Dina berdiri, bibir itu menyeringai. Tatapan keji penuh ke-ngerian diarah ke seseorang yang sedang terlelap. "Pengganggu ... harus mati!" ujarnya. Kemudian dia berjalan mendekati orang itu, tidur dalam keadaan pulas. Linggis bocah itu angkat, siap menghajar orang itu hingga mati. Akan tetapi, laki-laki itu berguling, membuat pukulan Dina meleset. Laki-laki yang sering menolongnya itu berdiri. "D-Dina ... sedang apa kau di sini?" tanya laki-laki yang tak lain adalah Haris, Pak RT sekitar rumah Dina yang terbakar. Berdiri di seberang ranjang. "Membunuh pengganggu sepertimu!" imbuh Dina. "Pengganggu?" Pak Haris tidak mengerti maksud bocah perempuan itu. "Pengganggu ... kau membujuk Bu Zahra untuk menaruh aku di panti asuhan. Kau juga membujuk agar Bu Zahra melepaskan aku!" Desis bocah itu. "Pengganggu harus mati!" Bocah itu menaiki ranjang, mengangkat linggis kemudian. "Tunggu!" henti Pak Haris. Sebenarnya dia juga sedikit ketakutan, namun dia merasa harus bersikap tenang agar kelemah
Tadi, sepuluh menit sebelum Zahra datang ke rumah Pak RT. Dina mengayunkan linggisnya, bocah itu mengarah ke linggisnya ke arah kanan Pak Haris. Prang. Kaca lemari pakaian laki-laki itu pecah. Sebagian terkena wajah Pak Haris dan tertancap di wajahnya. Darah banyak mengucur dari setiap luka. Laki-laki itu cukup terperangah dengan kejutan yang diberikan bocah itu. Tenaganya jauh lebih besar di bandingnya, seolah tak pernah habis. "Gila ... kenapa bocah kurus dan kecil seperti dia punya tenaga sebesar ini?" tanya Pak Haris membatin. Napasnya terengah-engah, ia merasa terdesak keadaan dan tenaga Dina yang seolah tak ada lelahnya. Bocah itu tertawa, dia senang melihat Pak Haris ketakutan padanya. Wajah pias laki-laki itu membuat Dina semangat untuk menghabisi Laki-laki yang telah banyak membantunya. "Aku senang melihat kau menderita!" pekiknya, mengangkat linggis. Pak Haris siap siaga, lalu ia ... Hap. Tangan Pak Haris jauh lebih cepat menangkap linggis itu. Menahan. Namun Dina teru
Pak Haris dipaksa masuk ke dalam mobil polisi. "Masuk, Anda berhak di dampingi pengacara dan berbicara di kantor atau persidangan!" ujar Sersan Gunawan menghimbau. "Tapi saya hanya melindungi diri, Pak! Apa salah melindungi diri saat terancam?" pekik Pak Haris rada meninggi. "Yang Bapak lawan anak kecil, jadi, saya rasa Anda terlalu mengada-ngada bahwa anak kecil usia 7 tahun dan lemah seperti gadis itu mau membunuh Anda!" sergah Sersab Gunawan. "Sudah masuk! Jangan banyak alasan lagi!" perintah Sersan Gunawan memaksa Pak Haris. Mau tidak mau, laki-laki itu masuk ke dalam mobil dengan wajah kesal. Dia ingat ekspresi Dina setiap hendak melukainya. Beberapa warga yang melihat kejadian itu mulai berbisik, membicarakan Pak Haris yang terkenal alim dan baik itu. Mencibir dan mengeluarkan kata-kata umpatan buat laki-laki itu. Dalam kasus ini, memang sedikit susah bila harus mempercayai anak di bawah usia delapan belas tahun melakukan percobaan pembunuhan padanya. Dia mendengus, "Saya ha
