179Samudra mengusap kasar wajahnya.“Ratri, bagaimana kalau kita bicarakan ini nanti? Saat ini aku sedang banyak urusan.” Samudra menanggapi dengan suara selembut mungkin. Bagaimanapun, ia tidak ingin menyinggung perasaan wanita itu. Bukan salah Ratri jika sang wanita menyampaikan perihal ini, karena ia yang melamar Ratri beberapa waktu lalu dan meminta jawaban secepatnya.Samudra menatap sayu, memohon pengertian sang wanita.“Oh, maaf, saya hanya ingin menanggapi lamaran Bapak tempo hari. Saya juga hanya menjawab karena Bapak meminta jawaban dari saya secepatnya. Sesuai waktu yang Bapak berikan, dua minggu cukup bagi saya memikirkan tawaran Bapak.” Ratri terlihat sungkan. Kenapa seolah dia yang mendesak? Padahal sebelumnya Samudra yang meminta jawaban secepatnya.Samudra memejamkan matanya. Terbayang ia yang putus asa karena usia yang merangkak naik, tapi belum juga memiliki keturunan. Ia sebenarnya sudah lelah mengurusi pekerjaan, tapi pensiun dini hal yang tidak mungkin karena bel
180“Kertas itu ditulisi, bukan diremas.”Samudra melirik asistennya yang langsung menyambut dan mensejajari langkahnya menuju ruangan utama di Hanggara Enterprise ini. Ternyata, ia tidak betah lama berada di perusahaan ayah Mentari. Bukan apa-apa, rasa bersalahnya pada Ratri kian besar, sementara ia masih belum bisa memutuskan langkah yang ingin diambil.Karenanya setelah memastikan semua aman, ia segera kembali ke perusahaan keluarganya yang lebih butuh perhatian.Hamish yang kebetulan baru keluar dari ruangannya, berpapasan. Wajah sang bos yang kusut membuatnya iba.“Itu muka sudah seperti kertas yang diremas, Bos. Kusut masai.” Hamish menjawab rasa heran sang bos yang mengerutkan kening mendengar ucapannya.Samudra mengembus napas kasar sambil terus berjalan menuju ruangannya.“Apa ini karena mantan istrimu?” tanya Hamish lagi kepo. Kini mereka sudah berada di ruangan Samudra. Hamish menutup pintu dan langsung menghampiri sang bos.Tidak ada jawaban dari Samudra dan itu membuat Ha
181Mentari membuang pandangan sebelum berbalik dan masuk lagi ke dalam rumah. Tanpa sepatah kata pun, wanita itu meninggalkan pria yang masih berdiri di balik pagar.“Bu, kok, tamunya ditinggal?” Mbak Rumi yang ternyata mengejar, heboh bertanya. Wanita itu memasang tampang bingung.“Malas, Mbak. Biarin ajalah.” Mentari menjawab tanpa minat. Wanita itu terus saja berjalan menuju kamar kedua anaknya.“Kok, malas, Bu? Memangnya siapa dia? Ganteng lho tamunya, ya, walaupun sudah ada umur.” Mbak Rumi masih penasaran, membuntuti sampai Mentari duduk di sofa yang ada di kamar si kembar.“Sayang lho, Bu, tamu seganteng itu dianggurin. Jarang-jarang ada tamu ganteng datang ke sini selain Pak Bima.”Mentari mengibaskan tangan tanda jengah, sebelum fokus dengan ponselnya.“Bu ….”“Apa sih, Mbak Rum? Kalau Mbak Rum mau, ambil aja.” Mentari ketus.Kedua bola mata pengasuh itu membulat sempurna.“Beneran, Bu?” tanyanya antusias.“Ya, ambil aja.” Wajah Mentari merengut. “Lagian Mbak kok, heboh bang
