Part 2
"De-dewi??" ucapnya dengan wajah pias. "Mbak De-wi?" sahut Geni tak kalah kagetnya. Tapi ekspresinya langsung berubah cuek dan sama sekali tidak merasa bersalah. Mereka bangkit berdiri, menatap penampilanku dari ujung kaki sampai ujung kepala. "Kenapa Mbak ke sini? Mau cari calon suaminya ya? Duh, sayang banget tapi Mas Gala udah milih aku, Mbak! Tolong ikhlasin saja ya!" tanya Geni dengan raut masam. "Dasar pengkhianat kalian! Kau juga, Gen, kenapa kau tega lakukan ini padaku, padahal kita ini saudara!" teriakku lagi. Geni justru tersenyum masam. Ia berjalan mendekat ke arahku dengan tangan bersidekap di dada, seolah menunjukkan sikap angkuhnya. "Maaf ya, Mbak Dewi. Bukannya aku mau merebut Mas Gala dari Mbak. Tapi, Mas Gala sendiri yang datang ke sini dan melamarku. Dia bilang dia ingin menikah dengan gadis yang masih perawan tingting bukan gadis bekas orang!" Plaaakkk!!! Tanpa sadar kulayangkan tamparan pada pipi gadis itu. "Jaga bicaramu, Geni! Jangan menuduhku sembarangan!" Geni meringis kesakitan sembari memegangi pipinya. Ia balas menatapku tajam. "Aku gak menuduhmu, Mbak! Memang kenyataa----" "BERHENTIII!" teriakku. "Lebih baik kamu yang berhenti Dewi! Jangan buat kekacauan di sini!" tukas Mas Gala tiba-tiba membuat mulut ini bungkam seketika. Lelaki itu merangkul pundak Geni dan membelai pipinya yang tadi kutampar. Terlihat lembut dan perhatian. Melihat tak ada rasa canggung diantara mereka seperti itu, aku yakin ini bukan pertama kalinya mereka menjadi dekat. Pasti sudah dari jauh-jauh hari, hanya saja aku tak menyadari. Aku memundurkan langkah saat Mas Gala brengsek itu hendak mendekat ke arahku. Ketika aku berbalik rupanya bapak sudah ada di belakangku, tanpa ba bi bu lagi, bapak menghajar Mas Gala hingga menimbulkan kehebohan. Keadaan di sekitar rumah Geni langsung menjadi kacau. Terdengar teriakan, hingga mengundang perhatian tetangga yang kini mulai berdatangan. Sedangkan aku masih berdiri terpaku. Bapak melayangkan pukulan kepada Mas Gala dengan penuh amarah meski sudah dilerai beberapa orang. Wajah Mas Gala memerah, namun ia tidak berani membalas ataupun melawannya. "Pantaskah kau lakukan ini pada putriku 'hah? Membatalkan acara pernikahan secara sepihak tanpa bicara dulu?! Kau sungguh tidak beradab, Gala!" Buugg! Buugg!! "Apalagi kamu justru datang ke sini untuk melamar Geni! Apa kau sudah gak waras 'hah?!" "Sudah, Pak Dhe! Jangan! Jangan! Jangan sakiti Mas Gala!" teriak Geni sembari berdiri di tengah-tengah sembari merentangkan tangannya, berusaha mencegah Bapak agar berhenti memukul. Napas bapak terlihat memburu, dadanya naik turun, menatap Geni dengan mata penuh kemarahan. "Jangan campuri urusan ini! Ini adalah masalahku dan Gala. Dia harus tahu betapa besar penghinaannya terhadap putriku!" Meski tampak ketakutan, Geni tetap berdiri tegak di depan Mas Gala. "Pak Dhe, mohon hentikan! Kalau Pak Dhe mau pukul, pukul aku saja! Jangan pukul Mas Gala!" teriak Geni cukup lantang. Tanpa takut, matanya mendongak menatap Bapak. Bapak akhirnya berhenti, napasnya masih memburu. Ia menatap Geni lalu beralih menatap Mas Gala dengan tatapan emosi. Aku tahu bapak hanya