Tamara langsung berdiri. Tapi dia segera sadar kalau Reyhan yang sedang menelepon istrinya ada di dekatnya. Tamara ingin menunjukkan citranya yang lembut dan ramah. "Mbak, maaf Mbak. Saya tidak sengaja. Saya ganti dulu pesanannya," sahut pramusaji dengan wajah penuh rasa bersalah. Tamara mencoba tersenyum walaupun hatinya terasa panas. Baju yang baru dibelinya dari toko langganan harus basah kuyup. Tamara pura-pura menarik tisu dan menempelkannya ke bajunya yang basah. "Oh ya Mbak. Nggak apa-apa. Lain kali hati-hati," sahut Tamara lalu segera duduk kembali. Reyhan dan Rengganis yang sedang melihat peristiwa itu melalui ponsel tampak khawatir."Bajumu basah mbak Tamara," kata Rengganis. "Enggak apa-apa Mbak. Nanti bisa dicuci," sahut Tamara tersenyum."Baiklah, Yang. Kami makan dulu. Kamu juga jangan lupa makan dan jaga kesehatan. Salam untuk anak-anak, mama dan bunda," kata Reyhan lalu mengakhiri panggilan setelah mengucap salam. "Ayo makan dulu, Tam," ajak Reyhan lalu mencuci
Tamara pulang ke rumah dalam keadaan berbunga-bunga. Setelah memarkirkan mobil di garasi, dengan langkah perlahan, Tamara membuka kunci pintu depan rumahnya. Berharap bahwa suaminya sudah tidur. Di tangan kanan dan kirinya terpegang sejumlah tas karena setelah makan malam dengan Reyhan, Tamara belanja baju terlebih dahulu sekalian jalan-jalan di mall karena bajunya yang basah tersiram es teh oleh pramusaji warung penyetan tadi.Dengan langkah mengendap-endap, dia memasuki kamar tidurnya. Sebenarnya dia merasa bersalah karena membohongi Reyhan. Tamara bilang bahwa dia kos dan rumahnya berjarak satu jam dari kampus. Tapi kenyataannya rumah suami Tamara hanya berjarak 20 menit dari kampus. Tamara hanya ingin mampir ke kontrakan Reyhan dan membuat pemuda itu tidak sungkan padanya karena memikirkan suami Tamara.Klik.Tamara dengan perlahan menutup pintu kamar. Dan dengan berjingkat mendekat kearah ranjangnya. Springbed super besar. Tampak di bawah temaram lampu tidur, sesosok tubuh ber
Swift putih yang dikendarai Tamara memasuki pelataran parkiran Rumah Sakit Medika Sehat.Tamara turun dari mobilnya dan matanya berbinar saat melihat avanza hitam milik Reyhan sudah parkir di tempat parkir rumah sakit.Tamara segera bergegas masuk ke dalam poli untuk meletakkan tasnya dan kemudian mengikuti apel pagi dengan karyawan rumah sakit yang lain. Matanya tak lepas dari sosok Reyhan yang baginya tampak sangat mempesona."Tunggu saja Rey. Aku akan membuatmu berpaling dari istri kurusmu itu."***"Halo, Pak Handoko, Bu Tamara ke Rumah Sakit Medika Sehat, dan sekarang masuk ke dalam. Apa yang harus saya lakukan?" tanya Dani, asisten Handoko.Handoko berpikir sejenak. "Ikuti Tamara ke dalam rumah sakit. Kalau ada laki-laki yang ngobrol dengannya, kabari saya.""Baik Pak."Dani memutuskan sambungan telepon selulernya, mengenakan topi dan masker lalu beranjak masuk ke dalam rumah sakit. Dani membaca penunjuk arah yang tergantung di langit-langit koridor. Dia memang baru pertama ka