182Samudra menyurukkan wajahnya di atas handle stir, saat terdengar suara-suara riang dari rumah Mentari. Tadi setelah mereka semua masuk rumah, ia memutuslan masuk ke mobilnya. Namun, tak serta-merta pergi, pria itu justru menunggu di sana hingga beberapa lama.Entah apa yang ditunggunya. Yang pasti rasanya berat meninggalkan tempat itu, terlebih ada Bima di sana. Rasa tidak rela meraja, bagaimanapun Mentari masih sah istrinya secara hukum. Mereka belum bercerai secara resmi. Lalu, anak-anak itu … mereka anak kandungnya. Lebih tidak rela menyaksikan keduanya sangat dekat dengan laki-laki itu, seolah Bima adalah ayah kandung mereka.Samudra lebih memilih menelan sakit hatinya dengan tetap berada di sana meski tahu risikonya ia semakin tersiksa menyaksikan kemesraan mereka semua.Terbukti tak lama setelah mereka masuk, Bima kembali keluar dengan membawa anak-anaknya. Mereka bermain di teras rumah yang tentu saja dapat terlihat jelas dari posisinya saat ini karena mobilnya terparkir ta
183Samudra menjatuhkan tubuhnya di depan Barra yang memandangnya tidak mengerti. Bayi laki-laki yang duduk sambil memegangi lego berbentuk mobil itu, awalnya menengadah dengan bibir mungilnya yang terbuka. Samudra membungkukkan tubuhnya agar dapat mensejajarkan wajahnya dengan wajah mungil bak miniature dirinya itu. Karena walaupun sudah duduk, tetap saja tubuhnya menjulang.Kini, tangannya terulur ingin menyentuh anak laki-laki yang terus memandanginya dengan asing. Dalam posisi seperti ini, Samudra seolah sedang bercermin. Melihat dirinya sendiri di masa puluhan tahun lalu. Anak itu, benar-benar bak duplikat dirinya.Samudra menelan ludahnya sebelum tanganya yang gemetar benar-benar menyentuh wajah anak itu. Bagai mimpi, akhirnya ia bisa sedekat ini dengan darah daging yang lama diidamkan dan lama pula tidak bersua.Tangan gemetarnya akhirnya menyentuh pipi gembil bayi laki-laki yang masih juga diam dalam ketidakmengertian. Perasaan haru tetiba menyeruak memenuhi dada seiring matan
184Mentari tertegun. Pandangnnya tak berkedip. Mulutnya sedikit terbuka. Dunia seolah berhenti berputar untuk beberapa saat.Bima menelan ludahnya untuk membasahi kerongkorang yang mendadak kemarau. Ia sangat tahu konsekuensi ini, tapi tetap ingin jujur sebelum mereka melangkah lebih jauh. Bagaimanapun, selama ini ia tersiksa menyimpan rahasia itu sendiri. Sebenarnya, sudah sejak lama ia ingin mengatakannya pada Mentari. Hanya saja ia terlalu takut. Takut Mentari membencinya dan menjauhinya.Namun, belakangan ia sudah memikirkan ini. Apalagi kini wanita itu sudah menyampaikan ingin mengurus perceraian secara resmi yang artinya lampu hijau untuknya sudah menyala. Pasalnya rahasia itu belum juga ia sampaikan.Ia tak ingin terus ada ganjalan di hatinya sebelum mereka melangkah lebih jauh. Jujur adalah keputusan yang tepat saat ini. Urusan nanti Mentari membencinya, tak apa, asalkan ia sudah menyapaikan kenyataan. Daripada nanti wanita itu mengetahui belakangan setelah mereka lebih seriu
185Bima menatap tak percaya. Matanya berkaca-kaca. Tak percaya rasanya wanita itu memaafkan dirinya. Padahal ia sengaja menyimpan lama rahasia ini karena takut Mentari membencinya.“Apa yang sudah Kakak lakukan selama ini untukku dan anak-anak, lebih dari cukup untuk menebusnya. Kebaikan Kakak lebih banyak daripada kesalahanmu. Aku bahkan berhutang terlalu banyak sama Kakak. Hutang yang mungkin nggak bisa aku bayar. Tanpa bantuan Kakak selama ini, bahkan nyawa pun mungkin aku sudah tidak punya.”“Jangan berlebihan, Dek.”“Itu kenyataannya, Kak Bim. Kakak ingat saat aku pendarahan menjelang melahirkan? Jika bukan Kakak yang cepat datang menolong, mungkin aku dan anak-anak hanya tinggal nama saja. Sekali lagi aku berhutang banyak sama Kakak. Dan disadari atau tidak, kami sudah sangat bergantung sama Kakak. Apa Kakak setega itu ninggalin kami di saat anak-anak bahkan tidak mengenal orang lain selain Kakak?”Mentari menatap nanar. Pun dengan Bima yang dadanya dipenuhi keharuan dan kebaha
