Milan, Italia, 28 Mei 2021.
Saat ini sang purnama yang cantik jelita sudah duduk manis di langit yang begitu luas, sinarnya menyoroti setiap pergerakan makhluk di bumi. Cuaca yang cerah membuat kita dapat melihat sang purnama dengan jelas, begitu pula dengan keluarga bahagia yang tengah menatap purnama sambil berbincang hangat dan menikmati makan malam bersama.
Ibu, ayah dan dua anak perempuan mereka yang terlihat sangat cantik tertawa bersama karena candaan yang dilontarkan oleh sang ayah. Mereka terlihat begitu harmonis, tidak ada yang mengganggu mereka karena mereka telah menyewa restoran itu untuk malam ini.
"Tertawalah, tertawalah untuk terakhir kalinya."
Dibalik pagar tanaman merambat seorang gadis dengan hoodie yang menutupi kepala dan masker yang menutupi separuh wajahnya mengintai mereka dengan tatapan yang begitu tajam. Di dalam saku hoodie, tangan gadis itu terkepal kuat saat melihat dan mendengar tawa bahagia dari keluarga tersebut.
"Madre padre! Lihatlah bintang yang bersinar begitu terang." Gadis kecil yang merupakan anggota keluarga terakhir itu menunjuk kearah bintang yang berada diatas langit.
Semua orang melihat kearah yang ditunjuk oleh gadis kecil itu. Mereka tersenyum saat melihat sang purnama yang sedang dikelilingi oleh bintang yang bersinar dengan sangat terang.
"Wah, benar! Bintangnya sangat cantik sama seperti ku," ucap sang kakak sombong. Dia bahkan mengibaskan rambutnya hingga mengenai wajah sang adik.
Wajah sang adik memerah karena tidak suka dengan sikap sombong sang kakak. Dia mendengus sebal dan membuang wajahnya kearah lain. Kedua orang tua mereka tertawa geli melihat tingkah anak-anak mereka.
"Sudah larut, lebih baik kita pulang," kata sang ibu membuat semua kearahnya yang sudah mulai membereskan barang-barang mereka.
Sang ayah menatap jam tangan yang melingkar dipergelangan tangannya. Dia mengangguk dan berdiri. "Baiklah, ayo kita pulang!" ajak sang ayah dan menggendong sang adik.
Mereka semua berjalan untuk keluar dari restoran ini. Tiba-tiba sang ayah menghentikan langkahnya dan membuat semua orang bingung. Sang ibu menatap sang ayah dengan dahi yang berkerut.
"Ada apa?" tanya sang ibu penasaran. Sang ayah menoleh dan tersenyum, dia menggeleng dan melanjutkan langkahnya. Sang ibu mengedikkan bahu acuh tak acuh, dia juga meneruskan langkahnya mengikuti sang suami.
Mereka telah tiba di depan mobil. Sang ayah membukakan pintu untuk istri dan anaknya. Sang istri menatapnya bingung saat melihat dia hanya berdiri di luar dan tidak kunjung masuk ke dalam mobil.
"Aku harus menelepon seseorang. Aku akan segera kembali," katanya dan langsung menutup pintu mobil.
Gadis yang sedari tadi mengintai mereka, berjalan terburu-buru masuk ke dalam mobil miliknya yang terparkir tak jauh dari mobil keluarga tersebut. Gadis itu menatap kepala keluarga yang tengah berjalan menjauhi mobil. Fokusnya teralihkan karena handphone yang dia simpan disaku hoodie bergetar.
Gadis itu mengambil handphonenya dan langsung mematikan panggilan itu saat tahu siapa yang menelepon nya. Dia berdecak sebal dan kembali meluruskan tatapannya. Kali ini dia sudah tidak melihat kepala keluarga itu yang dia lihat mobil keluarga itu sudah berjalan meninggalkan restoran.
Dia langsung tancap gas dan mengikuti mobil itu dengan menjaga jarak. Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, gadis itu tersenyum miring saat telah tiba di rumah keluarga yang dia intai.
Saat merasa situasi telah aman, gadis itu keluar dari mobil dan berjalan menuju rumah keluarga tadi. Dia membuka pintu yang terkunci dengan cara yang klasik.
Gadis itu masuk dan kembali menutup pintu dengan perlahan. Dia berjalan dengan santai menelusuri rumah itu. Ia berjalan menuju dapur. Gadis itu menatap sekeliling lalu mengambil buah apel dan memakannya.
