Part 6
[Mbak Dewi, jangan gak tau malu ya, cepat balikin uang mahar dan seserahan yang diberikan Mas Gala! Pernikahan kalian kan udah batal! Jangan makan hak orang lain!] [Jangan khawatir, akan kukembalikan semua yang bukan menjadi hakku.] Balas Dewi dengan perasaan kesal. [Baguslah kalau Mbak tahu diri.] [Tentu saja, aku tidak seperti kamu!] [Apa maksudmu, Mbak?] Dewi mengusap wajahnya sembari menghela napas panjang. Seolah melepaskan beban penat di hatinya. Bagaimana mungkin ia mengembalikan uang seserahan itu sementara uangnya sudah terpakai untuk keperluan hajatan kemarin. Ia menggelengkan kepalanya pelan. Melihat raut wajah sang istri yang berubah, Aksara berjalan mendekat. "Kenapa? Ada apa, Dewi?" tanya Aksara. Karena Dewi tak kunjung menjawabnya, Aksaraa mengambil ponsel dari tangan istrinya lalu membaca pesan yang dikirimkan oleh Geni. "Berapa?" Dewi menatap Aksara dengan tatapan berkaca-kaca. Ingin berbicara tapi rasanya sungkan. "Berapa uang mahar dan seserahan yang laki-laki itu berikan padamu, Dewi?" "Uangnya dua puluh lima juta, sedangkan maharnya 1 set perhiasan emas. Tapi--" "Tapi kenapa?" "Uangnya sudah terpakai untuk acara pernikahan kemarin, Mas." "Selain uang, apa ada lagi?" "Iya, ada parcel hantaran yang isinya mukena, baju, tas dan sepatu terus skincare." "Semuanya masih ada?" "Masih, Mas. Masih utuh belum tersentuh." "Kamu siapkan barang-barang itu, kita akan mengembalikannya. Untuk masalah uangnya kamu jangan khawatir, biar aku yang gantiin." Dewi tertegun mendengar ketegasan sang suami. "Mas, apa tidak apa-apa?” “Tidak apa-apa, tidak masalah kok, kalau bisa nanti sekalian videoin lalu kirim ke Geni, biar dia percaya kalau barangnya sudah dikembalikan ke mantanmu yang pecundang itu.” Dewi tersenyum. “Mas, sekali lagi terima kasih banyak sudah mau membantuku.” Aksara menatapnya. “Kamu masih menganggapku orang lain?” “Eh?” Aksara meraih tangan Dewi sontak membuat gadis itu terlihat gugup. “Aku tahu kamu pasti masih canggung padaku. Tapi, belajarlah menerimaku, Dewi.” “Ya, Mas. Maafkan aku, aku akan mencobanya,” jawab Dewi sambil mengalihkan pandangan ke arah jendela. “Aku cuma... butuh waktu.” Aksara tersenyum lembut. “Aku mengerti, Dewi. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku ada di sini untukmu.” *** Langit masih tampak petang, kabut tipis menyelimuti jalanan, suasana masih begitu tenang hanya desahan angin lembut yang menyapa di pagi buta. "Aku pergi dulu sebentar, nanti aku kembali lagi," ujar Aksara. Dewi mengangguk. "Hati-hati di jalan, Mas." Aksara memakai jaket dan helmnya. Lalu mengemudikan motor menyusuri jalanan pagi. Sementara itu, Dewi mengumpulkan barang-barang yang diberi oleh Gala. Hantaran baju, mukena, skincare, tas, dan sepatu serta mahar 1 set perhiasan, memindahkannya ke satu tempat. "Itu mau dikembalikan semuanya, Nak?" tanya Ibu. "Iya, Bu. Aku gak butuh barang-barang ini. Aku juga gak ingin berurusan lagi dengan mereka." Ibu mengangguk ikut membantunya, memastikan semuanya tertata dengan rapi. "Jangan sampai ada yang tertinggal, Nak. Lebih baik putus hubungan dengan keluarga rese seperti itu dari pada diteruskan." "Iya, Bu." "Ibu berharap kamu cepat membuka hati untuk Aksara, dia sepertinya laki-laki yang baik." Dewi hanya mampu mengangguk, karena iapun tak tahu harus menjawab apa. Selang beberapa waktu, terdengar deru mobil berhenti di halaman. Dewi bergegas ke depan, setelah mendengar pintu diketuk. Rupanya yang datang adalah suaminya sendiri. "Mas bawa mobil? Motornya dimana?" tanya Dewi sedikit heran. "Aku tinggal di toko." "Oh." Lelaki itu memberikan amplop coklat berisi uang pada istrinya. "Ini dua puluh