Mentari siang sedang memantulkan kilau keemasan di permukaan sungai ketika Du Fei melompati bebatuan menuju tepi air untuk membasuh muka dan minum. Angin sejuk membelai wajahnya, dan mempermainkan rambutnya yang sebagian dibiarkan tergerai mencapai bahu.Du Fei melepas topeng wajah dan meletakkannya di atas bebatuan yang cukup tinggi sebelum mencuci muka. Setelah selesai, Du Fei duduk di atas batu besar, melepas lelah sambil menikmati pemandangan hijau di sekitarnya.Bibirnya membentuk senyuman puas mengingat serbuk Bayangan Dosa yang ia taburkan di sumur semalam, berhasil membuat Lin Mo berhalusinasi dan mengakui semua kejahatannya, mulai dari memfitnah Du Fei sampai mencuri uang kas perguruan sekian lama hanya untuk bersenang-senang. Kini murid Bu Tong Pai itu diusir dengan tidak hormat, untuk sementara Bu Tong Pai dalam kondisi aman. Paling tidak sampai Tetua Lin kembali.Ketika mengedarkan pandangan ke sekeliling sungai, matanya menangkap sosok mungil di atas batu di tepi sungai.
Debu berwarna keemasan menari-nari di dalam sebuah kuil tua yang sunyi. Sinar matahari menembus celah-celah atap genteng, jatuh di atas meja altar usang, menerangi sosok tua yang sedang tertidur dalam posisi miring dengan kepala bertumpu pada tangan kanannyaDa Ye, ketua Partai Pengemis, Kai Pang, mendengkur dengan kerasnya hingga menggema di ruangan kosong, sesekali diselingi igauan tentang ayam goreng dan arak. Jubah lusuh abu-abu penuh tambalan yang ia kenakan, bergerak naik turun mengikuti irama nafasnya yang teratur.Sekelebat bayangan hitam melintas di ambang pintu. Du Fei, mengintip dari balik pilar kayu yang lapuk. Pemuda itu menyeringai jahil di balik topeng, memperlihatkan deretan gigi putih bersih yang tertata rapi, saat melihat gurunya yang tertidur pulas. Dengan gerakan sehalus kucing, pemuda itu mengeluarkan sebuah botol kecil dari sakunya, ramuan gatal-gatal yang ia pelajari dari Chang Su."Maaf, Guru," bisiknya geli seraya meneteskan cairan itu ke ujung tongkat Penggeb
Du Fei duduk bersila di atap kuil, memandang bulan yang bersinar terang. Topeng hitam keemasan tergeletak di sampingnya, memperlihatkan sisik-sisik naga di pipinya yang mengkilap tertimpa cahaya bulan."Mengapa tidak tidur?" Terdengar suara Chang Su menegur dari bawah. "Tidak biasanya kau melepas topengmu, Du Fei!"Du Fei tersenyum tipis. "Aku sedang berpikir, Guru. Tentang pilihan yang kalian berikan tadi pagi."Chang Su melompat dengan ringan ke atas atap, duduk di samping muridnya. "Apakah sekarang kau sudah memutuskan?""Aku merasa ... kedua pilihan itu sama-sama menarik," Du Fei menghela nafas. "Menjadi pejabat dan memberantas korupsi dari dalam, atau mencari Pedang Naga Api dan menjadi pendekar sejati.""Kau tahu," Chang Su menyalakan pipa tembakau di tangannya, "kadang pilihan tidak selalu tentang apa yang paling menarik, tapi tentang apa yang paling sesuai dengan jalan hidupmu."Du Fei mengusap sisik di pipinya. "Dulu, Guru pernah mengatakan sisik ini mungkin pertanda. Apa mak