Dia menikmati buah apel itu seperti tengah berada dirumahnya sendiri. Namun, tiba-tiba gadis itu menghentikan giginya yang tengah asik mengunyah apel. Dia tersenyum miring saat merasakan benda dingin dilehernya.
Gadis itu kembali memakan apel itu hingga habis dan tidak memperdulikan pisau yang ditodongkan kearahnya.
"Siapa kamu?"
Gadis itu membalikkan badannya dan langsung merampas pisau itu dari tangan sang kepala keluarga. Pria itu terdiam saat pisau yang tadi dia gunakan untuk menakuti gadis itu sekarang malah mengarah kearahnya.
Pria itu berjalan mundur untuk menghindari pisau tersebut. Dia menatap pisau itu dengan mata penuh ketakutan dan tubuh yang bergetar dengan hebat.
"Apa mau mu? Mengapa kau mengikuti kami?" tanya pria itu sambil menatap mata hijau milik gadis itu.
Gadis itu menghendikkan bahunya. "Aku hanya ingin bersenang-senang," jawabnya dengan santai.
****
Wanita yang merupakan istri dari pria tersebut berjalan mondar-mandir sambil menggigit kuku jarinya. Dia terlihat begitu cemas sambil melihat kearah pintu yang tertutup rapat.
Dia berhenti berjalan dan melihat kearah dua putrinya yang tengah duduk sambil menatapnya bingung. "Ibu, dimana ayah?" tanya putri pertamanya. Wanita itu terdiam. Dia tersenyum dan menghampiri kedua putrinya.
"Ayah kalian …."
BRAK!!
Mereka bertiga menoleh kearah pintu yang di dobrak. Sang ibu langsung memeluk kedua putrinya dan tidak membiarkan mereka melihat apa yang ada dihadapan mereka.
Tubuh wanita itu bergetar, air mata turun tanpa diminta. Hatinya sakit saat melihat tubuh suaminya yang sudah tidak berbentuk diseret oleh seorang gadis yang tadi menobrak pintu.
Wanita itu menatap gadis yang tengah berjalan kearahnya. "Berhenti disana! Jangan mendekat!" wanita itu berteriak dan mempererat pelukannya pada tubuh kedua putrinya. Kedua putrinya menangis saat mendengar teriakan sang ibu.
Lantai yang tadinya sangat bersih kini ternodai oleh darah milik suami wanita itu. Gadis itu menyeret mayat pria tersebut dengan mencengkram kepalanya. Dia berjalan begitu perlahan, kemudian dia melemparkan tubuh pria itu kearah wanita yang tengah memeluk erat kedua putrinya.
"AAKKHH!!!"
Mereka bertiga berteriak terkejut. Seluruh isi perut pria itu keluar dan mengenai kepala sang anak. Darah milik pria itu menempel pada pakaian wanita yang tengah menangis berusaha melindungi putri-putrinya.
"Mengapa kalian menangis?" tanya gadis itu sambil berjalan kearah mereka bertiga.
"Jangan takut, aku hanya ingin bersenang-senang bersama kalian."
Gadis itu berjalan menghampiri ibu dan anak itu. Dia menendang tubuh pria yang tadi dia lempar. Gadis itu membersihkan kepala kedua anak itu, lalu mengelus rambut mereka dengan begitu lembut.
"Aku mohon, tolong jangan sakiti anak-anak ku." wanita itu mengatupkan kedua tangannya dan memohon kepada gadis itu.
Gadis itu terdiam, dia menatap kedua putri wanita itu. Dia menghela napas, lalu menghadap kearah wanita tersebut. Gadis itu menunduk dan menjambak rambut wanita itu dengan sangat kuat.
"Aku memang tidak berniat membunuh anak-anak mu." Gadis itu mendorong tubuh wanita itu ke lantai hingga membuat kedua putrinya menjerit dan menangis.
"MADRE!!!!"
Gadis itu membanting kepala wanita itu berulang kali hingga kepalanya mengeluarkan darah yang sangat banyak. Gadis itu tersenyum miring, dia mengeluarkan pisaunya.
Dia melirik kedua putri wanita yang tengah merasakan sakit. Gadis itu tersenyum miring, kemudian menancapkan pisau miliknya pada dada wanita itu. Wanita itu menjerit tak tahan dengan rasa sakit.