juta untuk kembaliin uang seserahan yang kemarin." "Iya, Mas." "Udah siap?" "Udah semua, Mas, barang-barangnya di sana." Aksara mengangguk. Setelah semuanya siap, mereka berdua memutuskan untuk menuju rumah Gala. Sepanjang perjalanan, Dewi berusaha menenangkan diri, sementara Aksara tetap fokus. Sesampainya di rumah tujuan ... Di teras depan tengah berkumpul keluarga dan kerabat Gala, nampaknya tengah menikmati hari libur bersama Suasana semula penuh canda tawa, tiba-tiba hening saat Aksara dan Dewi turun dari mobil dan berjalan menghampiri mereka sembari membawa barang. Semua mata tertuju kepada mereka berdua. "Dewi datang tuh, mau ngapain ya? Jangan-jangan mau nuntut?!" celetuk salah seorang kerabat dengan nada yang cukup lirih. "Selamat siang, Pak, Bu. Kami datang untuk mengembalikan barang-barang ini," kata Aksara dengan nada sopan sembari meletakkan barang-barang itu tak jauh dari mereka. "Ini uang mahar dan semua seserahan serta hantaran yang pernah kalian berikan." Dewi menambahkan dengan suara yang bergetar, menahan emosi yang bercampur aduk. Mereka saling bertukar pandang dengan raut wajah terkejut. Air mukanya berubah, antara bingung dan juga malu. "Kenapa dikembalikan?" tanya Rahayu basa-basi. Ia adalah Tantenya Gala. Ia mengambil amplop coklat itu lalu menghitung uangnya. "Saya tidak bisa menerima ini semua," lanjut Dewi, matanya mulai berkaca-kaca. "Ini demi kebaikan semua pihak. Hubungan sudah berakhir dan saya tak ingin disangkut pautkan lagi setelah ini." Suara Dewi yang lantang itu seperti guntur di siang bolong yang menggema. Bahkan Gala sempat terkejut mendengar ucapan Dewi. Ia menatap Dewi dan Aksara secara bergantian. "Benar ini ada dua puluh lima juta, Gal. Apa ada lagi biaya yang kamu keluarkan untuk Dewi mumpun orangnya masih di sini tuh!?" tanya Rahayu dengan sinis. Gala menoleh sejenak, kemudian menatap Dewi. "Ya sebenarnya ada, pas ngajak dia jalan-jalan, beliin dia jajan, habis bensin itu juga pakai duit, Tante." Dewi terkejut mendengar ucapan Gala, ternyata dia sangat perhitungan. "Apa kamu sudah gila, Mas, kita hanya beberapa kali saja jalan keluar, itupun kamu jajanin aku Es Boba sama bakso saja. Akupun gak pernah minta hadiah aneh-aneh apalagi yang mahal," protes Dewi. Namun, lelaki itu justru tersenyum masam. "Tidak usah khawatir Dewi, aku gak akan minta--" "Berapa? Berapa banyak biaya yang kamu keluarkan untuk mengajak jalan-jalan dan beliin Dewi jajan? Hitung semuanya, aku akan bayar," tukas Aksara. "Serius mau dibayari semua?" celetuk Rahayu dengan nada meremehkan. "Iya, berapa?" "Cih, sombong banget!" "Mas--" Aksara menatap Dewi, lalu mengusap lembut lengannya berusaha menenangkan. Tanpa basa-basi Aksara mengeluarkan 50 lembar uang seratus ribuan dari saku jaketnya. "Segini cukup?" Mereka terdiam, tak berani menjawab. Tetiba Gala bangkit menghampiri Aksara dan Dewi. Tatapannya tajam. "Hei Bung, jangan mentang-mentang kau banyak uang jadi sombongnya selangit. Uang tidak menyelesaikan semuanya." "Lho, kamu sendiri yang bilang tadi, kalau sudah keluar biaya untuk Dewi. Aku hanya gak ingin Dewi punya hutang sama kamu. Terima uang ini, sebagai ganti uang yang kamu keluarkan untuknya selama ini. Dan kuanggap masalah selesai. Jangan pernah ganggu Dewi lagi," ungkap Aksara penuh penekanan. "Dan ada satu hal yang ingin aku luruskan. Dewi tidak seperti apa yang kamu tuduhkan, semua itu fitnah," ucap Aksara kembali. "Fitnah? Lalu foto-foto itu bagaimana?" tanya Gala membela diri. Aksara tersenyum masam. Dia langsung menggenggam tangan istrinya lebih erat. "Foto bisa saja cuma editan, zaman sekarang sudah canggih. Apa kamu tidak bisa membedakannya? Mana yang asli dan mana yang editan?" Mata Gala membulat. "Kau--" "Kami tidak ingin berdebat. Kami di sini hanya untuk menyelesaikan ini. Kami permisi," sela Aksara. "Ayo, Sayang, kita pergi!" Aksara menarik tangan Dewi dan segera melangkah menuju mobilnya. Gala mengepalkan tangannya, ada desir cemburu saat melihat Aksara memperlakukan mantan kekasihnya dengan baik. "Memang benar gadis murahan, lepas dariku dia langsung bersama pria lain. Ckck!"Part 7Gala mengepalkan tangannya sembari menggeram kesal.