Zahra sudah sangat kuatir, jam di dinding sudah melebihi di batas waktu pulang Dina. Dia resah, dia juga tidak bisa berdiam diri saja di rumah. Perempuan yang memutuskan tidak menikah semenjak kematian mantan suaminya itu pun keluar. Menaiki motor dan pergi ke kantor polisi untuk melapor. Perempuan yang kini berusia hampir kepala 4 itu terus menjelajahi jalan malam yang gelap dengan kecepatan tinggi. Sudah sedari tadi hatinya cemas, Tony pun tidak memberi kabar tentang pencariannya. "Malam Pak!" sapa Zahra sesampainya di kantor polisi. Dua orang polisi berjaga di depan kantor. "Ya, malam. Ada yang bisa saya bantu, Bu?" tanya salah satu polisi yang berjaga itu. Zahra menarik kursi, lalu duduk di kursi di depan polisi-polisi itu. "Begini Pak, saya mau melaporkan kehilangan anak saya!" "Baik, saya akan catat di laporan saya. Saya harap ibu menjawabnya dengan jujur." Zahra mengangguk. Polisi itu menyiapkan kertas ke printer. Lalu ia mulai bertanya pada Zahra kronologi kehilangan an
Polisi bertindak cepat atas laporan Zahra. Mereka menelusiri jalan gelap di area di mana Roy dan teman-temannya membawa Dina. Dua orang polisi duduk di kursi depan. Di kursi belakang ada Zahra yang ikut dalam pencarian. Tak seberapa lama, mobil mereka berhenti dengan lampu menyorot seorang gadis yang berjalan di sekitar tanah lapang ditumbuhi ilalang setinggi orang dewasa. Dina menutupi wajahnya dari cahaya lampu. "Pak, dia ...." "Apakah itu anak Ibu?" tanya Letnan Indra. Zahra coba mempertegas pengelihatannya. Dia sangat terkejut dengan mata melebar penuh. "Iya ... itu anak saya, Pak!" Zahra bergegas turun. Di ikuti Polisi di sebelah Buyung, keluar dari mobil tanpa banyak bicara. Dia berjalan menghampiri gadis berpenampilan acak-acak dan dekil itu. Buyung ikut turun mengikuti Letna Indra dan Zahra. "Dinaaa!" teriak Zahra. Gadis itu menurunkan tangannya pelan-pelan dari wajahnya, melihat siapa yang menyapanya itu. Zahra memeluknya erat-erat, begitu juga Dina. Kedua perempuan itu
Zahra melangkah terburu-buru setelah mendapatkan keterangan dari dokter menuju ruang ICU, di belakang Letnan Indra berusaha mengimbangi langkah Zahra yang kecepatan. Namun, belum juga kakinya sampai di ruang ICU, telinganya mendengar suara teriakkan putrinya. Teriakkan itu terdengar histeris dan sangat memilukan. "Dina?" Zahra mempercepat langkahnya. Lalu ia masuk ke ruangan ICU. Begitu juga dengan Letnan Indra, polisi itu membutuhkan Informasi lebih lanjut tentang pelaku-pelaku bejat itu. "Anak saya kenapa, Sus?" tanya Zahra. Dia mendekati Dina. Di situ juga ada Buyung yang membantu menenangkan Dina. "Tidak tau, Bu! Tadi tiba-tiba saja dia menjerit keras dan mengamuk seperti ini!" sahut suster memegangi tangan Dina. "Dina ... Din, ini Ibu, Nak!" kata Zahra mencoba membantu suster dan Buyung. "Din, kamu tenang ya, sayang!" "Aaah ... aaah ..." pekik Dina. Sprei dan bantal sudah berada di lantai. Pecahan gelas juga berserakan dan air pun sudah menjadi satu dengan pecahan gelas di la
Tony terus berlari karena ketakutannya dengan penjara dan dosa yang ia perbuatannya sendiri tanpa melihat ke sisi kanan dan kiri, sebuah motor melaju sangat cepat. "Hei ... bocah ... awaaass!" teriak Aipda Buyung. Braaak. Bagian samping Tony tertabrak motor, terjatuh. Begitu juga dengan motor itu. "Aaaarh!" pekik Tony kesakitan kaki kirinya tertimpa motor yang menabraknya. Darah merembes dari celananya, sangat banyak. Rupanya, tulang kaki Tony retak dan betisnya tertusuk standar motor. Keadaan mendadak ramai melihat kejadian itu. Membantu mendirikan motor. "Cepat Anda bawa orang ini ke mobil, biar kecelakaan ini saya atasi!" ujar Letnan Indra. "Siap, Letnan!" tandas Aipda Buyung memaksa Tony berdiri. Tony berjalan dipapah Aipda Buyung. Darah terus mengucur dari luka itu. Letnan Indra mengatur lalu lintas yang sempat macet di jalan tempat Tony kecelakaan. "Masuk ke dalam! Ingat, jangan coba-coba Anda kabur lagi!" tekan Aipda Buyung. Kemudian, Aipda memanggil mobil ambulan untuk