186[Lusa shooting perdana film Keluarga Tak Selamanya Surga, apa kamu mau menyaksikan?]Mentari membaca pesan dari Bima di sela-sela kegiatannya mengetik novel.[Kalau mau, besok aku jemput. Pulangnya aku janji ajak kalian jalan-jalan.]Pesan kedua masuk bahkan sebelum ia membalas pesannya yang pertama.[Siapin keperluan kembar lebih banyak. Nanti aku booking hotel untuk kalian beberapa hari menginap di sini. Jangan buru-buru pulang seperti kemarin.][Izinkan aku mengajak kalian jalan-jalan dan bersenang-senang dulu di sini.]Mentari menarik napas panjang dan membuang perlahan. Satu lagi rasa haru menyeruak. Bima begitu tinggi rasa ingin membuat ia dan anak-anaknya senang, padahal laki-laki itu tak memiliki kewajiban apa pun atas dirinya dan juga si kembar.Namun, untuk saat ini fokus Mentari proses perceraian dulu. Belum memikirkan apa pun walaupun itu untuk bersenang-senang. Toh, jika nanti ia sudah bercerai dan mereka berjodoh, akan memiliki banyak waktu untuk pergi bersenang-senan
376Sore hari Nuri dikejutkan dengan kedatangan Rendra yang menjemputnya ke rumah baru mereka. Rendra meminta Nuri segera bersiap karena akan diantar ke suatu tempat. Katanya atas permintaan Bastian. Sementara Bastian sendiri tidak mengatakan apa pun, padahal waktu istirahat siang tadi mereka sempat bicara di telepon.Walaupun heran, tak ayal Nuri menurut karena sudah sangat mengenal orang kepercayaan Samudra yang dulu selalu melindungi dirinya dan Bastian itu.Rendra mengatakan ini kejutan, dan sebenarnya Bastian melarangnya untuk mengatakan lebih dulu, tapi terpaksa ia katakan karena awalnya Nuri menolak ikut. Dan benar saja, pengawal merangkap sopir itu pertama membawanya ke sebuah salon kecantikan. Di sana Nuri didandani sangat cantik. Gaun malam indah berwarna hitam membalut tubuh sintalnya. Nuri sampai pangling melihat bayangan dirinya sendiri di cermin.“Sebenarnya kita mau ke mana, Pak? Aa Bastian di mana?” tanya Nuri saat mereka sudah kembali berada di dalam mobil. Rendra memb
375Kehidupan kembali berjalan normal setelah mereka pulang ke tanah air. Mereka melanjutkan hidup masing-masing dengan tetap membawa kehangatan keluarga yang semakin terjalin erat. Waktu seminggu liburan seolah menjadi isi ulang energi agar lebih bersemangat dalam menjalani hidup yang sesungguhnya. Antusiasme efek isi ulang itu sangat berdampak dirasakan Mentari dan Samudra. Rasa cinta mereka pun bertambah berkali-kali lipat. Rasanya tidak ada lagi yang mereka inginkan dalam hidup selain tetap bersama.Pagi ini, seperti biasa Mentari mengantar suaminya yang akan berangkat ke kantor, hingga ke mobil yang menunggu di halaman. Tangannya yang mengait erat di lengan Samudra, juga kepalanya yang menyandarm anja selama berjalan hingga halaman, menandakan jika ikatan itu tak akan terpisahkan. Beberapa kecupan di wajah mentari menjadi salam perpisahan setiap kali Samudra akan berangkat ke kantor. Baginya, satu kecupan saja tidak cukup.Mentari melambaikan tangan saat mobil mulai bergerak meni