“Gal, ini dibawa masuk semua, lumayan lho buat ngasih ke Geni jadi gak perlu beli lagi. Perawakan mereka kan sama, jadi cocoklah ukurannya,” ujar Tante Rahayu.Gala menoleh dengan ekspresi datar kemudian pergi begitu saja. “Kamu mau kemana?” “Aku keluar dulu, Tante saja yang urus semua ini!” tukasnya. Ia langsung menuju motornya dan melajukan kendaraan roda dua itu berusaha mengejar mobil Aksara.“Apa aku gak salah dengar, dia memanggil Dewi sayang? Cih, sebenarnya sudah berapa lama mereka berhubungan?!” Pikiran Gala terus berputar-putar saat terbayang Dewi diperlakukan baik oleh lelaki itu.Gala menghentikan motornya saat mobil itu berhenti di depan toko kue Aksara. Ia mengamatinya dari jauh. Namun hatinya makin panas saat melihat Aksara dan Dewi tampak tertawa bersama.“Sial!” umpatnya. “Apa yang harus aku lakukan?” tanyanya pada diri sendiri. Dia turun dari motornya dan melangkah mendekat, bersembunyi di balik mobil yang
Part 8“Siapa yang mengirim foto-foto itu? Lu harus usut sih,” tukas Riko lagi.“Entahlah. Gue dapat dari nomor asing.”“Nomor asing lu percaya gitu aja? E buseeet, gak ada hati ya lu, gak dipikir dulu, main batal aja, gimana perasaan dia coba! Dasar sengklek lu!”Gala membuang napasnya dengan kasar. “Gue tahu, tapi itu semua bikin gue parno! Dia bilang dia enggak pernah melakukan hal itu, tapi foto-foto itu... bisa bikin siapa aja ragu.”Gala tampak bingung, entah kenapa dada rasanya sesak saat mengetahui situasi yang sebenarnya. Itu sungguh menyakitkan.“Gue pengen tahu lebih dalam soal ini, tapi rasanya udah telat. Dia udah nikah sama pria lain,” ujarnya penuh sesal. “Iya, resiko Gal. Lo yang nuduh dan ninggalin dia. Walaupun berat, lo harus bisa melepaskan. Tapi kalau lo merasa ada yang nggak beres, nggak ada salahnya untuk cari tahu kebenarannya.”Gala mengacak rambutnya frustasi. Bayangan Dewi yang menangis saat itu muncul dalam benaknya. "Pasti ada yang iri dengan kalian dan
Part 9"Hallo, Mas, kenapa baru diangkat sih? Aku hubungi dari tadi lho! Cepat pulang, kami kangen!" sahut suara manja di seberang telepon."Ada apa, Bel?""Ih Mas Aksara mah selalu gitu! Ketus banget kalau ditelepon!"Aksara menghela napas dalam. "Iya ada apa?" "Mas disuruh pulang sama Papa," Bella melanjutkan.Aksara mengerutkan dahi. "Kenapa? Ada masalah apa?""Papa bilang ada sesuatu yang penting. Dia tidak mau membahasnya lewat telepon," jawab Bella, nada suaranya semakin tegang.“Penting bagaimana?” tanya Aksara.“Entahlah. Dia hanya bilang kamu harus segera pulang. Kita disuruh kumpul semua termasuk Mas Arjuna juga, Mas.” Bella mengeluh.Aksara terdiam sejenak sembari menatap Dewi dengan cemas. "Mas?! Mas Aksa bisa pulang 'kan?" Suara manja Bella kembali terdengar di telinganya."Hmmm ....""Jangan hmm hmmm doang, nanti Papa marah lagi sama aku.""Kamu bikin kesalahan lagi?""Enggak kok! Aku gak berani. Masa hukumanku aja belum selesai." Terdengar ia membuang napas panjangnya
