Home / Fiksi Remaja / SPERANZA / 003: Perempuan Yang Penuh Amarah

Share

003: Perempuan Yang Penuh Amarah

Author: Sabittttt_
last update Last Updated: 2021-08-11 16:48:12

"Kita mau kemana?" 

Yasa menatap keluar melalui jendela mobil. Suasana malam ini sangat sepi. Hanya ada beberapa kendaraan yang melintasi jalan raya ini. 

Yasa menoleh ke arah Speranza saat Speranza tak kunjung menjawab pertanyaannya. "Kita mau kemana?" ulangnya sambil menatap Speranza. Speranza hanya melirik dan tidak menjawab. 

Yasa menghela napas bersabar. Beberapa menit kemudian mobil berhenti di sebuah taman yang sangat sepi bahkan mungkin sudah lama ditinggalkan. Yasa menelan ludah saat merasakan hawa dingin yang membuatnya merinding. 

"Ayo turun!" ajak Speranza. 

"Tunggu!" ucap Yasa sambil menahan tangan Speranza. "Kita mau apa disini? Tempat ini sangat seram," ujar Yasa menelan salivanya gugup. 

Speranza menaikkan satu alis nya. "Kenapa? Kau takut?" tanya Speranza. Yasa yang mendengar itu langsung menggeleng. "Aku tidak takut, aku hanya—" 

"Kau tidak perlu takut, hantu itu tidak ada," kata Speranza dan turun dari mobil. 

Yasa menghela napas. Mau tak mau dia turun dari mobil mengikuti Speranza. Mereka berdua duduk di sebuah bangku taman yang masih layak digunakan. Yasa menatap sekeliling dengan ketakutan. 

"Sudah ku bilang jangan takut," ucap Speranza yang risih dengan tingkah Yasa. 

Yasa menghela napas. Dia memilih untuk menatap Speranza. "Bagaimana kau tahu rumahku?" tanya Yasa saat teringat akan hal itu. 

Speranza terus menatap lurus. "Aku mengikutimu," jawab Speranza singkat. Yasa Mengangguk mengerti. "Lalu, bagaimana kau bisa mendapatkan nomorku?" tanya Yasa kembali. 

"Byakta yang memberikannya," jawab Speranza singkat. 

Yasa kembali mengangguk. Dia menatap lurus ke depan seperti yang dilakukan oleh Speranza. Suasana menjadi sangat sunyi karena mereka berdua hanya duduk diam tanpa berbicara apapun. 

"Jika tidak ada hal penting lebih baik aku pulang, mama pasti mencariku," kata Yasa dan berdiri. 

"Kata Byakta besok kau cuci darah?" tanya Speranza menatap Yasa. Yasa terdiam, dia terkekeh dan kembali duduk. 

"Sepertinya Byakta memberitahumu banyak hal tentang diriku," kata Yasa sambil tersenyum manis. 

Speranza terdiam saat melihat senyum Yasa. Mengapa jantungnya Berdetak dengan cepat? Bahkan saat polisi mengejarnya jantungnya tidak Berdetak secepat ini. 

"Hello … Speranza?" Yasa melambaikan tangannya di depan wajah Speranza hingga membuat Speranza sadar. 

"Ya?" tanya nya gelagapan. 

"Kau mendengarku?" tanya Yasa membuat Speranza terdiam, lalu kemudian mengangguk dengan cepat. 

"Byakta memberitahumu apa saja?" tanya Yasa. 

Speranza terdiam. "Itu tidak penting. Jawab pertanyaan ku!" titah Speranza. 

"Ya, aku akan cuci darah besok. Memangnya kenapa? Apa aku terlihat sangat lemah sebagai lelaki?" tanya Yasa sambil terkekeh. 

Speranza terdiam dia berdiri. "Aku akan mengantarmu pulang," ucapnya. 

"Tunggu! Sepuluh menit lagi? Aku tidak pernah melakukan hal ini dan karena mu aku berani untuk keluar malam," kata Yasa dengan lembut. 

Speranza kembali duduk disamping Yasa. "Padahal kita baru saja kenal, tapi entah mengapa aku merasa sangat dekat dengan mu," Kata Yasa membuat Speranza menatapnya. 

"Besok aku akan menemani mu cuci darah bersama Byakta," kata Speranza melanjutkan topik sebelumnya. Yasa mengangguk menyetujui. 

"Speranza?" panggil Yasa yang hanya disahut dengan deheman oleh Speranza. 

"Kau asli orang Italia?" tanya Yasa. Speranza mengangguk. "Itu berarti suatu saat nanti kau akan kembali ke Italia?" tanya Yasa kembali. 

Speranza terdiam. Dia tidak tahu apakah dia masih bisa kembali ke Italia ataukah tidak. "Aku tidak tahu, semua itu tergantung orang tua ku," jawab Speranza. Yasa Mengangguk mengerti. 