Pemuda itu menepis tangan Dina. Lalu keluar dari kerumunan. Dia melihat ke arah Dina, lalu netranya mulai mengamati gadis itu. Dari ujung rambut ke ujung kaki. "Siapa elu? Berani-beraninya ikut campur urusan kita berdelapan!" Dina tak lantas menjawab, dia membalas tatapan sinis pemuda itu. "Lepaskan kedua anak perempuan itu, atau aku--" "Atau apa? Apa yang mau elu lakukan sama kita, huh?" tanya pemuda itu sedikit membentak. Memotong kalimat Dina yang belum usai. "Mau menghajar kita dengan tubuh kurus elu itu? Atau elu mau kita yang menghajar elu sampai wajah elu itu babak belur dan tidak berbentuk lagi?" Pemuda itu melangkah maju. Keempat pemuda lainnya tertawa terbahak-bahak, meremehkan Dina. Pemuda berjaket jeans denim itu mendekati Dina. "Lebih baik elu pergi dari sini kalau elu gak mau kena masalah dengan kita semua!" ujarnya tepat di depan wajah Dina. "Jangan bos, lebih baik kita bawa aja sekalian. Lumayan buat menemani kita senang-senang!" celetuk pemuda lainnya terlihat leb
Jantung Dina masih saja berdegup kencang walau kejadian tadi sudah lewat dari 5 jam. Dia bekerja dengan tidak tenang, matanya tidak lepas dari pintu yang terbuka. Dia takut kedelapan pemuda itu tak sengaja datang ke mini market tempatnya bekerja. Walau hari bergulir dengan cepat, tapi matanya tetap waspada. Bahkan tersenyum pada pelanggan pun terkesan dipaksakan. "Ya Tuhan, aku harap mereka tidak ke sini. Aku harap mereka tidak berbelanja di sini!" bisiknya berdoa dalam batin. Sayangnya, doa Dina tidak terkabul. Sedikit melenceng dari doa yang dia harapkan. Suara pintu mini market terdengar terbuka. Dina melirik, matanya melotot. "Lu pada mau beli apaan?" tanya Pemuda berjaket denim. Dan ... Deg Jantung Dina berdebar kencang. "Gawat, kenapa justru mereka datang ke sini?" Dina bergegas membuang muka saat kedelapan pemuda itu masuk ke dalam mini market. "Ton, aku ke belakang dulu ya!" ijin Dina. Dia berjalan tergesa-gesa dengan kepala menunduk. Sialnya, Bruk. Bahu Dina menyengg
Lalu di tempat lain. Tony masih menjalankan motornya, menelusuri jalan, mencari Dina. Netranya memandang lurus ke depan, mengenali mobil Roy di jalan yang melintasi dirinya. Kadang, mata itu melihat ke samping jalan atau di spion motornya. Berharap menemukan pemuda-pemuda brengsek yang membawa Dina "Sial ... ke mana pemuda-pemuda itu membawanya pergi?" gerutu Tony. Sudah sejauh itu dia belum menemukan tanda-tanda keberadaan mobil Roy. "Apa aku sudahi saja pencarian ini?" pikirnya. Namun dia urungkan niatnya itu. "Gak, itu sama saja aku membiarkan Dina dalam bahaya!" Tony menghidupkan motornya yang sempat berhenti di pinggir jalan. Dia kembali semangat mencari Dina ketika keputus asaan menghampiri dirinya, pemuda itu melanjutkan mencari Dina kembali. Dia terus mencari di setiap jalan yang sudah sedikit lenggang. Menerobos malam yang kian dingin, motornya sudah bermil-mil membawa Tony mencari Dina. Hingga di depan jalan, motornya ia berhentikan. Matanya menyipit saat dia melihat ada
Praaang. Zahra, dia terkejut dengan piring yang jatuh dari tangannya saat hendak diletakan di rak piring. "Ya Tuhan! Ada apa ini?" pikir Zahra. Perasaannya mendadak ada yang mengusiknya. Degup jantungnya tiba-tiba tak beraturan. Begitu kencang dan cepat. "Kenapa perasaanku tidak enak?" bisik batinnya kian tertambah cemas. Meremas baju pada bagian dada. Lalu ia memunguti satu persatu pecahan piring di lantai. Tak lama setelah selesai, dia pun bergegas mengambil ponselnya di atas meja makan. Zahra tergesa-gesa mencari nomor Dina di riwayat chatnya. "Ya Tuhan, aku mohon jangan ada sesuatu yang buruk menimpa anakku!" bisik batinnya. Pikirannya sudah kalut, bayang-bayang buruk tentang anak angkatnya itu terus saja menghantui perasaan dan ketakutannya. Ponsel diletakan di telinga. Dia mendengarkan nada sambung. Tak ada yang menjawab panggilan teleponnya. Batinnya kian cemas setelah beberapa kali Zahra menelepon namun Dina tidak kunjung menjawabnya. "Ayo dong, Nak! Diangkat!" oceh Zahra k
