"Tapi, bu ...."
"KELUAR!!"
Xaviera mendorong tubuh Byakta dan Yasa hingga keluar dari rumahnya. Byakta dan Yasa hanya bisa pasrah mengikuti keinginan Xaviera.
Mereka berdua menghela napas. Yasa menatap pintu rumah Xaviera dengan tatapan bingung. "Byakta," panggil Yasa membuat Byakta menoleh ke arahnya.
"Apa?"
Yasa menatap Byakta dengan serius. "Apa kau tidak merasa ada yang aneh?" tanya Yasa membuat Byakta mengerutkan dahinya bingung.
Byakta menggeleng. "Tidak. Memangnya kenapa?" tanya Byakta balik.
"Mengapa ibu Speranza memanggilnya dengan nama Flavia?" tanya Yasa sambil mengelus dagunya.
"Mungkin saja itu nama panggilan dari ibunya," sahut Byakta membuat Yasa terdiam.
"Lalu, kau lihat sendiri bukan? Ibu Speranza memiliki wajah asli orang Indonesia sedangkan Speranza wajahnya sangat kental dengan Italia," kata Yasa membuat Byakta terdiam.
"Mungkin saja ayah Speranza asli Italia," jawab Byakta sedikit tidak yakin.
Yasa mengangguk. "Mungkin. Ya sudah, ayo kita pulang!" ajak Yasa dan menarik tangan Byakta.
Tanpa mereka berdua sadari, Speranza terus memperhatikan mereka berdua hingga keluar dari halaman rumahnya.
"Aku tidak akan pernah melepaskan mu walau semua yang diciptakan oleh tuhan melarangnya," gumam Speranza sambil menatap kepergian Yasa.
****
Yasa tengah melakukan kegiatan yang sudah sangat sering dia lakukan yaitu belajar di malam hari. Yasa terlihat sangat fokus dengan buku besar dihadapannya.
Dia membaca dan mencatatnya. Awalnya itulah yang dia lakukan sampai akhirnya Yasa menyerah dan melempar pulpen ke sembarang arah.
Yasa menghela napas dan menatap handphonenya. Apakah dia tengah menunggu telepon dari seseorang?
Yasa meletakkan kembali handphonenya. Dia kembali menghela napas. "Kenapa Speranza terus berlarian di kepalaku?" tanya Yasa pada dirinya sendiri.
Yasa menjambak rambutnya saat pusing dan tidak bisa konsentrasi pada pelajaran. Dia menatap pergelangan tangan kirinya. Beberapa hari yang lalu ada gelang hitam disana, tapi sekarang sudah tidak ada.
Yasa merasa Speranza telah membuat hidupnya berantakan. Yasa tidak bisa konsentrasi dengan apapun. Di kepalanya selalu terlintas wajah datar Speranza.
"Apa aku meneleponnya saja?" gumam Yasa, kemudian dia menggeleng. "Ah ... Tidak! Aku tidak bisa melakukan hal itu," ucapnya.
Yasa menghela napas dan meletakkan kepalanya di atas meja belajar. "Apa aku merindukannya?" tanya Yasa entah pada siapa. Tanpa sadar Yasa mulai memejamkan matanya dan masuk ke alam mimpi.
****
Tanpa sadar hari berlalu dengan cepat. Speranza dan Yasa masih saling diam enggan untuk berbicara bersama.
Hari minggu telah datang. Speranza bersandar di badan mobilnya menunggu seseorang keluar dari rumahnya.
Suara pagar ynag dibuka mengalihkan atensi Speranza. Dia menatap datar orang yang tengah berjalan ke arahnya.
"Speranza? Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Lovie dengan bingung. Speranza berada di depan rumahnya dan tidak ingin masuk.
Speranza tidak menjawab. Dia menatap Lovie dengan datar. "Apa kau dan Yasa akan pergi hari ini?" tanya Speranza membuat Lovie mengangguk.
