Namun, di tengah suasana duka yang masih kental, empat dari lima tetua Bu Tong Pai mulai menampakkan wajah asli mereka. Di hari ke-14, saat seharusnya seluruh murid Bu Tong Pai masih larut dalam kesedihan dan penghormatan terakhir, mereka justru mulai terlibat perdebatan sengit tentang siapa yang layak menggantikan posisi Xun Huan sebagai ketua ke-13 Bu Tong Pai.Tetua Lin, selaku tetua nomor dua di Bu Tong Pai, mengusik suasana hening dengan suaranya yang lantang. "Kita tidak bisa membiarkan posisi ketua kosong terlalu lama, kita harus segera memilih pemimpin baru!" kata pria paruh baya berwajah keras itu dengan tegas.Tetua Ma, pria tua dengan janggut putih pendek dan sorot mata teduh, tertegun mendengar usulan adik seperguruannya itu. Ia menarik napas dalam sebelum menanggapi."Adik Lin," ujar Tetua Ma dengan nada lembut dan sabar, "kita masih dalam suasana berduka. Ketua juga masih belum dimakamkan." Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan kata-katanya, "Sebaiknya kita tunda pemi
Ru Chen memberi salam kepada lima tetua, namun hanya Tetua Ma yang membalas salamnya dengan sopan. Sementara empat tetua lainnya membuang muka, berusaha menyembunyikan ekspresi tidak nyaman mereka."Tuan Ru Chen, apakah Anda berniat sembahyang lagi?" Tetua Ma bertanya dengan ramah, berusaha mencairkan suasana yang canggung."Benar," Ru Chen mengangguk perlahan, lalu berkata dengan nada sedikit menyesal, "maaf bila tadi tak sengaja mendengarkan percakapan kalian dari balik pintu."Pengakuan Ru Chen membuat suasana di ruangan itu semakin tidak nyaman. Tetua Ma merasa jengah, ia melirik ke arah empat tetua lainnya, ingin mengetahui respon saudara-saudara seperguruannya. Namun, mereka semua berpura-pura tidak mendengar, menghindari tatapan Ru Chen.Ru Chen membungkuk dalam, tangannya menangkup di depan dada dalam sikap hormat, "Maafkan saya bila lancang, bukan maksud hati ikut campur dalam urusan internal Bu Tong Pai!" Tetua Ma, dengan senyum tulus di wajahnya, membalas sikap hormat Ru C
Sebelum memasuki aula, Yu Ping memerintahkan semua orang meninggalkannya sendirian, kecuali Ru Chen. Suasana hening menyelimuti aula ketika pintu ditutup rapat, dinding-dinding di dalam ruangan seakan berbisik lembut menyambut setiap langkah kedua pria itu dengan gema halus.Sang Raja, matahari kerajaan yang menyinari setiap sudut negeri Qi dengan kemilau cahayanya, kini perlahan meredup. Lutut yang biasanya kokoh menopang beban kerajaan, kini luruh menyentuh lantai marmer di depan altar.Mata sang Raja, yang biasanya seperti nyala api yang mampu membakar semangat para prajurit dan rakyatnya, kini berkabut oleh awan duka cita. Matanya terpaku pada papan nama Xun Huan, seolah pria tua bersahaja itu yang sedang berdiri di hadapannya. Ia menarik napas dalam, mengumpulkan kekuatan untuk berbicara."Kak Xun Huan," ucapnya lirih dengan suara sedikit bergetar, "aku sungguh tak menyangka kau pergi begitu cepat meninggalkan kami." Yu Ping terdiam sejenak, membiarkan kenangan-kenangan masa lal