"Ssst ... tenang, aku akan membuat kau damai dan diam!" Senyuman menyeringai itu terlihat dingin di mata Dina. "Sekarang, bisa kau buka mulutmu lebar-lebar!" titah Roy, tangannya memainkan pisau di pipi Dina. "A-apa yang mau kamu lakukan dengan pisau itu?" tanya Dina dia menjauh dari Roy menepis pisau itu dari pipinya. Terlihat ngeri melihat pisau itu mulai Roy tekan di pipinya. "Jangan banyak tanya ... cepat buka mulut elu lebar-lebar sebelum gue habis kesabaran!" tukas Roy penuh penekanan, tatapannya begitu mengintimidasi Dina. Gadis itu ketakutan, terhimpit di dinding bilik terbuat dari anyaman bambu. "Elu bikin gue marah, cewek bodoh! SEKARANG BUKA MULUT ELU ITU!" bentak Roy membuat jantung Dina berdetak cepat. Iramanya tak beraturan. Mau tidak mau Dina membuka dengan lebar. "Sial ... apa lagi yang mau si brengsek itu lakukan pada Dina? Apa dia tidak puas menyakiti gadis itu?" gumam Tony berusaha berdiri pelan-pelan. "DINA ... JANGAN LAKUKAN ITU!" teriaknya. Roy mengabaikan,
"BUNUH DIA SEKARANG, BODOH!" bentaknya dengan nada tinggi. "Tidak! Aku tidak mau melakukannya lagi!" Dina menahan tangannya agar tidak mengacungkan pada Dandy. Pemuda itu bingung melihat Dina berbicara pada dirinya sendiri. "Ada apa dengan gadis ini?" pikir Dandy, dia hanya bisa mengamati. "Bodoh ... kenapa aku malah melihat gadis gila itu berbicara sendirian? Bukankah ini kesempatanku untuk kabur?" pikirnya melihat ke arah pintu penjara. Pemuda itu berjalan pelan sambil mengawasi terus ke arah Dina. "Berhenti!" teriak Dina pada Dandy pemuda itu tak berkutik. Diam mematung di tengah-tengah. Lalu .... Dor. Dor. Dua peluru melesat cepat dari moncong senjatanya. Peluru itu meleset ke arah sasaran, tangan kiri Dina menghalangi senjata itu membunuh pemuda gondrong yang mematung. Dandy sangat kaget. Dengar suara tembakan yang begitu keras di telinganya. Dia menoleh, peluruh itu hampir saja mengenai dirinya. "Gila! Untung saja peluru itu meleset. Kalau tidak, bisa mampus," bisik bati
Tubuh Dina penuh luka, tanpa sadar di dalam mobil tahanan tersebut. Bensin keluar dari tangki, tak lama percikan api yang berasal dari kabel yang mengelupas mulai membakar sedikit demi sedikit bagian badan mobil tahanan yang terkena bensin. Sopir mobil tahanan pun tak sadarkan diri. Luka parah. Pecahan beling dari kaca depan memperparah wajah sopir itu. Apipun mulai membesar ... Doar. Ledakan kecil membuat kobaran semakin besar dan cepat menjalar. Warga yang melihat kejadian itu, bergegas menghampiri mobil itu. Jalanan menjadi sangat macet. Tak lama, Dina mengerjapkan netranya. Lambat laun terbuka pelan-pelan. Dia baru menyadari bahwa dirinya terhimpit besi, dan rasanya sangat sakit. Gadis itu mulai menyingkirkan besi itu, di kaki Dina luka itu membekas parah. Membiru. "Sial! Ada apa ini?" Sesaat di dalam tubuhnya tidak ada sosok hitam yang mempengaruhinya. Tubuhnya melemah tak bertenaga. "Semua badanku sakit semua," bisik batinnya lagi. Dia teringat, bahwa sosok hitam mengusain