ingin membalas sakit hati anak perempuannya. Aku berdiri mematung, merasa tidak berdaya. Semua terjadi terlalu cepat, aku merasa seolah terjebak dalam mimpi buruk. Kuhela napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri, mengatur napas agar tidak terisak lebih keras. Dengan langkah gontai, aku mendekati Bapak. "Bapak, sudah cukup. Kita pulang saja," ucapku dengan suara lemah. Aku kalah. Bapak memandangku dengan tatapan iba. Segera kuhapus butiran bening yang menetes di pipi. Lalu kuberanikan diri menatap Geni dan Mas Gala. "Kalau itu yang kau inginkan, silakan ambil saja calon suamiku! Perebut memang pantas dengan seorang pecundang!" Keduanya membulatkan mata saat mendengar sindiran pedas dariku. "Jadi kau menganggapku sebagai pecundang? Jangan berkata sembarangan atau kau akan menyesal, Dewi!!" pekik Mas Gala dengan nada kesal. "Bukan aku yang menyesal, tapi kamu, Mas!" tukasku tak mau kalah. "Ayo Pak, kita pulang! Gak ada gunanya kita di sini!" Dengan susah payah, aku menggandeng tangan Bapak dan berusaha berjalan keluar dari kerumunan tetangga yang masih terlihat penasaran. Aku merasa semua orang menatap kasihan padaku. Seorang pengantin yang batal menikah karena sang mempelai pria justru lebih memilih bersama wanita lain. Saat kami melangkah pergi, aku merasakan tekanan semakin berat, dada ini terasa begitu sesak seolah ada beban besar yang menghimpit. Aku tahu, yang terjadi hari ini tidak akan pernah mudah dilupakan. Jangan tanya bagaimana perasaanku saat ini. Hancur? Sudah pasti. Begitu sampai di rumah, suasana menjadi hening. Semua mata memandang ke arah kami dengan tatapan bertanya. Ibu yang khawatir langsung memelukku sambil menangis. Sedangkan bapak masih berdiri di sampingku, mengamati dengan raut wajah khawatir. "Jadi bagaimana ini keputusannya, Pak? Pernikahan dilanjut atau dibatalkan? Saya tidak bisa berlama-lama di sini karena masih ada jadwal ijab di desa lain," ujar Pak Penghulu menghampiri kami. Bapak dan ibu saling pandang. Aku tahu, mereka pasti sama kalutnya denganku. Miris sekali nasibku bukan? "Batal, Pak. Bagaimana bisa aku menikah sementara pengantin prianya tidak datang," ucapku dengan nada bergetar. "Saya bersedia menjadi mempelai prianya," kata seorang pria dengan suara tegas. Spontanitas kami semua menoleh. Tetiba, seorang pria berpakaian kemeja putih muncul dari kerumunan, menarik perhatian semua orang. Wajahnya tampak serius tapi penuh tekad. Bapak dan ibu tertegun mendengar ucapannya. Sementara aku masih menatapnya seolah tak percaya. "Jika pengantin prianya tidak datang, biar saya yang menggantikannya, saya akan menikahi Dewi," ujarnya mantap, seolah meyakinkan tatapan orang-orang. "Mas Aksara ...." lirihku. Bapak dan ibu memandangku. "Dewi, kamu mengenalinya?" "Pak, dia ....."Part 3"Pak, dia .....""Nama saya, Aksara, Pak." Lelaki itu memperkenalkan diri pada bapak dan juga ibu, sembari tersenyum ramah memperlihatkan deretan giginya yang putih."Pak, Mas Aksara ini bosku. Pemilik toko kue tempatku kerja," jelasku dengan nada bergetar.Bapak dan ibu terlihat bingung, seolah tak percaya apa yang baru saja kukatakan."Jadi Mas ini bosnya