"Jika aku tidak bahagia maka kalian juga tidak bisa bahagia!!"
Gadis itu merobek perut wanita yang sudah tak berdaya diatas lantai. Dia melihat wanita itu yang masih menatap kedua putrinya yang tengah menangis.
Gadis itu menancapkan pisaunya pada mata wanita itu, kemudian dia mencabutnya dan melemparkan bola mata itu kepada kedua putrinya. Kedua putri wanita itu menjerit ketakutan dan mereka saling berpelukan untuk menjaga satu sama lain.
Gadis itu tertawa dengan begitu jahat. Dia mengambil tangan kanan milik wanita tersebut. Dia mengelus kulit itu, lalu dengan cepat dia mengukir namanya diatas tangan wanita itu tepat diatas nadinya.
"Flavia Imtiaz," ujarnya saat mengukir namanya.
Saat tengah asik mengukir, gadis itu terdiam saat mendengar suara ricuh dari luar sana. Dia berdiri dan menatap kearah pintu. Matanya melotot saat melihat para polisi yang tengah menghampirinya.
Gadis itu menggeram. "Cazzo!" maki gadis itu. Dia menendang salah satu anak perempaun tersebut, kemudian berlari keluar dari rumah melalui jendela.
"FERMARSI!!!"
Sebagian polisi itu mengejar gadis yang tengah berlari menuju mobilnya. Gadis itu terus berlari tanpa melihat ke belakang. Dia langsung masuk ke dalam mobil dan tancap gas pergi dari pekarangan rumah itu.
Polisi yang berniat untuk mengikuti mobil gadis itu berhenti saat salah satu anggotanya menghadap dirinya.
"Sepertinya kita tahu siapa pembunuhnya," ucap salah satu anggotanya.
"Siapa?"
"Flavia Imtiaz."
****
"Kemana anak ini pergi?"
Seorang wanita paruh baya yang masih terlihat awet muda berjalan mondar mandir di depan pintu utama rumahnya. Dia melakukan itu selama dua jam tanpa berhenti.
"Sudahlah, dia bukan anak kecil lagi."
Seorang pria yang baru saja datang mendengus sebal melihat tingkah istrinya. Wanita itu membalikkan badannya dan menatap tajam pria tersebut.
"Kau tidak akan pernah mengerti apa yang aku rasakan!" kesalnya dan kembali menatap pintu.
"Sudahlah—"
Suara pintu yang terbuka menghentikan ucapan pria tersebut. Wanita dan pria itu terkejut saat melihat putri mereka datang dengan pakaian berlumuran darah dan wajah yang begitu cemas.
"Flavia! Ada apa?" tanya wanita itu khawatir.
Gadis yang bernama Flavia itu menatap sang ibu dengan ketakutan. "Aku telah melakukan kesalahan. Saat ini mereka mengejar ku," ucapnya dengan napas yang tak beraturan.
Pria paruh baya itu terkejut. "Kalau begitu kita tidak punya waktu banyak. Waktu itu kita masih bisa menyembunyikan Flavia, tapi tidak kali ini. Kita harus pergi dari Italia."
Ibu dan anak itu terkejut. "Pergi dari Italia? Tapi kemana?" tanya sang ibu tak mengerti.
Pria itu menatap istri dan putrinya. "Indonesia. Ini sudah waktunya kita menggunakan identitas asli kita," katanya membuat mereka berdua saling tatap.
"Cepat! Kita tidak punya waktu banyak!"
****
Jakarta, Indonesia, 14 Juli 2021 SMA Zervard adalah salah satu SMA favorit di Jakarta dan saat ini sekolah tersebut tengah ramai dan dipadati oleh siswa siswi baru. Para murid baru berkumpul dilapangan bersama anggota OSIS dari sekolah tersebut. Pemuda dengan pakaian yang sangat rapi berdecak sebal saat melihat lapangan dan koridor yang dipenuhi oleh para siswa dan siswi. Dia berjinjit untuk melihat celah agar bisa berjalan melewati mereka semua. Namun, tidak ada celah sedikitpun. Lelaki itu dengan lesu membalikkan badannya, namun tanpa sengaja dia menabrak seorang perempuan hingga membuat semua buku yang dia pegang berjatuhan di atas lantai. Lelaki itu dengan cepat menunduk dan membereskan buku-bukunya. Sang perempuan juga ikut membereskan buku milik lelaki tersebut membuat lelaki itu terkejut.