Dina melakukan pukulan cepat, pemuda itu tidak bisa menghindari pukulan gadis itu. Hidungnya pun meneteskan darah segar yang cukup banyak. Ketiga pemuda lain membiarkannya. "Aaargh ... Sialan!" Pemuda bernama Lalu, dia merebut senjata yang masih digenggam sipir penjara itu dan mengarahkan ke kepala sipir penjaga yang terkena pukulannya. Jari telunjuknya mulai menarik pelatuk senjata itu. "Jatuhkan senjatamu, perempuan iblis!" salah satu polisi muda bangun dari duduk dan menodongkan senjatanya di samping kepala Dina. "Jangan macam-macam, kami berempat tidak ada segan-segan membunuhmu!" katanya lagi, ikut menarik pelatuk agar Dina tidak gegabah mengambil tindakan itu. Dina melirik, tatapan serius polisi di sampingnya tidak sedang main-main dengan ancamannya pada dia. "CEPAT! JATUHKAN SENJATAMU BANGSAT!" teriak polisi itu hilang kesabarannya. Pelan-pelan gadis itu merunduk, meletakan senjata di lantai mobil tahanan. Sekali lagi, matanya melirik ke polisi muda yang tampaknta belum be
Satu pukulan keras melayang dengan cepat. Tetapi bukan dari arah Dina ke sosok hitam itu, melainkan tinju sipir penjara yang waspada akan gerak-gerik Dina hendak memukulnya. Pipi Dina memar, berwarna kebiruan. Dia tersungkur di lantai mobil tahanan. "Sialan! Berani-beraninya kamu mau mukul seorang sipir penjara!" katanya memaki. "Hajar terus, jangan diberi ampun, perempuan gila seperti dia jangan diberi ampun!" Salah satu polisi itu memprovokasinya. Sosok hitam menghampiri gadis malang yang saat ini masih tersungkur. "Lihat, mereka meremehkanmu. Andai saja kamu tidak menciptakanku, mungkin saja kamu mati dengan seluruh rasa penasaranmu itu, Dina!" kata Sosok hitam berbisik. "Kamu benar-benar menyedihkan!" Dina menggeram, bangun sambil mengepal tangannya. Menatap nanar ke arah dua sipir penjara yang kini bersikap arogan dan sok berkuasa. "Kau tidak akan bisa melawannya, hanya aku yang bisa membantunya, Dina! Apa kau mau aku bantu, gadis lemah?" tanya Sosok hitam yang sudah tak saba
Dina terdiam, kemudian dia melepaskan jari jemarinya pelan-pelan setelah dia puas membunuh Roy dengan caranya sendiri. Sosok hitam keluar dari tubuhnya, keadaan Dina kembali tenang setelah membunuh keluarga Roy. Namun, dia terlihat bingung kala kondisinya kembali seperti semula. Netranya melihat keadaan dirinya sendiri, sambil melihat telapak tangannya. Hanya ada darah segar yang lambat laun berubah kering. "Ada apa denganku? Kenapa semua darah ada di tubuhku? Apa yang sudah aku lakukan?" bisik batinnya bingung. Dia merasa tidak melakukan apapun, hanya raganya saja yang bergerak mengikuti naluri yang dikendalikan oleh sosok hitam yang berdiri di sampingnya. Perkataan Aipda Buyung diabaikan, dia masih berkutat pada dirinya sendiri. "Ayo ikut kami, dan Anda berhak di dampingi pengacara!" kata Aipda Buyung mulai menyentuh tangan gadis itu. Dina menoleh, dia menatap Aipda Buyung dengan tatapan bingung. "Ada apa?" tanya Dina menepis tangan Aipda Buyung. "Anda kami tetapkan sebagai pemb
Dina gelagapan, walau dia berhasil menahan selang yang hampir menjerat lehernya, dia tetap kesulitan untuk membebaskan diri dari jeratan selang. "Aaah ... aku harus bisa membebaskan diri dari laki-laki bejat ini!" bisik batin Dina. Sayangnya tak ada hasil, namun gadis itu tidak kehabisan akal, dia membenturkan kepalanya ke dahi Roy sambil mendorong tubuhnya ke belakang. Debuk. "Aaargh" pekik Roy kesakitan. Dina terlalu keras membenturkannya hingga kepala Roy terasa pusing. Gadis itu melakukannya berulang-ulang kali. Roy tetap mempertahankan genggaman erat jari-jarinya pada rantai. Kakinya terus mundur ketika Dina membenturkan kepala dan mendorong tubuh Roy. Sayangnya, kaki pemuda itu tidak lagi bisa melangkah. Tubuhnya terhimpit tembok. Dia tidak bisa bergerak ke mana-mana lagi. Buuak. Gadis itu membenturkan kepalanya lagi, lagi dan lagi hingga kepala bagian belakang Roy harus beradu dengan tembok. Darah membekas di tembok, luka di kepala Roy sangat parah. Dina membebaskan diri