Dewi? Ibu pikir bos kamu itu udah berumur, ternyata masih muda?!" ujar ibu dengan polosnya Mas Aksara mengangguk dan tersenyum. Aku memang jarang cerita mengenai pekerjaanku pada bapak maupun ibu. Karena mereka pun sibuk bertani. Kumpul di rumah sudah sama-sama capek."Mas Aksara, kenapa tiba-tiba menawarkan diri ingin menikahi Dewi? tanya bapak, mencoba memahami situasi yang semakin membingungkan.Mas Aksara menatapku dengan lembut. "Saya tahu keputusan ini mungkin tampak aneh, tetapi saya percaya bahwa setiap orang berhak mendapatkan kesempatan untuk bahagia."Bapak dan Ibu saling memandang, sepertinya mempertimbangkan
Part 4Beberapa jam sebelumnya di rumah Geni "Awww ... Ssshh ..." desis Gala sembari meringis kesakitan saat Geni mengompres luka memar di wajahnya."Sakit ya, Mas?"Gala mengangguk pelan."Emang dasar Pak Dhe sialan, datang-datang langsung hajar kamu, malu-maluin!" rutuk Geni kesal."Mbak Dewi juga ngapain nyusul kesini padahal udah jelas-jelas pernikahan dibatalkan! Bikin enek aja!"Gala hanya diam saat Geni masih menggerutu kesal. Pasca keributan tadi pagi, mereka jadi bahan ghibah para tetangga. "Gila kamu ya, Geni! Kok kamu malah ngerebut calon suami Dewi! Gak punya perasaan kamu!" teriak salah satu warga."Kamu juga! Laki-laki macam apa yang membatalkan pernikahan tapi malah lamar gadis lain!""Bukan aku atau Mas Gala yang gila! Mbak Dewi sendiri yang gak bisa jaga kehormatan. Mau nikah malah berhubungan sama pria lain! Laki-laki mana yang mau kalau calon istrinya bekas orang?!" sangkal Geni saat itu tak mau kalah.Geni menggelengkan kepalanya berusaha membuyarkan ingatannya t
Part 5“Arrgghh! Sungguh menyebalkan! Kenapa tiba-tiba Mbak Dewi nikah sama Mas Aksara sih?!” gerutu Geni dengan sangat kesal.“Malah dikasih barang-barang hadiah dan seserahan yang lengkap pula! Harusnya kan dia menderita bukan malah bahagia kayak gini!”Geni berjalan mondar-mandir di ruang tamu, perasaannya begitu gelisah. Karena yang terjadi tak sesuai dengan rencananya. Kedua tangannya mengepal erat, amarahnya meluap-luap.“Kalau kayak gini Mbak Dewi makin besar kepala! Dia pasti akan menghinaku kembali, ckk!” Geni memanyunkan wajahnya, bibirnya terkatup rapat. Ia merasa tak habis pikir kenapa keberuntungan selalu berpihak pada kakak sepupunya itu.Perempuan itu menghempaskan tubuhnya duduk di sofa. Ia mengambil ponsel ingin menghubungi Gala, dan segera membuka aplikasi whattsapp.Namun matanya terpaku pada status WA Dewi yang baru saja muncul. Karena rasa penasaran, ia mengklik status WA kakak sepupunya itu"Terima kasih, Mas Aksara. Aku gak nyangka kamu malah ngasih kejutan seb
Part 6[Mbak Dewi, jangan gak tau malu ya, cepat balikin uang mahar dan seserahan yang diberikan Mas Gala! Pernikahan kalian kan udah batal! Jangan makan hak orang lain!][Jangan khawatir, akan kukembalikan semua yang bukan menjadi hakku.] Balas Dewi dengan perasaan kesal.[Baguslah kalau Mbak tahu diri.][Tentu saja, aku tidak seperti kamu!][Apa maksudmu, Mbak?]Dewi mengusap wajahnya sembari menghela napas panjang. Seolah melepaskan beban penat di hatinya. Bagaimana mungkin ia mengembalikan uang seserahan itu sementara uangnya sudah terpakai untuk keperluan hajatan kemarin. Ia menggelengkan kepalanya pelan.Melihat raut wajah sang istri yang berubah, Aksara berjalan mendekat."Kenapa? Ada apa, Dewi?" tanya Aksara. Karena Dewi tak kunjung menjawabnya, Aksaraa mengambil ponsel dari tangan istrinya lalu membaca pesan yang dikirimkan oleh Geni."Berapa?"Dewi menatap Aksara dengan tatapan berkaca-kaca. Ingin berbicara tapi rasanya sungkan."Berapa uang mahar dan seserahan yang laki-lak