"Dasar anak itu," gerutu Da Ye, masih menggaruk punggungnya. "Sampai detik terakhir pun masih sempat menjahili kita."Chang Su terkekeh di tengah rasa gatalnya. "Setidaknya kita tahu dia pergi dengan hati senang."“Kau selalu saja membela bocah tengik itu!” omel Da Ye lagi, “ayo cepat ambilkan obat penawarnya!”Kedua pria tua itu bergegas menuju ke pondok sambil bergantian menggaruk punggung dan lengan rekannya. Sementara itu Du Fei memulai perjalanannya ke Gunung Huolong dengan penuh semangat.Tiba-tiba ia meraba sesuatu dari dalam kantung lengan bajunya, manisan berbentuk boneka wanita. Ia pun teringat akan janjinya pada gadis kecil, Yao Chen.“Sebaiknya aku mampir dulu ke Hoa Mei untuk menyerahkan manisan boneka ini pada ibu Yao Chen sebelum pergi ke Gunung Huolong,” pikir Du Fei. Kaki-kaki pemuda bertopeng itu melangkah ringan di jalan setapak saat berbelok menuju Gunung Ermei.Senja baru turun ketika Du Fei memasuki kedai teh di kaki Gunung Ermei. Kedai sederhana itu hanya memilik
Rembulan mengintip malu-malu dari balik awan ketika Du Fei menyelinap masuk ke dalam biara Hoa Mei. Langkahnya seringan kapas, tak menimbulkan suara sedikitpun di lantai kayu yang sudah tua.Pemuda itu telah mengantongi informasi keberadaan Xiao Lin saat mencuri dengar percakapan dua murid Hoa Mei yang kebetulan membicarakan tentang ibunda Yao Chen itu.Di tengah aula yang remang-remang, seorang wanita berjubah abu-abu berlutut menghadap altar, tubuhnya bergerak seirama dengan doa yang dibacakan. Du Fei tersenyum lega di balik topengnya, akhirnya ia menemukan Xiao Lin.Dengan hati-hati, ia menghampiri biksuni yang tengah berlutut membelakanginya dengan hati-hati."Nona Xiao," Du Fei mengulurkan tangan menyentuh pundak wanita itu, namun kata-katanya terputus oleh kilatan dingin pedang yang melesat ke arah lehernya.Du Fei memiringkan tubuh, menghindar dalam sepersekian detik. Ujung pedang hanya berhasil merobek lengan jubahnya. Matanya membelalak kaget, di hadapannya yang berdiri dengan
Pedang di tangan Xiao Lin gemetar seiring dengan getaran tubuhnya. Matanya bertemu dengan mata Du Fei, ia melihat ada keteguhan di sana, di balik topeng hitam keemasannya."Nona Xiao," Du Fei berkata tenang, tak gentar meski ujung pedang terarah ke dadanya. "Aku tak takut mati. Hanya saja aku tak tega bila seumur hidup kau dihantui perasaan bersalah karena membunuhku. Kita berdua tahu kebenarannya, jangan sampai ketaatan pada gurumu yang kejam itu membutakan hatimu!""Tutup mulutmu!" Yun Hui membentak, matanya berkilat marah. "Berani mengatakan aku kejam, kau sendiri apa? Tak lebih dari manusia hina!""Lebih baik dianggap manusia hina," desis Du Fei, matanya menatap tajam menembus jiwa sang biarawati, "daripada bersembunyi di balik topeng biksuni padahal kelakuan layaknya iblis!"Wajah Yun Hui merah padam menahan amarah. "Bunuh dia, Xiao Lin!" bentaknya tak sabar.Xiao Lin mengangkat pedang, ujungnya yang tajam mengarah ke dada Du Fei. "Ma-maafkan aku!" bibirnya bergetar, air mata men
"Sebelas lawan satu?" Suara dingin terdengar dari balik tudung hitam. "Memalukan!"Ming Mei menggertakkan gigi, "Siapa kau? Berani-beraninya mencampuri urusan Hoa Mei!"Bukannya menjawab, sosok itu melesat maju. Gerakan tubuhnya seringan kapas namun ayunan gelang bergerigi di tangannya mematikan bagai ular berbisa."Jangan biarkan dia lolos!" seru Ming Mei, mengayunkan cambuknya.Sepuluh murid Hoa Mei bergerak dalam formasi bulan sabit, pedang mereka menciptakan gulungan sinar yang mengurung sosok tersebut. Namun sosok misterius itu hanya tersenyum sinis meremehkan.Gelang-gelang besi di tangannya berputar hingga membentuk pusaran perak, "Jurus Gelang Naga Mengamuk.”Udara berdesing saat senjata mematikan itu berputar semakin cepat membentuk gulungan sinar memangkas cambuk Ming Mei, meninggalkan serpihan-serpihan halus yang melayang bagai salju hitam. Ming Mei memekik kaget dan segera melompat mundur.Kesepuluh murid Hoa Mei mengambil alih, bersatu menusukkan pedang ke arah sosok itu