374Keesokan paginya, sinar matahari menyelinap melalui celah tirai, menerangi kamar hotel dengan cahaya keemasan. Mentari membuka matanya perlahan dan melihat Samudra masih tertidur lelap di sampingnya. Ia tersenyum kecil, merasa beruntung bisa menikmati momen ini.Perlahan, ia mengulurkan tangan, menyelipkan jemarinya di antara rambut Samudra yang acak-acakan, merasakan kelembutan helai-helainya yang sudah mulai memutih di beberapa bagian. Tanpa sadar, hatinya berdesir melihat wajah damai yang semakin hari semakin menambah kadar cintanya.Ia teringat perjalanan cinta mereka yang penuh liku—berawal dari nikah dadakan karena pergantian mempelai laki-laki, salah paham, kecurigaan, dipisahkan fitnah, hingga akhirnya berlabuh dalam cinta yang mendalam. Sekarang, mereka punya segalanya yang ia impikan: pernikahan yang harmonis, anak kembar yang lucu, dan waktu berharga berdua seperti pagi ini. Ia merasa amat bersyukur."Mas …" bisiknya penuh kelembutan, meski ia tahu suaminya belum benar-b
373“Akhirnya ….” Samudra menjatuhkan tubuhnya di atas kasur empuk berukuran besar di kamar hotelnya. Pria itu telentang dengan kedua tangan terbuka lebar dan kedua kaki menjuntai ke lantai. Entah ada keajaiban apa, tiba-tiba saja Bastian memaksa membawa si kembar ke kamarnya, katanya ingin mengajak mereka menginap di sana.Seperti mendapat durian runtuh, tentu saja Samudra merasa lega. Bagaimana tidak? Dua anaknya ingin bermain naik kuda-kudaan di punggungnya. Dua sekaligus.“Makanya, nikah jangan terlalu tua. Biar anak pas aktif-aktifnya, papanya masih strong ngajak mainnya,” ledek Mentari sambil melihat Samudra yang ngos-ngosan melayani kedua anaknya.“Kalau Mas nikah muda, pasti bukan sama kamu.”Mentari mengernyitkan keningnya.“Iya, kan? Kalau Mas nikah umur dua puluhan, pasti bukan sama kamu, karena saat itu kamu masih bau kencur. Mungkin masih ingusan. Belum bisa dinikahi.”Mentari memutar bola mata, tapi ucapan Samudra ada benarnya. Selisih usia mereka cukup jauh. Kalau Samudr
372Pagi itu, matahari Paris menyentuh lembut jendela kamar hotel tempat Nuri dan Bastian menginap. Begitu Nuri membuka jendela, aroma bunga musim semi menyeruak ke dalam kamar, membawa sensasi kebahagiaan yang sempurna.Paris di musim semi adalah lukisan hidup: pohon-pohon sakura bermekaran di taman-taman kota, bunga-bunga aneka warna menghiasi jalanan, dan angin yang sejuk membelai wajahnya, membuat wanita itu tersenyum.Nuri berbalik menghadap ranjang tempat Bastian masih terlelap. Pertarungan panas mereka tadi malam memang menyisakan kelelahan yang teramat. Pantas jika sang suami masih nyenyak. Namun, agenda hari ini padat, dan Nuri tidak mau melewatkannya.Terlebih, hari ini mereka akan menikmatinya bersama keluarga Samudra.Nuri berjalan menuju pintu, lalu keluar dan mendatangi kamar sebelah tempat Samudra dan keluarganya menginap.Ia langsung mengetuk pintu. Tidak menunggu lama, Mentari membukanya.“Hai, Nur. Sudah cantik aja, nih. Sepertinya kamu sudah siap ya, jalan-jalan.” M
371Panik, Bastian berjalan ke arah kios tempat terakhir kali ia melihat Nuri. Ia menanyakan pada beberapa orang di sekitarnya dengan menyebutkan ciri-ciri Nuri, namun tak seorang pun mengetahui istrinya.Aneh, dalam sekejap saja, Nuri hilang seolah ditelan bumi.Pikiran Bastian mulai dipenuhi kekhawatiran. Ini negara orang, dan Nuri baru ke sini. Tidak bisa bahasa Prancis maupun Inggris. Bagaimana kalau ia tersesat?Bastian memutuskan untuk menghubungi Nuri melalui ponsel, tapi panggilannya tak tersambung.“Nomornya tidak aktif,” gumamnya, merasakan kekhawatiran yang semakin besar. Ia terus mencoba, namun hasilnya tetap sama. Napasnya mulai tak beraturan, bayangan buruk terus menghantui pikirannya.Bagaimana jika Nuri diculik? Atau tersesat jauh? Ini Paris, negara yang asing bagi istrinya.Tanpa berpikir panjang, ia mulai menyusuri setiap sudut jalan, berharap bisa menemukan sosok Nuri yang entah kenapa bisa hilang secepat ini.Langkah Bastian semakin cepat, dadanya mulai terasa sesa
