Serena berdiri di depan cermin kamar dengan tangan menggenggam handuk lembut berwarna biru langit, mengeringkan rambutnya yang masih basah. Kamar itu dipenuhi dengan aroma minyak esensial dari lilin yang menyala, menggabungkan kehangatan dan kedamaian. Tetapi, di balik penampilan tenangnya, Serena merasa gelombang kecemasan menyelinap ke dalam dirinya. Handuk yang ia pegang seolah menjadi beban yang lebih berat dari biasanya.Apa itu tadi yang dia lihat di ponsel Dante? Terhitung sudah 20 menit Serena termenung di depan cermin di dalam kamar mandinya. Selesai mandi tadi, Dante langsung keluar mendahului karena Serena akan mengganti baju di sana.Serena ingin mengabaikannya karena memang dia tak seharusnya melihat isi pesan seseorang secara diam diam seperti itu walau Dante adalah suaminya tapi Serena sudah terlanjut melihatnya. Dia hanya sekilas melihat nama pengiririm pesan itu tapi dia tak melihat apa isi pesannya karena Dante sudah berbalik terlebih dahulu hingga membuat Serena ter
Malam di mansion mewah itu sunyi, hanya ditemani oleh desiran lembut angin yang melintasi jendela besar dan cahaya rembulan yang menembus tirai tipis, menciptakan pola-pola lembut di lantai kamar. Serena dan Dante tidur di ranjang besar yang dilapisi sprei sutra berwarna krem, bantal-bantal empuk tertata rapi di kepala ranjang. Dante tidur nyenyak di samping Serena, napasnya teratur dan tenang. Serena sendiri tampak tidak begitu tenang, meskipun matanya tertutup rapat.Sejak beberapa jam yang lalu Serena sudah berusaha untuk tidur, dia berusaha untuk menutup matanya karena sejujurnya tubuhnya juga sangat lelah seharian ini melakukan banyal hal namun ada sesuatu yang menganggunya sejak tadi, sejak makan malam dan Serena tak bisa mengabaikan ini.Rasanya dia bisa gila jika terus seperti ini.Setelah beberapa saat bergelut dengan rasa gelisah, Serena merasa tidur tidak datang dengan mudah. Bayangan pesan yang ia lihat di ponsel Dante masih membayangi pikirannya, mengusik ketenangannya. D
Malam di mansion itu sepi, hanya diterangi oleh sinar rembulan yang menyelinap lembut melalui jendela kaca besar di kamar tidur Serena. Serena berbaring di ranjang raja yang empuk, dikelilingi oleh gorden sutra berwarna lavender dan tirai berlapis emas. Suasana di kamar begitu tenang, dipenuhi dengan aroma lavender dari lilin aromaterapi yang telah padam. Serena baru saja melihat pesan di ponsel Dante sebelum memutuskan untuk tidur, tetapi ketenangan malam membuat hatinya bergejolak. Pesan itu, meski singkat, memuat sesuatu yang mengganggu ketenangan pikirannya—sesuatu yang membuatnya tak bisa lagi menutup mata.Entah sudah berapa posisi tidur yang Serena coba sejak tadi, mulai dari menghadap Dante dan memeluknya lalu terlentang dan kembali memunggungi Dante semuanya sudah dia lakukan agar bisa terlelap dalam tidur dan bisa rileks sebentar saja tapi entah kenapa malam ini Serena benar benar kesulitan untuk tidur.Ini bukan hal yang biasa karena Serena tak lagi menderita insomnia semen
Malam itu, mansion milik Serena terasa lebih sunyi dari biasanya. Kegelapan melingkupi kamar tidur yang dipenuhi dengan furniture elegan dan warna-warna lembut. Serena baru saja berbaring di ranjang besar yang dihiasi dengan selimut sutra, setelah sempat melirik pesan yang mengganggu di ponsel suaminya, Dante. Hatinya berdebar-debar, setiap detik terasa menyesakkan karena pesan-pesan yang terus menghantuinya.Kini keduanya berhadap hadapan dalam kegelapan kamar mansion itu. bahkan dari cahaya yang remang remang ini ada kilatan amarah yang sangat jelas terpancar dari wajah Dante. Serena dapat membaca semua itu.Dante sudah menangkap basah dirinya tengah mmebaca isi pesan dari ponselnya. Serena tau itu salah dan beresiko tapi dia tetap melakukannya dan dia tak menyesal sama sekali karena di sini yang berhutang penjelsan seharusnya bukan dirinya melainkan Dante.Entahlah Serena tak tau apakah pria itu melihatnya memegang ponsel miliknya dengan jelas atau tidak karena memang Dante masih s