Suasana semakin tegang ketika puluhan murid Hoa Mei mulai mengepung Jin She, tatapan mereka tajam dan mengancam. Dalam sikap tenangnya, Jin She tetap berdiri kokoh, mata menyapu sekeliling dengan pandangan mengejek. Dari kerumunan, Ming Mei menyeruak maju, berseru dengan lantang agar gurunya, Biarawati Yun Hui mendengar dengan jelas."Ketua, aku tahu dia ini adalah sekutu Du Fei!" Telunjuk Ming Mei menuding ke arah Jin She dengan penuh emosi, "kalau dia ada di sini, maka itu berarti Du Fei juga pasti berada tak jauh."Biarawati Yun Hui yang berdiri sedikit lebih jauh, melipat tangannya di dada, menatap Jin She dengan pandangan yang sulit diterka. Jin She hanya tersenyum kecil, tanpa ada sedikit pun gurat-gurat ketakutan di wajahnya."Aku nenek dari Du Fei," suaranya tenang namun menantang. "Jika ada yang berani menyakiti cucuku, kalian harus berhadapan denganku terlebih dulu."Murid-murid lain tampak saling bertukar pandang, jelas terkejut mendengar pernyataan itu. Biarawati Yun Hui
Qi Lung berdiri di depan cermin besar yang terbuat dari perunggu mengkilap. Jari-jarinya yang panjang merapikan jubah kebesaran kaisar berwarna emas dengan bordiran naga hitam—jubah yang seharusnya hanya dikenakan oleh Raja Yu Ping. Ia menarik napas dalam-dalam, menikmati sensasi kain sutra berkualitas tertinggi yang menyentuh kulitnya, serta beban mahkota raja yang terasa pas di kepalanya."Apakah semuanya sudah siap?" tanya Qi Lung tanpa menoleh ke belakang, tatapannya masih terpaku pada refleksi dirinya di cermin.Kasim kepala membungkuk dalam-dalam. "Sudah, Yang Mulia. Aula Keadilan Langit telah disiapkan sesuai perintah. Para menteri dan pejabat tinggi telah dikumpulkan.""Dan tahanan kita?""Pangeran Zhen Yi sedang dibawa ke aula. Ia masih... belum sepenuhnya sadar, Yang Mulia."Senyum tipis tersungging di bibir Qi Lung. "Sempurna." Ia berbalik, merapikan sedikit lagi jubahnya. "Dan pastikan tidak ada yang menginterupsi sidang hari ini. Terutama Pangeran Yun Hao.""Hamba menger
Kabut tipis melayang di atas taman istana, menyelimuti paviliun-paviliun dan kolam teratai dalam kehampaan pagi yang sunyi. Tidak ada kicauan burung, tidak ada bisikan angin—seolah seluruh istana menahan napas, menunggu dalam kecemasan. Para dayang dan kasim berjalan hampir tanpa suara di sepanjang koridor yang mengarah ke paviliun tempat Raja Yu Ping terbaring sakit.Di dalam kamar utama yang luas, hawa dingin menyelinap melalui celah-celah jendela meskipun beberapa tungku pemanas telah dinyalakan. Tirai-tirai sutra merah keemasan menutupi jendela, membuat ruangan temaram meski matahari sudah merangkak naik di langit pagi. Di atas pembaringan megah berlapis sutra, Raja Yu Ping terbaring lemah. Wajahnya yang biasanya tegas dan berwibawa kini pucat, dengan lingkaran hitam di bawah matanya yang tertutup. Napasnya berat dan tidak teratur, kadang tersengal seolah setiap tarikan udara membutuhkan usaha besar. Keringat dingin membasahi dahinya meskipun udara di ruangan terasa sejuk.Di sam