"Kami akan pergi ke toko buku. Kami tidak berdua saja, Byakta juga ikut dengan kami," jawab Lovie. Speranza mengangguk mengerti.
"Kirimkan alamat kemana kalian akan pergi!" titah Speranza dan berniat masuk ke dalam mobilnya.
"Tunggu!" Lovie menghentikan Speranza. "Ada apa?" tanyanya. "Aku tidak memiliki nomor mu," Kata Lovie membuat Speranza berdecak sebal.
"Berikan handphone mu!" titah Speranza yang langsung dilaksanakan oleh Lovie. Speranza mengambil handphone Lovie dan memasukkan nomornya.
"Ini! Lakukan apa yang ku minta dengan baik!" kata Speranza. Lovie hanya mengangguk tidak berniat untuk membantah.
Speranza masuk ke dalam mobilnya dan melaju pergi meninggalkan rumah Lovie. Lovie menatap kepergian Speranza dengan tatapan bingung, dia memilih masuk ke dalam rumah untuk bersiap-siap.
Tak lama kemudian, Yasa dan Byakta datang untuk menjemputnya. Lovie yang sudah siap langsung masuk ke dalam mobil Byakta.
"Kita akan ke toko buku yang mana?" tanya Lovie membuat dua lelaki itu berpikir.
"Bagaimana kalau yang ada di mal itu? Toko bukunya baru saja buka," saran Byakta yang disetujui oleh Yasa dan Lovie.
Lovie dengan cepat mengirimkan alamat yang akan mereka tuju kepada Speranza. Dia menghela napas lega saat tugas dari Speranza dapat dia selesaikan.
Lovie menatap Yasa yang terlihat lesu." Yasa, apa kau baik-baik saja?" tanya Lovie khawatir saat melihat wajah Yasa yang sangat pucat.
Yasa menatap Lovie dan tersenyum manis. "Aku baik-baik saja tidak perlu khawatir," ujar Yasa, namun Lovie tidak percaya.
Lovie menyentuh dahi Yasa dan ternyata Yasa tengah demam. "Kau demam?" Byakta melirik Lovie dan Yasa.
"Jika kau demam sebaiknya kita pulang! Kita bisa ke toko buku minggu depan," kata Lovie khawatir dengan kondisi Yasa.
Yasa menurunkan tangan Lovie darinya. "Aku baik-baik saja, hanya sedikit lelah," kata Yasa dan kembali menatap ke depan.
Byakta yang melihat wajah khawatir Lovie terkekeh. "Lovie, kau tenang saja. Yasa begitu karena efek dari kerinduannya pada Speranza," kata Byakta sambil melirik Yasa yang tengah berdecak sebal.
"Rindu?" tanya Lovie bingung. Byakta mengangguk. "Iya, rindu. Dia merindukan Speranza hingga demam," kata Byakta sambil menggelengkan kepalanya tak habis pikir.
Yasa hanya berdecak sebal dan memilih menatap ke luar jendela. Byakra tertawa meledek Yasa membuat Yasa semakin dongkol. Sedangkan Lovie memperhatikan Yasa dengan tatapan yang sulit untuk diartikan.
Tak butuh waktu lama, akhirnya mereka sampai di tempat yang sudah mereka rencanakan tadi. Mereka bertiga langsung berjalan menuju toko buku yang berada di lantai dua.
Mereka memencar, Lovie ke bagian novel, Byakta ke bagian komik dan Yasa ke bagian buku pelajaran.
Saat tengah asik melihat-lihat novel, handphonenya bergetar dan sebuah pesan masuk. Lovie melihatnya dan terdiam saat melihat pesan dari Speranza.
"Jika sudah selesai membeli buku, bawa Yasa ke restoran Italia yang berada di lantai satu dan tinggalkan dia sendiri di sana. Mengerti?"
Kira-kira seperti itulah isi pesan dari Speranza. Lovie menghela napas. "Mengapa dia tidak langsung menemui Yasa? Mengapa dia harus menyuruhku?" gumam Lovie yang mulai sadar.
