Du Fei duduk bersila di atap kuil, memandang bulan yang bersinar terang. Topeng hitam keemasan tergeletak di sampingnya, memperlihatkan sisik-sisik naga di pipinya yang mengkilap tertimpa cahaya bulan."Mengapa tidak tidur?" Terdengar suara Chang Su menegur dari bawah. "Tidak biasanya kau melepas topengmu, Du Fei!"Du Fei tersenyum tipis. "Aku sedang berpikir, Guru. Tentang pilihan yang kalian berikan tadi pagi."Chang Su melompat dengan ringan ke atas atap, duduk di samping muridnya. "Apakah sekarang kau sudah memutuskan?""Aku merasa ... kedua pilihan itu sama-sama menarik," Du Fei menghela nafas. "Menjadi pejabat dan memberantas korupsi dari dalam, atau mencari Pedang Naga Api dan menjadi pendekar sejati.""Kau tahu," Chang Su menyalakan pipa tembakau di tangannya, "kadang pilihan tidak selalu tentang apa yang paling menarik, tapi tentang apa yang paling sesuai dengan jalan hidupmu."Du Fei mengusap sisik di pipinya. "Dulu, Guru pernah mengatakan sisik ini mungkin pertanda. Apa mak
"Dasar anak itu," gerutu Da Ye, masih menggaruk punggungnya. "Sampai detik terakhir pun masih sempat menjahili kita."Chang Su terkekeh di tengah rasa gatalnya. "Setidaknya kita tahu dia pergi dengan hati senang."“Kau selalu saja membela bocah tengik itu!” omel Da Ye lagi, “ayo cepat ambilkan obat penawarnya!”Kedua pria tua itu bergegas menuju ke pondok sambil bergantian menggaruk punggung dan lengan rekannya. Sementara itu Du Fei memulai perjalanannya ke Gunung Huolong dengan penuh semangat.Tiba-tiba ia meraba sesuatu dari dalam kantung lengan bajunya, manisan berbentuk boneka wanita. Ia pun teringat akan janjinya pada gadis kecil, Yao Chen.“Sebaiknya aku mampir dulu ke Hoa Mei untuk menyerahkan manisan boneka ini pada ibu Yao Chen sebelum pergi ke Gunung Huolong,” pikir Du Fei. Kaki-kaki pemuda bertopeng itu melangkah ringan di jalan setapak saat berbelok menuju Gunung Ermei.Senja baru turun ketika Du Fei memasuki kedai teh di kaki Gunung Ermei. Kedai sederhana itu hanya memilik
Rembulan mengintip malu-malu dari balik awan ketika Du Fei menyelinap masuk ke dalam biara Hoa Mei. Langkahnya seringan kapas, tak menimbulkan suara sedikitpun di lantai kayu yang sudah tua.Pemuda itu telah mengantongi informasi keberadaan Xiao Lin saat mencuri dengar percakapan dua murid Hoa Mei yang kebetulan membicarakan tentang ibunda Yao Chen itu.Di tengah aula yang remang-remang, seorang wanita berjubah abu-abu berlutut menghadap altar, tubuhnya bergerak seirama dengan doa yang dibacakan. Du Fei tersenyum lega di balik topengnya, akhirnya ia menemukan Xiao Lin.Dengan hati-hati, ia menghampiri biksuni yang tengah berlutut membelakanginya dengan hati-hati."Nona Xiao," Du Fei mengulurkan tangan menyentuh pundak wanita itu, namun kata-katanya terputus oleh kilatan dingin pedang yang melesat ke arah lehernya.Du Fei memiringkan tubuh, menghindar dalam sepersekian detik. Ujung pedang hanya berhasil merobek lengan jubahnya. Matanya membelalak kaget, di hadapannya yang berdiri dengan
Pedang di tangan Xiao Lin gemetar seiring dengan getaran tubuhnya. Matanya bertemu dengan mata Du Fei, ia melihat ada keteguhan di sana, di balik topeng hitam keemasannya."Nona Xiao," Du Fei berkata tenang, tak gentar meski ujung pedang terarah ke dadanya. "Aku tak takut mati. Hanya saja aku tak tega bila seumur hidup kau dihantui perasaan bersalah karena membunuhku. Kita berdua tahu kebenarannya, jangan sampai ketaatan pada gurumu yang kejam itu membutakan hatimu!""Tutup mulutmu!" Yun Hui membentak, matanya berkilat marah. "Berani mengatakan aku kejam, kau sendiri apa? Tak lebih dari manusia hina!""Lebih baik dianggap manusia hina," desis Du Fei, matanya menatap tajam menembus jiwa sang biarawati, "daripada bersembunyi di balik topeng biksuni padahal kelakuan layaknya iblis!"Wajah Yun Hui merah padam menahan amarah. "Bunuh dia, Xiao Lin!" bentaknya tak sabar.Xiao Lin mengangkat pedang, ujungnya yang tajam mengarah ke dada Du Fei. "Ma-maafkan aku!" bibirnya bergetar, air mata men
