pov Reyhan.🌹Sejak mengenal mu aku harus memutuskan untuk banyak belajar. Belajar mencintaimu dan menjadi ibu yang baik untuk anak-anak kita kelak.***Erick maju mendekat dan mencengkeram kerah bajuku. Bersiap untuk mendaratkan pukulannya lagi.Namun aku tidak lagi membiarkan diriku menjadi samsak. Aku segera bangkit dan mendaratkan tinjuku pada pipi Erick.Buaaagh!Kena! Erick terpelanting dan nyaris menabrak kaki meja di kamar rawat inap."Ayo berdiri kamu! Kebetulan aku lagi bete banget dan ingin mendapatkan pelampiasan. Untung kamu datang, aku bisa melampiaskan kekesalanku. Ayo kita lanjutkan! Berdiri kamu!"Aku berdiri menghadap Erick dan memasang kuda-kuda. Mengulurkan tangan kananku kearahnya dengan menggerak-gerakkan keempat jariku."Awas kamu Reyhan! Kamu telah membuat Rengganisku menderita!" Erick terpancing dan seketika berdiri menghadapiku. Dia juga memasang kuda-kuda. "Berhenti kalian!"Teriakan Rengganis tidak mampu menghentikan kami untuk saling melampiaskan kekesa
pov ReyhanAku segera beranjak kearah pintu lalu membukanya perlahan. Dan aku terkejut saat mendapati di depanku ada sesosok perempuan yang sangat kukenal. "Kamu?""Ya saya. Dokter kaget?"Susan menyeringai sambil menyedekapkan kedua tangannya di depan dada dan langsung masuk ke dalam kamar Rengganis."Kamu sudah bebas dari penjara?" tanyaku lagi."Sudah. Dan saya kesini karena ingin melihat orang yang sudah membuat saya menderita dengan memasukkan saya ke dalam penjara."Kamu kesini hanya untuk mengacau saja? Tidak akan kubiarkan hal itu terjadi! Kamu pantas mendapatkan hukuman atas semua kesalahan yang telah kamu lakukan!" seruku kesal. Dia benar-benar tidak tahu malu. Setelah dipenjara karena akan menyiram Rengganis dengan air keras, sekarang dia dengan pongahnya berdiri di sini tanpa tahu apa tujuannya."Dokter Reyhan, apa Anda tahu, setelah saya keluar dari penjara, saya kesulitan mencari jodoh dan mencari kerja karena STR saya dicabut." Susan menjeda kalimatnya sambil memandang
pov Reyhan."Waalaikumsalam, Rey, kamu dimana? Rengganis baru saja menghabiskan infus kemonya dan kini tidak sadarkan diri."Aku terbelalak dan terkejut."Astaghfirullah!""Ada apa Rey?" tanya dokter Santosa menatapku dengan pandangan khawatir."Istri saya, Dok. Tidak sadarkan diri pasca kemoterapi hari kedua," tukasku lirih. Hatiku berdentam-dentam hebat.'Ya Allah, mana yang lebih baik, aku melihatnya sekarat tanpa terapi atau aku melihatnya sekarat setelah aku berusaha mengobatinya.'"Rey, sekarang kamu jenguk dulu istrimu. Mumpung tidak ada pasienkan?"Aku memandang ke arah dokter Santosa."Baik Dok, terima kasih. Walaupun istri saya sakit, tapi saya tetap akan melakukan pekerjaan saya dengan profesional.'Akupun berpamitan pada dokter Santosa dan hampir berlari menuju ruangan Rengganis. "Istri dokter Reyhan langsung dipindahkan oleh dokter onkologi ke ICU," tukas seorang perawat yang sedang membersihkan bekas infus dan obat-obatan di kamar Rengganis.Aku tercekat dan segera berg
pov Reyhan 🌹Aku bisa mencintaimu, karena kamu bisa mencintai diriku apa adanya. Padahal aku sendiri belum bisa mencintai segala kekuranganku.***Aku menangis terisak dan mengarahkan telapak tangan Rengganis ke pipiku.Lama kelamaan, aku merasa jemari kurusnya bergerak di pipiku.Dan diantara air mata yang menderas, aku melihat mata Rengganis yang terbuka dan memandangku penuh rindu."Ya Allah, Rengganis! Kamu sadar sayang?!"Rengganis mengerjapkan mata perlahan. "Mas ...,"Hanya itu yang terucap dari bibir keringnya. "Sayang, Mas akan memanggil dokter Reva." Aku menciumi tangan Rengganis penuh syukur. Rengganis mengangguk perlahan. Aku segera bergegas keluar untuk mencari perawat agar memberikan kabar pada dokter Reva dan memberi tahu pada anak-anak kami bahwa mama mereka telah sadar.***"Saturasi oksigennya stabil pada angka 98, tensi normal. Kita pindah ke ruangan VIP lagi sore ini. Alat respirasinya juga sudah dilepas. Jadi yang terpasang hanya kanule oksigen, infus dan DC."
