Ribuan tahun yang lalu -sekitar dua ratus tahun di alam nirwana-, Dewa Naga Qiulong memiliki sebuah pedang sakti yang dikenal sebagai Pedang Naga Api. Pedang ini memiliki kekuatan luar biasa untuk mengendalikan api dan air sekaligus.
Namun, dalam sebuah pertarungan sengit melawan dua panglima laskar langit, kekuatan pedang itu lepas kendali.
Gelombang tsunami dahsyat tercipta dari ayunan pedang Qiulong, menghantam pesisir dan menghancurkan ratusan desa. Ribuan nyawa melayang dalam sekejap mata. Qiulong, terguncang oleh kehancuran yang ia timbulkan,
Atas perintah Dewa Naga Ying Long, dengan berat hati, Qiulong membawa Pedang Naga Api ke palung terdalam di Laut Timur. Di sana, ia menyegel pedang itu dengan sihir kuno, berharap tak akan ada yang bisa menemukannya kecuali seorang manusia dengan energi api mu
Keesokan harinya, pengumuman resmi disebarkan ke seluruh penjuru Kerajaan Wu. Ratu Mei Ling mengadakan sayembara untuk mencari pendekar dengan kemampuan mengendalikan api. Hadiah yang dijanjikan sangat menggiurkan, yatu gelar kehormatan dan kedudukan tinggi di istana.Selama berhari-hari, ratusan orang berdatangan ke istana, mengklaim diri memiliki kekuatan api. Namun, tak satu pun lolos ujian ketat yang diadakan oleh para ahli sihir istana.Pada hari ke-30 sayembara, ketika Ratu Mei Ling mulai hilang harapan, seorang pria misterius muncul di gerbang istana. Ia memperkenalkan diri sebagai Feng Wei, seorang pendekar pengembara. Feng Wei berdiri tegap di hadapan Ratu dengan penuh percaya diri. usianya sekitar 35 tahun, dengan postur tubuh tinggi dan berpenampilan rapi. Wajahnya cukup tampan, ia mengenakan jubah berwarna merah mencolok sementara di baliknya ia mengenakan baju dalam berwarna putih bersih terbuat dari sutra. Celananya lebar berwarna putih, dipadu sepatu boot putih dari ku
"Kakak Lin, kau meracuni si Tua Bangka ini sudah lima tahun lamanya, mengapa dia bukannya mati malah semakin lincah dan bertenaga?" bisik Tetua Liu, matanya menyipit curiga.Tetua Lin hanya mendengus, kerutan di dahinya menunjukkan kecurigaan yang sama. Dalam hati, ia pun tak habis pikir. Setiap pagi, selama lima tahun ia telah membubuhkan racun Jantung Bayangan ke dalam makanan Ketua Ma, seperti yang pernah ia lakukan pada ketua terdahulu, Xun Huan. Namun hasilnya sangat berbeda.'Aku hanya membutuhkan waktu beberapa bulan untuk membuat Xun Huan tewas seperti terkena serangan jantung,' pikir pria haus kekuasaan itu sambil mengelus jenggot abu-abunya, 'Tapi Ketua Ma yang berusia lebih tua dan kekuatan tenaga dalamnya masih di bawah mendiang Xun Huan, bisa bertahan selama lima tahun dan dalam kondisi semakin bugar.'"Pasti ada sesuatu yang tidak beres," gumam Tetua Lin yang hanya bisa didengar oleh adik seperguruannya, tetua Liu. Ia berpaling ke arah Tetua Liu yang duduk di sampingnya
Du Fei mendekat, berpura-pura menyapa dengan ramah, "Wah, bukankah ini Tuan Lin Mo yang terkenal dengan jurus Tinju Selatan? Sungguh kehormatan bisa bertemu calon ketua Bu Tong Pai di sini!"Lin Mo, yang sudah setengah mabuk, tersenyum lebar. "Hah! Kau mengenalku, anak muda? Tentu saja, siapa yang tidak mengenal Lin Mo yang hebat!"Du Fei mengangguk sopan, tangannya dengan cekatan menukar sloki arak Lin Mo dengan yang baru. "Tentu saja, Tuan. Bagaimana kalau kita bersulang untuk kehebatan Anda?"Lin Mo terkekeh mabuk, matanya menyipit saat berusaha memperhatikan wajah pemuda di hadapannya dengan lebih jelas. Ia menyandarkan lengannya pada bahu Du Fei, “Mengapa sepertinya aku pernah melihatmu sebelumnya?”Du Fei tersenyum dan menjawab cepat, “Kalau Anda pelanggan rumah bordil ini, sudah pasti pernah bertemu denganku,”Lin Mo manggut-manggut sambil menyeringai lebar, “ah ya-ya kau benar, aku sering sekali kemari mengunjungi nona-nona cantik di sini.”Tanpa curiga, Lin Mo meneguk arak ya