Cuaca yang begitu panas. Hari ini matahari merdeka memamerkan sinarnya. Keringat mengucur dari dahi hingga ke ujung kaki. Semua orang tidak tahan dengan hawa panas di sekeliling mereka. Yang berada di dalam ruangan saja kepanasan dan bagaimana dengan orang yang berada di luar ruangan? Para murid kelas dua belas ipa tiga sedang merasakannya. Dibawah terik matahari mereka diminta untuk berolahraga. Tidak tahu berapa liter keringat yang sudah mereka keluarkan. Yasa menghembuskan napas untuk kesekian kalinya. Dia sudah tidak sanggup melakukan aktivitas ini lagi. Namun sayang, Yasa tidak bisa memberitahu siapapun kalau dia ingin berhenti melakukan semua ini. Dengan wajah yang begitu pucat, Yasa berlari mengelilingi lapangan dengan teman-teman sekelasnya. Keringat yang jatuh di setiap detiknya, detak
"Kita mau kemana?"Yasa menatap keluar melalui jendela mobil. Suasana malam ini sangat sepi. Hanya ada beberapa kendaraan yang melintasi jalan raya ini.Yasa menoleh ke arah Speranza saat Speranza tak kunjung menjawab pertanyaannya. "Kita mau kemana?" ulangnya sambil menatap Speranza. Speranza hanya melirik dan tidak menjawab.Yasa menghela napas bersabar. Beberapa menit kemudian mobil berhenti di sebuah taman yang sangat sepi bahkan mungkin sudah lama ditinggalkan. Yasa menelan ludah saat merasakan hawa dingin yang membuatnya merinding."Ayo turun!" ajak Speranza."Tunggu!" ucap Yasa sambil menahan tangan Speranza. "Kita mau apa disini? Tempat ini sangat seram," ujar Yasa menelan salivanya gugup.
"Kau lihat?!"Speranza hanya mampu menunduk saat sang ayah menunjuknya dengan penuh amarah. Speranza memejamkan matanya saat ayahnya membanting handphonenya."Itulah alasanku tidak membiarkanmu berkeliaran di sini, Kau benar-benar tidak bisa hidup di luar," kata sang ayah membuat Speranza menatapnya terkejut."Tidak bisa hidup di luar? Apa kau berniat untuk mengurungku?!" tanya Speranza tak habis pikir."Ya! Aku berniat untuk mengurungmu! Kalau saja manusia sepertimu tidak ada di dunia ini, maka dunia ini akan begitu damai.""CAIDEN!!" Speranza meneriaki nama ayahnya membuat semua orang tuanya menatap dirinya terkejut."Berani sekali kau meneria
Baru kali ini senyum Yasa bertahan cukup lama. Dia terlalu bahagia untuk berpura-pura menahan senyumnya. Yasa berjalan masuk ke dalam rumahnya.Saat ini jam menunjukkan pukul 21.52. Yasa menghela napas karena sadar dia telah pergi keluar terlalu lama. Dengan jantung yang Berdetak dengan cepat, Yasa terus melangkah masuk ke dalam rumah."Hebat!"Tubuh Yasa tersentak. Dia menoleh kearah sumber suara. Dia terdiam saat melihat mama dan papanya berdiri dengan wajah penuh amarah."Hebat ya kamu sekarang!" ucap sang mama membuat Yasa terdiam."Ada apa ma?" tanya Yasa lugu. Arzan yang melihat itu tertawa dengan keras. "Semakin lama kau semakin pintar," komentar Arzan membuat Yasa semakin takut.