Part 10"Uhuk-uhuk!! Mas, tolong lepasin aku!"Gala menggenggam leher Geni dengan kuat. Otot-otot tangannya menegang, urat-uratnya menonjol menandakan lelaki itu benar-benar marahGadis itu meronta, tangannya mencoba mendorong Gala namun sia-sia."Uhuk-uhuk!!""Mas, tolong lepasin. Aku minta maaf... aku benar-benar minta maaf," suara Geni tercekat, matanya memandang Gala dengan penuh ketakutan.Geni merasakan sakit di lehernya dan juga sulit bernapas. Di dalam hati Geni, ia merasa menyesal. Sekaligus tak percaya Gala akan membvnuhnya dengan cara seperti ini. Tiba-tiba, suara keras dari arah pintu mengalihkan perhatian mereka. Ibu Geni, yang baru pulang dari kondangan, melihat anaknya terdesak. Buugghhtt!Dengan cepat, Bu Wanda melangkah maju dan memukul Gala dengan tas belanjaan yang penuh. “Lepaskan anak saya!” teriaknya, suaranya penuh ketegasan."Toloooong .... tolooooong!" teriak Bu Wanda berharap para tetangga segera datang.Gala, terkejut, segera melepaskan cengkramannya. Geni
Aksara dan Dewi masuk ke dalam mobil setelah selesai membereskan semuanya. "Kita pulang dulu, izin sama bapak dan ibu, kemungkinan kita akan menginap di rumah papaku," ujar Aksara sembari mengemudikan mobil dengan pelan."Baik, Mas."Kendaraan roda empat itu melaju santai di jalanan yang cukup ramai. Alunan musik klasik mengiringi perjalanan mereka. Tanpa sadar, Dewi tertidur di mobil. Aksara menoleh, menatap istrinya sambil tersenyum. "Kamu pasti lelah ya?" lirihnya. Lelaki itu membiarkan Dewi terlelap.Mobil mulai melaju pelan saat sampai di jalan gang rumahnya. "Wi, Dewi, bangun ... kita sudah sampai," ujar aksara sembari membelai lengan istrinya dengan lembut.Dewi terkesiap, ia langsung mengerjapkan matanya pelan dan melihat ke luar jendela mobil. Ia menoleh melihat sang suami yang menatapnya."Mas, maaf aku ketiduran, tau-tau dah sampai aja di rumah.""Iya, tidak apa-apa. Kamu pasti capek banget habis bantuin aku. Ayo turun!"Dewi mengangguk. Aksara memarkirkan mobil di dep
"Aku datang tidak untuk berdebat denganmu, Bel. Dimana Papa?"Bella mendengus. "Jadi, Mas menikah tanpa memberi tahu keluarga? Yang benar saja, Mas!""Aku akan menjelaskannya nanti."“Tidak bisa!” teriak Bella, terlihat kesal. “Kamu tidak bisa membawa orang asing ke sini, Mas!”"Dia bukan orang asing, Bel. Aku sudah menikahinya. Tolong bersikaplah dengan sopan! Dia kakak iparmu!"Bella berdecih, wajahnya tampak begitu sinis."Bella, dimana Papa?"Bella yang tak puas dengan kakaknya memilih menjauh, seolah mengabaikan pertanyaan Aksara. "Papa ada di belakang," ujarnya kemudian setengah berteriak.Aksara menghela napas, lalu menatap Dewi. "Maafkan adikku ya, Wi. Dia gak sopan sama kamu, sifatnya memang jutek kalau ketemu orang baru."Dewi mengangguk. "Iya, Mas, aku bisa maklum kok, dia pasti kaget lihat kamu pulang bersama seorang wanita."Aksara tersenyum kecil. "Iya. Ya sudah, Ayo, kita temui Papa! Mungkin Papa sudah menunggu."Dewi mengangguk, meski masih ragu, terlebih adik suaminya
Aksara dan Dewi masih berjalan pelan di koridor. Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat dan Ayah Aksara muncul dari ujung ruangan dengan ekspresi terkejut."Aksara, kau sudah pulang rupanya," sambut Pak Arif. Dia melirik ke arah Dewi. Keningnya mengernyit penuh pertanyaan."Siapa wanita yang kamu bawa pulang ini?" tanyanya, suaranya menggema namun penuh arti. Sebelah alisnya terangkat.Dewi terpaku sejenak. Ada rasa takut saat melihat pria paruh baya yang terlihat tegas di hadapannya itu.Aksara maju satu langkah. "Ini, Dewi, Pa. Dia istriku.""Istri?""Ya.""Sejak kapan kamu menikah?""Kemarin.""Kemarin? Kenapa kalian menikah diam-diam? Apa kalian tidak memikirkan kami?" suara Pak Arif menggema keras di ruangan itu, setiap kata yang diucapkannya bagai hantaman yang membuat Dewi semakin tertekan."Maafkan aku, Pa.""Apa di matamu keluarga sudah tidak berarti lagi?
