168Tak ada yang lebih membahagiakan bagi Mentari saat ini selain karyanya bisa dikenal luas oleh masyarakat. Jika sebelumnya karya-karyanya hanya dinikmati sebatas para penikmat fiksi yang hobi memabaca, kini beberapa langkah lebih maju. Mereka para penikmat film pun mengenal karyanya karena akan segera diangkat ke layar lebar.Tak henti-hentinya wanita itu bersyukur atas nikmat dan karunia Tuhan yang terlimpah curah padanya. Setelah segala kesakitan di masa lalu, ternyata Tuhan telah menyiapkan sesuatu yang lebih indah di depan mata.Sebagai invididu, mungkin ia gagal dalam berumah tangga. Sebagai wanita, ia gagal menjadi seorang istri. Namun, Tuhan memberinya kesuksesan di sisi lainnya.Sebagai seorang single parent, ia bisa memenuhi kebutuhan kedua anaknya. Dan sebagai seseorang yang memutuskan berkecimpung di dunia tulis-menulis, kini bahkan karyanya selangkah lagi diaplikasikan menjadi karya yang lebih luas pangsa pasarnya.Akhirnya, cita-cita tertinggi seorang penulis amatir se
169“Sudah mau pulang, Bos?” Hamish menerobos masuk ke ruangan Samudra setelah mengetuk pintunya. Tidak menunggu dipersilakan, pria seusia Samudra itu langsug masuk dengan benda pintar di tangannya.Samudra yang tengah membereskan mejanya, hanya melirik sebentar tanpa kata. Lalu berjalan keluar dari belakang mejanya.“Berita apa yang kamu bawa?” tanya Samudra sambil melirik benda di tangan Hamish. Ia tahu pasti jika asistennya itu datang membawa i-pad artinya ada berita yang ingin disampaikannya.“Banyak, Bos. Makanya jangan pulang dulu.” Hamish menyandarkan pinggulnya di meja kerja Samudra.“Aku mau pulang. Besok saja kamu sampaikan beritanya.” Samudra menjawab jengah seraya meraih tas kerja yang sudah diletakkan di atas meja.“Kenapa harus buru-buru pulang sih, Bos? Toh di rumah juga sendiri. Tidak ada anak istri yang menunggu. Tidak ada yang menyambut selain pelayan.”Samudra memejam. Asistennya itu memang sudah sangat sering menyinggung tentang statusnya yang sendiri di usia yang s
170“Bos,” panggil Hamish saat dalam waktu cukup lama atasannya itu hanya mematung dengan tatapan kosong. Ia khawatir terjadi sesuatu dengan Samudra.Samudra sendiri mengerjap dan menunduk. Kemudian mendudukkan diri di sofa. Tangannya memegang erat i-pad di tangannya. Berulang kali ia memutar video yang memperlihatkan ada Mentari di sana.Ya, ia yakin jika wanita bergaun muslimah dan berhijab hitam itu Mentari. Meski penampilannya kini sudah jauh berbeda, tetapi ia tidak mungkin salah. Itu benar-benar Mentari. Terlebih bayi laki-laki yang digendong wanita itu ….Berulang kali jari sang pria mem-pause dan meng-zoom video itu, hingga ia benar-benar yakin jika itu memang Mentari. Senyum wanita itu, gestur tubuhnya, juga tatapannya, semua masih melekat dalam ingatannya meski sudah satu setengah tahun mereka tidak bertemu.Ternyata, menghilang selama itu, membuat Mentari kini muncul lagi dengan segala kemajuan. Dari keterangan dalam video yang mungkin diambil Hamish dari sebuah situs berit
171“Di sana Bos.” Laki-laki muda yang duduk di belakang kemudi menunjuk sebuah gang kecil tepat di seberang mobil mereka.Samudra yang duduk di jok belakang memperhatikan gang sempit yang tidak akan muat mobil itu. Kendaraan roda dua pun harus berhati-hati jika melewati gang yang sepertinya hanya diperuntukan untuk pejalan kaki itu.“Jauh?” tanya Samudra singkat. Matanya masih memindai gang itu.“Lumayan, Bos. Sekitar dua ratus meter. Melewati satu pertigaan dan dua kali tikungan. Rumahnya triplek warna putih.”“Kamu yakin itu wanita yang aku maksud?”Laki-laki yang memegang kemudi itu mengeluarkan ponsel dari saku kemejanya, kemudian menyodorkan ke arah Samudra yang duduk di belakangnya.“Ini, kan?” tanya laki-laki itu menunjukkan sebuah foto wanita di layar benda pipihnya.Samudra mengangguk tanda mengiyakan. “Namanya Elma, kan?”“Tetangganya biasa memanggil Mbak Mima.”“Mima? Kamu yakin tidak salah orang?” Kening Samudra berkerut.“Aku yakin sama kinerja Doni, Bos. Tidak mungkin s