Part 7Gala mengepalkan tangannya sembari menggeram kesal.“Gal, ini dibawa masuk semua, lumayan lho buat ngasih ke Geni jadi gak perlu beli lagi. Perawakan mereka kan sama, jadi cocoklah ukurannya,” ujar Tante Rahayu.Gala menoleh dengan ekspresi datar kemudian pergi begitu saja. “Kamu mau kemana?” “Aku keluar dulu, Tante saja yang urus semua ini!” tukasnya. Ia langsung menuju motornya dan melajukan kendaraan roda dua itu berusaha mengejar mobil Aksara.“Apa aku gak salah dengar, dia memanggil Dewi sayang? Cih, sebenarnya sudah berapa lama mereka berhubungan?!” Pikiran Gala terus berputar-putar saat terbayang Dewi diperlakukan baik oleh lelaki itu.Gala menghentikan motornya saat mobil itu berhenti di depan toko kue Aksara. Ia mengamatinya dari jauh. Namun hatinya makin panas saat melihat Aksara dan Dewi tampak tertawa bersama.“Sial!” umpatnya. “Apa yang harus aku lakukan?” tanyanya pada diri sendiri. Dia turun dari motornya dan melangkah mendekat, bersembunyi di balik mobil yang
Part 8“Siapa yang mengirim foto-foto itu? Lu harus usut sih,” tukas Riko lagi.“Entahlah. Gue dapat dari nomor asing.”“Nomor asing lu percaya gitu aja? E buseeet, gak ada hati ya lu, gak dipikir dulu, main batal aja, gimana perasaan dia coba! Dasar sengklek lu!”Gala membuang napasnya dengan kasar. “Gue tahu, tapi itu semua bikin gue parno! Dia bilang dia enggak pernah melakukan hal itu, tapi foto-foto itu... bisa bikin siapa aja ragu.”Gala tampak bingung, entah kenapa dada rasanya sesak saat mengetahui situasi yang sebenarnya. Itu sungguh menyakitkan.“Gue pengen tahu lebih dalam soal ini, tapi rasanya udah telat. Dia udah nikah sama pria lain,” ujarnya penuh sesal. “Iya, resiko Gal. Lo yang nuduh dan ninggalin dia. Walaupun berat, lo harus bisa melepaskan. Tapi kalau lo merasa ada yang nggak beres, nggak ada salahnya untuk cari tahu kebenarannya.”Gala mengacak rambutnya frustasi. Bayangan Dewi yang menangis saat itu muncul dalam benaknya. "Pasti ada yang iri dengan kalian dan
Part 9"Hallo, Mas, kenapa baru diangkat sih? Aku hubungi dari tadi lho! Cepat pulang, kami kangen!" sahut suara manja di seberang telepon."Ada apa, Bel?""Ih Mas Aksara mah selalu gitu! Ketus banget kalau ditelepon!"Aksara menghela napas dalam. "Iya ada apa?" "Mas disuruh pulang sama Papa," Bella melanjutkan.Aksara mengerutkan dahi. "Kenapa? Ada masalah apa?""Papa bilang ada sesuatu yang penting. Dia tidak mau membahasnya lewat telepon," jawab Bella, nada suaranya semakin tegang.“Penting bagaimana?” tanya Aksara.“Entahlah. Dia hanya bilang kamu harus segera pulang. Kita disuruh kumpul semua termasuk Mas Arjuna juga, Mas.” Bella mengeluh.Aksara terdiam sejenak sembari menatap Dewi dengan cemas. "Mas?! Mas Aksa bisa pulang 'kan?" Suara manja Bella kembali terdengar di telinganya."Hmmm ....""Jangan hmm hmmm doang, nanti Papa marah lagi sama aku.""Kamu bikin kesalahan lagi?""Enggak kok! Aku gak berani. Masa hukumanku aja belum selesai." Terdengar ia membuang napas panjangnya