Speranza menatap jam tangannya. "Ayo pulang!" ajaknya. Yasa berdiri dan berjalan dibelakang Speranza. Mereka berdua menuju mobil. 

****

"Mengapa Yasa tidak mengangkat teleponnya?" 

Mama Yasa berjalan mondar-mandir sambil berusaha untuk menelepon Yasa. Mereka semua berada diluar rumah untuk menunggu Yasa. Arzan sudah memberitahu segalanya maka dari itu mereka ada disini. 

"Siapa sebenarnya anak itu? Berani sekali dia mengajak Yasa pergi di malam hari!" marah papa Yasa. 

"Kalau dilihat dari tampilannya sih dia bukan perempuan baik-baik pa, mungkin Yasa dibawa ke club malam," kata Arzan membuat kedua orang tuanya semakin khawatir. 

"Lihat saja! Mama tidak akan memaafkan perempuan itu!" kata sang mama. 

Mobil Speranza berhenti tepat di depan kedua orang tua Yasa. Mereka berdua turun dan langsung menemui kedua orang tua Yasa. 

"Yasa!" Mama Yasa langsung berlari dan memeluk Yasa dengan erat. "Kamu baik-baik saja kan sayang? Kamu tidak terluka kan?" tanya mama Yasa dengan khawatir. 

"Aku baik-baik saja ma, mama tidak perlu khawatir," kata Yasa berusaha untuk membuat mamanya mengerti.

Mama Yasa mengangguk dan kembali memeluk Yasa. Papa Yasa menatap Speranza dengan tajam. "Berani sekali kamu mengajak anak saya keluar malam?!" marah papa Yasa. 

Speranza menghela napas. "Saya hanya mengajak nya berjalan-jalan, apa itu salah?" Speranza memberanikan diri menatap papa Yasa. Arzan melongo melihat keberanian Speranza. 

Mama Yasa yang mendengar itu langsung melepaskan pelukan nya dan menghampiri Speranza. "Siapa nama kamu?" tanya mama Yasa membuat Speranza a menghela napas lelah. Mengapa orang Indonesia selalu menanyai namanya. 

Yasa yang mengerti langsung menghampiri kedua orang tuanya. "Namanya Speranza ma," jawab Yasa. 

"Mama tidak bertanya kepadamu Yasa!" teriak mamanya kesal. Yasa terdiam dan mengangguk mengerti. "Maaf," ujar Yasa. 

"Jawab! Siapa nama panjang kamu?" tanya mama Yasa sekali lagi. 

"Speranza Constanzo," jawabnya dengan malas. 

Kedua orang tua Yasa terdiam. "Constanzo? Apa kamu bukan orang Indonesia?" tanya papa Yasa. Speranza mengangguk. "Aku berasal dari Italia," sahut Speranza. 

"Oh … Begitu? Baiklah kamu bisa pergi dan jangan pernah kembali ke sini lagi," kata papa Yasa dan mengajak keluarganya untuk masuk ke dalam rumah. 

"Jangan terlalu dekat dengan Yasa kalau kau tidak ingin mati muda," kata Arzan sambil tertawa. Dia menutup gerbang sambil mengedipkan sebelah matanya kepada Speranza. 

Speranza mengepalkan tangannya dengan kuat. Dia menggeram dan memilih untuk masuk ke dalam mobil. Speranza melaju pergi meninggalkan rumah Yasa. 

Sedangkan di sisi lain, Yasa menoleh kebelakang dan tersenyum kecut saat mendengar suara mobil Speranza yang sudah melaju pergi. 

"Yasa!" panggil papanya saat mereka sudah tiba di dalam rumah. 

"Iya pa, Yasa minta maaf," ucap Yasa merasa bersalah karena sudah membohongi kedua orang tuanya. 

"Lupakan saja hal itu. Papa mau kamu menjauh dari perempuan itu, dia terlihat seperti bukan anak baik-baik," kata papa Yasa membuat Yasa terdiam. 

"Kamu mengerti sayang?" tanya mama Yasa. Yasa tersenyum dan mengangguk. "Iya, Yasa mengerti," sahut Yasa dengan terpaksa. 

"Ini sudah malam, kamu langsung tidur ya …." Mama Yasa mengelus rambut Yasa dengan lembut. 

"Sepertinya namaku hanya pajangan di kartu keluarga," sindir Arzan saat melihat perhatian mama papanya yang begitu besar kepada Yasa. Arzan berjalan menaiki tangga tanpa menoleh sedikitpun pada kedua orang tuanya. 

"Tidak usah memperdulikan Arzan," kata papa Yasa sambil tersenyum. 

Yasa mengangguk dengan senyum tipis. "Selamat malam ma, pa," ucapnya dan berjalan pergi meninggalkan kedua orang tuanya. 

****

"Ini kopinya sayang." 