"Sebelas lawan satu?" Suara dingin terdengar dari balik tudung hitam. "Memalukan!"Ming Mei menggertakkan gigi, "Siapa kau? Berani-beraninya mencampuri urusan Hoa Mei!"Bukannya menjawab, sosok itu melesat maju. Gerakan tubuhnya seringan kapas namun ayunan gelang bergerigi di tangannya mematikan bagai ular berbisa."Jangan biarkan dia lolos!" seru Ming Mei, mengayunkan cambuknya.Sepuluh murid Hoa Mei bergerak dalam formasi bulan sabit, pedang mereka menciptakan gulungan sinar yang mengurung sosok tersebut. Namun sosok misterius itu hanya tersenyum sinis meremehkan.Gelang-gelang besi di tangannya berputar hingga membentuk pusaran perak, "Jurus Gelang Naga Mengamuk.”Udara berdesing saat senjata mematikan itu berputar semakin cepat membentuk gulungan sinar memangkas cambuk Ming Mei, meninggalkan serpihan-serpihan halus yang melayang bagai salju hitam. Ming Mei memekik kaget dan segera melompat mundur.Kesepuluh murid Hoa Mei mengambil alih, bersatu menusukkan pedang ke arah sosok itu
Suasana semakin tegang ketika puluhan murid Hoa Mei mulai mengepung Jin She, tatapan mereka tajam dan mengancam. Dalam sikap tenangnya, Jin She tetap berdiri kokoh, mata menyapu sekeliling dengan pandangan mengejek. Dari kerumunan, Ming Mei menyeruak maju, berseru dengan lantang agar gurunya, Biarawati Yun Hui mendengar dengan jelas."Ketua, aku tahu dia ini adalah sekutu Du Fei!" Telunjuk Ming Mei menuding ke arah Jin She dengan penuh emosi, "kalau dia ada di sini, maka itu berarti Du Fei juga pasti berada tak jauh."Biarawati Yun Hui yang berdiri sedikit lebih jauh, melipat tangannya di dada, menatap Jin She dengan pandangan yang sulit diterka. Jin She hanya tersenyum kecil, tanpa ada sedikit pun gurat-gurat ketakutan di wajahnya."Aku nenek dari Du Fei," suaranya tenang namun menantang. "Jika ada yang berani menyakiti cucuku, kalian harus berhadapan denganku terlebih dulu."Murid-murid lain tampak saling bertukar pandang, jelas terkejut mendengar pernyataan itu. Biarawati Yun Hui
Suara langkah para biksuni menggema di lorong ketika Biarawati Yun Hui, diikuti beberapa murid, menuju ke arah gudang yang terletak paling belakang dari gedung. Setelah tiba di depan pintu gudang, pandangan Yun Hui tertuju pada pintu kayu tua, seluruh lapisan pintu itu berdebu menunjukkan ruangan tersebut sudah lama tak terjamah, kecuali ada beberapa cap tangan manusia di sisi pintu yang menarik perhatiannya. "Guru, tunggu!" Ming Mei tiba-tiba sudah berdiri di depan Yun Hui, membentangkan tangan seolah sedang melindungi sesuatu … atau seseorang. "Gudang ini penuh sesak, barang-barang di dalamnya bisa jatuh dan melukai Guru."Yun Hui tak bergeming, hanya tatapannya yang tajam menusuk ke dalam mata Ming Mei. Dengan satu dorongan pelan, Ming Mei terpaksa menyingkir ke samping. Ketua Hoa Mei melayangkan kakinya ke arah pintu dengan keras hingga pintu gudang terbuka lebar dan nyaris copot dari engselnya, menguak kegelapan di dalam ruangan yang pengap. Para murid segera memasuki ruangan,