"Tapi, bu ...." "KELUAR!!" Xaviera mendorong tubuh Byakta dan Yasa hingga keluar dari rumahnya. Byakta dan Yasa hanya bisa pasrah mengikuti keinginan Xaviera. Mereka berdua menghela napas. Yasa menatap pintu rumah Xaviera dengan tatapan bingung. "Byakta," panggil Yasa membuat Byakta menoleh ke arahnya. "Apa?" Yasa menatap Byakta dengan serius. "Apa kau tidak merasa ada yang aneh?" tanya Yasa membuat Byakta mengerutkan dahinya bingung. Byakta menggeleng. "Tidak. Memangnya kenapa?" tanya Byakta balik. "Mengapa ibu Speranza memanggilnya dengan nama Flavia?" tanya Yasa sambil mengelus dagunya. "Mungkin saja itu nama panggilan dari ibunya," sahut Byakta membuat Yasa terdiam. "Lalu, kau lihat sendiri bukan? Ibu Speranza memiliki wajah asli orang Indonesia sedangkan Speranza wajahnya sangat kental dengan Italia," kata Yasa membuat Byakta terdiam. "Mungkin saja ayah Speranza asli Italia," jawab Byakta sedikit ti
Dengan wajah penuh amarah, Caiden menarik tangan Speranza. Dia mendorong Speranza ke arah sofa dengan begitu kasar."Ayah enggak suka kamu dekat dengan orang lain!"Speranza mengelus pergelangan tangannya yang tadi dicengkram oleh Caiden. Hatinya sakit karena baru kali ini Caiden bersikap kasar kepadanya."Apa dia kekasihmu itu?!" tanya Caiden penuh amarah. Speranza diam tidak menjawab.Caiden mencengkram dagu Speranza dengan begitu kuat. Speranza berusaha untuk melepaskan cengkraman itu menggunakan tangannya."Jangan bertingkah lagi Via! Jauhi semua orang! Saat di Italia kamu tidak pernah memiliki teman jadi jangan pernah berpikir untuk memiliki teman di sini!" teriak Caiden.Speranza menaikkan satu alisnya. "Apa jika aku membuat masalah kau akan mengembalikan ku ke Italia?" tanya Speranza.Caiden mengepalkan tangannya dengan kuat. Dia melepaskan cengkramannya dari dagu Speranza. "TIDAK AKAN PERNAH!!" bentak Caiden membua
"SPERANZA!!"Speranza dan Arzan terkejut saat mendengar itu. Arzan menoleh ke sumber suara sedangkan Speranza dengan mengambil tangan Arzan dan menaruhnya tepat diatas rambutnya. Speranza bertingkah seolah-olah Arzan menjambaknya."AAKKHH!! APA YANG KAU LAKUKAN?!!""ARZAN SAKIT!!!"Speranza terus berteriak membuat Arzan terkejut. Arzan melotot dan berusaha untuk melepaskan tangannya, namun Speranza mencengkram tangannya dengan kuat."Dasar rubah licik!" desis Arzan saat melihat air mata Speranza.Yasa yang melihat Speranza kesakitan memberanikan diri menolongnya. Dia menjauhkan tangan Arzan dari rambut Speranza, kemudian di a mengelus dan merapikan rambut Speranza."Apa kau baik-baik saja?" tanya Yasa begitu khawatir. Speranza menatap Yasa, dia mengangguk dan langsung memeluk Yasa.Sedangkan Arzan, dia menatap pergelangan tangannya yang mengeluarkan darah akibat tercakar kuku Speranza. Satu tangannya yang lain terke
Ketukan sepatu seseorang berhasil mengusik ketenangan yang Yasa miliki. Dia menghela napas dan menatap tajam pelaku yang membuat kebisingan itu. Sang pelaku tidak peduli, ia malah bersiul seolah tidak melakukan kesalahan apapun. Yasa menghela napas bersabar. Matanya menatap ke arah pintu operasi yang masih tertutup dengan lampu merah yang menyala. "Dia sedang dioperasi bukan? Lalu, mengapa kita tetap di sini? Ayo kita pulang!" Ajak Speranza dengan santai. "Apa kau sudah gila? Kau mau kita meninggalkan dia begitu saja?" Tanya Yasa sedikit marah. "Mengapa kau peduli sekali dengannya? Aku benar-benar tidak menyukainya! Aku harap dia tidak selamat!" Sumpah Speranza menatap pintu ruang operasi dengan tajam. "SPERANZA!!" bentak Yasa membuat Speranza terkejut. Yasa menghela napas, kejadian beberapa menit yang lalu terus berputar di kepalanya. Dia sama sekali tidak mengerti apa yang sedang terjadi. "Speranza, aku—" "Aku harus pulang. Ayah sudah menunggu ku," ujar Speranza memotong perk