171Samudra semakin meremas rambutnya. Matanya memejam lelah. Ia lupa kalau beberapa waktu lalu telah melamar seorang wanita.Berawal karena lelah dengan hidupnya, dan takut tak memiliki keturunan sama sekali di usia yang tidak lagi muda, ia mulai memikirkan untuk move on dan menikah lagi. Umur manusia tidak ada yang tahu, jika ia meninggal dalam waktu dekat sementara belum memiliki keeturunan, siapa yang akan mengurus semua asetnya dan melanjutkan garis keturunan keluarga Hanggara?Karenanya tanpa sepengetahuan siapa pun, setelah memikirkan matang-matang, ia melamar wanita itu. Ia sadar dengan statusnya yang masih menggantung. Karenanya jika wanita itu menerima lamarannya, akan segera diurus perceraiannya secara resmi.Itu semua ia lakukan sebelum tahu ternyata Mentari melahirkan sepasang bayi kembar yang memiliki kemiripan banyak dengannya. Meski belum dapat dibuktikan jika sepasang bayi itu anak kandungnya, tapi dari fisik saja 99% mengarah ke sana.Lalu, jika sudah seperti ini mau
173“Mentari!” Samudra memanggil wanita berkerudung dan sweeter tebal yang berjalan terburu-buru menggendong bayi. Wanita itu dan wanita yang lebih tua yang sama-sama menggendong bayi, memang berjalan ke arahnya. Samudra sudah sangat yakin jika mereka akan menghentikan langkah karena sengaja ia hadang. Namun ….Samudra mengerjap dan bahkan menyurutkan langkah saat keduanya tetap berjalan menuju resepsionis. Jangankan berhenti, mereka bahkan tidak melirik dirinya sama sekali seolah ia makhluk kasat mata.Apa memang wujudnya tak terlihat? Atau ia salah orang? Karena memang wanita yang ia sangka Mentari menutup hampir sebagian wajahnya. Kerudung yang dibuat sangat turun di bagian depan dan juga masker yang menutup bibir hingga pipinya. Matanya juga tertutup kacamata gelap.Atau … apa mereka takut melihat penampilannya yang menyeramkan?Samudra mengerjap sebelum akhirnya mengejar kedua wanita yang sudah keluar dari pintu lobi.“Mentari!” Lagi ia memanggil dan mengejar. Suaranya lebih kera
174Samudra membalikkan badan dengan cepat. Padahal tangannya sudah meraih handle pintu. Tatapannya tertuju wajah wanita berpakaian lusuh. Sumpah demi apa pun kalimat wanita itu barusan mampu membuat dunianya semakin porak poranda. Ya, walaupun belum mempercayai sepenuhnya.“Kamu bicara apa?” Suara Samudra bahkan sumbang. Tak bernyawa. Sang pria berusaha meyakinkan dirinya jika pendengarannya bermasalah.Wanita berpakaian lusuh yang berdiri di samping meja, semakin menunduk ketakutan. Tapi, semua sudah terlanjur. Toh, terus menutupi kebusukan Bastian pun tidak akan menguntungkan baginya. Laki-laki itu tidak akan menolongnya atau memberikan imbalan seperti janjinya.Kalaupun kemarin menghindari Samudra, semata karena takut pria itu melaporkannya ke polisi. Bukan karena melindungi Bastian. Siapa sangka Samudra tidak melepaskannya. Dan bodohnya ia yang terperangkap trik anak buah pria itu.Berawal merasa mendapat durian runtuh karena melihat dompet berjejal uang lembaran merah di jok bel
175“Jadi, itu mantan suami Ibu?” tanya Mbak Rumi saat mobil yang membawa mereka menjauh dari hotel sudah berbaur dengan kendaraan lain di jalanan yang belum terlalu ramai.Mbak Rumi yang menggendong Bulan sejak tadi terus memperhatikan majikannya yang terus memejamkan mata. Semenjak masuk mobil, mentari terlihat gusar dengan terus menoleh ke belakang. Baru setelah mobil jauh meninggalkan hotel sang majikan terlihat agak tenang.Sejak semalam Mentari memang sudah memberitahu pengasuhnya itu agar mereka chek out sepagi mungkin. Tentu saja untuk menghindari hal seperti ini.Mentari tahu konsekuensi tampil di muka umum dengan wajah tak tertutup, juga membawa anak-anak yang notabene mewarisi kemiripan dengan Samudra. Mantan suaminya itu memiliki koneksi yang luas dan anak buah yang banyak. Apalagi dengan beberapa perusahaan di bawah kendalinya saat ini. Jika pun ia tidak melihat langsung tayangan presscon kemarin, ada banyak mata lain yang mungkin menonton. Maka, bukan tidak mungkin kemun