"Ti-tidak, aku tidak butuh pelayanan apa pun!" seru Du Fei mulai panik. Ia berusaha menelan ludah, tenggorokannya terasa kering, "A-aku harus pergi sekarang!"Du Fei mencoba untuk kabur, akan tetapi para wanita itu menghalangi jalannya. Mereka semakin mendekat, aroma wewangian mereka membuat kepala Du Fei pusing."Ayolah, Pemuda tampan," bisik wanita lain di telinganya. "Kau pasti lelah setelah menjahili si Kera Sakti itu, biarkan kami memijatmu."Suasana di Wisma Bunga Peony semakin riuh. Du Fei yang terpojok di sudut ruangan, merasakan jantungnya berdegup kencang saat mereka menggodanya habis-habisan. Keringat dingin membasahi dahi, trauma masa lalu membuatnya lumpuh ketakutan."Ayolah, Tampan," seorang gadis berbisik di telinganya. "Kami bisa membuatmu melupakan semua masalahmu."Tepat saat Du Fei merasa akan pingsan, sebuah suara tegas mengurai kerumunan."Cukup, Anak-Anak! Biarkan tamu kita bernapas!"Para gadis serentak menoleh. Di ambang pintu berdiri Ching-Ching, sang pemilik
"Lalu aku harus bagaimana?" tanya Ketua Ma, menggosok-gosok keningnya dengan tangan yang berkeringat. Suaranya terdengar putus asa, "Jangan khawatir, Paman!” ujar Du Fei santai, “Aku akan membantumu ... kelicikan harus dibalas dengan kelicikan!" Ia mengedipkan mata dengan jenaka, kilatan nakal terpancar dari matanya yang tajam.Mendengar ini, Ketua Ma merasa sedikit lega. Ia menatap Du Fei dengan pandangan penuh rasa terima kasih bercampur penyesalan. "Kalau saja tak ada dirimu, mungkin aku sudah lama mati. Maafkan bila dulu Paman tak pernah melindungimu hingga kau hanya jadi bulan-bulanan di perguruan kita."Du Fei terdiam sejenak, kenangan masa lalu berkelebat di benaknya. Ia teringat hari-hari sulit ketika ia pertama kali tiba di Bu Tong Pai, seorang anak yatim piatu yang tak memiliki apa-apa selain tekad untuk bertahan hidup. Ejekan, pukulan, dan perlakuan buruk dari murid-murid lain, terutama Lin Mo, masih terasa menyakitkan seperti baru terjadi kemarin."Ah sudahlah, Paman Ma.
Sesaat setelah semua penghuni perguruan tertidur lelap, sesosok bayangan hitam, dengan langkah mengendap-endap, menyusup ke dalam ruang kerja Ketua Ma. Sosok itu tak lain adalah Lin Mo, ia mendekati kotak kas dengan mata bersinar tamak. “He-he-he, si Tua Bodoh Ma lupa mengunci kotak kas. Sebaiknya kuambil saja semua uangnya, dan kubuat seolah-olah Anak Iblis itu yang melakukannya,” Lin Mo menyeringai sambil menggosok-gosok kedua telapak tangannya.Ketika tangan Lin Mo menyentuh tutup kotak yang terbuat dari logam itu, suhu ruangan tiba-tiba menurun drastis. Bulu kuduk murid tertua Bu Tong Pai itu berdiri dengan sendirinya, ia seperti merasakan ada kehadiran sosok lain di ruangan yang memiliki pencahayaan minim itu. "Lin Mo …," sayup-sayup ia mendengar suara yang sangat akrab di telinga,memanggilnya.“Ketua Xun?” Lin Mo meneguk ludah, kepanikan mulai menyerbu hingga kakinya sulit untuk digerakkan. Sekuat tenaga Lin Mo memerangi rasa panik, membalikkan badan perlahan, akan tetapi ia
Mentari siang sedang memantulkan kilau keemasan di permukaan sungai ketika Du Fei melompati bebatuan menuju tepi air untuk membasuh muka dan minum. Angin sejuk membelai wajahnya, dan mempermainkan rambutnya yang sebagian dibiarkan tergerai mencapai bahu.Du Fei melepas topeng wajah dan meletakkannya di atas bebatuan yang cukup tinggi sebelum mencuci muka. Setelah selesai, Du Fei duduk di atas batu besar, melepas lelah sambil menikmati pemandangan hijau di sekitarnya.Bibirnya membentuk senyuman puas mengingat serbuk Bayangan Dosa yang ia taburkan di sumur semalam, berhasil membuat Lin Mo berhalusinasi dan mengakui semua kejahatannya, mulai dari memfitnah Du Fei sampai mencuri uang kas perguruan sekian lama hanya untuk bersenang-senang. Kini murid Bu Tong Pai itu diusir dengan tidak hormat, untuk sementara Bu Tong Pai dalam kondisi aman. Paling tidak sampai Tetua Lin kembali.Ketika mengedarkan pandangan ke sekeliling sungai, matanya menangkap sosok mungil di atas batu di tepi sungai.