Ming Mei segera mengayunkan pedangnya, memotong angin dengan kekuatan penuh. Du Fei bergerak zigzag, mengelak dari serangan demi serangan. Gerakan mereka secepat bayangan, saling berbalas tanpa jeda. Setiap sabetan pedang murid Hoa Mei itu ditepis tepat oleh Du Fei, yang kini memegang tongkatnya dengan kedua tangan, menciptakan ritme seperti tarian mematikan di tengah aula."Sebaiknya kau menyerah, Ming Mei!" seru Du Fei, sambil menyarangkan pukulan keras yang membuat gadis itu terdorong ke belakang.Akan tetapi Ming Mei tak menyerah. la kembali melesat, mengayunkan pedangnya dalam gerakan memutar,nyaris membelah tubuh Du Fei. Dengan satu lompatan tinggi, pemuda itu berhasil menghindar, balas menyerang menghantamkan tongkat yang membuat Ming Mei sempat kehilangan keseimbangan saat menghindar.Murid ke-dua Hoa Mei itu menggeram, matanya penuh dendam, "Kau pikir ini permainan? Kau tak lebih dari anak bodoh yang tak mengerti apa-apa!"Du Fei hanya tersenyum tipis. "Permainan? Ini lebih
"Apa-apaan kau ini?!" Suara Panglima Lin menggelegar mengalahkan suara air terjun di belakangnya. Ya Ci hanya bisa menunduk, rambut hitamnya yang basah jatuh menutupi wajah cantiknya yang pucat."Selama sepuluh tahun aku mendidikmu menjadi pembunuh tanpa ampun. Kau bahkan tak berkedip saat mencabut nyawa mereka," Panglima Lin mondar-mandir dengan murka. "Sekarang apa yang terjadi dengan murid kebanggaanku?"Feng Wei bersandar pada sebatang pohon, jubah merahnya berkibar ditiup angin. Bibirnya tersenyum mengejek. "Ah, cinta memang buta. Sungguh menggelikan melihat seorang pembunuh berdarah dingin luluh hanya karena wajah tampan dan sikap ksatria palsu."Provokasi penyihir dari Negeri Wu berhasil menyulut kemarahan Panglima Lin."Jawab aku!" Panglima Lin mencengkeram bahu Ya Ci kuat-kuat. "Kau jatuh hati pada pemuda itu?"Ya Ci mengangkat wajah, matanya yang indah menatap tegas sang paman, "Paman, Ya Ci hanya tidak ingin mengotori tangan dengan membunuh orang yang tidak bersalah."PLAKK
“Keluar kau, Pengecut!” bentak Du Fei nyaring. Angin mendadak bertiup kencang. Dari atas pepohonan, sesosok pria melayang turun seringan kapas. Jubah merahnya yang mewah berkibar dipermainkan angin. Dengan wajah cukup tampan namun dingin, dan bekas luka tipis melintang di pipi kiri menciptakan kesan pria itu sangat berbahaya. Di pinggangnya terselip belasan kantong kecil yang mengeluarkan aroma aneh - campuran dupa dan sesuatu yang berbau busuk. "Siapa kau?" Du Fei menghunus pedangnya, merasakan energi jahat yang menguar dari pria itu. “Kekuatanmu bukan dari alam ini tapi dari iblis.” “Kau tidak tahu siapa dia,” Panglima Lin tersenyum sinis, “Dia adalah Jenderal Feng Wei, pemilik elemen api.” Pria berjubah merah itu mengangkat tangannya. Api muncul di atas telapak tangannya, bergulung-gulung ke atas. "Lepaskan gadis itu!" suaranya dalam dan mengancam. "Atau kau akan merasakan kekuatan sejati penguasa elemen api." "Seorang pembunuh tetap harus diadili," Du Fei mengeratkan peganga
"Karena aku sudah menolongmu," Du Fei mengulurkan tangan ke arah Ya Ci yang masih berdiri di air sebatas pinggang. Tetes-tetes air mengalir dari jubah hitamnya yang basah. "Maukah kau memberitahu siapa namamu yang sebenarnya?"Ya Ci menatap tangan yang terulur itu. Jemarinya yang lentik bergerak ragu sebelum akhirnya menyambut uluran tangan Du Fei. Rona merah menyapu pipinya yang seputih pualam. "Ya Ci ... panggil saja aku Ya Ci," gadis berpakaian serba hitam itu menatap Du Fei begitu mereka berdiri berhadapan. "Ya Ci …,” Du Fei mengucapkan nama itu perlahan, seolah menikmati setiap suku katanya. Namun dalam sekejap, tatapannya berubah dingin. Genggaman lembutnya berubah menjadi cengkeraman baja."Akh!" Ya Ci terkesiap, mencoba menarik tangannya kembali namun terlambat. Jantungnya berdegup kencang merasakan kekuatan di balik cengkeraman itu."Ya Ci si Pembunuh Berdarah Dingin," Du Fei mendesis di telinganya. "Yang menghabisi sepuluh nyawa tanpa belas kasihan di hutan sebelah barat.