Lelaki paruh baya tersenyum kepada istrinya. "Terima kasih," ucapnya dan meminum kopi itu secara perlahan. 

"Flavia!" 

Langkah Speranza berhenti saat nama aslinya dipanggil oleh seseorang. Dia menoleh dan menatap kedua orang tuanya yang tengah duduk manis menikmati sarapan pagi. 

"Sini!" 

Mau tak mau Speranza melangkah menuju meja makan. Dia menatap ayahnya dengan datar. "Ada apa?" tanya Speranza terdengar tidak senang. 

"Hari ini kamu pergi dengan ayah begitu pula dengan seterusnya," kata ayah Speranza dengan santai. 

Speranza terdiam. "Apa? Tidak, aku tidak mau!" tolak Speranza tidak memiliki sopan santun. 

"Kamu tidak memiliki pilihan lain," ucap sang ayah. Speranza melongo, dia beralih menatap ibunya yang tengah asik memakan sarapannya. 

"Aku akan pergi dengan mobil ku sendiri!" putus Speranza dan berniat pergi dari ruang makan. 

PRANGG!!!

Speranza tersentak saat mendengar suara piring yang di banting dengan cukup kuat. Dia membalikkan badannya dan menatap ayahnya dengan tajam. 

"Sudah ku katakan! Kau akan pergi dengan ku. Mengapa kau selalu membantah?!" teriak sang ayah. Speranza hanya diam menatap ayahnya dengan tajam. 

"Flavia, mengapa saat kita tiba di Indonesia kamu berubah? Kamu bahkan berani melawan kami," ucap ibunya sedih. 

"KARENA AKU TIDAK INGIN BERADA DI INDONESIA!!" teriak Speranza dengan kesal. 

"Aku ingin kembali ke Italia." 

Kedua orang tua Speranza saling tatap. "Nak, kita berada disini—" 

"Jika kita kembali ke Italia maka aku akan kembali menghormati kalian," kata Speranza dan pergi meninggalkan ruang makan dengan penuh amarah. 

Kedua orang tua Speranza menghela napas lelah dengan tingkah Speranza yang berubah secara drastis. "Kamu tenang saja, Flavia kita akan kembali." 

****

Byakta menatap Yasa yang sedang terbaring lemah di atas brankar. Dia baru saja selesai cuci darah. "Kau benar-benar sangat kuat," kata Byakta menatap Yasa dengan tatapan yang sulit untuk diartikan. 

Pintu ruangan terbuka dan menampilkan Speranza. "Aku terlambat?" tanya Speranza. Byakta mengangguk dengan malas. 

Speranza berjalan masuk, dia menghampiri brankar Yasa. Byakta menutup hidungnya saat mencium bau aneh dari tubuh Speranza. 

"Kau habis darimana? Mengapa tubuhmu sangat bau?!" tanya Byakta dengan kesal. 

Speranza terdiam. Dia mencium tubuhnya dan mengakui tubuhnya sangat bau. Byakta mendekat ke arah Speranza untuk mencium lebih jelas bau dari tubuh Speranza. 

"Mengapa seperti bau darah?" tanya Byakta curiga. 

Dia menatap jaket yang menutupi seragam Speranza. Kemudian, Byakta menatap ke bawah tepat di rok Speranza. Dia menyipitkan matanya saat melihat percikan noda berwarna merah. 

"Mengapa rok mu sangat kotor? Apa kau habis membunuh seseorang?" tanya Byakta membuat wajah Speranza memucat. 

"Ha?" 

Byakta tertawa melihat wajah Speranza yang begitu pucat. Speranza mengerutkan dahinya melihat Byakta yang tengah tertawa. 

"Ada apa?" tanya Speranza polos. 

"Aku hanya bercanda, mengapa reaksimu berlebihan seperti itu?" Byakta kembali tertawa hingga membuat Speranza kesal. Dengan kesal Speranza menendang perut Byakta membuat Byakta terjatuh diatas lantai.

"AAKKHH!!" Byakta menjerit sambil memegangi perutnya yang terasa begitu sakit. Dia menatap Speranza dengan tajam. 

"Kau?! benar-benar!" Speranza menatap Byakta dengan tajam. "Apa? Ingin ku tendang lagi?!" sungut Speranza bersiap untuk menendang Byakta kembali. 

"Speranza," panggil Yasa sambil menahan tangan Speranza. 

Yasa menatap Speranza yang juga tengah menatapnya. "Mengapa kau terlihat berantakan?" tanya Yasa lesu. Speranza menggeleng tidak berniat untuk menjawab. 

Byakta berdiri dengan masih memegang perutnya. "Mengapa kau menjadi dekat dengan perempuan ini?!" tanya Byakta tidak suka. Speranza menatap Byakta dengan tajam membuat Byakta memilih menjaga jarak dan berjalan menuju sofa ia duduk disana sambil memainkan handphonenya. 