370Paris menyambut dua keluarga itu dengan segala pesonanya yang melegenda. Bastian, Nuri, Samudra beserta Mentari dan juga si kembar, turun dari taksi di depan hotel bergaya klasik yang berada di jantung kota.Gedung hotel itu berarsitektur ala Eropa kuno dengan detail balkon berornamen besi tempa dan jendela besar berbingkai kayu putih. Setiap sudutnya tampak seperti lukisan, begitu indah dan romantis. Paris memang terkenal dengan pesona abadinya, dan hari itu, senyum tak pernah lepas dari bibir Nuri.Wanita mungil itu langsung membulatkan mulutnya. Tak henti-henti ia mengagumi kota mode itu semenjak menginjakkan kaki di bandara Charles de Gaulle tadi.“Aa….” Nuri memekik seraya menyatukan kedua tangannya yang terkepal di depan dada. Tubuhnya sedikit membungkuk. “Kita benar-benar di Paris, ya?” tanyanya polos tanpa melihat Bastian karena pandangannya terus menyapu seluruh sudut kota.Bastian tersenyum. Pun dengan Samudra dan Mentari yang ikut mendengar. Antara bahagia yang Bastian
369Bastian mengusap wajahnya setelah mengembuskan napas berkali-kali. Laki-laki itu duduk di sofa dengan wajah menunduk, kedua siku bertumpu di atas pahanya.Suara langkah ayah dan adiknya semakin memudar di kejauhan, membawa kelegaan sekaligus kepedihan yang menyatu dalam dadanya. Rasa lelah dan berat di dadanya mulai bergulir. Ia tahu, sejak saat ini, hubungan dengan keluarga tidak akan sama lagi.Ia yakin, meski tadi sudah menjabat tangannya karena paksaan sang ayah, Andra tidak akan begitu saja melupakan semua ini. Dan Richard? Bastian sangat yakin bahwa mulai saat ini pria itu akan membatasi diri dalam memberikan kasih sayang dan perhatian padanya karena khawatir menimbulkan kecemburuan dari anaknya yang lain.Padahal Bastian sudah sangat bahagia memiliki keluarga. Siapa sangka kebahagiaannya harus diwarnai dengan drama kecemburuan dari adiknya yang berlanjut dengan percobaan merebut istrinya.Sebuah tepukan mampir di pundak Bastian. Sentuhan itu seperti jangkar yang membawanya
368Kedua tangan Bastian kembali mengepal kuat. Wajahnya yang sempat tenang kini kembali memerah dan tegang. Andai bukan karena gelengan Nuri yang menunjukkan ketakutan dan tatapan memohon dari Samudra agar ia tetap tenang, wajah Andra yang sudah babak-belur itu mungkin akan dibuatnya semakin tak berwujud.Bastian menahan napas, padahal dadanya sudah naik-turun dengan cepat."Aa..." Nuri mendekat. "Jangan dengarkan dia. Dia hanya mengada-ngada. Itu sama sekali tidak benar. Aa tahu saya hanya menyukai Aa." Wajah Nuri pucat, sorot ketakutan terpancar jelas. Tangannya meraih tangan Bastian."Saya hanya menganggapnya sebagai adik. Tidak lebih," lanjut Nuri mengiba. "Kalaupun tadi saya menemuinya, itu karena dia bilang mau pamitan sebelum ke Yogya. Kami tidak sempat bertemu sebelum kita kembali ke sini." Suara Nuri terdengar lirih dan bergetar."Sungguh, kalau saya tahu akan seperti ini, saya akan membangunkan Aa saat dia menelepon dari depan pintu. Aa, percayalah pada saya. Dia gila kalau