Cahaya matahari menerobos dari jendela kamar Rengganis dan Reyhan yang masih terkunci dan tertutup tirainya. Deru AC yang dingin membuat Rengganis mengeratkan selimutnya lagi di tubuhnya yang polos tanpa sehelai benang. Rengganis merasakan sebuah sentuhan lembut membelai pipinya. Rengganis yang sebenarnya merasakan sentuhan itu pura-pura masih tidur untuk menikmatinya lebih lama lagi. Lalu Rengganis mendengar suara gerak tubuh mendekat ke arahnya. "I love you Sayang. Welcome back in our world."Lalu perlahan dirasakannya ciuman lembut di dahinya, hidungnya, pipinya, dan mengulum bibir tipisnya. "Hm ...."Rengganis melenguh menikmati ciuman sang suami. "Kalau masih ngantuk, nggak usah bangun. Aku masih ingin mencumbuimu," kata Reyhan sambil terus mencium bibir dan turun ke leher sang istri.Rengganis terkikik geli lalu membuka mata. "Kamu genit, Sayang," bisiknya pada sang suami yang mulai membelai tubuh sang istri. "Tapi kamu suka kan? Aku cuma bahagia sekali karena kamu telah m
Reyhan terdiam sejenak, lalu menjawab, "Dokter Syarif terimakasih atas tawarannya, tapi saya perlu mengkomunikasikan dengan istri saya dan keluarga terlebih dahulu. Bagaimana Dok?""Boleh. Memang harus dimusyawarahkan dulu. Kalau bisa keputusannya dalam waktu seminggu ini.""Baiklah. Nanti pasti akan saya kabari, Dokter. Terimakasih telah merekomendasikan saya.""Sama-sama Dokter. Semoga Dokter bisa memutuskan dengan bijak."Akhirnya Reyhan mengakhiri telepon setelah mengucap salam.Rengganis memandangi Reyhan. "Sayang, tadi telepon dari dokter Syarif kan?" tanya Rengganis.Reyhan mengangguk. "Iya. Sayang. Kamu tadi sudah dengar sendiri kan apa yang dikatakan oleh beliau?" tanya Reyhan menggenggam tangan sang istri. Rengganis mengangguk. "Bagaimana menurutmu, Yang?" tanya Reyhan. Jujur saja dulu dia sangat ingin bisa menempuh pendidikan dokter spesialis setelah lulus ujian ASN. Tapi sekarang, setelah Rengganis hampir kehilangan nyawa, Reyhan hanya ingin berada di dekat istrinya."Ak
"Lama banget kita nggak ketemu, Tam!" Seru Reyhan."Eh, iya. Kamu kok di sini?" tanya Tamara."Aku kuliah lagi. Ambil spesialis obsgyn. Kalau kamu ngapain di sini?" tanya Reyhan balik. "Aku lagi kuliah juga. Ambil obsgyn juga," sahut Tamara tampak bahagia setelah bertemu dengan Reyhan. Cinta pertamanya dulu saat SMA. "Kamu di sini sama siapa?" tanya Tamara sambil menengok ke belakang punggung Reyhan. Menyangka akan melihat wajah keluarga Reyhan. "Aku sendirian. Anak istriku di rumah. Baru datang pagi tadi. Sekalian langsung nyari kontrakan.""Wah, gitu ya. Sama dong. Aku juga sendirian di kota ini. Bedanya aku kos. Eh, bagaimana kalau kita makan bersama. Kamu belum makan kan?" tanya Tamara. "Belum. Boleh juga usul kamu. Yuk, makan. Karena ini pertemuan pertama kita, biar aku yang traktir," kata Reyhan tersenyum. "Hm, boleh juga."Tamara masuk ke dalam warung untuk mengikuti Reyhan duduk di dalamnya."Kamu mau pesan apa Tam?" tanya Reyhan yang melihat Tamara kebingungan menatap bu