Speranza duduk dibangku yang berada disamping brankar Yasa. Dengan berani Speranza menggenggam tangan Yasa. "Bagaimana keadaanmu?" tanya Speranza menatap Yasa. 

"Baik," jawab Yasa singkat. Dia gugup karena tidak pernah dekat dengan seorang perempuan. Yasa semakin gugup saat Speranza tak berhenti menatapnya. 

"Mengapa kau terus menatapku?" tanya Yasa salah tingkah. Dia menatap kearah lain agar mata mereka tidak lagi bertemu. 

Speranza menggeleng. "Tidak ada, aku hanya merasa aneh," jawab Speranza. Yasa menatap Speranza dengan penasaran. "Aneh? Aneh kenapa?" tanya Yasa. 

"Sebelumnya aku tidak pernah dekat dengan siapapun apalagi lelaki, tapi mengapa denganmu berbeda. Aku merasa sudah begitu akrab dengan mu," kata Speranza bingung. Yasa terkekeh. "Mungkin itu hanya firasat mu," sahut Yasa. 

"Teman-teman," panggil Byakta sambil berjalan menghampiri Yasa dan Speranza. 

"Aku bukan temanmu," ujar Speranza menatap Byakta malas. Byakta menatap Speranza dengan kesal. Dia menunjukkan handphonenya kepada Yasa dan Speranza. 

"Hari ini di gudang sekolah kita ditemukan sebuah kaki," kata Byakta memberitahu mereka berdua. 

Dengan cepat Speranza mengambil handphone Byakta. Dia melihat foto yang disebarkan di grup sekolah. Benar, disana terlihat sebuah kaki berlumuran darah dan lantai yang dibanjiri oleh darah. 

Wajah Speranza mendadak pucat melihat semua itu. Dia mengembalikan handphone Byakta dengan kasar. "Mengapa wajahmu sangat pucat?" tanya Yasa khawatir. Speranza menggeleng. "Aku merasa mual melihat foto itu. Aku harus pulang," kata Speranza dan berlari pergi meninggalkan ruangan Yasa. 

Byakta menatap handphonenya. "Benar, aku saja merasa mual dan pusing. Siapa yang melakukan hal ini disekolah kita? Sebelumnya tidak pernah ada kejadian seperti ini dan anehnya mengapa hanya ada kaki saja? Kemana perginya organ tubuhnya yang lain? Aakkhh … aku menjadi merinding membayangkannya." Byakta mengelus lehernya. 

Yasa terdiam menatap Byakta. "Kau benar, siapa yang melakukan itu? Dan bagaimana dia melakukannya?" 

"Aku rasa pembunuhnya akan cepat ditemukan, di sekolah kita sangat banyak cctv," kata Byakta yang diangguki Yasa. 

"Omong-omong, mengapa kau sangat dekat dengan Speranza? Dia bahkan sampai meminta nomor mu kepada ku. Apa kalian benar-benar berpacaran?" tanya Byakta yang bingung dengan perilaku kedua manusia ini. 

Yasa terdiam, dia juga baru menyadarinya. Apa mereka berdua memang berpacaran? Yasa menatap Byakta." Aku tidak tahu," jawab Yasa membuat Byakta melongo. 

"Jangan menyia-nyiakan Speranza, kapan lagi kau akan berpacaran dengan perempuan Italia?" goda Byakta. 

Yasa mendengus sebal. "Kau tahu, aku hanya mencintai Lovie," sahut Yasa membuat Byakta memutar bola matanya malas. 

"Lovie, Lovie dan Lovie. Menyebalkan! Dia tidak akan pernah mencintaimu, bodoh!" Yasa menatap Byakta dengan begitu tajam. 

"Aku yakin kalau dia adalah jodohku, kami sudah bersama sejak kecil," kata Yasa tidak setuju dengan pernyataan Byakta. 

"Cih! Dari dulu dia tidak pernah menyukai lelaki aneh seperti mu!" ejek Byakta membuat Yasa melempar bantal kearah Byakta. 

"Enyah kau dari sini!" 

****

Related chapters

  • SPERANZA    004: Khawatir

    "Kau lihat?!"Speranza hanya mampu menunduk saat sang ayah menunjuknya dengan penuh amarah. Speranza memejamkan matanya saat ayahnya membanting handphonenya."Itulah alasanku tidak membiarkanmu berkeliaran di sini, Kau benar-benar tidak bisa hidup di luar," kata sang ayah membuat Speranza menatapnya terkejut."Tidak bisa hidup di luar? Apa kau berniat untuk mengurungku?!" tanya Speranza tak habis pikir."Ya! Aku berniat untuk mengurungmu! Kalau saja manusia sepertimu tidak ada di dunia ini, maka dunia ini akan begitu damai.""CAIDEN!!" Speranza meneriaki nama ayahnya membuat semua orang tuanya menatap dirinya terkejut."Berani sekali kau meneria