Paviliun Bulan Musim Gugur berdiri megah di sudut timur istana, dikelilingi oleh pohon-pohon maple yang daunnya mulai berubah kemerahan. Cahaya temaram dari lentera-lentera merah menyinari ruangan tengah paviliun dimana tiga sosok pangeran duduk mengelilingi meja bundar dari marmer."Sudah lama sekali kita tidak berkumpul seperti ini," ucap Qi Lung sambil menuangkan arak berwarna keemasan ke dalam tiga cawan porselen putih berukir naga. "Terakhir kali mungkin saat perayaan musim semi tahun lalu."Uap tipis mengepul dari cawan-cawan tersebut, membawa aroma manis arak berkualitas tinggi. Di atas meja tersaji berbagai hidangan mewah – daging angsa panggang dengan saus plum, ikan sungai dikukus dengan jahe, dan berbagai hidangan langka lainnya."Arak langka dari Wilayah Barat," Qi Lung mengangkat cawannya. "Hanya ada beberapa guci saja yang dikirim sebagai persembahan untuk Ayahanda."Zhen Yi menatap cairan di cawannya dengan ragu. Sebagai penghuni biara, ia sudah hampir tak pernah menyen
Zhen Yi kembali berlutut, kali ini lebih dekat dengan tempat tidur. "Ibu, jangan berkata seperti itu. Zhen Yi hanya memiliki satu orang Ibu. Meskipun... meskipun Ibu mungkin tidak selalu memperlihatkan kasih sayang, Zhen Yi tahu Ibu peduli."Air mata Qi Yue makin deras mengalir, musuh besarnya melahirkan sosok pangeran berhati emas. Sementara dirinya melahirkan sosok pangeran berhati iblis. Seandainya waktu dapat diputar kembali, ia ingin memperbaiki semuanya. Tetapi nasi sudah menjadi bubur.***Setelah keluar dari kamar Putri Qi Yue, Zhen Yi tampak merenung. Ia melangkah pelan menyusuri koridor panjang istana yang dihiasi lampion-lampion merah. Tatapannya kosong, seolah pikirannya berada di tempat yang jauh.Yun Hao menepuk pundak Zhen Yi, menyadarkannya dari lamunan. "Apa yang kau pikirkan, adikku? Sejak keluar dari kamar Ibu, kau seperti orang yang kehilangan arwah."Zhen Yi menghela napas panjang. "Aku merasa Ibu ingin menyampaikan sesuatu padaku, tapi tidak bisa mengatakannya de
Lorong-lorong Istana bagian timur tampak lebih sunyi dari biasanya. Para dayang dan kasim berjalan hampir tak bersuara, seolah takut mengusik ketenangan yang rapuh di dalam istana tersebut. Berita tentang sakitnya Putri Qi Yue telah menyebar ke seluruh istana dan membuat suasana istana seperti sedang berkabung.Yun Hao melintas di koridor beratap yang menghubungkan paviliun utama dengan sayap timur istana. Di sampingnya, Zhen Yi mendampingi dengan wajah cemas. "Kakak, mengapa Ibu tidak pernah memberitahu kita bahwa beliau sedang sakit?" tanya Zhen Yi dengan suara tertahan. "Seandainya kau tidak memberitahuku, aku tak akan pernah tahu."Yun Hao menghela napas sedih, "Mungkin karena Ibu tak pernah menganggap kita ada. Tapi bagaimanapun dia adalah ibu kandung kita, meski mungkin nanti dia akan mengusir kau dan aku."Mereka berhenti di depan pintu kamar Putri Qi Yue yang tertutup rapat. Dua pengawal membungkuk hormat, lalu membukakan pintu untuk kedua pangeran.Aroma dupa wangi dan ram
Dedaunan bergoyang lembut dipermainkan angin semilir di taman istana saat Yu Ping berjalan sendirian di antara bunga-bunga yang mekar. Wajahnya tampak lelah, akhir-akhir ini banyak hal merisaukan hatinya. Sudah menjadi kebiasaan bagi sang Raja untuk menyendiri di taman setiap senja.Angin sore berhembus, membawa kenangan yang tak pernah pudar. Yu Ping menghela napas panjang, belasan tahun telah berlalu sejak kepergian Qing Ning, namun kerinduannya tak pernah surut. Setiap wanita yang hadir dalam hidupnya setelah itu hanyalah bayangan sementara, tak mampu mengisi kekosongan yang menganga di hati.Tiba-tiba, perhatiannya teralih oleh sesuatu yang melayang jatuh dari langit. Sebuah layang-layang berwarna merah cerah tersangkut di dahan pohon persik tak jauh darinya. Yu Ping menatapnya sejenak, kemudian memutuskan untuk mengabaikannya. Urusan layang-layang bukanlah hal yang patut diperhatikan oleh seorang raja."Maaf... bisakah Anda membantu mengambilkan layang-layang saya yang tersangkut