Senyuman itu mengembang, sangat mengerikan bagi Roy. Gadis itu menunggu Roy melangkah sejauh mungkin dari rumah. Lalu bibirnya bergerak. "Satu!" Gadis itu mulai berhitung kala Roy sudah sedikit jauh jaraknya. "Dua!" Lanjutnya, berhitung di dalam hati. Roy melihat ke belakang. Dia tidak tau harus pergi ke mana. Pemuda itu sangat yakin Dina akan menemukannya, sebab, tubuh Roy sudah sangat lemah dan tak bertenaga. Tatapan seram Dina membuat Roy memalingkan wajahnya, melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti. "Tiga!" Bibirnya melanjutkan berhitung. Roy keluar rumah, lalu berlari pelan di sisa-sisa tenaganya. Roy bingung harus ke mana, dia tidak mungkin ke luar. Sebab, jarak antar pintu rumahnya dan pintu gerbang pagar terlalu jauh untuk bisa dia jangkau dengan kaki yang saat ini sedang gemetaran. Dia celingukkan, kemudian dia berlari ke arah mobil Dona yang terparkir tak jauh dari pintu rumah. Roy masuk, sayangnya kunci mobil itu tidak ada di tempatnya. "Sial, bagaimana gue bis
"Gue akan membunuh elu!" teriak Roy lagi sambil berlari. Air mata menetes mengiringi langkah kakinya itu. Ada perasaan sakit yang tergurat di hatinya, perasaan kehilangan dan marah penuh emosi kala mata itu melihat kematian kedua orang tuanya secara bergantian. Dina tersenyum lebar, walaupun begitu, masih saja terlihat menyeramkan buat Roy. Pemuda itu menyerang dengan tubuh lemah dan pandangan mata yang kabur. Tidak begitu jelas saat tinjunya melayang. Dina merunduk, menghindari serangan Roy yang mudah terbaca. Kemudian gadis itu memiringkan tubuhnya kala serangan Roy datang kembali padanya. Perempuan muda itu mendorong tongkatnya, Duk. Tepat mengenai perut Roy yang tak terlindungi oleh apapun. Roy dibuat mundur beberapa langkah, kakinya bergemetaran saat serangan itu menyakiti perutnya lagi. Pemuda malang itu mengeluarkan isi perutnya yang hanya tinggal cairan bercampur sedikit makanan yang dia telan tadi siang. Napasnya diambang batas, hanya tinggal sisa-sisa. Dia sudah tidak k
Dona bangun dengan perut terasa keram dan perih. Dia mengambil kembali palu yang sempat terlepas dari tangannya. Lalu wanita itu berjalan tertatih, rasa sakit di perutnya membuat dia tidak bisa bergerak bebas. Dia melihat Roy sedang menyerang Dina dengan kayu. "Roy?" bisiknya. Netranya mendapati serpihan kaca yang berantakan di lantai, pecahan kaca itu bercampur darah Roy yang sudah mengotori lantai. Wanita itu memperhatikan gerakan Dina, gadis itu rupanya sudah terdesak oleh serangan demi serangan dari putranya. Gadis itu juga terlihat gugup walau kemarahan terlihat jelas di sorot mata berwarna hitam legam itu. Dona mendadak menutup mulutnya. Roy hampir saja menusuk perut perempuan muda itu. Dia cukup terkejut, dia juga tidak bisa membayangkan bila matanya harus melihat darah muncrat darinperut gadia itu. Akan tetapi serangan Roy di tahan oleh Dina dengan tangannya. "Gadis itu? Dia ... dia bisa menahan serangan Roy yang cepat itu? T-tapi bagaimana bisa dia melakukannya?" pikir Don