Tamara menyeringai kesakitan. "Lepasin Pa. Kamu menyakitiku!" Seru Tamara. "Enggak. Jawab dulu. Siapa laki-laki ini? Apa dia yang membuatmu ingin bercerai dariku? Apa kurangnya aku daripada dia? Pasti aku yang lebih kaya!"Tamara berpikir cepat. 'Jika aku mengakui Reyhan sebagai selingkuhan, bisa saja Reyhan dalam bahaya karena perbuatan Handoko. Tapi jika aku tidak mengakui tentang Reyhan, Handoko bahkan memiliki lebih dari satu bukti.""Kenapa diam? Bahkan hari ini kamu mengikuti pemuda itu ke rumahnya kan? Tidak ada yang bisa menghalangiku untuk menyelidiki apa yang kamu lakukan seharian ini."Tamara bertambah terkejut. Segera dilepaskannya masker yang menutupi wajahnya. "Dia hanya rekan kerja dan teman satu SMA. Kami bertemu karena dia juga menjalani PPDS di rumah sakit dan kampus yang sama. Apa salahnya kalau kami saling mengobrol saja dan aku ingin mengetahui kontrakannya? Jangan terlalu buruk sangka. Aku mau berpisah denganmu karena semakin lama aku merasa kamu sudah semakin
Rengganis mengarah kan ponselnya pada penampilan Tamara. Lalu memotretnya beberapa kali. Tamara dan Reyhan yang terkejut dengan tindakan Rengganis yang di luar perkiraan hanya bisa terpaku. Kemudian Rengganis menoleh pada ketiga buah hatinya. "Bian, tolong ajak kedua adik kamu ke dalam kamar dulu ya. Kemarin kata Papa di rumah ini ada tiga kamar. Kalian bawa tenda lipat kan? Pilih salah satu kamar yang paling besar dan bikin tenda nya di sana. Papa sama Mama mau ada perlu dengan Tante ini," pinta Rengganis pada Fabian."Iya Ma."Fabian lalu menggiring kedua adiknya ke dalam rumah seperti perintah Rengganis. "Nama kamu Tamara kan? Apa yang kamu lakukan di kontrakan suami saya?" tanya Rengganis sambil memandang mata Tamara tajam. "Aku ... Aku ....,""Tunggu sebentar. Mari kita bicarakan di dalam kontrakan dulu. Hal ini harus clear. Atau kamu mau foto kamu yang amburadul ini saya berikan pada pihak kampus dan kantor polisi. Apa kamu tidak tahu bahwa sekarang ada pasal yang bisa menjer
Rengganis terpesona memandang aneka CCTV yang dijual di toko tersebut. Ada yang berbentuk beruang, pena, dan bohlam. Sebenarnya ada banyak sekali CCTV tapi dalam bentuk kamera pada umumnya. Perlahan tangan Rengganis menyisir berbagai macam bentuk CCTV tersebut. Dan setelah menimbang-nimbang sejenak, Rengganis memilih 3 CCTV berbentuk bohlam dan satu CCTV berbentuk pena. Setelah membayar belanjaannya dan mendengarkan cara mengkoneksikan CCTV ke Hpnya dari sang penjual, Rengganis dengan tersenyum puas pulang ke kontrakan Reyhan lagi. Rengganis baru saja menutup pintu dan melihat ketiga anaknya yang masih tertidur. Jarum jam masih menunjuk ke angka 9. Memang masih pagi. Sejak semalam, ketiga anaknya memang tidur larut karena merasa rindu dengan sang ayah. Rengganis sempat mendengar ayah beranak itu berteriak-teriak karena menonton film horor di laptop Reyhan. Tapi Rengganis yang tidak suka film horor memutuskan untuk tidur lebih awal. Dan akhirnya setelah subuh, karena masih menga
Reyhan baru saja merebahkan diri di kamar khusus yang disediakan untuk residence saat ponselnya bergetar. Reyhan mengerutkan kening saat membaca nama penelepon itu. Tamara. Berulang kali Reyhan menekan tombol merah di layar ponselnya. Tapi rupanya Tamara tidak menyerah. [Tolong temui aku malam ini. Tadi aku mencarimu saat operan dines, tapi kamu tidak ketemu. Aku hanya ingin meminta maaf secara resmi.]Reyhan mengerutkan dahi membaca pesan whatsapp dari Tamara. Sebenarnya ada rasa tidak enak jika dia mengacuhkan teman saat SMAnya itu. Tapi dia juga ingin menjaga kepercayaan Rengganis.Reyhan segera memasukkan pena pemberian istirnya ke saku depan kemejanya. Lalu dengan melepaskan jas putihnya, Reyhan meninggalkan kamar dan segera menuju ke luar UGD. [Oke. Kalau mau telepon, telepon saja.]Pesan Reyhan langsung centang biru dan tak lama kemudian Tamara langsung meneleponnya. "Rey, kamu dimana? Aku ingin bertemu sebentar saja sekarang.""Aku di depan UGD. Aku tunggu sekarang. Kalau