"Ada apa? Mengapa kau terlihat gelisah?" Caiden memperhatikan mimik wajah Xaviera. Dia sangat mengenal Xaviera dan mengerti kalau Xaviera sulit untuk menyembunyikan ekspresinya. Xaviera masih diam dengan kepala yang tertunduk. Caiden tersenyum tipis, tangannya bergerak menyentuh pipi Xaviera dan mengelusnya dengan lembut. "Ada apa sayang?" tanya Caiden lembut. Tiba-tiba saja Xaviera menetskan air mata membuat Caiden terkejut. Dengan cepat Caiden memeluk Xaviera dan membiarkannya mengeluarkan segalanya. Setelah mulai tenang, Xaviera melepaskan pelukannya dan menatap suaminya dengan mata sembab. "Tadi pagi aku bertemu dengannya," ucap Xaviera membuat dahi Caiden berkerut. "Dengannya? Siapa?" tanya Caiden kebingungan. Xaviera terdiam sejenak, kemudian dia menatap tepat di mata suaminya. "Bitari," jawabnya dengan suara lesu. Mendadak suasana menjadi dingin. Mereka berdua sama sekali tidak mengeluarkan su
"Kau yakin ingin turun di sini?"Yasa tersenyum manis kepada Lovie. Dia mengangguk dan menjawab, "Aku yakin. Ada yang harus aku bicarakan dengan Byakta."Lovie menatap Yasa dengan khawatir. Pasalnya wajah Yasa sudah sangat pucat. "Kau harus pulang dan beristirahat, itu lebih penting untuk mu daripada berbincang dengan Byakta," Keukeh Lovie.Yasa kembali tersenyum. "Aku akan beristirahat di rumah Byakta. Aku juga akan menghubungi orang tua ku nanti," katanya."Mengapa kau sangat keras kepala! Berbincang dengan Byakta itu tidak penting!" Kesal Lovie.Yasa menatap Lovie dengan jahil. "Mengapa reaksi mu seperti itu? Kau marah jika aku berbincang dengan kekasih mu?" Yasa tertawa di akhir pertanyaannya.Lovie terdiam dan tidak sadar kalau Yasa sudah keluar dari taksi. "Aku akan istirahat. Terima kasih dan hati-hati," ucap Yasa dengan lembut. Dia menutup pintu taksi dan menatap taksi itu pergi menjauh darinya.Setelah taksi itu pergi,
Malam yang gelap dan begitu sunyi. Mobil Speranza terparkir di jalanan yang begitu sunyi dan mungkin jalanan ini tidak pernah di lalui oleh siapapun. Di dalam sana, Speranza tengah tidur. Dia kembali kabur agar mereka semua tidak bisa kembali ke Italia. Tidur Speranza begitu nyenyak hingga akhirnya sebuah telepon yang masuk berhasil mengganggu tidurnya. Dia tersentak dan menggeram. Speranza menatap handphonenya dengan kesal. Tadinya dia tidak ingin mengangkat karena mengira itu adalah kedua orang tuanya, namun rasa penasaran kembali mengalahkannya. Speranza melihat siapa yang meneleponnya dan dengan terburu-buru dia mengangkatnya. "Halo Yasa, ada apa?" sapa Speranza setelah mengangkat panggilan itu. Tidak ada sahutan sedikitipun dari Yasa. Speranza mengerutkan dahinya bingung dan kembali memastikan kalau yang meneleponnya adalah Yasa. "Yasa?" panggil Speranza agar Yasa berbicara. "Speranza,"
"SPERANZA!!"Speranza dan Arzan terkejut saat mendengar itu. Arzan menoleh ke sumber suara sedangkan Speranza dengan mengambil tangan Arzan dan menaruhnya tepat diatas rambutnya. Speranza bertingkah seolah-olah Arzan menjambaknya."AAKKHH!! APA YANG KAU LAKUKAN?!!""ARZAN SAKIT!!!"Speranza terus berteriak membuat Arzan terkejut. Arzan melotot dan berusaha untuk melepaskan tangannya, namun Speranza mencengkram tangannya dengan kuat."Dasar rubah licik!" desis Arzan saat melihat air mata Speranza.Yasa yang melihat Speranza kesakitan memberanikan diri menolongnya. Dia menjauhkan tangan Arzan dari rambut Speranza, kemudian di a mengelus dan merapikan rambut Speranza."Apa kau baik-baik saja?" tanya Yasa begitu khawatir. Speranza menatap Yasa, dia mengangguk dan langsung memeluk Yasa.Sedangkan Arzan, dia menatap pergelangan tangannya yang mengeluarkan darah akibat tercakar kuku Speranza. Satu tangannya yang lain terke