Lovie menghela napas dan menyimpan handphonenya kembali. Dia mengambil novel yang dia inginkan, laku berjalan mencari Yasa.
"Yasa!" panggil Lovie membuat Yasa menoleh. Yasa tersenyum dan berjalan ke arah Lovie.
"Apa kau sudah selesai memilih?" tanya Yasa yang dibalas anggukan oleh Lovie.
Yasa menatap novel yang di pilih oleh Lovie. "Itu novel yang bagus," puji Yasa membuat Lovie senang.
"Aku sudah selesai, tapi dimana Byakta?" tanya Yasa dan menatap sekeliling.
Byakta datang dengan tangan kosong. "Kalian sudah selesai?" tanya Byakta membuat mereka berdua mengangguk.
"Mengapa kau tidak membawa apapun?" tanya Lovie kepaaa Byakta.
Byakta menggaruk belakang kepalanya. "Komik di sini tidak ada yang bagus, aku tidak suka. Sudahlah ayo! Aku sangat lapar," kata Byakta dan berjalan mendahului mereka. Yasa dan Lovie hanya mengikuti Byakta saja.
"Aku lapar, kita akan makan dimana?" tanya Byakta meminta saran kepada dua temannya.
"Bagaimana dengan restoran Jepang?" tanya Yasa. Dia sangat sushi dan ramen.
Byakta mengangguk setuju. "Baiklah, ayo kita ke restoran Jepang!" ajak Byakta dengan senang.
"Tunggu!" teriak Lovie menghentikan mereka. Byakta dan Yasa menatap Lovie dengan bingung.
"Ada apa?" tanya Yasa.
Lovie menatap ke arah lain, kemudian dia menatap Byakta dan Yasa. "Kalian tahu kalau aku tidak terlalu suka dengan makanan jepang," ujar Lovie membuat Byakta dan Yasa menepuk jidatnya.
"Ha, iya ... Kau tidak suka. Bagaimana bis aku melupakan hal itu," kata Yasa sambil terkekeh.
Lovie mengangguk sambil tersenyum. "Bagaimana jika kita ke restoran Italia di lantai satu? Aku dengar di sana pizzanya sangat enak," saran Lovie membuat Byakta dan Yasa saling tatap.
"Hm ... Baiklah, kita akan mencobanya," kata Byakta pada akhirnya.
Lovie tersenyum senang. Dia menarik tangan Byakta dan Yasa. "Kalau begitu, ayo!" ajak Lovie dengan gembira.
Mereka sampai di depan restoran Italia yang dimaksud oleh Lovie. Mereka bertiga masuk dan duduk di meja dekat dinding.
Lovie berusaha mencari cara untuk meninggalkan Yasa sendiri di sini. Dia menatap sekeliling, lalu terdiam.
"Byakta," panggil Lovie membuat Byakta yang sedang melihat menu menoleh ke arahnya.
"Sepertinya aku meninggalkan handphoneku di mobil," kata Lovie membuat Yasa dan Byakta terkejut.
"Bagaimana kau bisa melupakannya?" tanya Yasa tak habis pikir.
"Maaf," ucap Lovie terlihat seperti merasa bersalah.
Byakta mengeluarkan kunci mobilnya dan menyerahkannya pada Lovie. "Ya sudah, kau ambil sendiri," kata Byakta dengan tega.
Lovie terdiam. "Aku tidak berani pergi sendiri," rengek Lovie. Yasa yang melihat itu menghela napas. Dia sangat mengenal Lovie. Lovie memang tidak berani berjalan sendiri di tempat umum.
Byakta berdecak. "Dasar manja!" kesal Byakta dan berdiri. Lovie menatap Yasa. "Tidak apa kami meninggalkanmu sendiri?" tanya Lovie tak enak hati.
