Pemuda itu menepis tangan Dina. Lalu keluar dari kerumunan. Dia melihat ke arah Dina, lalu netranya mulai mengamati gadis itu. Dari ujung rambut ke ujung kaki. "Siapa elu? Berani-beraninya ikut campur urusan kita berdelapan!" Dina tak lantas menjawab, dia membalas tatapan sinis pemuda itu. "Lepaskan kedua anak perempuan itu, atau aku--" "Atau apa? Apa yang mau elu lakukan sama kita, huh?" tanya pemuda itu sedikit membentak. Memotong kalimat Dina yang belum usai. "Mau menghajar kita dengan tubuh kurus elu itu? Atau elu mau kita yang menghajar elu sampai wajah elu itu babak belur dan tidak berbentuk lagi?" Pemuda itu melangkah maju. Keempat pemuda lainnya tertawa terbahak-bahak, meremehkan Dina. Pemuda berjaket jeans denim itu mendekati Dina. "Lebih baik elu pergi dari sini kalau elu gak mau kena masalah dengan kita semua!" ujarnya tepat di depan wajah Dina. "Jangan bos, lebih baik kita bawa aja sekalian. Lumayan buat menemani kita senang-senang!" celetuk pemuda lainnya terlihat leb
Jantung Dina masih saja berdegup kencang walau kejadian tadi sudah lewat dari 5 jam. Dia bekerja dengan tidak tenang, matanya tidak lepas dari pintu yang terbuka. Dia takut kedelapan pemuda itu tak sengaja datang ke mini market tempatnya bekerja. Walau hari bergulir dengan cepat, tapi matanya tetap waspada. Bahkan tersenyum pada pelanggan pun terkesan dipaksakan. "Ya Tuhan, aku harap mereka tidak ke sini. Aku harap mereka tidak berbelanja di sini!" bisiknya berdoa dalam batin. Sayangnya, doa Dina tidak terkabul. Sedikit melenceng dari doa yang dia harapkan. Suara pintu mini market terdengar terbuka. Dina melirik, matanya melotot. "Lu pada mau beli apaan?" tanya Pemuda berjaket denim. Dan ... Deg Jantung Dina berdebar kencang. "Gawat, kenapa justru mereka datang ke sini?" Dina bergegas membuang muka saat kedelapan pemuda itu masuk ke dalam mini market. "Ton, aku ke belakang dulu ya!" ijin Dina. Dia berjalan tergesa-gesa dengan kepala menunduk. Sialnya, Bruk. Bahu Dina menyengg
Lalu di tempat lain. Tony masih menjalankan motornya, menelusuri jalan, mencari Dina. Netranya memandang lurus ke depan, mengenali mobil Roy di jalan yang melintasi dirinya. Kadang, mata itu melihat ke samping jalan atau di spion motornya. Berharap menemukan pemuda-pemuda brengsek yang membawa Dina "Sial ... ke mana pemuda-pemuda itu membawanya pergi?" gerutu Tony. Sudah sejauh itu dia belum menemukan tanda-tanda keberadaan mobil Roy. "Apa aku sudahi saja pencarian ini?" pikirnya. Namun dia urungkan niatnya itu. "Gak, itu sama saja aku membiarkan Dina dalam bahaya!" Tony menghidupkan motornya yang sempat berhenti di pinggir jalan. Dia kembali semangat mencari Dina ketika keputus asaan menghampiri dirinya, pemuda itu melanjutkan mencari Dina kembali. Dia terus mencari di setiap jalan yang sudah sedikit lenggang. Menerobos malam yang kian dingin, motornya sudah bermil-mil membawa Tony mencari Dina. Hingga di depan jalan, motornya ia berhentikan. Matanya menyipit saat dia melihat ada
Praaang. Zahra, dia terkejut dengan piring yang jatuh dari tangannya saat hendak diletakan di rak piring. "Ya Tuhan! Ada apa ini?" pikir Zahra. Perasaannya mendadak ada yang mengusiknya. Degup jantungnya tiba-tiba tak beraturan. Begitu kencang dan cepat. "Kenapa perasaanku tidak enak?" bisik batinnya kian tertambah cemas. Meremas baju pada bagian dada. Lalu ia memunguti satu persatu pecahan piring di lantai. Tak lama setelah selesai, dia pun bergegas mengambil ponselnya di atas meja makan. Zahra tergesa-gesa mencari nomor Dina di riwayat chatnya. "Ya Tuhan, aku mohon jangan ada sesuatu yang buruk menimpa anakku!" bisik batinnya. Pikirannya sudah kalut, bayang-bayang buruk tentang anak angkatnya itu terus saja menghantui perasaan dan ketakutannya. Ponsel diletakan di telinga. Dia mendengarkan nada sambung. Tak ada yang menjawab panggilan teleponnya. Batinnya kian cemas setelah beberapa kali Zahra menelepon namun Dina tidak kunjung menjawabnya. "Ayo dong, Nak! Diangkat!" oceh Zahra k