Pemakaman ketua Bu Tong Pai, Xun Huan, berlangsung khidmat. Langit pun seolah ikut berduka, menurunkan air mata alam berupa gerimis kecil. Yu Ping, Ru Chen, kelima tetua, serta seluruh murid Bu Tong Pai, berlutut di depan makam. Tubuh mereka melengkung seperti rumput yang menunduk diterpa hujan kesedihan, memberikan penghormatan terakhir mereka.Seusai upacara pemakaman, Yu Ping memanggil kelima tetua dan murid-muridnya untuk berkumpul. "Sebelum aku kembali ke istana, ada satu hal yang ingin kusampaikan kepada kalian semua," Yu Ping mengeluarkan sebuah tabung bambu yang panjangnya sejengkal dari saku lengan bajunya, “ini adalah gulungan surat wasiat yang pernah dititipkan Ketua Xun Huan kepadaku."Pandangan Sang Raja lalu beralih kepada Tetua Ma, tetua pertama di antara lima tetua."Tetua Ma, sebagai tetua pertama, silakan menerima dan membacakan surat wasiat ini di hadapan semuanya!" perintah Yu PIng dengan nada tegas.Tetua Ma, dengan khidmat, berlutut di hadapan sang Raja dan men
Angin sore itu bertiup kencang, menggoyang dedaunan pohon-pohon tua yang menjulang tinggi. Di atas sana, di bawah awan-awan gelap, dua sosok melayang, seolah tengah menari di panggung langit. Raja Yu Ping berhadapan dengan sosok misterius berbaju hitam.Dua bilah pisau kembar di tangan si penyerang berkilauan ditimpa cahaya matahari, bagai taring naga yang haus darah. Matanya tajam bagai elang pemburu menatap Yu Ping tanpa berkedip, mencari celah untuk menyerang. Tiba-tiba, bagai kilat menyambar, ia melesat maju.Gerakan pemilik sepasang pisau kembar begitu cepat, nyaris tak tertangkap mata. Suara desingan pisaunya di udara, menciptakan simfoni kematian yang indah namun mematikan. Namun, Yu Ping bukanlah lawan yang seimbang bagi si penyerang. Dengan ketenangan seorang penguasa sejati, ia membaca pola serangan musuhnya. Tepat saat pemilik pisau kembar melancarkan serangan ganda, Yu Ping meloloskan sebuah benda dari balik lengan jubahnya, seruling sakti sang naga yang telah lama menjad
Ru Chen dan para pengawal yang tersisa, dengan tangan mencengkeram tanah, dapat merasakan angin kencang menyapu di atas tubuh mereka. Suara deru badai terdengar menakutkan, akan tetapi mereka sadar bahwa itu yang menyelamatkan mereka.Setelah beberapa saat, badai akhirnya mereda. Ru Chen perlahan mengangkat kepalanya, matanya melebar melihat pemandangan di sekitar. Arena pertempuran yang tadinya dipenuhi kini kosong, hanya menyisakan jejak kehancuran dan tubuh-tubuh yang berserakan di kejauhan.Yu Ping mendarat di hadapan Ru Chen, mengulurkan tangan untuk membantunya berdiri. Matanya menyapu area sekitar, memastikan semua ancaman telah berlalu."Kalian baik-baik saja?" tanya Yu Ping, nada khawatir tersirat dalam suaranya.Ru Chen, masih terkesima dengan apa yang baru saja terjadi, hanya bisa mengangguk sedikit tersipu, "Terima kasih, Yang Mulia. Seharusnya kami yang menjaga Anda tetapi justru Yang Mulia yang menyelamatkan kami."Yu Ping menepuk bahu Ru Chen dengan lembut, sentuhannya
Fajar baru saja menyingsing, sinarnya yang lembut menerobos celah-celah dedaunan pohon pinus yang menjulang tinggi. Embun pagi masih menggantung di ujung-ujung daun, berkilau bagai permata kecil. Di tengah keindahan alam ini, seorang remaja pria berjalan gontai, seolah memikul beban berat di pundak.Dengan wajah lelah dan mata yang seperti kehilangan cahaya, Du Fei berjalan di antara pepohonan pinus. Rambut hitamnya yang berantakan sesekali tertiup angin pagi yang sejuk. Namun, kesejukan itu tak mampu menentramkan gejolak dalam hatinya.Tiba-tiba, ia berhenti melangkah. Tangannya terkepal erat, gemetar menahan emosi yang bergolak."Mengapa aku begini lemah?" keluh Du Fei, suaranya sarat kesedihan yang mendalam. "Apakah benar yang dikatakan orang-orang bahwa aku hanyalah sampah tak berguna?"Hening, tak ada yang menjawab jeritan hatinya. Hanya desir angin yang membelai dedaunan pohon pinus, menciptakan simfoni alam yang terdengar begitu menyedihkan di telinga Du Fei.Frustasi semakin m