Part 10"Uhuk-uhuk!! Mas, tolong lepasin aku!"Gala menggenggam leher Geni dengan kuat. Otot-otot tangannya menegang, urat-uratnya menonjol menandakan lelaki itu benar-benar marahGadis itu meronta, tangannya mencoba mendorong Gala namun sia-sia."Uhuk-uhuk!!""Mas, tolong lepasin. Aku minta maaf... aku benar-benar minta maaf," suara Geni tercekat, matanya memandang Gala dengan penuh ketakutan.Geni merasakan sakit di lehernya dan juga sulit bernapas. Di dalam hati Geni, ia merasa menyesal. Sekaligus tak percaya Gala akan membvnuhnya dengan cara seperti ini. Tiba-tiba, suara keras dari arah pintu mengalihkan perhatian mereka. Ibu Geni, yang baru pulang dari kondangan, melihat anaknya terdesak. Buugghhtt!Dengan cepat, Bu Wanda melangkah maju dan memukul Gala dengan tas belanjaan yang penuh. “Lepaskan anak saya!” teriaknya, suaranya penuh ketegasan."Toloooong .... tolooooong!" teriak Bu Wanda berharap para tetangga segera datang.Gala, terkejut, segera melepaskan cengkramannya. Geni
Part 20b“Kamu baik-baik aja kan?” Arjuna bertanya dengan nada khawatir.Dewi mengangguk. “Iya, terima kasih banyak, Mas! Aku hampir—” Dewi mulai menjelaskan, tapi Aksara tiba-tiba muncul, ia berlari tergopoh-gopoh menghampirinya.“Dewi! Apa yang terjadi?” Aksara melihat ke arah mereka berdua dan terkejut. “Kamu di sini, Arjuna?”“Aku cuma bantuin istrimu, dia hampir tertabrak,” jawab Arjuna, terlihat sedikit canggung.Aksara menghela napas, merasa lega melihat Dewi baik-baik saja. "Terima kasih, Arjuna."“Gak masalah. Yang penting dia selamat,” jawab Arjuna datar. Ia segera bangkit berdiri dan melangkah pergi meninggalkan mereka.Aksara menatap saudara kembarnya, yang saat ini hanya memakai kaos oblong, dan beberapa noda bekas oli di celana jeansnya."Tunggu!" Aksara mencegat langkahnya. "Kenapa kamu selalu pergi sebelum aku selesai bicara?" Arjuna menghentikan langkahnya. "Aku harus kembali kerja."
Part 20Aksara dan Dewi duduk santai di teras belakang sambil menikmati secangkir kopi. Mereka menanti kue yang dibuat Aksara untuk sampel produksi besok pagi. Suasana malam itu tenang, dengan angin sepoi-sepoi yang menyegarkan.“Maaf ya, Wi, aku belum bisa memberikan rumah yang nyaman untukmu. Kita masih sempit-sempitan tinggal di sini,” ucap Aksara, matanya menerawang jauh ke depan, merenungkan keadaan mereka.“Tidak apa-apa, Mas. Aku justru senang. Di sini terasa lebih hangat. Apalagi ada aroma kue yang manis,” Dewi menjawab dengan lembut, matanya berbinar saat merasakan kehangatan dalam situasi sederhana itu.Aksara tersenyum, merasa lega mendengar jawaban Dewi. “Aku sengaja tidak memperpanjang sewa di perumahan, karena tadinya ingin pulang saja dan tinggal di rumah, tapi kenyataannya berkata lain.”“Mas, kamu sudah memberikan banyak untukku. Kalau kamu rindu suasana rumah, kita bisa pulang ke rumah orang tuaku. Kita kan sudah menjadi