Tamara langsung berdiri. Tapi dia segera sadar kalau Reyhan yang sedang menelepon istrinya ada di dekatnya. Tamara ingin menunjukkan citranya yang lembut dan ramah. "Mbak, maaf Mbak. Saya tidak sengaja. Saya ganti dulu pesanannya," sahut pramusaji dengan wajah penuh rasa bersalah. Tamara mencoba tersenyum walaupun hatinya terasa panas. Baju yang baru dibelinya dari toko langganan harus basah kuyup. Tamara pura-pura menarik tisu dan menempelkannya ke bajunya yang basah. "Oh ya Mbak. Nggak apa-apa. Lain kali hati-hati," sahut Tamara lalu segera duduk kembali. Reyhan dan Rengganis yang sedang melihat peristiwa itu melalui ponsel tampak khawatir."Bajumu basah mbak Tamara," kata Rengganis. "Enggak apa-apa Mbak. Nanti bisa dicuci," sahut Tamara tersenyum."Baiklah, Yang. Kami makan dulu. Kamu juga jangan lupa makan dan jaga kesehatan. Salam untuk anak-anak, mama dan bunda," kata Reyhan lalu mengakhiri panggilan setelah mengucap salam. "Ayo makan dulu, Tam," ajak Reyhan lalu mencuci
"Akhirnya kamu besok wisuda, Mas," ucap Rengganis sambil melingkarkan tangan ke pinggang sang suami. Reyhan tersenyum. "Alhamdulillah semua proses PPDS berlangsung lancar. Walaupun pada awalnya ada kendala.""Hm, iya Sayang. Sebenarnya kemarin aku sudah hopeless tentang kelancaran PPDS kamu.""Aku tahu. Pasti karena Tamara. Iya kan?"Rengganis mengangguk. "Dan atas perantara kita, Tamara bisa berbaikan kembali dengan Bapaknya.""Iya. Aku juga tidak menyangka.""Apa rencana kamu kedepannya Mas?""Rencana jangka panjang atau jangka pendek?" tanya Reyhan sambil mulai memegangi bibir Rengganis."Jangka panjang dong."Reyhan berpikir sejenak. "Tidak ada rencana."Rengganis tergelak. "Kok bisa tidak ada rencana?""Aku hanya perlu kembali ke RSUD dan bekerja dengan rajin di sana. Terus mau apalagi?" tanya Reyhan balik. "Kali aja mau bikin tempat praktek di rumah."Reyhan menggeleng. "Enggak. Aku kerja di luar rumah saja. Kalau di rumah, waktunya happy happy dengan istri," jawab Reyhan menc
Teman-teman Doni terpaku mendengarkan penjelasan dokter sampai selesai tanpa bisa mengucapkan sepatah katapun. "Jadi itu saja informasi yang perlu saya sampaikan. Kalau ada pertanyaan, bisa bertanya pada para suster. Saya permisi dulu karena masih harus visite dengan beberapa pasien lain.""Terimakasih Dokter."Dokter keluar dari ruangan konsultasi dan disusul oleh Doni dan kedua orang tua Nita."Loh, kalian kok di sini?" tanya Doni panik. Begitu pula ekspresi wajah Dewi dan suaminya. Teman-teman Doni hanya terpaku tanpa bisa menanggapi. "Kami ...,""Om mau bicara dengan kalian berlima. Bisa kita bicara sebentar?" tanya suami Dewi. Teman-teman Doni mengangguk. Lalu mengikuti langkah ayah Nita tersebut hingga sampai di depan ruang bersalin. Ayah Nita lalu duduk di kursi keluarga pasien dan memandang semua teman-teman Nita."Kalian sudah mendengar apa kata dokter sewaktu ada di ruangan tadi kan?" tanya ayah Nita. Kelima orang teman Nita hanya bisa terdiam."Saya tahu kalian sudah
Dewi dan suaminya menoleh. "Bagus deh. Kalau begitu ayo ikut kami ke PMI," ujar suami Dewi sambil berjalan mendahului Dewi dan Doni. "Tunggu. Ini surat pengantar untuk pengambilan darah." Suster itu memberikan selembar amplop putih kepada Doni. Doni menerima amplop tersebut dan mengejar suami Dewi."Om. Naik mobil saya saja. Saya bawa mobil."Suami Dewi menghentikan langkah dan membalikkan badan lalu menatap Doni. "Kamu sepertinya belum genap berusia 17 tahun. Bagaimana mungkin kamu sudah boleh membawa