Di bawah sinar matahari yang menembus dedaunan, Du Fei mengamati mata Ya Ci yang semakin memerah. Pembuluh darah di sekitar irisnya mulai menghitam - tanda racun yang mematikan."Racun ungu dari Lembah Iblis," Du Fei menghela nafas. "Dalam waktu satu jam akan merusak setiap saraf penglihatanmu secara permanen."Ya Ci terhenyak. Rona merah di wajahnya yang seputih pualam memudar. Jemarinya yang lentik mencengkeram ujung lengan jubah hitamnya, berusaha tetap tenang meski menahan kengerian yang mencekam."Tapi …," Du Fei mengambil selangkah mendekat. Aroma tipis bunga persik menguar dari tubuh Ya Ci. "Aku dapat menyembuhkan bila Nona berkenan.""Kau bisa menyembuhkanku?" Ya Ci mengangkat wajahnya. Mata yang indah kini berkabut, ia berusaha memfokuskan pandangan pada sosok di hadapannya. "Katakan, berapa yang kau minta? Aku akan membayar berapapun!"“Aku tidak membutuhkan uangmu, Nona!” Senyum tipis tersungging di bibir Du Fei. Tangannya terulur perlahan, "kau hanya perlu percaya saja.""
Mengetahui berada di bawah angin, Cheng Hao, ketua sekte Matahari Sakti mengeluarkan trik liciknya."Rasakan ini!" Dengan gerakan secepat kilat Cheng Hao melemparkan kantong hitam ke udara di atas kedua musuhnya. Kantong itu meledak dengan suara mendesis, menyemburkan asap ungu pekat yang berbau tajam menyengat.Gadis bercadar yang mendongak ke atas segera melompat mundur seraya melindungi wajahnya, namun terlambat. Sebagian asap telah masuk ke matanya. “Akh!" ia mengerang tertahan saat merasakan pedih yang luar biasa di kedua bola matanya. Air mata mengalir tanpa mampu dibendung membasahi cadarnya. Racun itu terasa seperti ribuan jarum yang menusuk mata."Ya Ci!" Pria setengah baya di samping gadis itu berseru cemas, hingga tak sadar menelan asap beracun yang mengungkungnya.“Hoekk!” Pria itu berusaha memuntahkan racun asap ungu namun sia-sia. Ia menjauh dari kepungan asap dan berusaha mengatur pernafasan.Namun delapan orang pendekar sekte Matahari Sakti tak membiarkannya memulih
"Siluman itu terbang ke arah sana!" A Lung menunjuk ke arah sisi gunung dengan tangan gemetar. "Dia membawa Yun Hao yang tak sadarkan diri … pemuda itu terluka parah."Rahang Du Fei menegang, matanya yang tajam menatap ke arah puncak gunung yang diselimuti awan gelap. Xie She Tai Tai telah menggunakan Yun Hao sebagai umpan untuk memancingnya."Aku harus mengejarnya," Du Fei bangkit berdiri namun urung melangkah saat menyadari sesuatu, "Tapi kalian butuh pertolongan segera.""Pergilah …," Jenderal Lo tersenyum lemah. "Selamatkan dia ... kami ... akan bertahan ...."Du Fei kembali berlutut di samping Jenderal Lo yang terbaring tak berdaya di pangkuan A Lung. Darah masih mengucur dari luka di bahu, warna kulitnya semakin pucat karena kehilangan banyak darah."Bertahanlah, Jenderal!" Du Fei mengeluarkan sebuah kantong kecil dari balik jubahnya. "Lukamu cukup dalam."Dengan cekatan ia menyibak baju bagian atas Jenderal Lo, memeriksa luka tusukan yang menganga. Cairan kehitaman terlihat di