"Jangan-jangan Lin Mo datang berniat membunuhku?" bisiknya pada diri sendiri, rasa takut mulai menguasai. “Atau Biarawati Yun Hui dan kroni-kroninya sudah mengejarku sampai kemari.” Tanpa pikir panjang, Du Fei segera menyembunyikan diri di antara semak-semak terdekat. Napasnya tertahan, berusaha tidak menimbulkan suara sekecil apapun.Dedaunan bergesekan, menandakan kedatangan seseorang. Du Fei merunduk makin dalam, tak berani mengintip.Tak jauh dari situ, Yu Ping mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ia yakin pemilik suara yang ia dengar tadi berada di sekitar tempat itu. Ada sesuatu yang aneh, seolah ada benang tak kasat mata yang menariknya ke sana, mendorongnya untuk menemukan dan berbicara dengan pemilik suara misterius.Yu Ping berhenti sejenak, menutup matanya dan berkonsentrasi. Ia bisa merasakan keberadaan seseorang, energi yang asing namun entah mengapa terasa akrab. Perlahan, ia membuka matanya kembali, tatapannya tertuju pada sebuah semak-semak yang tampak sedikit bergera
Empat siluman itu melompat bersamaan ke arah Du Fei. Pemuda itu memejamkan mata, mengerahkan seluruh energi di kedua tangannya, siap bertarung sampai mati. Jika ini saat terakhirnya, setidaknya ia akan mati dengan gagah.Namun raungan yang ditunggunya tak kunjung mendekat. Suasana mendadak sunyi senyap, bahkan suara angin pun seolah ikut tenggelam. Du Fei membuka mata perlahan, penasaran dengan apa yang terjadi.Di hadapannya, keempat siluman berdiri membeku dengan wajah pucat pasi. Lushe Yao yang tadi begitu congkak kini gemetar, sisik-sisiknya bergetar menciptakan bunyi gemerisik aneh. Sha Zhang yang biasanya garang kini mundur perlahan dengan lutut bergetar. Bahkan Xie Gua yang bisa menumbuhkan kepala baru pun kini menelan ludah berkali-kali."Ha!" Du Fei tertawa puas, dadanya membusung penuh percaya diri. "Rupanya kalian ini hanyalah siluman-siluman jelek pembual! Lihat, menghadapiku saja sudah gemetar seperti itu!"Ia mengacungkan ranting di tangannya dengan gaya heroik. "Bagaima
"Apa maksudmu?" Xie Gua mendengus tak sabar."Aku memiliki energi api dan kekuatan dewa naga dalam diriku," Du Fei membual dengan mengeraskan suaranya, memastikan gaungnya terdengar ke seluruh hutan. "Siluman manapun yang memangsaku pasti akan mendapatkan kekuatan berlipat seperti dewa!""Aku tak ingin kematianku sia-sia bila hanya dimangsa siluman kelas rendah," tambahnya dengan nada merendahkan.Xie Gua menyipitkan matanya yang berkilat berbahaya. "Kau berkata keras-keras karena ingin membangkitkan siluman-siluman lain agar kami saling bunuh, begitu bukan?"Du Fei tersenyum misterius, "Aku tidak sedang membual. Kau pun tahu seberapa besar energi api yang kumiliki.""Baik!” Xie Gua menghentakkan kakinya dengan tak sabar, “akan kucabut nyawamu seka—" BRAKK!Sebuah batu sebesar gajah menghantam kepala Xie Gua dari atas hingga amblas ke dalam tanah, menghancurkan tengkoraknya dalam sekejap. Darah hitam menggenangi tanah di sekitar batu, membuat Du Fei berg