Yasa mengangguk. "Tidak apa. Pergilah!" kata Yasa sambil tersenyum. Byakta dan Lovie berjalan keluar dari restoran.
Saat mereka mulai jauh dari restoran. Lovie menahan tangan Byakta. "Ada apa? Ayo cepat! Aku sangat lapar," kata Lovie.
"Handphoneku ada di sini," kata Lovie sambil menunjukkan handphonenya.
Byakta melongo melihat itu. "KAU!!" Lovie menutup mulut Byakta agar tidak berteriak. Byakta melepaskan tangan Lovie dengan kasar.
"Mengapa kau melakukan semua ini?" tanya Byakta begitu marah.
Lovie menunduk merasa bersalah. "Maaf, Speranza yang menyuruhku," kata Lovie dan menyerahkan handphonenya kepada Byakta.
Byakta menghela napas dan mengambil Handphone Lovie. Dia melihat pesan yang dikirimkan oleh Speranza.
Byakta menarik Lovie kembali ke restoran itu. Langkah mereka berhenti saat melihat Yasa yang sudah di temani oleh Speranza.
"Ayo kita cari restoran lain!"
****
Yasa menutup buku menu saat telah selesai mengatakan apa yang ingin dia pesan. Dia menatap sekeliling restoran ini. Sebenarnya Yasa tidak terlalu suka dengan makanan Italia, tapi karena Lovie yang meminta dia terpaksa berada di sini.
Yasa terkejut saat melihat Speranza datang dan duduk dihadapannya. Yasa berusaha untuk tidak memperdulikan Speranza, dia memilih memainkan handphonenya.
Speranza mengambil handphone Yasa membuat Yasa menatapnya dengan kesal. "Aku merindukanmu," kata Speranza dengan wajah yang begitu datar.
Yasa melongo melihat ekspresi Speranza. "Apa pantas mengatakan hal itu dengan ekspresi datar?" tanya Yasa yang entah mengapa menjadi kesal.
Speranza tidak perduli. Dia mematikan handphone Yasa sehingga tidak akan ada yang bisa mengganggu mereka.
"Bagaimana kabar mu?" tanya Speranza menatap Yasa.
Yasa menatap ke arah lain asalkan tidak menatap Speranza. "Mengapa Byakta dan Lovie lama sekali?!" kesalnya.
Speranza terkekeh. "Mereka tidak akan kembali," ucap Speranza membuat Yasa menatapnya dengan bingung.
"Aku menyuruh mereka meninggalkanmu di sini," kata Speranza. Yasa menghela napas.
"Kembali handphoneku!" titah Yasa. Speranza menggeleng. "Tidak ada handphone diantara kita," ujar Speranza membuat Yasa menghela napas kesal.
"Apa mau mu?! Hidupku sudah tenang semenjak hari itu, jadi jangan menggangguku lagi!" kesal Yasa yang sangat terlihat.
"Benarkah? Tapi mengapa wajahmu pucat?" tanya Speranza membuat Yasa terdiam.
"Wajah ku memang seperti ini!" jawab Yasa membuat Speranza terkekeh kecil.
Speranza mengeluarkan gelang hitam miliknya. Dia kembali memasangkan gelang itu dipergelangan tangan Yasa. Yasa hanya mampu berdiam diri melihat semua yang dilakukan Speranza.
"Jangan lepas gelang ini lagi tanpa persetujuan dariku! Tidak perlu memikirkan orang lain. Mereka semua akan hidup jika kau tetap bersamaku dan mereka akan mati jika kau melepaskan gelang itu," kata Speranza membuat Yasa terdiam menatap gelang itu.
"Apa gelang ini mengatur kematian seseorang?" tanya Yasa sambil tersenyum miring.
"Bisa dikatakan seperti itu."
Yasa terkekeh dan menggeleng tak percaya. Pelayan restoran datang menyajikan pesanan Yasa. Speranza menatap makanan-makanan itu dengan berbinar.