Part 19b.Bella terdiam, pertanyaan ayahnya mengusik pikirannya. “Aku cuma gak mau Mas Aksara seperti Mas Arjun, ia benar-benar pergi dan bahkan gak peduli lagi dengan kita!”Pak Arif menatap Bella lebih dalam setelah mendengar nama Arjuna disebut. Wajahnya mengeras sejenak, mengingat putranya yang lebih memilih pergi menjauh dari keluarga dan tidak pernah kembali. Suasana makan malam itu tiba-tiba terasa semakin tegang, seolah beban masa lalu ikut hadir di antara mereka.“Arjuna berbeda, Bella. Jangan bandingkan Aksara dengan Arjun,” ujar Pak Arif dengan nada dingin, jelas menunjukkan bahwa topik Arjuna bukanlah sesuatu yang ingin ia bahas lebih jauh.“Tapi Pa, Mas Aksa bisa aja mengikuti jejak Mas Arjun kalau Papa terus membiarkan ini terjadi. Dewi bisa mempengaruhinya, dan dia akan meninggalkan kita juga!” Bella mengucapkannya dengan nada getir dan penuh kekhawatiran.Pak Arif meletakkan kedua tangannya di meja, menatap putri
Part 19Bella terdiam sejenak, matanya menatap tajam ke arah Aksara. “Minta maaf? Serius, Mas? Kamu suruh aku minta maaf sama dia?”Aksara mengangguk tegas. “Iya, Bella. Dewi gak bersalah, dan video itu sudah terbukti palsu. Polisi sudah menangkap orang yang menyebarkan dan mengeditnya. Jadi, gak ada alasan lagi untuk kamu menuduh Dewi.”Bella menghela napas panjang, lalu memutar bola matanya dengan kesal. “Mas, aku cuma khawatir sama kamu. Gak mungkin aku sengaja nyakitin perasaan kalian. Tapi aku gak bisa langsung percaya begitu aja!”“Percaya atau nggak, fakta sudah berbicara, Bella. Dewi sudah difitnah, dan kita harus berdiri di sampingnya, bukan malah menambah bebannya,” tegas Aksara.Dewi yang mendengar pembicaraan itu dari balik kasir, merasa hatinya kacau. Di satu sisi, ia senang karena Aksara begitu membelanya, tapi di sisi lain, ia juga merasa terluka oleh cara Bella menilainya.“Bella,” Dewi akhirnya angkat bicara, sua
Part 18b “Istri Aksara, awasi dia juga apa yang dia lakukan selama ini.” “Baik, Bos.” “Laporkan apapun yang mereka lakukan.” “Siap, Bos!” Panggilan itupun berakhir. Satu jam kemudian, teleponnya berdering. Nama Gito tertera dalam layar ponselnya. Ia adalah asisten pribadinya yang melaporkan hasil penyelidikan awal soal Dewi. “Pak Arif, saya sudah mencari informasi soal Dewi. Data tentang Dewi saya kirim ke email bapak ya!” “Hmmm …” “Ternyata, dia tidak punya catatan buruk ataupun riwayat pekerjaan yang mencurigakan. Dia juga tidak pernah bekerja di tempat-tempat yang seperti dugaan Bapak. Justru dia bekerja di tempat Mas Aksara." Pak Arif terdiam sejenak, lalu mendengus kasar. “Itu tidak mungkin! Tapi bagaimana dengan video itu? Video itu jelas-jelas menunjukkan dia melakukan sesuat
Part 18 Dewi terdiam, terkejut dengan permintaan buliknya. "Tapi, Bulik, Geni sudah melakukan kesalahan. Dia harus menghadapi konsekuensinya." "Dia tidak bersalah, Dewi! Bulik yakin dia tidak bersalah. Dia hanya terjebak dalam situasi yang tidak adil. Tolong, pikirkan lagi, Nak. Bulik mohon," ujar Bu Wanda dengan nada penuh harap. Dewi menatap buliknya yang berlutut, rasa cemas dan bingung menyelimuti pikirannya. Belum lagi para pembeli yang menatap ke arah mereka sambil saling berbisik. "Bulik, bangunlah. Kita bicara di belakang saja," ujar Dewi. Bu Wanda menggeleng pelan. "Bulik gak akan bangun sebelum kamu mau membantu Geni. Kamu tahu kan, Geni itu satu-satunya putri Bulik, dia kehidupan Bulik, Bulik gak bisa hidup tanpa dia." "Aku tidak tahu apakah aku bisa membantu. Itu bukan keputusan yang bisa diambil secara sembarangan." "Jadi, kamu benar-benar gak mau membantu Bulik, De