Malam semakin larut, di dalam gua hanya terdengar suara derak kayu bakar yang terbakar perlahan. Xie Gua menatap sosok Du Fei yang berbaring miring menghadap dinding batu, nafasnya teratur seperti orang terlelap."Du Fei?" panggilnya pelan, tak ada jawaban kecuali suara dengkuran halus."Du Fei?" sekali lagi ia memanggil, lebih keras. Masih sunyi.Seringai kejam tersungging di bibir Xie Gua yang mulai berubah. Wajah ramah sang pertapa lenyap, digantikan sosok mengerikan yang selama ini tersembunyi. Kulit tangannya mengeras, bersisik seperti ular. Kuku-kukunya memanjang dan menghitam, tajam bagai belati beracun."He he he, dasar Bocah bodoh!" tawanya menggelegar hingga menggema dalam gua. Transformasinya semakin lengkap, gigi-gigi berubah menjadi taring-taring panjang yang mencuat dari mulut yang kini tersenyum semakin lebar. Hidung memanjang dan membengkok seperti paruh burung pemangsa, dan sepasang mata berkilat merah dalam kegelapan.Du Fei merasakan jant
Kabut tebal mendadak tersibak. Dari balik kegelapan, muncul sesosok nenek tua dengan rambut putih kusut dan pakaian compang-camping. Kulitnya pucat kebiruan seperti mayat, keriput-keriput di wajahnya membentuk pola mengerikan. Namun yang paling menakutkan adalah matanya, merah menyala dengan pupil vertikal seperti mata ular."Sudah lama aku tidak mencicipi daging manusia muda," suaranya serak dan dalam, tidak seperti suara manusia. "Kau pasti lezat, anak muda."Du Fei memasang kuda-kuda, tangan kanannya mencengkeram ranting. "Kau pasti siluman Sha Zhang yang haus darah manusia?"Nenek itu menyeringai, memamerkan deretan gigi tajam bernoda darah. "Oh, kau mengenalku? Aku tersanjung." Ia melompat dengan kecepatan yang mustahil untuk tubuh setuanya, cakar-cakar panjang teracung ke arah Du Fei.Trakk!Ranting kokoh Du Fei berbenturan dengan cakar Sha Zhang. Benturan itu menimbulkan percikan api ungu. Du Fei terkejut merasakan kekuatan di balik serangan itu, jauh melampaui kekuatan manus
Panglima Liu terpojok, punggungnya membentur batang pohon besar. Keringat dingin mengucur deras di dahinya saat Du Fei semakin mendekat. Namun tiba-tiba matanya berbinar. Dari kejauhan, terdengar derap puluhan kaki kuda yang bergemuruh."Ha! Kau dalam masalah besar sekarang, Du Fei!" Panglima Liu mendadak kembali percaya diri, membusungkan dada menantang pemuda yang sempat membuatnya gentar.Du Fei menoleh ke arah suara. Di bawah awan debu yang membumbung, pasukan berkuda dalam jumlah besar bergerak cepat ke arah mereka. Mereka dilengkapi tameng di bagian dada, tombak dan pedang pun terhunus siap bertarung."Pasukan elit!" seru salah satu prajurit yang terluka.Du Fei menggertakkan gigi. Ia bisa saja menghadapi mereka, tapi pertarungan panjang hanya akan membuang waktu dan tenaga. Pikirannya melayang pada tujuan utamanya, Gunung Kunlun yang menjulang di kejauhan, tempat ia harus menyempurnakan ilmu Pedang Bayangan Bulan."Maaf mengecewakan kalian," Du Fei tersenyum mengejek, "tapi ak