Yun Hao melangkah hati-hati melewati tirai segel pelindung. Kertas-kertas mantra berpendar semakin terang, seolah memperingatkan bahaya yang menanti. Ia menggenggam erat pedang, mengambil kuda-kuda bersiap menghadapi puluhan ular berbisa yang mendesis dengan kepala terangkat tinggi."Bertahanlah, Jenderal!" seru Yun Hao seraya melesat ke depan. Dua ekor ular hitam sebesar lengan menyerang bersamaan, mulut mereka menganga menunjukkan taring-taring yang siap merobek kulit dan daging mangsanya.CRASH! CRASH!Pedang Yun Hao bergerak secepat kilat, membelah kedua ular tersebut menjadi beberapa potongan. Darah hitam menyembur dari potongan-potongan tubuh ular yang jatuh ke tanah. Di luar dugaan dari semburan darah, muncul ular-ular lain yang lebih besar. Sisik mereka berwarna kehijauan dengan mata kuning menyorot liar."Ini tidak mungkin!" Yun Hao terkesiap, berguling ke samping saat tiga ekor ular meluncur ke arah kakinya. Ia bangkit berdiri dengan cepat lalu melompat dan bertumpu pada se
Di dalam Padang Ilusi Seribu Wajah, udara terasa mencekik. Cermin-cermin raksasa berputar mengelilingi Du Fei, memantulkan bayangan-bayangan mengerikan - sosok-sosok gelap dengan tangan cakar, wajah-wajah rusak yang menjerit, dan pemandangan mimpi buruk yang mampu menghancurkan kewarasan."Bagaimana rasanya, Pembunuh Hu Mei?" suara tawa melengking Xie She Tai Tai menggema dari segala arah. "Setiap cermin menampilkan ketakutan terdalam manusia. Semakin kau melawan, semakin dalam kau tenggelam dalam kegilaan!"Du Fei berputar menghindari serangan bayangan-bayangan mengerikan dari cermin. Pedangnya bergulung-gulung membentuk kilatan cahaya setiap kali bergerak."Kau tak akan bisa keluar dari sini!" suara Xie She Tai Tai menggema. "Nikmati kematianmu sementara aku mengurus dua temanmu!""Jangan sentuh mereka atau kau akan menyesal!" Du Fei berusaha mengejar, namun sosok siluman itu lenyap bagai asap. Cermin-cermin di sekelilingnya mulai berputar lebih cepat, membuat kepalanya berdenyut-de
Yun Hao melangkah keluar dari gua pohon, matanya menyipit saat menyesuaikan dengan cahaya pagi. Ia melihat Du Fei berdiri beberapa langkah dari sana, mengawasi sekeliling dengan waspada."Du Fei?" Yun Hao mendekat. "Sedang apa kau di sini?""Ada yang tidak beres," Du Fei berbisik tanpa menoleh, matanya awas mengamati sekitar. "Kau merasakannya? Udara di sini terlalu dingin untuk pagi hari.""Apa maksudmu?""Siluman lain," Du Fei menggenggam erat gagang pedang. "Jauh lebih kuat dari Hu Mei. Baunya tercium meski dari kejauhan."Angin dingin berhembus, membuat dedaunan berdesir tidak wajar. Yun Hao merasakan bulu kuduknya meremang."Kita harus segera pergi dari sini," Du Fei berbalik menghadap Yun Hao. "Tidak mungkin kita meninggalkan Paman Chang," Yun Hao menggeleng tegas. "Dia masih terlalu lemah untuk berjalan jauh apalagi mendaki gunung.""Tapi bahaya akan semakin dekat, sementara aku harus mencari Pedang Naga Api.""Kalau begitu pergilah duluan!” Yun Hao menatap Du Fei. "Lanjutkan