"Ssst ... tenang, aku akan membuat kau damai dan diam!" Senyuman menyeringai itu terlihat dingin di mata Dina. "Sekarang, bisa kau buka mulutmu lebar-lebar!" titah Roy, tangannya memainkan pisau di pipi Dina. "A-apa yang mau kamu lakukan dengan pisau itu?" tanya Dina dia menjauh dari Roy menepis pisau itu dari pipinya. Terlihat ngeri melihat pisau itu mulai Roy tekan di pipinya. "Jangan banyak tanya ... cepat buka mulut elu lebar-lebar sebelum gue habis kesabaran!" tukas Roy penuh penekanan, tatapannya begitu mengintimidasi Dina. Gadis itu ketakutan, terhimpit di dinding bilik terbuat dari anyaman bambu. "Elu bikin gue marah, cewek bodoh! SEKARANG BUKA MULUT ELU ITU!" bentak Roy membuat jantung Dina berdetak cepat. Iramanya tak beraturan. Mau tidak mau Dina membuka dengan lebar. "Sial ... apa lagi yang mau si brengsek itu lakukan pada Dina? Apa dia tidak puas menyakiti gadis itu?" gumam Tony berusaha berdiri pelan-pelan. "DINA ... JANGAN LAKUKAN ITU!" teriaknya. Roy mengabaikan,
Zahra sudah sangat kuatir, jam di dinding sudah melebihi di batas waktu pulang Dina. Dia resah, dia juga tidak bisa berdiam diri saja di rumah. Perempuan yang memutuskan tidak menikah semenjak kematian mantan suaminya itu pun keluar. Menaiki motor dan pergi ke kantor polisi untuk melapor. Perempuan yang kini berusia hampir kepala 4 itu terus menjelajahi jalan malam yang gelap dengan kecepatan tinggi. Sudah sedari tadi hatinya cemas, Tony pun tidak memberi kabar tentang pencariannya. "Malam Pak!" sapa Zahra sesampainya di kantor polisi. Dua orang polisi berjaga di depan kantor. "Ya, malam. Ada yang bisa saya bantu, Bu?" tanya salah satu polisi yang berjaga itu. Zahra menarik kursi, lalu duduk di kursi di depan polisi-polisi itu. "Begini Pak, saya mau melaporkan kehilangan anak saya!" "Baik, saya akan catat di laporan saya. Saya harap ibu menjawabnya dengan jujur." Zahra mengangguk. Polisi itu menyiapkan kertas ke printer. Lalu ia mulai bertanya pada Zahra kronologi kehilangan an
Polisi bertindak cepat atas laporan Zahra. Mereka menelusiri jalan gelap di area di mana Roy dan teman-temannya membawa Dina. Dua orang polisi duduk di kursi depan. Di kursi belakang ada Zahra yang ikut dalam pencarian. Tak seberapa lama, mobil mereka berhenti dengan lampu menyorot seorang gadis yang berjalan di sekitar tanah lapang ditumbuhi ilalang setinggi orang dewasa. Dina menutupi wajahnya dari cahaya lampu. "Pak, dia ...." "Apakah itu anak Ibu?" tanya Letnan Indra. Zahra coba mempertegas pengelihatannya. Dia sangat terkejut dengan mata melebar penuh. "Iya ... itu anak saya, Pak!" Zahra bergegas turun. Di ikuti Polisi di sebelah Buyung, keluar dari mobil tanpa banyak bicara. Dia berjalan menghampiri gadis berpenampilan acak-acak dan dekil itu. Buyung ikut turun mengikuti Letna Indra dan Zahra. "Dinaaa!" teriak Zahra. Gadis itu menurunkan tangannya pelan-pelan dari wajahnya, melihat siapa yang menyapanya itu. Zahra memeluknya erat-erat, begitu juga Dina. Kedua perempuan itu
Zahra melangkah terburu-buru setelah mendapatkan keterangan dari dokter menuju ruang ICU, di belakang Letnan Indra berusaha mengimbangi langkah Zahra yang kecepatan. Namun, belum juga kakinya sampai di ruang ICU, telinganya mendengar suara teriakkan putrinya. Teriakkan itu terdengar histeris dan sangat memilukan. "Dina?" Zahra mempercepat langkahnya. Lalu ia masuk ke ruangan ICU. Begitu juga dengan Letnan Indra, polisi itu membutuhkan Informasi lebih lanjut tentang pelaku-pelaku bejat itu. "Anak saya kenapa, Sus?" tanya Zahra. Dia mendekati Dina. Di situ juga ada Buyung yang membantu menenangkan Dina. "Tidak tau, Bu! Tadi tiba-tiba saja dia menjerit keras dan mengamuk seperti ini!" sahut suster memegangi tangan Dina. "Dina ... Din, ini Ibu, Nak!" kata Zahra mencoba membantu suster dan Buyung. "Din, kamu tenang ya, sayang!" "Aaah ... aaah ..." pekik Dina. Sprei dan bantal sudah berada di lantai. Pecahan gelas juga berserakan dan air pun sudah menjadi satu dengan pecahan gelas di la