    Last Updated : 2021-08-17
  • SPERANZA    005: Memutuskan Hubungan

    Baru kali ini senyum Yasa bertahan cukup lama. Dia terlalu bahagia untuk berpura-pura menahan senyumnya. Yasa berjalan masuk ke dalam rumahnya.Saat ini jam menunjukkan pukul 21.52. Yasa menghela napas karena sadar dia telah pergi keluar terlalu lama. Dengan jantung yang Berdetak dengan cepat, Yasa terus melangkah masuk ke dalam rumah."Hebat!"Tubuh Yasa tersentak. Dia menoleh kearah sumber suara. Dia terdiam saat melihat mama dan papanya berdiri dengan wajah penuh amarah."Hebat ya kamu sekarang!" ucap sang mama membuat Yasa terdiam."Ada apa ma?" tanya Yasa lugu. Arzan yang melihat itu tertawa dengan keras. "Semakin lama kau semakin pintar," komentar Arzan membuat Yasa semakin takut.

    Last Updated : 2021-08-19
  • SPERANZA    006: Saling Rindu

    "Tapi, bu ...." "KELUAR!!" Xaviera mendorong tubuh Byakta dan Yasa hingga keluar dari rumahnya. Byakta dan Yasa hanya bisa pasrah mengikuti keinginan Xaviera. Mereka berdua menghela napas. Yasa menatap pintu rumah Xaviera dengan tatapan bingung. "Byakta," panggil Yasa membuat Byakta menoleh ke arahnya. "Apa?" Yasa menatap Byakta dengan serius. "Apa kau tidak merasa ada yang aneh?" tanya Yasa membuat Byakta mengerutkan dahinya bingung. Byakta menggeleng. "Tidak. Memangnya kenapa?" tanya Byakta balik. "Mengapa ibu Speranza memanggilnya dengan nama Flavia?" tanya Yasa sambil mengelus dagunya. "Mungkin saja itu nama panggilan dari ibunya," sahut Byakta membuat Yasa terdiam. "Lalu, kau lihat sendiri bukan? Ibu Speranza memiliki wajah asli orang Indonesia sedangkan Speranza wajahnya sangat kental dengan Italia," kata Yasa membuat Byakta terdiam. "Mungkin saja ayah Speranza asli Italia," jawab Byakta sedikit ti

    Last Updated : 2021-09-12
  • SPERANZA    007: Kebenaran Lovie

    Dengan wajah penuh amarah, Caiden menarik tangan Speranza. Dia mendorong Speranza ke arah sofa dengan begitu kasar."Ayah enggak suka kamu dekat dengan orang lain!"Speranza mengelus pergelangan tangannya yang tadi dicengkram oleh Caiden. Hatinya sakit karena baru kali ini Caiden bersikap kasar kepadanya."Apa dia kekasihmu itu?!" tanya Caiden penuh amarah. Speranza diam tidak menjawab.Caiden mencengkram dagu Speranza dengan begitu kuat. Speranza berusaha untuk melepaskan cengkraman itu menggunakan tangannya."Jangan bertingkah lagi Via! Jauhi semua orang! Saat di Italia kamu tidak pernah memiliki teman jadi jangan pernah berpikir untuk memiliki teman di sini!" teriak Caiden.Speranza menaikkan satu alisnya. "Apa jika aku membuat masalah kau akan mengembalikan ku ke Italia?" tanya Speranza.Caiden mengepalkan tangannya dengan kuat. Dia melepaskan cengkramannya dari dagu Speranza. "TIDAK AKAN PERNAH!!" bentak Caiden membua

    Last Updated : 2021-09-13
  • SPERANZA    008: Kebenaran yang sangat menyakitkan

    "SPERANZA!!"Speranza dan Arzan terkejut saat mendengar itu. Arzan menoleh ke sumber suara sedangkan Speranza dengan mengambil tangan Arzan dan menaruhnya tepat diatas rambutnya. Speranza bertingkah seolah-olah Arzan menjambaknya."AAKKHH!! APA YANG KAU LAKUKAN?!!""ARZAN SAKIT!!!"Speranza terus berteriak membuat Arzan terkejut. Arzan melotot dan berusaha untuk melepaskan tangannya, namun Speranza mencengkram tangannya dengan kuat."Dasar rubah licik!" desis Arzan saat melihat air mata Speranza.Yasa yang melihat Speranza kesakitan memberanikan diri menolongnya. Dia menjauhkan tangan Arzan dari rambut Speranza, kemudian di a mengelus dan merapikan rambut Speranza."Apa kau baik-baik saja?" tanya Yasa begitu khawatir. Speranza menatap Yasa, dia mengangguk dan langsung memeluk Yasa.Sedangkan Arzan, dia menatap pergelangan tangannya yang mengeluarkan darah akibat tercakar kuku Speranza. Satu tangannya yang lain terke

    Last Updated : 2021-09-15
  • SPERANZA    009 : Pengkhianat?