Part 12a"Aksara, jangan berani mengangkat suara padaku!” Aksara membungkukkan tubuhnya tanda memberi hormat. “Aku minta maaf, Pa. Aku pamit pulang dulu,” ujarnya dengan nada suara lebih rendah, ia tak ingin ayahnya lebih murka. Lelaki muda itu langsung beranjak hendak meninggalkan ruang kerja sang ayah.“Aksara, tunggu! Papa belum selesai bicara!”Aksara berhenti sejenak, “Aku akan bicara lagi dengan Papa setelah Papa merestui pernikahan kami. Aku tahu, Papa pasti butuh waktu untuk mencerna semua ini. Jangan terlalu menaruh harapan lebih pada anakmu yang tak berguna ini, Pa. Aku dan Dewi pamit dulu.”Tak ingin berlama-lama, pria itu lekas keluar ruangan meninggalkan ayahnya yang termangu akan ucapannya.Sementara itu ... "Oh, gadis pinggiran rupanya lagi bersantai di sini? Senang ya, gak ada beban," celetuk Bella dengan kata-kata pedasnya. Mendadak gadis itu datang mengejutkannya.Dewi menoleh melihat ke
Part 21aDewi mendongak. "Geni? Kau sudah bebas?"Geni tersenyum sinis. "Kenapa? Mbak berharap aku terus di penjara?"Dewi menatap Geni dengan sorot mata terkejut. Kalung di tangannya nyaris terjatuh, tapi ia segera menggenggamnya erat. Ia menghela napas, mencoba menguasai diri."Bukan begitu, tapi siapa---""Hahaha, Mbak gak usah kepo tentang siapa yang menjaminku keluar, yang jelas aku udah ada di sini sekarang."Geni terus mendekat. Langkahnya yang percaya diri menciptakan suara yang memecah keheningan ruangan. Ia menyapu pandangannya ke sekitar rumah, lalu tertawa kecil—tertawa yang terdengar lebih seperti ejekan.Dewi bangkit berdiri, menghadapi Geni. Matanya menyipit, menyembunyikan kebingungannya."Lalu mau apa kamu kesini, Geni?"Geni mengangkat bahu. "Sepertinya aku akan sering main ke sini. Aku suka melihat ekspresi Mbak yang seperti ini—bingung, takut, tapi berpura-pura tegar."Senyumnya melebar, dan ia melangkah lebih dekat hingga wajah mereka hanya terpisah beberapa inci.
Part 20b“Kamu baik-baik aja kan?” Arjuna bertanya dengan nada khawatir.Dewi mengangguk. “Iya, terima kasih banyak, Mas! Aku hampir—” Dewi mulai menjelaskan, tapi Aksara tiba-tiba muncul, ia berlari tergopoh-gopoh menghampirinya.“Dewi! Apa yang terjadi?” Aksara melihat ke arah mereka berdua dan terkejut. “Kamu di sini, Arjuna?”“Aku cuma bantuin istrimu, dia hampir tertabrak,” jawab Arjuna, terlihat sedikit canggung.Aksara menghela napas, merasa lega melihat Dewi baik-baik saja. "Terima kasih, Arjuna."“Gak masalah. Yang penting dia selamat,” jawab Arjuna datar. Ia segera bangkit berdiri dan melangkah pergi meninggalkan mereka.Aksara menatap saudara kembarnya, yang saat ini hanya memakai kaos oblong, dan beberapa noda bekas oli di celana jeansnya."Tunggu!" Aksara mencegat langkahnya. "Kenapa kamu selalu pergi sebelum aku selesai bicara?" Arjuna menghentikan langkahnya. "Aku harus kembali kerja."
