. Karena masalahnya begitu kompleks, aku tidak bisa menyelesaikan hal ini sendirian. Perlu bantuan dari teman-teman ku yang lain, Dho," seru Ragil. Aksara menangkup kedua tangan Ridho. "Saya mohon tolong temukan Mutia secepatnya. Saya bersedia membayar berapapun agar Mutia ditemukan," sahut Aksara dengan sungguh-sungguh. Ragil menatap ke arah Aksara. "Saya akan melakukan upaya semaksimal mungkin untuk menemukan Bu Mutia. Bapak tenang dulu untuk menjawab beberapa pertanyaan yang akan saya ajukan," sahut Ragil. Lalu tak kemudian Ragil meraih ponsel dan menghubungi seseorang, lalu menjauh dari Aksara dan Ridho. "Halo, Elang darat satu. Cari semua Informasi tentang lelaki bernama Damar Wiryawan dan semua aset dan alamatnya. Saya membutuhkan jawaban secepatnya."
Damar tersenyum menyeringai. Lalu segera meraih pistol yang memang telah disiapkan nya di pinggang nya lalu mengarahkan nya ke arah para penghuni kos. "Awas, kalian! Berani berteriak atau memanggil polisi, kalian akan kutembak!"Mutia dan warga kos lainnya terhenyak dan terkejut melihat perbuatan Damar. Damar segera melihat ke arah gelas berisi teh dan obat tidur di dekatnya. Lelaki itu dengan cepat mencengkeram bahu Mutia dan menodongkan pistol ke kepala Mutia. "Minum teh itu sampai habis sekarang! Atau kuledakkan kepala kamu!"Mutia terdiam. Sampai matipun dia tidak akan pernah mau minum teh dengan obat tidur itu. Mutia juga berusaha untuk mengulur waktu agar Aksara bisa membujuk Ridho untuk lapor polisi dan membuka kembali kasus adik dan ayahnya. "Heh, kenapa kamu diam, Hah! Kamu tuli, Mut? Minum tehnya atau aku tembak teman kamu ini!"Mutia terkesiap. Dalam hati bertanya-tanya apakah Damar tega menembak beneran. Tapi dia yang menduga Damar melakukan pembunu han terhadap Herman,
Beberapa saat sebelumnya, firasat Mutia yang mengatakan bahwa ada yang aneh dalam diri Damar, membuatnya mempunyai sebuah ide. Mulai dari pertemuan mereka hingga cerita Damar tentang orang yang memberikan kepercayaan pada Damar untuk mengelola tiga bentuk usahanya membuat Mutia sangat meragukan keterangan mantan suaminya itu. Maka dari itu dia meminta Damar untuk mampir ke apotik terdekat dengan alasan membeli obat merah dan plester untuk Damar padahal Mutia juga membeli obat tidur. Untung saja Damar tidak ikut masuk ke dalam apotik, dan bersedia menunggu di mobil. Sesampainya di kos miliknya Mutia segera turun dari mobil Damar dan menuju ke kamarnya. Mutia yang beralasan mengisi ulang ponselnya ternyata menelepon Aksara. "Halo, apa kamu sibuk, Mas?" tanya Mutia terdengar panik. "Baru saja jalan ke klinik. Mau praktek di klinik. Kenapa, Mut?""Aku bertemu dengan mas Damar.""Astaga, Damar mantan suami kamu itu?""Iya. Dan kejadian nya sangat aneh, Mas. Apa kamu ada waktu untuk me
Mutia tercengang mendengar kata-kata Damar. Setahu Mutia, saat dia terakhir bertemu dengan Damar, Damar dan ibunya sedang mengemis di jalan. Mendadak sebuah ide melintas di kepala Mutia. Diam-diam dia ingin menyelidiki apakah ada hubungan motor nya yang terkena paku dengan kedatangan Damar, ataukah hanya murni sebuah kebetulan saja. Sekaligus Mutia ingin tahu bagaimana mungkin Damar bisa menjadi kaya dalam waktu singkat. "Ya sudah. Ayo, Mas."Mutia berjalan mengikuti langkah Damar memasuki mobilnya dengan waspada. Begitu masuk ke dalam mobil, langsung tercium aroma wangi yang menyergap hidung Mutia. Damar menyalakan mesin dan AC mobil nya. Keheningan menyergap sesaat. "Apa kabarmu, Mutia? Aku tidak sengaja lewat daerah sini saat bermaksud menengok kost-an ku di timur jalanan ini," ujar Damar tanpa diminta. "Alhamdulillah, baik. Sekali lagi aku mengucap kan terimakasih padamu karena telah menolong ku, Mas," sahut Mutia tersenyum. "Yah, sudah kewajiban ku kan menolong kamu, Mut.""O