Debu berwarna keemasan menari-nari di dalam sebuah kuil tua yang sunyi. Sinar matahari menembus celah-celah atap genteng, jatuh di atas meja altar usang, menerangi sosok tua yang sedang tertidur dalam posisi miring dengan kepala bertumpu pada tangan kanannyaDa Ye, ketua Partai Pengemis, Kai Pang, mendengkur dengan kerasnya hingga menggema di ruangan kosong, sesekali diselingi igauan tentang ayam goreng dan arak. Jubah lusuh abu-abu penuh tambalan yang ia kenakan, bergerak naik turun mengikuti irama nafasnya yang teratur.Sekelebat bayangan hitam melintas di ambang pintu. Du Fei, mengintip dari balik pilar kayu yang lapuk. Pemuda itu menyeringai jahil di balik topeng, memperlihatkan deretan gigi putih bersih yang tertata rapi, saat melihat gurunya yang tertidur pulas. Dengan gerakan sehalus kucing, pemuda itu mengeluarkan sebuah botol kecil dari sakunya, ramuan gatal-gatal yang ia pelajari dari Chang Su."Maaf, Guru," bisiknya geli seraya meneteskan cairan itu ke ujung tongkat Penggeb
"Menyerahlah, Topeng Hantu!" Yun Hao mendesis dingin, meski jauh di lubuk hati masih tersisa kekaguman pada penyelamat nyawa bocah kecil itu.Dalam kegelapan, senyum tipis tersungging di bibir Du Fei. "Kau pandai memilih waktu, Anak Muda.""Sebaiknya kau bekerja sama denganku kalau tak ingin kepalamu terpisah!" Pedang di tangan Yun Hao menekan sedikit lebih dalam ke kulit leher buronan kerajaan. Bergerak sedikit saja maka kulit Du Fei akan tergores."Lucu sekali!" Du Fei terkekeh, suaranya ringan seolah tak merasa terancam sama sekali. "Kau jelas-jelas tak ingin membunuhku. Kalau kau ingin melakukannya, pasti tak akan menolongku tadi. Benar bukan?"Yun Hao terdiam, genggamannya pada pedang sedikit mengendur. Dalam sekejap mata, Du Fei memanfaatkan kelengahan ini. Tubuhnya berputar bagai angin puyuh, tangannya menepis pedang dengan gerakan kilat.TRANG!Pedang terlempar, namun Yun Hao tak kalah cepat. Kakinya bergerak dalam tendangan beruntun yang membuat Du Fei terpaksa melompat mundu
Tangan kanannya mengacungkan selembar kertas pengumuman sambil menunjuk ke arah Du Fei, "Dia si Topeng Hantu!"Kertas berwarna kuning di tangan si prajurit memperlihatkan sketsa wajah buronan bertopeng yang begitu mirip dengan pemuda itu. Du Fei terpaku sejenak melihat kertas kusut yang melambai di udara. Sedetik kelengahan itu sudah cukup memberi kesempatan bagi si Pembunuh misterius untuk kabur. Sosoknya lenyap begitu memasuki lorong-lorong kota yang berliku."Kepung dia!" A Lung mengeluarkan komando, "jangan biarkan Topeng Hantu lolos!"Dua puluh empat prajurit bergerak cepat membentuk lingkaran, mata tombak dan pedang mereka teracung mengancam ke arah Du Fei. Si Topeng Hantu tetap berdiri tenang di tengah lingkaran, meski hanya bertangan kosong namun postur tubuhnya menyiratkan bahaya yang siap meledak.Sementara itu Yun Hao mengamati dengan nafas tertahan. Ia sungguh tak menyangka sosok penyelamat yang membuatnya kagum karena keahlian luar biasa saat menyelamatkan bocah kecil it