"Anak itu tidak mau bicara sama sekali. Apa yang harus kita lakukan, Pak, agar bisa mendapatkan informasi di kasus ini?" tanya Aipda Buyung menghampiri Letnan Indra yang sedang meminta berkas pada rekannya. Letnan Indra berpikir sejenak, belum menemukan ide. Kemudian dia berdehem, "Jalan satu-satunya adalah menunggu gadis itu mau dimintai keterangan oleh kita!" sahutnya. Hanya itu ide yang terbaik untuk saat ini. "Terima kasih bripda Dewi!" ucapnya pada wanita di depannya. "Lalu, bagaimana dengan pemuda itu?" Rasa penasaran Aipda Buyung membuat dia terus bertanya. "Mau tidak mau, besok kita harus menemui korban agar segera mendapatkan informasi. Lalu, biarkan saja pemuda itu di penjara beberapa jam lagi. Kemudian Aipda Buyung bisa membebaskan setelah kita mendapatkan informasi dari korban dan juga temannya!" ujar Letnan Indra. "Apa saya harus menanyakannya sekarang? Ke korban dulu atau ke teman pemuda itu misalnya, bukankah lebih baik lebih cepat, Pak?" "Untuk ke korban jangan du
Di tempat lain. Tempat di mana biasanya Roy berkumpul. Pemuda itu asik berpesta pora di sebuah klib malam. Meminum-minuman beralkohol tinggi yang memabukkan, tertawa terbahak-bahak. Tampak rasa puas di raut wajahnya kini. "Ayo kita berpesta sampai mabuk!" pekiknya di tengah-tengah suara musik yang menggema ke seluruh ruangan yang cukup luas itu. "Aku akan mentraktir kalian semua!" lanjutnya. Dia sudah mulai mabuk, beberapa minuman beralkohol itu sudah di tenggak habis hingga botol-botol kosong berjejer di meja. Roy dan ke enam temannya yang lain tampak bersuka ria, namun tidak dengan Dandy. Wajahnya cemberut, tidak menyukai tindakan terakhir Roy terhadap gadis itu. Semua di luar rencana semula yang hanya membuat gadis itu kapok dan menyesali. Memberikan pelajaran agar gadis itu tidak lagi ikut campur. Tetapi, memotong lidah gadis itu sudah sangat keterlaluan. "Hei ... Dan, kenapa elu diam saja, sih? Ayolah kita bersenang-senang!" ajak Roy, menuangkan minuman itu ke dalam gelas Dand
Dandy berdiri di depan kantor polisi, dia ragu untuk masuk dan melaporkan kejadian malam itu pada polisi. Beberapa kali helaan napasnya terdengar, membiarkan diri berdiri dengan terpaan panas menerpa kulit tubuhnya. "Gak ... gue gak boleh takut. Gue harus melaporkan kejahatan Roy pada polisi, walau gue harus kembali masuk penjara!" bisik batinnya. Kakinya mulai bergerak, memberanikan diri untuk melakukan apa yang dia niatkan. Melaporkan semua kejahatan Roy pada polisi. "S-selamat siang, Pak!" sapa Dandy. Sebagai mantan narapidana, dia gemetaran mengucapkan itu semua. Polisi itu mendongak, menghentikan kegiatan catat-mencatatnya. "Ya, ada yang bisa saya bantu?" tanya polisi itu sambil memperhatikan tiap detail Dandy. Penuh tato, dan di telinganya ada bekas tindakan anting sebanyak lima kali. Lubang di telinganya masih terlihat jelas. "Saya ingin melapor, Pak!" sahut Dandy sedikit takut. Dia melirik ke belakang, melihat luar kantor polisi. Pemuda itu takut ada mata-mata orang suruha
Letnan Indra beserta Aipda Buyung dan dua anak buahnya yang lain bergegas keluar kantor, surat penangkapan Roy sudah di tangan. Mereka berempat menaiko mobil dinas masing-masing. Mobil melintas pagi yang masih sepi. Suara sirene memekak telinga ke seantero jalanan yang luas nan lenggang itu. Lalu tak seberapa lama, tepat di rumah Gubernur kota tempat Dina tinggal kedua mobil dinas polisi berhenti. Aipda Buyung turun dan menemui satpam yang berjaga di rumah itu. "Selamat pagi, Pak!" sapa satpan itu sambil memberi hormat pada Aipda Buyung. "Selamat pagi, saya Aipda Buyung dari kepolisian. Kamk datang ke sini ingin bertemu Roy, apakah dia ada?" "Mas Roy, sepertinya dia masih tidur, Pak!" ujar Satpam itu sambil menoleh ke arah jendela kamar pemuda itu. "Memangnya ada apa ya, Pak?" "Kami membawa surat penangkapan Roy atas tuduhan pemerkosaan serta kekerasan pada seorang gadis!" imbuh Aipda Buyung, menunjukkan surat perintah penangkapan. "A-apa? Ya sudah, saya akan menyampaikan pada P