Reyhan baru saja tiba di kafetaria Gardenia dan langsung menuju ke meja resepsionis. "Reservasi meja nomor 23, dimana?" tanya Reyhan pada sang resepsionis."Oh, pak Reyhan ya? Meja nomor 23 di pojok ruangan dekat jendela. Sudah ada lembar menu di meja. Bisa langsung order makanan dan minuman ya," sahut resepsionis kafe ramah. Reyhan mendekat ke arah meja nomor 23. Dan seketika laki-laki yang duduk dan sedang membaca menu di atas meja mendongak ke arah Reyhan."Dokter Reyhan?" tanya Handoko sambil mengulurkan tangannya dan tersenyum ke arah lawan bicaranya."Iya." Reyhan menjabat tangan laki-laki di hadapannya. "Silakan duduk dan memesan menu," tawar Handoko. "Saya lelah dan ingin segera pulang karena baru saja pulang dinas. Jadi tolong segera sampaikan pointnya saja," sahut Reyhan tegas. Handoko tersenyum dan memindai Reyhan."Apa yang telah Tamara lakukan terhadap Dokter?" tanya Handoko lagi. Reyhan menatap Handoko lalu menghembuskan nafas kasar. "Hm, awalnya saya tidak ingin
"Akhirnya kamu besok wisuda, Mas," ucap Rengganis sambil melingkarkan tangan ke pinggang sang suami. Reyhan tersenyum. "Alhamdulillah semua proses PPDS berlangsung lancar. Walaupun pada awalnya ada kendala.""Hm, iya Sayang. Sebenarnya kemarin aku sudah hopeless tentang kelancaran PPDS kamu.""Aku tahu. Pasti karena Tamara. Iya kan?"Rengganis mengangguk. "Dan atas perantara kita, Tamara bisa berbaikan kembali dengan Bapaknya.""Iya. Aku juga tidak menyangka.""Apa rencana kamu kedepannya Mas?""Rencana jangka panjang atau jangka pendek?" tanya Reyhan sambil mulai memegangi bibir Rengganis."Jangka panjang dong."Reyhan berpikir sejenak. "Tidak ada rencana."Rengganis tergelak. "Kok bisa tidak ada rencana?""Aku hanya perlu kembali ke RSUD dan bekerja dengan rajin di sana. Terus mau apalagi?" tanya Reyhan balik. "Kali aja mau bikin tempat praktek di rumah."Reyhan menggeleng. "Enggak. Aku kerja di luar rumah saja. Kalau di rumah, waktunya happy happy dengan istri," jawab Reyhan menc
Teman-teman Doni terpaku mendengarkan penjelasan dokter sampai selesai tanpa bisa mengucapkan sepatah katapun. "Jadi itu saja informasi yang perlu saya sampaikan. Kalau ada pertanyaan, bisa bertanya pada para suster. Saya permisi dulu karena masih harus visite dengan beberapa pasien lain.""Terimakasih Dokter."Dokter keluar dari ruangan konsultasi dan disusul oleh Doni dan kedua orang tua Nita."Loh, kalian kok di sini?" tanya Doni panik. Begitu pula ekspresi wajah Dewi dan suaminya. Teman-teman Doni hanya terpaku tanpa bisa menanggapi. "Kami ...,""Om mau bicara dengan kalian berlima. Bisa kita bicara sebentar?" tanya suami Dewi. Teman-teman Doni mengangguk. Lalu mengikuti langkah ayah Nita tersebut hingga sampai di depan ruang bersalin. Ayah Nita lalu duduk di kursi keluarga pasien dan memandang semua teman-teman Nita."Kalian sudah mendengar apa kata dokter sewaktu ada di ruangan tadi kan?" tanya ayah Nita. Kelima orang teman Nita hanya bisa terdiam."Saya tahu kalian sudah