mobil oleh orang tua kamu di jalan raya? Kamu juga pasti belum punya SIM.""Ya, saya mengendarai mobil di jalan yang sepi Om. Agar tidak ketahuan oleh polisi.""Kalau begitu, mana mobil kamu. Biar Om saja yang menyetir. Mobil Om baru saja dijual untuk modal usaha baru Om.""Kalau saya boleh tahu, usaha baru Om apa ya?" tanya Doni sambil menyerahkan kunci mobil milik ayahnya. "Kafe dan resto," sahut suami Dewi.Doni terdiam tanpa menanggapi. Dewi dan suaminya pun juga malas untuk basa
Dewi mengangguk dengan takut-takut. "Astaga, aku harus meminta pertanggungjawaban padanya. Walaupun aku miskin dan tidak sekaya dokter itu, aku nggak akan sanggup melihat anakku terbaring lemah tidak berdaya."Ayah dari Nita segera menuju ke arah pintu masuk UGD. "Tunggu Yah. Apa yang akan kamu lakukan?! Dokter Tamara sedang berusaha menyelamatkan anak kita. Jangan ganggu fokusnya!""Aarrgh!"Ayah Tamara meninju tembok di luar UGD lalu duduk di kursi penunggu. Kedua tangannya menangkup wajah diiringi helaan nafas panjang bernada frustasi."Kita tidak bisa hanya diam saja dan menunggu Wi. Paling tidak, kita harus memaksa anak itu bertanggung jawab. Kenapa kamu tidak bilang dari awal kalau Nita hamil?"Dewi menunduk. "Maafkan aku Mas. Aku juga baru tahu kalau Nita hamil setelah kemarin Nita memberi tahu bahwa pacarnya akan datang untuk membahas kehamilannya. Tapi aku terkejut karena ternyata yang datang adalah anak dari ayah tiriku.""Astaga!! Kenapa jadi seperti ini? Jadi Tamara itu s
"Hahaha. Aku juga nggak sudi mempunyai menantu seperti anak kamu. Tidak bermoral. Makanya jadi cewek jangan terlalu murah. Sekarang bisa merasakan akibatnya kan? Perempuan masih sekolah saja kok mainan burung. Ya hamil lah! Makanya jadi perempuan jangan terlalu bodoh," kata Tamara memanas-manasi."Hei, apa kamu bilang? Keterlaluan kamu ya!" seru Dewi meringsek ke hadapan Tamara lalu mengacungkan tangannya tinggi-tinggi dan langsung mengayunkannya ke pipi Tamara.Tamara yang sudah siap dan sudah memprediksi serangan yang akan ditujukan padanya segera menangkis dan menangkap tangan Dewi. "Hei ngaca kalau mau menyerang orang. Di masa lalu kamu dan ibumu membuat ibu dan adikku mati dan hidupku sangat menderita seperti di neraka. Ini adalah hukuman kamu! Paham?!" seru Tamara sambil menghempaskan tangan Dewi. Begitu tangannya terlepas, Dewi menghambur ke arah Tamara dan dengan cepat menjambak rambut dokter itu. Tamara yang tidak siapa, tidak memprediksi serangan kedua merasa kesakitan ka
Ponsel Doni meluncur jatuh ke lantai kamar rawat inap. "Astaga!" seru Tamara kaget. Dengan segera dia mengambil ponsel anaknya dan memeriksanya. Tamara masih beruntung karena ponsel Doni tidak jatuh terlalu tinggi. "Syukurlah tidak pecah," ucap Tamara lirih. Dia lalu mengambil ponsel Doni yang tadi tidak sengaja dijatuhkannya.Dan beberapa pesan whatsapp datang beruntun memenuhi ponsel Doni.[Don. Ini Nita. Kamu harus tanggung jawab!][Don, kenapa kamu memblokir nomorku?][Don, tepati janjimu, atau aku akan mengadukanmu pada orangtuamu yang kaya raya itu][Don! Awas kamu ya. Kalau sampai membiarkan aku menanggung kehamilanku seorang diri, aku akan menemui Mamamu yang seorang dokter. Atau memviralkan perbuatan kamu!]Lalu beberapa panggilan video yang dibiarkan oleh Tamara tanpa diterimanya. Hati Tamara mencelos. Dia kecewa sekali. Bagaimana mungkin anak tunggal yang selalu dibanggakannya berani menorehkan kotoran ke mukanya. Tapi Tamara tahu, bahwa dia ikut andil dalam pembentukan