Part 17bLho terus, apa yang lu lakuin di sana.""Itu dia, ceritanya cukup rumit ...." Arjuna mulai menceritakan kejadian yang baru saja di alami olehnya di toko saudara kembar."Jadi dia salah paham dikira lu yang berantakin toko dan nyakitin istri lu?""Hmmm begitulah. Suasananya gak enak banget tadi. Bener-bener bikin gue panas. Pengin marah tapi gak bisa."Rudi mengulum senyum lalu menepuk-nepuk punggung sahabatnya itu. "Lain kali saja kau coba lagi untuk bicara sama dia.""Halaaah males gue! Mungkin memang seharusnya putus hubungan saja dengan mereka. Biar bebas ...""Hei, itu tidak adil sama diri lu sendiri. Mungkin sekarang lu masih butuh waktu, gue paham itu. Tapi percaya sama gue, seiring berjalannya waktu lu akan berdamai dengan keadaan itu. Pokoknya lu jangan nyerah, Sob. Masih ada banyak jalan menuju roma.""Huuu sok iyee lu!""Hahaha, Sob, gue lagi jadi motivaror lho, harusnya lu dukung. Ud
Part 17"Ada dua kemungkinan, Mas."Aksara mengerutkan keningnya. "Apa?""Kemungkinan pertama mungkin memang hanya kebetulan, dan ini cara Allah mempertemukan kalian lagi."Aksara mengangguk. "Terus?""Kemungkinan kedua, mungkin saja dia sengaja datang dan ada sesuatu yang ingin dia bicarakan denganmu, hanya saja situasi tak mendukung. Jadi dia belum"Kamu benar, Dewi. Harusnya tadi aku tak bersikap gegabah. Tapi sekarang aku tidak tahu dimana dia tinggal."Dewi meraih tangan Aksara. "Mas, kita sholat dulu yuk. Biar pikiran kita fresh. Yang lainnya kita pikirkan nanti."Aksara mengangguk, merasakan ketenangan saat Dewi mengajaknya sholat. Setelah selesai, mereka duduk sejenak, mencoba merenungkan apa yang terjadi."Bagaimana kalau kita mencari tahu Mas Arjuna dari teman-temannya?" saran Dewi. "Mungkin mereka bisa memberi tahu di mana dia tinggal.""Ya, itu ide yang bagus," jawab Aksar
Part 16b"Mas, hentikan, Mas! Jangan pukul dia, Mas!" teriak Dewi menghampiri Aksara. Aksara berhenti sejenak, melepaskan cengkeramannya lalu menatap Dewi dengan mata yang penuh kekhawatiran. "Dewi, kau baik-baik saja? Apa dia menyakitimu?" tanyanya seraya membingkai wajah sang istri."Tidak, Mas. Dia justru menolongku. Ini semua salah paham." Arjuna masih terdiam seraya menatap Dewi, berharap ia bisa menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Suasana tegang sejenak.Aksara mengernyit, tatapannya masih tajam. "Menolongmu? Dengan membuat kekacauan di sini? Apa itu yang disebut menolong?" Dewi bersikap tenang mencoba meredakan suasana. "Mas, tolong dengarkan dulu. Dia berusaha melindungiku dari orang yang mau berbuat hal buruk padaku. Dia tidak bersalah, Mas." Aksara terdiam, mencerna kata-kata Dewi, sembari melihat kejujuran di matanya. "Benarkah?"Dewi mengangguk. "Benar, Mas. Dia datang tepat pada wakt