Hari-hari berlalu dengan lambat di istana Negeri Qi. Musim gugur yang biasanya membawa warna-warna indah dan angin sejuk kini terasa berbeda bagi Raja Yu Ping. Setelah perayaan ulang tahunnya, sesuatu dalam diri sang raja telah berubah. Senyum yang biasa terukir di wajahnya kini jarang terlihat. Tatapannya sering menerawang jauh, pikirannya melayang entah kemana.Para menteri mulai berbisik-bisik, bertanya-tanya apa yang terjadi pada raja mereka. Yu Ping yang dulu selalu bersemangat saat pertemuan resmi, kini lebih banyak diam dan melamun. Keputusan-keputusan penting yang biasanya diambil dengan cepat dan tegas, kini membutuhkan waktu lebih lama.Di taman istana, Yu Ping duduk sendirian di bawah pohon plum, matanya menatap kolam ikan tanpa benar-benar melihatnya. Yang terbayang di pelupuk mata hanyalah sosok penari bercadar yang muncul di pesta ulang tahunnya—sosok yang begitu mirip dengan Qing Ning, cinta pertamanya yang telah meninggal."Tidak mungkin itu dia," bisiknya pada diri s
Pangeran Qi Lung yang melihat ayahnya kembali ke aula dengan wajah sedih, segera menghampirinya."Ada apa, Ayah? Apakah ada sesuatu yang mengganggu pikiran Ayah?" tanya Qi Lung, berpura-pura khawatir.Yu Ping menggeleng pelan, tatapannya masih menerawang. "Tidak ada." Ia kemudian menatap putranya dengan sorot mata menyelidik. "Kemana kau pergi selama beberapa minggu terakhir? Tiba-tiba saja kau pulang dan memberiku kejutan ini."Qi Lung terdiam sejenak, otaknya berputar cepat mencari jawaban yang masuk akal. "Aku bepergian untuk melihat bagaimana kehidupan rakyat dan apa yang mereka butuhkan, Ayah," jawabnya dengan lancar. "Dalam perjalananku, aku bertemu dengan rombongan pemusik keliling. Kupikir mereka bisa menghibur Ayah di hari ulang tahunmu."Yu Ping menatap putranya lekat-lekat, berharap Qi Lung mengetahui banyak tentang Qing Ning. "Aku melihat seseorang dari rombongan itu. Seorang gadis yang pernah kukenal dulu.""Oh ya?" Qi Lung pura-pura terkejut. “Siapa gadis itu, Ayah?”"A
Udara istana Negeri Qi dipenuhi aroma dupa wangi dan bunga-bunga segar. Suasana aula utama yang biasanya formal kini telah berubah menjadi tempat pesta yang meriah dengan hiasan-hiasan indah dan meja-meja yang dipenuhi hidangan lezat. Lilin-lilin berwarna keemasan menerangi ruangan, menciptakan suasana hangat dan mewah.Pangeran Qi Lung berjalan dengan langkah tenang melewati lorong-lorong istana, menuju ruang baca pribadi ayahandanya. Hatinya berdebar, bukan karena kegembiraan pesta, melainkan karena rencana besar yang sudah mulai bergerak."Ayahanda," Qi Lung memanggil sambil membungkuk hormat saat memasuki ruang baca.Raja Yu Ping mengangkat wajahnya dari gulungan yang sedang dibacanya. "Ada apa, Putraku?""Para menteri ingin membicarakan sesuatu yang penting dengan Ayahanda di aula utama," jawab Qi Lung dengan senyum yang disembunyikan.Yu Ping mengerutkan kening. "Malam-malam begini? Tidak bisakah menunggu sampai besok?""Ini sangat mendesak, Ayahanda. Mereka semua sudah menunggu