    Malam yang gelap dan begitu sunyi. Mobil Speranza terparkir di jalanan yang begitu sunyi dan mungkin jalanan ini tidak pernah di lalui oleh siapapun. Di dalam sana, Speranza tengah tidur. Dia kembali kabur agar mereka semua tidak bisa kembali ke Italia. Tidur Speranza begitu nyenyak hingga akhirnya sebuah telepon yang masuk berhasil mengganggu tidurnya. Dia tersentak dan menggeram. Speranza menatap handphonenya dengan kesal. Tadinya dia tidak ingin mengangkat karena mengira itu adalah kedua orang tuanya, namun rasa penasaran kembali mengalahkannya. Speranza melihat siapa yang meneleponnya dan dengan terburu-buru dia mengangkatnya. "Halo Yasa, ada apa?" sapa Speranza setelah mengangkat panggilan itu. Tidak ada sahutan sedikitipun dari Yasa. Speranza mengerutkan dahinya bingung dan kembali memastikan kalau yang meneleponnya adalah Yasa. "Yasa?" panggil Speranza agar Yasa berbicara. "Speranza,"

    Last Updated : 2021-10-02
  • SPERANZA    010 : Kakak?

    "Kau yakin ingin turun di sini?"Yasa tersenyum manis kepada Lovie. Dia mengangguk dan menjawab, "Aku yakin. Ada yang harus aku bicarakan dengan Byakta."Lovie menatap Yasa dengan khawatir. Pasalnya wajah Yasa sudah sangat pucat. "Kau harus pulang dan beristirahat, itu lebih penting untuk mu daripada berbincang dengan Byakta," Keukeh Lovie.Yasa kembali tersenyum. "Aku akan beristirahat di rumah Byakta. Aku juga akan menghubungi orang tua ku nanti," katanya."Mengapa kau sangat keras kepala! Berbincang dengan Byakta itu tidak penting!" Kesal Lovie.Yasa menatap Lovie dengan jahil. "Mengapa reaksi mu seperti itu? Kau marah jika aku berbincang dengan kekasih mu?" Yasa tertawa di akhir pertanyaannya.Lovie terdiam dan tidak sadar kalau Yasa sudah keluar dari taksi. "Aku akan istirahat. Terima kasih dan hati-hati," ucap Yasa dengan lembut. Dia menutup pintu taksi dan menatap taksi itu pergi menjauh darinya.Setelah taksi itu pergi,

    Last Updated : 2021-10-20
  • SPERANZA    011 : Rahasia Yang Terungkap

    "Ada apa? Mengapa kau terlihat gelisah?" Caiden memperhatikan mimik wajah Xaviera. Dia sangat mengenal Xaviera dan mengerti kalau Xaviera sulit untuk menyembunyikan ekspresinya. Xaviera masih diam dengan kepala yang tertunduk. Caiden tersenyum tipis, tangannya bergerak menyentuh pipi Xaviera dan mengelusnya dengan lembut. "Ada apa sayang?" tanya Caiden lembut. Tiba-tiba saja Xaviera menetskan air mata membuat Caiden terkejut. Dengan cepat Caiden memeluk Xaviera dan membiarkannya mengeluarkan segalanya. Setelah mulai tenang, Xaviera melepaskan pelukannya dan menatap suaminya dengan mata sembab. "Tadi pagi aku bertemu dengannya," ucap Xaviera membuat dahi Caiden berkerut. "Dengannya? Siapa?" tanya Caiden kebingungan. Xaviera terdiam sejenak, kemudian dia menatap tepat di mata suaminya. "Bitari," jawabnya dengan suara lesu. Mendadak suasana menjadi dingin. Mereka berdua sama sekali tidak mengeluarkan su

    Last Updated : 2021-12-11

Latest chapter

  • SPERANZA    012 : Caiden!

    Ketukan sepatu seseorang berhasil mengusik ketenangan yang Yasa miliki. Dia menghela napas dan menatap tajam pelaku yang membuat kebisingan itu. Sang pelaku tidak peduli, ia malah bersiul seolah tidak melakukan kesalahan apapun. Yasa menghela napas bersabar. Matanya menatap ke arah pintu operasi yang masih tertutup dengan lampu merah yang menyala. "Dia sedang dioperasi bukan? Lalu, mengapa kita tetap di sini? Ayo kita pulang!" Ajak Speranza dengan santai. "Apa kau sudah gila? Kau mau kita meninggalkan dia begitu saja?" Tanya Yasa sedikit marah. "Mengapa kau peduli sekali dengannya? Aku benar-benar tidak menyukainya! Aku harap dia tidak selamat!" Sumpah Speranza menatap pintu ruang operasi dengan tajam. "SPERANZA!!" bentak Yasa membuat Speranza terkejut. Yasa menghela napas, kejadian beberapa menit yang lalu terus berputar di kepalanya. Dia sama sekali tidak mengerti apa yang sedang terjadi. "Speranza, aku—" "Aku harus pulang. Ayah sudah menunggu ku," ujar Speranza memotong perk