Part 20Aksara dan Dewi duduk santai di teras belakang sambil menikmati secangkir kopi. Mereka menanti kue yang dibuat Aksara untuk sampel produksi besok pagi. Suasana malam itu tenang, dengan angin sepoi-sepoi yang menyegarkan.“Maaf ya, Wi, aku belum bisa memberikan rumah yang nyaman untukmu. Kita masih sempit-sempitan tinggal di sini,” ucap Aksara, matanya menerawang jauh ke depan, merenungkan keadaan mereka.“Tidak apa-apa, Mas. Aku justru senang. Di sini terasa lebih hangat. Apalagi ada aroma kue yang manis,” Dewi menjawab dengan lembut, matanya berbinar saat merasakan kehangatan dalam situasi sederhana itu.Aksara tersenyum, merasa lega mendengar jawaban Dewi. “Aku sengaja tidak memperpanjang sewa di perumahan, karena tadinya ingin pulang saja dan tinggal di rumah, tapi kenyataannya berkata lain.”“Mas, kamu sudah memberikan banyak untukku. Kalau kamu rindu suasana rumah, kita bisa pulang ke rumah orang tuaku. Kita kan sudah menjadi
Part 19b.Bella terdiam, pertanyaan ayahnya mengusik pikirannya. “Aku cuma gak mau Mas Aksara seperti Mas Arjun, ia benar-benar pergi dan bahkan gak peduli lagi dengan kita!”Pak Arif menatap Bella lebih dalam setelah mendengar nama Arjuna disebut. Wajahnya mengeras sejenak, mengingat putranya yang lebih memilih pergi menjauh dari keluarga dan tidak pernah kembali. Suasana makan malam itu tiba-tiba terasa semakin tegang, seolah beban masa lalu ikut hadir di antara mereka.“Arjuna berbeda, Bella. Jangan bandingkan Aksara dengan Arjun,” ujar Pak Arif dengan nada dingin, jelas menunjukkan bahwa topik Arjuna bukanlah sesuatu yang ingin ia bahas lebih jauh.“Tapi Pa, Mas Aksa bisa aja mengikuti jejak Mas Arjun kalau Papa terus membiarkan ini terjadi. Dewi bisa mempengaruhinya, dan dia akan meninggalkan kita juga!” Bella mengucapkannya dengan nada getir dan penuh kekhawatiran.Pak Arif meletakkan kedua tangannya di meja, menatap putri
Part 19Bella terdiam sejenak, matanya menatap tajam ke arah Aksara. “Minta maaf? Serius, Mas? Kamu suruh aku minta maaf sama dia?”Aksara mengangguk tegas. “Iya, Bella. Dewi gak bersalah, dan video itu sudah terbukti palsu. Polisi sudah menangkap orang yang menyebarkan dan mengeditnya. Jadi, gak ada alasan lagi untuk kamu menuduh Dewi.”Bella menghela napas panjang, lalu memutar bola matanya dengan kesal. “Mas, aku cuma khawatir sama kamu. Gak mungkin aku sengaja nyakitin perasaan kalian. Tapi aku gak bisa langsung percaya begitu aja!”“Percaya atau nggak, fakta sudah berbicara, Bella. Dewi sudah difitnah, dan kita harus berdiri di sampingnya, bukan malah menambah bebannya,” tegas Aksara.Dewi yang mendengar pembicaraan itu dari balik kasir, merasa hatinya kacau. Di satu sisi, ia senang karena Aksara begitu membelanya, tapi di sisi lain, ia juga merasa terluka oleh cara Bella menilainya.“Bella,” Dewi akhirnya angkat bicara, sua