Dewi dan suaminya menoleh. "Bagus deh. Kalau begitu ayo ikut kami ke PMI," ujar suami Dewi sambil berjalan mendahului Dewi dan Doni. "Tunggu. Ini surat pengantar untuk pengambilan darah." Suster itu memberikan selembar amplop putih kepada Doni. Doni menerima amplop tersebut dan mengejar suami Dewi."Om. Naik mobil saya saja. Saya bawa mobil."Suami Dewi menghentikan langkah dan membalikkan badan lalu menatap Doni. "Kamu sepertinya belum genap berusia 17 tahun. Bagaimana mungkin kamu sudah boleh membawa mobil oleh orang tua kamu di jalan raya? Kamu juga pasti belum punya SIM.""Ya, saya mengendarai mobil di jalan yang sepi Om. Agar tidak ketahuan oleh polisi.""Kalau begitu, mana mobil kamu. Biar Om saja yang menyetir. Mobil Om baru saja dijual untuk modal usaha baru Om.""Kalau saya boleh tahu, usaha baru Om apa ya?" tanya Doni sambil menyerahkan kunci mobil milik ayahnya. "Kafe dan resto," sahut suami Dewi.Doni terdiam tanpa menanggapi. Dewi dan suaminya pun juga malas untuk basa
Dewi mengangguk dengan takut-takut. "Astaga, aku harus meminta pertanggungjawaban padanya. Walaupun aku miskin dan tidak sekaya dokter itu, aku nggak akan sanggup melihat anakku terbaring lemah tidak berdaya."Ayah dari Nita segera menuju ke arah pintu masuk UGD. "Tunggu Yah. Apa yang akan kamu lakukan?! Dokter Tamara sedang berusaha menyelamatkan anak kita. Jangan ganggu fokusnya!""Aarrgh!"Ayah Tamara meninju tembok di luar UGD lalu duduk di kursi penunggu. Kedua tangannya menangkup wajah diiringi helaan nafas panjang bernada frustasi."Kita tidak bisa hanya diam saja dan menunggu Wi. Paling tidak, kita harus memaksa anak itu bertanggung jawab. Kenapa kamu tidak bilang dari awal kalau Nita hamil?"Dewi menunduk. "Maafkan aku Mas. Aku juga baru tahu kalau Nita hamil setelah kemarin Nita memberi tahu bahwa pacarnya akan datang untuk membahas kehamilannya. Tapi aku terkejut karena ternyata yang datang adalah anak dari ayah tiriku.""Astaga!! Kenapa jadi seperti ini? Jadi Tamara itu s
"Hahaha. Aku juga nggak sudi mempunyai menantu seperti anak kamu. Tidak bermoral. Makanya jadi cewek jangan terlalu murah. Sekarang bisa merasakan akibatnya kan? Perempuan masih sekolah saja kok mainan burung. Ya hamil lah! Makanya jadi perempuan jangan terlalu bodoh," kata Tamara memanas-manasi."Hei, apa kamu bilang? Keterlaluan kamu ya!" seru Dewi meringsek ke hadapan Tamara lalu mengacungkan tangannya tinggi-tinggi dan langsung mengayunkannya ke pipi Tamara.Tamara yang sudah siap dan sudah memprediksi serangan yang akan ditujukan padanya segera menangkis dan menangkap tangan Dewi. "Hei ngaca kalau mau menyerang orang. Di masa lalu kamu dan ibumu membuat ibu dan adikku mati dan hidupku sangat menderita seperti di neraka. Ini adalah hukuman kamu! Paham?!" seru Tamara sambil menghempaskan tangan Dewi. Begitu tangannya terlepas, Dewi menghambur ke arah Tamara dan dengan cepat menjambak rambut dokter itu. Tamara yang tidak siapa, tidak memprediksi serangan kedua merasa kesakitan ka
Ponsel Doni meluncur jatuh ke lantai kamar rawat inap. "Astaga!" seru Tamara kaget. Dengan segera dia mengambil ponsel anaknya dan memeriksanya. Tamara masih beruntung karena ponsel Doni tidak jatuh terlalu tinggi. "Syukurlah tidak pecah," ucap Tamara lirih. Dia lalu mengambil ponsel Doni yang tadi tidak sengaja dijatuhkannya.Dan beberapa pesan whatsapp datang beruntun memenuhi ponsel Doni.[Don. Ini Nita. Kamu harus tanggung jawab!][Don, kenapa kamu memblokir nomorku?][Don, tepati janjimu, atau aku akan mengadukanmu pada orangtuamu yang kaya raya itu][Don! Awas kamu ya. Kalau sampai membiarkan aku menanggung kehamilanku seorang diri, aku akan menemui Mamamu yang seorang dokter. Atau memviralkan perbuatan kamu!]Lalu beberapa panggilan video yang dibiarkan oleh Tamara tanpa diterimanya. Hati Tamara mencelos. Dia kecewa sekali. Bagaimana mungkin anak tunggal yang selalu dibanggakannya berani menorehkan kotoran ke mukanya. Tapi Tamara tahu, bahwa dia ikut andil dalam pembentukan