  • SPERANZA    011 : Rahasia Yang Terungkap

    "Ada apa? Mengapa kau terlihat gelisah?" Caiden memperhatikan mimik wajah Xaviera. Dia sangat mengenal Xaviera dan mengerti kalau Xaviera sulit untuk menyembunyikan ekspresinya. Xaviera masih diam dengan kepala yang tertunduk. Caiden tersenyum tipis, tangannya bergerak menyentuh pipi Xaviera dan mengelusnya dengan lembut. "Ada apa sayang?" tanya Caiden lembut. Tiba-tiba saja Xaviera menetskan air mata membuat Caiden terkejut. Dengan cepat Caiden memeluk Xaviera dan membiarkannya mengeluarkan segalanya. Setelah mulai tenang, Xaviera melepaskan pelukannya dan menatap suaminya dengan mata sembab. "Tadi pagi aku bertemu dengannya," ucap Xaviera membuat dahi Caiden berkerut. "Dengannya? Siapa?" tanya Caiden kebingungan. Xaviera terdiam sejenak, kemudian dia menatap tepat di mata suaminya. "Bitari," jawabnya dengan suara lesu. Mendadak suasana menjadi dingin. Mereka berdua sama sekali tidak mengeluarkan su

  • SPERANZA    010 : Kakak?

    "Kau yakin ingin turun di sini?"Yasa tersenyum manis kepada Lovie. Dia mengangguk dan menjawab, "Aku yakin. Ada yang harus aku bicarakan dengan Byakta."Lovie menatap Yasa dengan khawatir. Pasalnya wajah Yasa sudah sangat pucat. "Kau harus pulang dan beristirahat, itu lebih penting untuk mu daripada berbincang dengan Byakta," Keukeh Lovie.Yasa kembali tersenyum. "Aku akan beristirahat di rumah Byakta. Aku juga akan menghubungi orang tua ku nanti," katanya."Mengapa kau sangat keras kepala! Berbincang dengan Byakta itu tidak penting!" Kesal Lovie.Yasa menatap Lovie dengan jahil. "Mengapa reaksi mu seperti itu? Kau marah jika aku berbincang dengan kekasih mu?" Yasa tertawa di akhir pertanyaannya.Lovie terdiam dan tidak sadar kalau Yasa sudah keluar dari taksi. "Aku akan istirahat. Terima kasih dan hati-hati," ucap Yasa dengan lembut. Dia menutup pintu taksi dan menatap taksi itu pergi menjauh darinya.Setelah taksi itu pergi,

  • SPERANZA    009 : Pengkhianat?

    Malam yang gelap dan begitu sunyi. Mobil Speranza terparkir di jalanan yang begitu sunyi dan mungkin jalanan ini tidak pernah di lalui oleh siapapun. Di dalam sana, Speranza tengah tidur. Dia kembali kabur agar mereka semua tidak bisa kembali ke Italia. Tidur Speranza begitu nyenyak hingga akhirnya sebuah telepon yang masuk berhasil mengganggu tidurnya. Dia tersentak dan menggeram. Speranza menatap handphonenya dengan kesal. Tadinya dia tidak ingin mengangkat karena mengira itu adalah kedua orang tuanya, namun rasa penasaran kembali mengalahkannya. Speranza melihat siapa yang meneleponnya dan dengan terburu-buru dia mengangkatnya. "Halo Yasa, ada apa?" sapa Speranza setelah mengangkat panggilan itu. Tidak ada sahutan sedikitipun dari Yasa. Speranza mengerutkan dahinya bingung dan kembali memastikan kalau yang meneleponnya adalah Yasa. "Yasa?" panggil Speranza agar Yasa berbicara. "Speranza,"

  • SPERANZA    008: Kebenaran yang sangat menyakitkan

    "SPERANZA!!"Speranza dan Arzan terkejut saat mendengar itu. Arzan menoleh ke sumber suara sedangkan Speranza dengan mengambil tangan Arzan dan menaruhnya tepat diatas rambutnya. Speranza bertingkah seolah-olah Arzan menjambaknya."AAKKHH!! APA YANG KAU LAKUKAN?!!""ARZAN SAKIT!!!"Speranza terus berteriak membuat Arzan terkejut. Arzan melotot dan berusaha untuk melepaskan tangannya, namun Speranza mencengkram tangannya dengan kuat."Dasar rubah licik!" desis Arzan saat melihat air mata Speranza.Yasa yang melihat Speranza kesakitan memberanikan diri menolongnya. Dia menjauhkan tangan Arzan dari rambut Speranza, kemudian di a mengelus dan merapikan rambut Speranza."Apa kau baik-baik saja?" tanya Yasa begitu khawatir. Speranza menatap Yasa, dia mengangguk dan langsung memeluk Yasa.Sedangkan Arzan, dia menatap pergelangan tangannya yang mengeluarkan darah akibat tercakar kuku Speranza. Satu tangannya yang lain terke