Yun Hao cepat menyarungkan pedang, tak ingin memicu kepanikan di antara orang banyak. Ia berusaha mengatur nafas dan langkah agar tampak biasa. Matanya bergerak waspada di antara kerumunan, mencari kilasan putih yang bisa menjadi petunjuk keberadaan si pembunuh. Aroma makanan dan asap dari tungku pedagang makanan bercampur dengan suara-suara keramaian.Sekilas Yun Hao menangkap sosok berpakaian putih tak jauh di depannya. Tanpa pikir panjang, Yun Hao mempercepat langkah dan mencengkeram bahu orang itu dengan kuat. "Berhenti kau!""Aduh!" Orang itu menoleh kesakitan, memperlihatkan wajah seorang pedagang tua yang kebingungan. "Ada apa, Anak Muda?""Maaf, saya salah orang!" Yun Hao buru-buru melepaskan cengkeramannya. Tiba-tiba dari sudut mata, ia menangkap sosok berpakaian putih yang lain, si pembunuh misterius sedang mengawasinya dari balik pilar gazebo, mengenakan kain penutup wajah berwarna senada sehingga sulit melihat seperti apa wajahnya.Merasa ketahuan, sosok itu melesat pergi.
Jenderal Lo sedang berdiskusi dengan Hakim Yang di ruang tamu, sementara A Lung dan dua prajurit berjaga di teras.Tiba-tiba terdengar derap langkah tergesa memecah keheningan. Yun Hao berlari ke arah mereka, wajahnya tegang seperti ingin menyampaikan kabar penting. Namun langkahnya terhenti mendadak saat A Lung menghadang di depan pintu, lengannya terentang menghalangi jalan."Hey-hey, mau apa kau buru-buru begitu?" hardik A Lung, matanya menyipit curiga."Aku harus bertemu Jenderal Lo dan Hakim Yang!" Yun Hao berusaha menahan nada tak sabar dalam suaranya. Bayangan putih yang baru saja ia lihat berkelebat di kegelapan malam masih membayang di benaknya."Mereka sedang sibuk dan tak mau diganggu," ujar A Lung ketus, bibirnya mencibir meremehkan, "kau sampaikan saja padaku, nanti aku yang beritahu Jenderal!"Kening Yun Hao berkerut menahan kesal, akan tetapi mengingat situasi genting ini, ia memilih untuk mengalah, "Aku melihat sekilas ada bayangan putih melintas di antara pepohonan di
"Qing Ning …," nama itu meluncur dari bibir Hakim Yang seperti bisikan hantu.Jenderal Lo mencondongkan tubuh ke depan, menangkap perubahan drastis pada raut wajah sahabatnya, "Siapa Qing Ning? Apakah dia memiliki kaitan dengan Dewa Golok Putih?"Hakim Yang menghela nafas berat, tangannya yang gemetar menutup kitab tua itu. "Aku tidak yakin mereka memiliki hubungan dekat, tetapi yang kutahu, Qing Ning adalah istri mendiang Pendekar Iblis yang kala itu menjabat sebagai Kepala Pasukan Khusus. Dan Dewa Golok Putih mengabdi pada suaminya.""Hmm," Jenderal Lo mengusap jenggotnya, matanya menyipit menunjukkan ia sedang berpikir keras. "Mungkinkah Dewa Golok Putih berencana membalaskan dendam kematian istri tuannya?"Hakim Yang menggeleng lemah. Ia bangkit dari kursinya, melangkah ke jendela yang menghadap ke taman belakang. Bunga-bunga persik bermekaran dengan indah menghiasi taman, namun tak mampu menghilangkan kegelisahan di hati pemiliknya."Aku rasa tidak mungkin, dia justru sangat memb
Setelah berpisah dengan para prajuritnya, Jenderal Lo melangkah memasuki kediaman Hakim Yang. Rumah mewah bergaya kuno itu dikelilingi tembok tinggi dan penjaga bersenjata yang mondar-mandir dengan waspada. Hakim Yang, pria berusia 60 tahun dengan jenggot tipis yang terawat, menyambut sahabatnya dengan pelukan hangat."Sahabatku, sudah tiga tahun lebih kita tidak bertemu!" Hakim Yang menepuk punggung Jenderal Lo, "malam ini kau harus bermalam di sini, tidak ada penolakan!"Sambil berbincang dan sesekali tertawa, mereka duduk di ruang tamu yang diterangi lentera giok, ditemani teh dan kudapan. Namun Jenderal Lo menangkap kegelisahan di balik senyum sahabatnya. Gurat-gurat lelah menghiasi wajah yang biasanya berseri itu."Ada apa, Saudaraku? Wajahmu seperti awan mendung di musim hujan.”Hakim Yang menghela nafas berat, "Sepertinya ada yang mengincar nyawaku, Lo." Ia menyesap teh dengan tangan sedikit bergetar, "Semua dimulai dengan ditemukannya bangkai tikus di depan pintu, disertai sel
