"Hal penting? Tapi bicara apa ya, Pak?" tanya Zahra bingung. Dia melirik ke arah Dina, ekspresi bocah itu terlihat tidak suka dengan Pak RT.Deg."Dina?" bisiknya membatin. Zahra merasa ketakutan sesaat melihat ekspresi menakutkan bocah tujuh tahun itu. Lalu dia mengikuti arah pandangan mata Dina. "P-Pak RT?" lanjutnya di batin. "Ahh ... gak mungkin kan? Bukannya tadi Pak RT sudah menolongnya? Apa jangan-jangan Dina hanya cemburu saja?" Bibir Zahra mengembang. Pak RT melihat dengan bingung, dia melambai-lambaikan tangannya. Sebab, Zahra tidak menyahut apa yang dia bicarakan padanya."Bu ... Maaf, apa bisa kita bicara sebentar di sana?" Tunjuk Pak RT ke arah belakang mereka berdua. Ekspresi wajah Dina semakin tidak menyukai Pak RT, dia tidak peduli laki-laki itu sudah menolongnya atau tidak. Dia terlihat membenci Pak RT itu. "Eh ... maaf Pak. Saya jadi bengong. Baiklah, tapi saya gak bisa lama-lama," kata Zahra membuyarkan lamunannya itu. "Hanya sepuluh menit, tidak lebih!" Zahra me
Zahra mematikan mesin motornya. Di depan rumah kecil berukuran 5x10 meter gadis itu memarkirkan motornya. "Ayo turun, kita masuk ke dalam rumah!" ajak Zahra, dia sangat senang dengan keberadaan Dina. Gadis kecil itupun sama, ia bahagia bisa di angkat anak oleh Zahra. Tangan Zahra mengganggam erat tangan mungil Dina. Seolah tak ingin lepas, gadis kecil itu juga menggengam erat tangan perempuan yang menjadi ibu angkatnya. Dina sudah melupakan ibunya yang jahat itu, tidak peduli bagaimana dia membunuhnya. Dia sangat senang melihat kematian ibu dan ayah tirinya yang hangus terpanggang api. "Nah, Dina, inilah rumah ibu. Ibu tinggal sendiri di sini, rumah ini warisan dari kedua orang tua ibu. Kamu suka gak?" tanya Zahra sambil mengamati ekspresi bocah itu. Kemudian Dina mengangguk semangat. "Dina suka, Bu! Sangaaat suka," sahutnya. Kemudian memeluk ibu angkatnya itu. "Sukurlah kalau kamu suka." Zahra kemudian berjongkok, menatap gadis itu dengan wajah sendu. Ada kemiripan nasib antara di
Dina berdiri, bibir itu menyeringai. Tatapan keji penuh ke-ngerian diarah ke seseorang yang sedang terlelap. "Pengganggu ... harus mati!" ujarnya. Kemudian dia berjalan mendekati orang itu, tidur dalam keadaan pulas. Linggis bocah itu angkat, siap menghajar orang itu hingga mati. Akan tetapi, laki-laki itu berguling, membuat pukulan Dina meleset. Laki-laki yang sering menolongnya itu berdiri. "D-Dina ... sedang apa kau di sini?" tanya laki-laki yang tak lain adalah Haris, Pak RT sekitar rumah Dina yang terbakar. Berdiri di seberang ranjang. "Membunuh pengganggu sepertimu!" imbuh Dina. "Pengganggu?" Pak Haris tidak mengerti maksud bocah perempuan itu. "Pengganggu ... kau membujuk Bu Zahra untuk menaruh aku di panti asuhan. Kau juga membujuk agar Bu Zahra melepaskan aku!" Desis bocah itu. "Pengganggu harus mati!" Bocah itu menaiki ranjang, mengangkat linggis kemudian. "Tunggu!" henti Pak Haris. Sebenarnya dia juga sedikit ketakutan, namun dia merasa harus bersikap tenang agar kelemah
Tadi, sepuluh menit sebelum Zahra datang ke rumah Pak RT. Dina mengayunkan linggisnya, bocah itu mengarah ke linggisnya ke arah kanan Pak Haris. Prang. Kaca lemari pakaian laki-laki itu pecah. Sebagian terkena wajah Pak Haris dan tertancap di wajahnya. Darah banyak mengucur dari setiap luka. Laki-laki itu cukup terperangah dengan kejutan yang diberikan bocah itu. Tenaganya jauh lebih besar di bandingnya, seolah tak pernah habis. "Gila ... kenapa bocah kurus dan kecil seperti dia punya tenaga sebesar ini?" tanya Pak Haris membatin. Napasnya terengah-engah, ia merasa terdesak keadaan dan tenaga Dina yang seolah tak ada lelahnya. Bocah itu tertawa, dia senang melihat Pak Haris ketakutan padanya. Wajah pias laki-laki itu membuat Dina semangat untuk menghabisi Laki-laki yang telah banyak membantunya. "Aku senang melihat kau menderita!" pekiknya, mengangkat linggis. Pak Haris siap siaga, lalu ia ... Hap. Tangan Pak Haris jauh lebih cepat menangkap linggis itu. Menahan. Namun Dina teru