Tamara memandang ke arah Doni dengan antusias. "Tentu saja kamu boleh menjenguk serta mengenal kakek kamu. Bahkan Mama sangat berharap kamu mau menemani kakek karena kakek sekarang sudah hidup sebatang kara.""Wah, syukurlah kalau begitu. Doni juga ingin meminta maaf pada Kakek. Doni sungguh-sungguh tidak sengaja menabrak kakek."Tamara memajukan badannya dan menumpukan kedua siku pada meja kayu di kantin."Coba sekarang kamu cerita ke Mama. Kenapa kamu bisa keluar rumah memakai mobil Papa?" tanya Tamara. "Sejak Mama dan Papa bercerai, sebenarnya Doni kesepian. Biasanya kan seminggu sekali saat Doni libur sekolah, Doni pulang ke rumah Papa karena akan jalan-jalan sama Mama. Tapi sejak Mama nggak ada, Papa menjadi berubah. Sering keluar rumah, jarang tidur di rumah kata para Mbok, sehingga Doni juga kesepian.Sementara itu, Doni memang jarang ke rumah Mama, karena Doni tidak mau mengganggu proses kuliah Mama. Terakhir Doni pulang ke rumah, kata Mbok Sri, Papa pamit keluar negeri sudah
"Ba-pak?" Dengan kelu Tamara mengucapkan kata itu. Karena sebenarnya dia ingin memaki-maki lelaki tua itu tapi malu karena banyak perawat UGD di sana."Tamara? Kamu menjadi dokter, Nak?" tanya Rama. Rasa sakit di kakinya seolah hilang karena melihat anaknya dalam balutan jas putih. Tamara terpaku melihat kaki kanan ayahnya yang tampang miring itu. Kemungkinan besar terdapat close fraktur tulang tibia. Tamara menghela nafas kasar dan dia langsung keluar dari ruangan tempat Rama berbaring. Dengan hati berdebar kencang dan mata berembun, Tamara duduk di belakang meja UGD dan kedua tangannya saling meremas."Dokter, pasiennya KLL*nya kapan akan dikonsulkan ke dokter bedah tulang?" tanya salah seorang perawat mengagetkannya. Tamara mendongak. Hatinya berperang dengan hebat.'Biarkan saja laki-laki tak berguna itu sekarat. Kamu sudah kenyang menderita karena dia kan? Menderita dalam mencari uang, menderita saat dibully, menderita saat melihat adik dan ibu kamu meregang nyawa. Biarkan saj
Tamara mendelik melihat laki-laki setengah abad yang berdiri di hadapannya adalah orang yang seharusnya bertanggung jawab pada hidupnya justru merupakan orang yang paling membuat hidup Tamara dan ibunya sangat menderita. "Tamara, ini Ayah, Nak. Apa kamu lupa?"Tamara menyedekapkan kedua tangannya. "Hm, tentu saja aku tidak akan pernah melupakanmu Yah," sahut Tamara sambil memandang ayahnya tajam."Alhamdulillah, kalau masih inget sama Ayah. Kamu sudah sukses ya Tam. Apa kamu sudah berkeluarga?" tanya Ayah Tamara antusias dengan masih berdiri di depan pintu. Tamara mengangkat satu alisnya. "Kemana saja kamu selama ini? Apa kamu tahu penderitaan aku dan ibu setelah kamu minggat bersama pelacur itu?" tanya Tamara kesal. Rama menelan ludah dengan susah payah. "Maafkan Bapak Nduk. Bapak sangat menyesal dengan apa yang dulu Bapak lakukan. Makanya Bapak kesini untuk meminta maaf padamu.""Enak saja meminta maaf. Setelah kamu minggat, ibu pontang panting kerja menjadi buruh cuci dari rumah