Debu beterbangan saat Du Fei dan Liu Heng menerobos kerumunan pasar yang padat. Teriakan "Tangkap buronan!" bergema di belakang mereka, diikuti derap langkah puluhan prajurit yang mengejar.Begitu melampaui gerbang kota, Du Fei menghentikan langkahnya. "Kakek, kita berpencar!" ia berkata cepat.,"aku akan mengalihkan perhatian mereka. Kakek pergilah sejauh mungkin!""Tapi, Du Fei ….""Cepat pergi!" Du Fei mendorong Liu Heng ke arah hutan. "Aku bisa mengatasi mereka.”Setelah memastikan Liu Heng menghilang di balik pepohonan, Du Fei berbalik menghadapi para pengejarnya. Ia berdiri tegak di tengah jalan, berkacak pinggang dengan sikap menantang. Angin semilir bertiup, menggoyangkan jubahnya yang berwarna coklat muda .Panglima Liu menghentikan pasukannya beberapa langkah dari Du Fei. Matanya berkilat penuh kebencian ke arah lawan. "Dasar pembunuh!" seru sang Panglima dengan nada bengis. "Kau telah membunuh orang-orangku. Kau harus dihukum mati!"Senyum sinis tersungging di bibir Du Fei
Mentari pagi mengintip malu-malu dari balik pepohonan saat Du Fei dan Liu Heng menyelesaikan pemakaman terakhir. Sepuluh gundukan tanah berjajar rapi, menjadi saksi bisu tragedi semalam. Du Fei memadatkan timbunan tanah dengan cangkul, keringat mengalir di dahi segera ia hapus dengan lengan bajunya.Liu Heng mengamati teman seperjalanannya dengan seksama. Sejak fajar menyingsing, pemuda itu nyaris tak bersuara, sangat tidak biasa untuk seorang Du Fei yang biasanya sering bercanda dan menjahilinya."Anak Nakal, mengapa dari semalam tidak banyak bicara?" Liu Heng bertanya sambil meneliti raut wajah Du Fei yang terlihat muram. Yang ditanya hanya menggeleng pelan, tangannya terus bekerja memadatkan tanah seolah berusaha mengubur sesuatu lebih dari sekedar jenazah."Kakek, mari lanjutkan perjalanan!" Du Fei bangkit setel
"Wanita ini sangat kejam dan berbahaya," batin Du Fei. Meski begitu, gerakannya yang mematikan terlihat anggun dan indah, seperti bunga azalea yang cantik meski beracun.Sadar bahwa pertarungan ini harus segera diakhiri, Du Fei meraih sebatang ranting pohon. Jemarinya bergerak cepat, mengalirkan energi chi hingga ranting itu sekokoh pedang pusaka."Maafkan aku, Nona … tapi ini saatnya kau menyerah!" Du Fei memasang kuda-kuda yang berbeda. "Bayangan Bulan Menari!"Tubuhnya seolah terbelah menjadi delapan, bergerak dalam formasi yang membingungkan. Ranting di tangannya menari dalam gerakan spiral, menciptakan ilusi bulan purnama yang berputar. Setiap gerakan mengandung serangan mematikan, namun Du Fei dengan cermat mengendalikan tenaganya, cukup untuk melumpuhkan, tidak untuk membunuh.
"Percayalah, mereka pantas untuk mati!" desis sosok bertubuh ramping dalam pakaian serba hitam, kain penutup sebagian wajah menambah kesan kemisteriusannya."Apa yang kau lakukan menunjukkan bahwa dirimu tak jauh beda dengan mereka, bahkan lebih kejam!" Du Fei melangkah mendekat dengan sikap waspada, langkahnya terhenti saat jarak mereka tinggal sejengkal.Sinar bulan purnama menerangi sebagian wajah sosok lawan, memperlihatkan sepasang alis yang melengkung bagai bulan sabit. Du Fei tertegun. Di bawah alis, sepasang mata sekelam malam balas menatap pria itu tajam, mata yang menyimpan kepedihan mendalam namun tetap tak mampu menutupi keindahannya.Wangi tubuhnya menguar lembut terbawa angin, wangi bunga plum yang berbaur dengan aroma hutan pinus, menciptakan keharuman yang memabukkan.