Pak Haris dipaksa masuk ke dalam mobil polisi. "Masuk, Anda berhak di dampingi pengacara dan berbicara di kantor atau persidangan!" ujar Sersan Gunawan menghimbau. "Tapi saya hanya melindungi diri, Pak! Apa salah melindungi diri saat terancam?" pekik Pak Haris rada meninggi. "Yang Bapak lawan anak kecil, jadi, saya rasa Anda terlalu mengada-ngada bahwa anak kecil usia 7 tahun dan lemah seperti gadis itu mau membunuh Anda!" sergah Sersab Gunawan. "Sudah masuk! Jangan banyak alasan lagi!" perintah Sersan Gunawan memaksa Pak Haris. Mau tidak mau, laki-laki itu masuk ke dalam mobil dengan wajah kesal. Dia ingat ekspresi Dina setiap hendak melukainya. Beberapa warga yang melihat kejadian itu mulai berbisik, membicarakan Pak Haris yang terkenal alim dan baik itu. Mencibir dan mengeluarkan kata-kata umpatan buat laki-laki itu. Dalam kasus ini, memang sedikit susah bila harus mempercayai anak di bawah usia delapan belas tahun melakukan percobaan pembunuhan padanya. Dia mendengus, "Saya ha
Pemuda itu menepis tangan Dina. Lalu keluar dari kerumunan. Dia melihat ke arah Dina, lalu netranya mulai mengamati gadis itu. Dari ujung rambut ke ujung kaki. "Siapa elu? Berani-beraninya ikut campur urusan kita berdelapan!" Dina tak lantas menjawab, dia membalas tatapan sinis pemuda itu. "Lepaskan kedua anak perempuan itu, atau aku--" "Atau apa? Apa yang mau elu lakukan sama kita, huh?" tanya pemuda itu sedikit membentak. Memotong kalimat Dina yang belum usai. "Mau menghajar kita dengan tubuh kurus elu itu? Atau elu mau kita yang menghajar elu sampai wajah elu itu babak belur dan tidak berbentuk lagi?" Pemuda itu melangkah maju. Keempat pemuda lainnya tertawa terbahak-bahak, meremehkan Dina. Pemuda berjaket jeans denim itu mendekati Dina. "Lebih baik elu pergi dari sini kalau elu gak mau kena masalah dengan kita semua!" ujarnya tepat di depan wajah Dina. "Jangan bos, lebih baik kita bawa aja sekalian. Lumayan buat menemani kita senang-senang!" celetuk pemuda lainnya terlihat leb
Jantung Dina masih saja berdegup kencang walau kejadian tadi sudah lewat dari 5 jam. Dia bekerja dengan tidak tenang, matanya tidak lepas dari pintu yang terbuka. Dia takut kedelapan pemuda itu tak sengaja datang ke mini market tempatnya bekerja. Walau hari bergulir dengan cepat, tapi matanya tetap waspada. Bahkan tersenyum pada pelanggan pun terkesan dipaksakan. "Ya Tuhan, aku harap mereka tidak ke sini. Aku harap mereka tidak berbelanja di sini!" bisiknya berdoa dalam batin. Sayangnya, doa Dina tidak terkabul. Sedikit melenceng dari doa yang dia harapkan. Suara pintu mini market terdengar terbuka. Dina melirik, matanya melotot. "Lu pada mau beli apaan?" tanya Pemuda berjaket denim. Dan ... Deg Jantung Dina berdebar kencang. "Gawat, kenapa justru mereka datang ke sini?" Dina bergegas membuang muka saat kedelapan pemuda itu masuk ke dalam mini market. "Ton, aku ke belakang dulu ya!" ijin Dina. Dia berjalan tergesa-gesa dengan kepala menunduk. Sialnya, Bruk. Bahu Dina menyengg
Lalu di tempat lain. Tony masih menjalankan motornya, menelusuri jalan, mencari Dina. Netranya memandang lurus ke depan, mengenali mobil Roy di jalan yang melintasi dirinya. Kadang, mata itu melihat ke samping jalan atau di spion motornya. Berharap menemukan pemuda-pemuda brengsek yang membawa Dina "Sial ... ke mana pemuda-pemuda itu membawanya pergi?" gerutu Tony. Sudah sejauh itu dia belum menemukan tanda-tanda keberadaan mobil Roy. "Apa aku sudahi saja pencarian ini?" pikirnya. Namun dia urungkan niatnya itu. "Gak, itu sama saja aku membiarkan Dina dalam bahaya!" Tony menghidupkan motornya yang sempat berhenti di pinggir jalan. Dia kembali semangat mencari Dina ketika keputus asaan menghampiri dirinya, pemuda itu melanjutkan mencari Dina kembali. Dia terus mencari di setiap jalan yang sudah sedikit lenggang. Menerobos malam yang kian dingin, motornya sudah bermil-mil membawa Tony mencari Dina. Hingga di depan jalan, motornya ia berhentikan. Matanya menyipit saat dia melihat ada