Dengan wajah penuh amarah, Caiden menarik tangan Speranza. Dia mendorong Speranza ke arah sofa dengan begitu kasar."Ayah enggak suka kamu dekat dengan orang lain!"Speranza mengelus pergelangan tangannya yang tadi dicengkram oleh Caiden. Hatinya sakit karena baru kali ini Caiden bersikap kasar kepadanya."Apa dia kekasihmu itu?!" tanya Caiden penuh amarah. Speranza diam tidak menjawab.Caiden mencengkram dagu Speranza dengan begitu kuat. Speranza berusaha untuk melepaskan cengkraman itu menggunakan tangannya."Jangan bertingkah lagi Via! Jauhi semua orang! Saat di Italia kamu tidak pernah memiliki teman jadi jangan pernah berpikir untuk memiliki teman di sini!" teriak Caiden.Speranza menaikkan satu alisnya. "Apa jika aku membuat masalah kau akan mengembalikan ku ke Italia?" tanya Speranza.Caiden mengepalkan tangannya dengan kuat. Dia melepaskan cengkramannya dari dagu Speranza. "TIDAK AKAN PERNAH!!" bentak Caiden membua
"Tapi, bu ...." "KELUAR!!" Xaviera mendorong tubuh Byakta dan Yasa hingga keluar dari rumahnya. Byakta dan Yasa hanya bisa pasrah mengikuti keinginan Xaviera. Mereka berdua menghela napas. Yasa menatap pintu rumah Xaviera dengan tatapan bingung. "Byakta," panggil Yasa membuat Byakta menoleh ke arahnya. "Apa?" Yasa menatap Byakta dengan serius. "Apa kau tidak merasa ada yang aneh?" tanya Yasa membuat Byakta mengerutkan dahinya bingung. Byakta menggeleng. "Tidak. Memangnya kenapa?" tanya Byakta balik. "Mengapa ibu Speranza memanggilnya dengan nama Flavia?" tanya Yasa sambil mengelus dagunya. "Mungkin saja itu nama panggilan dari ibunya," sahut Byakta membuat Yasa terdiam. "Lalu, kau lihat sendiri bukan? Ibu Speranza memiliki wajah asli orang Indonesia sedangkan Speranza wajahnya sangat kental dengan Italia," kata Yasa membuat Byakta terdiam. "Mungkin saja ayah Speranza asli Italia," jawab Byakta sedikit ti
Baru kali ini senyum Yasa bertahan cukup lama. Dia terlalu bahagia untuk berpura-pura menahan senyumnya. Yasa berjalan masuk ke dalam rumahnya.Saat ini jam menunjukkan pukul 21.52. Yasa menghela napas karena sadar dia telah pergi keluar terlalu lama. Dengan jantung yang Berdetak dengan cepat, Yasa terus melangkah masuk ke dalam rumah."Hebat!"Tubuh Yasa tersentak. Dia menoleh kearah sumber suara. Dia terdiam saat melihat mama dan papanya berdiri dengan wajah penuh amarah."Hebat ya kamu sekarang!" ucap sang mama membuat Yasa terdiam."Ada apa ma?" tanya Yasa lugu. Arzan yang melihat itu tertawa dengan keras. "Semakin lama kau semakin pintar," komentar Arzan membuat Yasa semakin takut.
"Kau lihat?!"Speranza hanya mampu menunduk saat sang ayah menunjuknya dengan penuh amarah. Speranza memejamkan matanya saat ayahnya membanting handphonenya."Itulah alasanku tidak membiarkanmu berkeliaran di sini, Kau benar-benar tidak bisa hidup di luar," kata sang ayah membuat Speranza menatapnya terkejut."Tidak bisa hidup di luar? Apa kau berniat untuk mengurungku?!" tanya Speranza tak habis pikir."Ya! Aku berniat untuk mengurungmu! Kalau saja manusia sepertimu tidak ada di dunia ini, maka dunia ini akan begitu damai.""CAIDEN!!" Speranza meneriaki nama ayahnya membuat semua orang tuanya menatap dirinya terkejut."Berani sekali kau meneria