Tamara memandang ke arah Doni dengan antusias. "Tentu saja kamu boleh menjenguk serta mengenal kakek kamu. Bahkan Mama sangat berharap kamu mau menemani kakek karena kakek sekarang sudah hidup sebatang kara.""Wah, syukurlah kalau begitu. Doni juga ingin meminta maaf pada Kakek. Doni sungguh-sungguh tidak sengaja menabrak kakek."Tamara memajukan badannya dan menumpukan kedua siku pada meja kayu di kantin."Coba sekarang kamu cerita ke Mama. Kenapa kamu bisa keluar rumah memakai mobil Papa?" tanya Tamara. "Sejak Mama dan Papa bercerai, sebenarnya Doni kesepian. Biasanya kan seminggu sekali saat Doni libur sekolah, Doni pulang ke rumah Papa karena akan jalan-jalan sama Mama. Tapi sejak Mama nggak ada, Papa menjadi berubah. Sering keluar rumah, jarang tidur di rumah kata para Mbok, sehingga Doni juga kesepian.Sementara itu, Doni memang jarang ke rumah Mama, karena Doni tidak mau mengganggu proses kuliah Mama. Terakhir Doni pulang ke rumah, kata Mbok Sri, Papa pamit keluar negeri sudah
"Ba-pak?" Dengan kelu Tamara mengucapkan kata itu. Karena sebenarnya dia ingin memaki-maki lelaki tua itu tapi malu karena banyak perawat UGD di sana."Tamara? Kamu menjadi dokter, Nak?" tanya Rama. Rasa sakit di kakinya seolah hilang karena melihat anaknya dalam balutan jas putih. Tamara terpaku melihat kaki kanan ayahnya yang tampang miring itu. Kemungkinan besar terdapat close fraktur tulang tibia. Tamara menghela nafas kasar dan dia langsung keluar dari ruangan tempat Rama berbaring. Dengan hati berdebar kencang dan mata berembun, Tamara duduk di belakang meja UGD dan kedua tangannya saling meremas."Dokter, pasiennya KLL*nya kapan akan dikonsulkan ke dokter bedah tulang?" tanya salah seorang perawat mengagetkannya. Tamara mendongak. Hatinya berperang dengan hebat.'Biarkan saja laki-laki tak berguna itu sekarat. Kamu sudah kenyang menderita karena dia kan? Menderita dalam mencari uang, menderita saat dibully, menderita saat melihat adik dan ibu kamu meregang nyawa. Biarkan saj
Tamara mendelik melihat laki-laki setengah abad yang berdiri di hadapannya adalah orang yang seharusnya bertanggung jawab pada hidupnya justru merupakan orang yang paling membuat hidup Tamara dan ibunya sangat menderita. "Tamara, ini Ayah, Nak. Apa kamu lupa?"Tamara menyedekapkan kedua tangannya. "Hm, tentu saja aku tidak akan pernah melupakanmu Yah," sahut Tamara sambil memandang ayahnya tajam."Alhamdulillah, kalau masih inget sama Ayah. Kamu sudah sukses ya Tam. Apa kamu sudah berkeluarga?" tanya Ayah Tamara antusias dengan masih berdiri di depan pintu. Tamara mengangkat satu alisnya. "Kemana saja kamu selama ini? Apa kamu tahu penderitaan aku dan ibu setelah kamu minggat bersama pelacur itu?" tanya Tamara kesal. Rama menelan ludah dengan susah payah. "Maafkan Bapak Nduk. Bapak sangat menyesal dengan apa yang dulu Bapak lakukan. Makanya Bapak kesini untuk meminta maaf padamu.""Enak saja meminta maaf. Setelah kamu minggat, ibu pontang panting kerja menjadi buruh cuci dari rumah