  • SPERANZA    007: Kebenaran Lovie

    Dengan wajah penuh amarah, Caiden menarik tangan Speranza. Dia mendorong Speranza ke arah sofa dengan begitu kasar."Ayah enggak suka kamu dekat dengan orang lain!"Speranza mengelus pergelangan tangannya yang tadi dicengkram oleh Caiden. Hatinya sakit karena baru kali ini Caiden bersikap kasar kepadanya."Apa dia kekasihmu itu?!" tanya Caiden penuh amarah. Speranza diam tidak menjawab.Caiden mencengkram dagu Speranza dengan begitu kuat. Speranza berusaha untuk melepaskan cengkraman itu menggunakan tangannya."Jangan bertingkah lagi Via! Jauhi semua orang! Saat di Italia kamu tidak pernah memiliki teman jadi jangan pernah berpikir untuk memiliki teman di sini!" teriak Caiden.Speranza menaikkan satu alisnya. "Apa jika aku membuat masalah kau akan mengembalikan ku ke Italia?" tanya Speranza.Caiden mengepalkan tangannya dengan kuat. Dia melepaskan cengkramannya dari dagu Speranza. "TIDAK AKAN PERNAH!!" bentak Caiden membua

  • SPERANZA    006: Saling Rindu

    "Tapi, bu ...." "KELUAR!!" Xaviera mendorong tubuh Byakta dan Yasa hingga keluar dari rumahnya. Byakta dan Yasa hanya bisa pasrah mengikuti keinginan Xaviera. Mereka berdua menghela napas. Yasa menatap pintu rumah Xaviera dengan tatapan bingung. "Byakta," panggil Yasa membuat Byakta menoleh ke arahnya. "Apa?" Yasa menatap Byakta dengan serius. "Apa kau tidak merasa ada yang aneh?" tanya Yasa membuat Byakta mengerutkan dahinya bingung. Byakta menggeleng. "Tidak. Memangnya kenapa?" tanya Byakta balik. "Mengapa ibu Speranza memanggilnya dengan nama Flavia?" tanya Yasa sambil mengelus dagunya. "Mungkin saja itu nama panggilan dari ibunya," sahut Byakta membuat Yasa terdiam. "Lalu, kau lihat sendiri bukan? Ibu Speranza memiliki wajah asli orang Indonesia sedangkan Speranza wajahnya sangat kental dengan Italia," kata Yasa membuat Byakta terdiam. "Mungkin saja ayah Speranza asli Italia," jawab Byakta sedikit ti

  • SPERANZA    005: Memutuskan Hubungan

    Baru kali ini senyum Yasa bertahan cukup lama. Dia terlalu bahagia untuk berpura-pura menahan senyumnya. Yasa berjalan masuk ke dalam rumahnya.Saat ini jam menunjukkan pukul 21.52. Yasa menghela napas karena sadar dia telah pergi keluar terlalu lama. Dengan jantung yang Berdetak dengan cepat, Yasa terus melangkah masuk ke dalam rumah."Hebat!"Tubuh Yasa tersentak. Dia menoleh kearah sumber suara. Dia terdiam saat melihat mama dan papanya berdiri dengan wajah penuh amarah."Hebat ya kamu sekarang!" ucap sang mama membuat Yasa terdiam."Ada apa ma?" tanya Yasa lugu. Arzan yang melihat itu tertawa dengan keras. "Semakin lama kau semakin pintar," komentar Arzan membuat Yasa semakin takut.

  • SPERANZA    004: Khawatir

    "Kau lihat?!"Speranza hanya mampu menunduk saat sang ayah menunjuknya dengan penuh amarah. Speranza memejamkan matanya saat ayahnya membanting handphonenya."Itulah alasanku tidak membiarkanmu berkeliaran di sini, Kau benar-benar tidak bisa hidup di luar," kata sang ayah membuat Speranza menatapnya terkejut."Tidak bisa hidup di luar? Apa kau berniat untuk mengurungku?!" tanya Speranza tak habis pikir."Ya! Aku berniat untuk mengurungmu! Kalau saja manusia sepertimu tidak ada di dunia ini, maka dunia ini akan begitu damai.""CAIDEN!!" Speranza meneriaki nama ayahnya membuat semua orang tuanya menatap dirinya terkejut."Berani sekali kau meneria

DMCA.com Protection Status