Part 18b “Istri Aksara, awasi dia juga apa yang dia lakukan selama ini.” “Baik, Bos.” “Laporkan apapun yang mereka lakukan.” “Siap, Bos!” Panggilan itupun berakhir. Satu jam kemudian, teleponnya berdering. Nama Gito tertera dalam layar ponselnya. Ia adalah asisten pribadinya yang melaporkan hasil penyelidikan awal soal Dewi. “Pak Arif, saya sudah mencari informasi soal Dewi. Data tentang Dewi saya kirim ke email bapak ya!” “Hmmm …” “Ternyata, dia tidak punya catatan buruk ataupun riwayat pekerjaan yang mencurigakan. Dia juga tidak pernah bekerja di tempat-tempat yang seperti dugaan Bapak. Justru dia bekerja di tempat Mas Aksara." Pak Arif terdiam sejenak, lalu mendengus kasar. “Itu tidak mungkin! Tapi bagaimana dengan video itu? Video itu jelas-jelas menunjukkan dia melakukan sesuat
Part 18 Dewi terdiam, terkejut dengan permintaan buliknya. "Tapi, Bulik, Geni sudah melakukan kesalahan. Dia harus menghadapi konsekuensinya." "Dia tidak bersalah, Dewi! Bulik yakin dia tidak bersalah. Dia hanya terjebak dalam situasi yang tidak adil. Tolong, pikirkan lagi, Nak. Bulik mohon," ujar Bu Wanda dengan nada penuh harap. Dewi menatap buliknya yang berlutut, rasa cemas dan bingung menyelimuti pikirannya. Belum lagi para pembeli yang menatap ke arah mereka sambil saling berbisik. "Bulik, bangunlah. Kita bicara di belakang saja," ujar Dewi. Bu Wanda menggeleng pelan. "Bulik gak akan bangun sebelum kamu mau membantu Geni. Kamu tahu kan, Geni itu satu-satunya putri Bulik, dia kehidupan Bulik, Bulik gak bisa hidup tanpa dia." "Aku tidak tahu apakah aku bisa membantu. Itu bukan keputusan yang bisa diambil secara sembarangan." "Jadi, kamu benar-benar gak mau membantu Bulik, De
Part 17bLho terus, apa yang lu lakuin di sana.""Itu dia, ceritanya cukup rumit ...." Arjuna mulai menceritakan kejadian yang baru saja di alami olehnya di toko saudara kembar."Jadi dia salah paham dikira lu yang berantakin toko dan nyakitin istri lu?""Hmmm begitulah. Suasananya gak enak banget tadi. Bener-bener bikin gue panas. Pengin marah tapi gak bisa."Rudi mengulum senyum lalu menepuk-nepuk punggung sahabatnya itu. "Lain kali saja kau coba lagi untuk bicara sama dia.""Halaaah males gue! Mungkin memang seharusnya putus hubungan saja dengan mereka. Biar bebas ...""Hei, itu tidak adil sama diri lu sendiri. Mungkin sekarang lu masih butuh waktu, gue paham itu. Tapi percaya sama gue, seiring berjalannya waktu lu akan berdamai dengan keadaan itu. Pokoknya lu jangan nyerah, Sob. Masih ada banyak jalan menuju roma.""Huuu sok iyee lu!""Hahaha, Sob, gue lagi jadi motivaror lho, harusnya lu dukung. Ud
Part 17"Ada dua kemungkinan, Mas."Aksara mengerutkan keningnya. "Apa?""Kemungkinan pertama mungkin memang hanya kebetulan, dan ini cara Allah mempertemukan kalian lagi."Aksara mengangguk. "Terus?""Kemungkinan kedua, mungkin saja dia sengaja datang dan ada sesuatu yang ingin dia bicarakan denganmu, hanya saja situasi tak mendukung. Jadi dia belum"Kamu benar, Dewi. Harusnya tadi aku tak bersikap gegabah. Tapi sekarang aku tidak tahu dimana dia tinggal."Dewi meraih tangan Aksara. "Mas, kita sholat dulu yuk. Biar pikiran kita fresh. Yang lainnya kita pikirkan nanti."Aksara mengangguk, merasakan ketenangan saat Dewi mengajaknya sholat. Setelah selesai, mereka duduk sejenak, mencoba merenungkan apa yang terjadi."Bagaimana kalau kita mencari tahu Mas Arjuna dari teman-temannya?" saran Dewi. "Mungkin mereka bisa memberi tahu di mana dia tinggal.""Ya, itu ide yang bagus," jawab Aksar