Aroma bunga dahlia menyelimuti kamar yang dihiasi nuansa merah muda. Ming Mei duduk bagai lukisan hidup, tangannya yang putih nan halus bergerak anggun menuangkan teh ke dalam cawan keramik berwarna hijau. Uap hangat mengepul, membawa wangi yang membuat suasana menjadi lebih rileks dan nyaman."Tuan Muda sepertinya belum pernah berdekatan dengan wanita." Senyum Ming Mei mengembang bagai bunga mekar, matanya berkilat jenaka. "Jangan takut, Ming Mei tak akan menggigitmu. Hanya ingin mentraktir Anda minum teh wangi yang terkenal di Wisma Harum ini."Yun Hao menelan ludah, perlahan duduk di hadapan Ming Mei. Degup jantungnya yang tak beraturan seolah mengkhianati ketenangannya yang dipaksakan."Rekan-rekanku mengatakan kalau Tuan Muda datang kemari mencariku, boleh kutahu mengapa?" Suara Ming Mei mengalun bagai petikan kecapi, lembut dan manis."Nona telah menolongku dengan memberitahukan ada pencopet yang berusaha mencuri kantung uangku saat di pasar tadi," Yun Hao menjawab, untuk pertam
"Lihat, ada pemuda tampan datang!" Seorang gadis berbaju kuning cerah memekik girang, memamerkan lesung pipit di pipi saat melihat Yun Hao berdiri sembari celingukan mencari seseorang."Wah, masih muda sekali!" Gadis lain menimpali, matanya berbinar nakal."Kulitnya putih seperti susu!" Gadis ketiga menyahut diiringi tawa genit."Pasti anak orang kaya!" Suara bisik-bisik terdengar di setiap sudut ruang.Dalam sekejap, Yun Hao dikelilingi gadis-gadis berpakaian warna-warni dengan riasan wajah yang mencolok. Wangi bedak dan minyak wangi membuat kepalanya pening. Beberapa gadis mulai berani menyentuh pipi dan menjawil dagu sang pangeran, dan ada juga yang bergelayut manja di lengannya. Tubuh Yun Hao membeku seketika seperti balok es."A-aku mencari gadis berbaju merah muda yang baru masuk," ujarnya tergagap, berusaha mundur namun terhalang oleh gadis-gadis yang semakin mendekat."Oh, kau mencari Nona Ming Mei?" Seorang gadis berbaju hijau terkikik sambil menutup mulutnya dengan lengan ba
Setelah menunggu beberapa saat, Yun Hao melihat jendela samping rumah terbuka. Dari posisinya di balik pohon, ia bisa mengintip ke dalam tanpa terlihat. Pemandangan yang tersaji membuat hatinya terenyuh.Di dalam ruangan sederhana itu, seorang pria tua duduk di kursi kayu. Tubuhnya kurus, kulitnya putih pucat seperti kertas. Bahkan rambut dan pakaian yang serba putih menambah kesan rapuh pada sosok pria tersebut. Sepertinya ada penyakit yang menggerogoti tubuhnya, terlihat dari nafas yang berat."Ayah, hari ini kita akan pergi ke tabib untuk berobat!" Si gadis pencopet berkata dengan nada riang."Ayah tidak apa-apa, lagipula kita tidak punya uang," suara pria tua itu terdengar letih, seolah telah lama menderita."Siapa bilang?" Gadis itu mengangkat kantung uang milik Yun Hao dengan bangga, menimang-nimangnya di udara, "sekarang kita punya."Raut wajah sang ayah berubah. Ia menggeleng-gelengkan kepala, kekecewaan tergambar jelas di wajahnya yang pucat, "Pasti kau mencuri lagi, sudah be