Serena terbangun di ruang rumah sakit yang terang benderang, suasana di sekelilingnya terasa asing dan dingin. Matanya yang baru terbuka perlahan-lahan mulai menyesuaikan diri dengan cahaya lampu yang menerangi ruangan putih bersih. Jantungnya berdebar kencang, mengingat kembali momen-momen terakhir sebelum ia pingsan. Suara Dante yang penuh kepanikan, dan kata-kata yang mengejutkan—semuanya terputar dalam pikirannya seperti rekaman yang terulang terus-menerus.Serena menatap ke arah langit langit ruangan rumah sakit mewah tempatnya berada. Serena sudah tau dia ada di rumah sakit karena memang aroma rumah sakit sangat khas. Entahlah kenapa Dante memilih membawanya ke sini tapi pasti pria itu sangat panik hingga harus membawa Serena datang ke rumah sakit, bukan menyuruh dokter yang datang ke mansion seperti biasanya.Dia menoleh ke sisi ranjangnya dan melihat Dante, suaminya, yang tampaknya tertidur dengan kepalanya tertunduk di samping ranjang. Wajah Dante terlihat lelah dan penuh kek
Serena menarik erat erat jaket kulit yang dia pakai, saat angin malam yang dingin menusuk kulitnya, mengingatkannya pada dinginnya lantai rumah sakit tempat dia dirawat selama beberapa hari terakhir. Setelah keluar dari rumah sakit, Serena langsung memutuskan untuk menuju ke mansion utama—bukan rumah yang dia tempati bersama Dante, suaminya. Dia membutuhkan ruang, keheningan, dan yang paling penting, jarak dari Dante.Langkahnya semakin cepat saat dia mendekati mansion itu. Cahaya bulan menerangi jalan setapak yang membentang seperti alur suram menuju bangunan megah di depannya. Hati Serena bergemuruh, bercampur aduk antara rasa takut dan marah. Sejak Dante menikahinya, Serena selalu merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh pria itu. Sesuatu yang jauh lebih gelap dari senyumnya yang memikat.Dan ternyata benar, cepat atau lambat kebenaran benar benar akan terungkap.Serena menatap dengan tatapan campur aduk. Sudah lama sekali sejak dia tidak menginjakkan kaki di mansion ini. Mansion
Malam itu, langit kelam dengan awan tebal menyelimuti bulan. Hawa dingin musim gugur merambat hingga ke sudut-sudut jendela besar di mansion megah itu. Serena duduk sendirian di ruang kerjanya, menatap lembaran-lembaran surat yang belum terbaca. Bunga-bunga yang dikirim Dante hampir setiap hari tergeletak di sudut ruangan, layu tanpa pernah disentuh. Hatiku keras, pikir Serena. Ia telah cukup disakiti oleh Dante, lelaki yang pernah ia percayai lebih dari siapa pun.Mereka telah hampir satu bulan pisah rumah. Serena tak pernah kembali ke mansion yang mereka tinggali bersama. Kehidupan dalam pernikahan mereka, yang pernah tampak sempurna, telah runtuh seiring dengan terungkapnya kenyataan pahit bahwa Dante, suaminya yang ke-15, adalah dalang di balik seluruh rangkaian pernikahan-pernikahan yang Serena jalani atas perintah kakeknya. Setiap langkah, setiap ikatan, semua telah direncanakan dengan rapi oleh Dante—lelaki yang seharusnya menjadi pelindung dan pendamping, tetapi ternyata hanya
Serena melangkah perlahan menuju pintu besar mansion keluarga Ambrose. Udara malam yang dingin menyelinap di antara celah-celah pakaiannya, namun dia hampir tidak merasakannya. Hatinya lebih dingin daripada malam di sekitarnya. Di dalam, dia akan bertemu dengan kakeknya, Fredrick Ambrose, seorang pria yang dihormati sekaligus ditakuti. Namun, malam ini, dia bukan hanya bertemu dengan seorang kakek, tetapi juga seseorang yang selama ini dikelabui oleh Dante, pria yang seharusnya dia percayai.Begitu pintu terbuka, Serena disambut oleh para pelayan yang dengan sopan membungkuk. Langkahnya tegas, namun ada keraguan yang mengintip di sudut matanya. Ruang makan utama sudah disiapkan dengan mewah, seperti biasa. Meja panjang berlapis kain putih, dihiasi dengan perak dan kristal yang memantulkan cahaya lilin, menciptakan suasana yang hangat namun penuh dengan kekakuan. Di ujung meja, Fredrick duduk dengan tenang, menatapnya dengan pandangan penuh arti."Serena.” Fredrick menyapa dengan suara