Saat pelayan itu pergi, Speranza langsung mengambil satu potongan pizza dan memakannya dengan begitu lahap. Yasa yang melihat itu terkekeh.
"Kau harus makan secara perlahan. Jangan siksa organ tubuh mu," Kata Yasa yang gemas dengan tingkah Speranza.
Speranza yang sadar akan tingkahnya langsung duduk dengan tegak dan berdehem. Dia mengambil tissu dan membersihkan bibirnya. Dalam Sedetik mimik wajah Speranza berubah menjadi datar.
Yasa terkekeh kecil melihat perubahan Speranza. Dia mengambil piring spaghetti dan mengaduk spaghetti tersebut. Speranza terus memperhatikan spaghetti tersebut tanpa berkedip.
Ia terkejut saat Yasa menyodorkan garpu yang sudah berisi spaghetti. Speranza terus menatap garpu itu, lalu menatap Yasa.
"Ayo makan! Aku rasa tanganku mulai pegal," kata Yasa membuat senyum manis Speranza timbul. Speranza melahap spaghetti yang disodorkan ke arahnya.
Yasa tersenyum dan ikut memakan spaghetti itu. "Bagaimana rasanya?" tanya Yasa kembali menyuapi Speranza.
"Enak," jawab Speranza dan mengunyah spaghetti tanpa henti. Yasa tersenyum senang. Entah mengapa hari ini dia begitu bahagia dan tidak ingin mendapatkan masalah apapun untuk saat ini.
"Yasa," panggil Speranza membuat Yasa menatapnya dengan tatapan bertanya.
"Apa suatu saat nanti kau akan meninggalkanku?" tanya Speranza tiba-tiba.
Yasa terdiam. Dia menjatuhkan potongan pizza yang akan dia makan. "Mengapa kau berpikir seperti itu? Apa karena penyakit ku?" tanya Yasa sedih.
"Kau tenang saja, aku akan menyuruh mama dan papa agar cepat mencari pendonor untuk ku," sambung Yasa dengan senyum pedih.
Speranza menggeleng. "Aku tidak perduli dengan penyakit mu. Aku hanya takut akan ada sebuah alasan yang nanti membuatmu harus meninggalkanku," kata Speranza membuat Yasa terdiam.
"Alasan? aku tidak mememukan alasan untuk menyukaimu, aku menyukaimu karena kau terus berada di dekatku. Lalu, apa aku perlu alasan untuk meninggalkanmu?" Yasa menatap Speranza serius.
"Kau ingat? kehidupan memiliki banyak warna dan penuh kejutan juga alasan," ujar Speranza yang di akhiri oleh kekehan.
"Aku harap kau tidak akan meninggalkanku saat menemukan sesuatu," ujar Speranza tanpa menatap Yasa.
Yasa mengerutkan dahinya bingung. "Apa mak—" ucapan Yasa terpotong oleh teriakan seseorang.
"SPERANZA!!"
Ayah Speranza–Caiden berdiri dengan wajah memerah penuh amarah. Yasa dan Speranza terkejut saat melihat Caiden. Mereka berdua saling tatap dan ketakutan.
****
Dengan wajah penuh amarah, Caiden menarik tangan Speranza. Dia mendorong Speranza ke arah sofa dengan begitu kasar."Ayah enggak suka kamu dekat dengan orang lain!"Speranza mengelus pergelangan tangannya yang tadi dicengkram oleh Caiden. Hatinya sakit karena baru kali ini Caiden bersikap kasar kepadanya."Apa dia kekasihmu itu?!" tanya Caiden penuh amarah. Speranza diam tidak menjawab.Caiden mencengkram dagu Speranza dengan begitu kuat. Speranza berusaha untuk melepaskan cengkraman itu menggunakan tangannya."Jangan bertingkah lagi Via! Jauhi semua orang! Saat di Italia kamu tidak pernah memiliki teman jadi jangan pernah berpikir untuk memiliki teman di sini!" teriak Caiden.Speranza menaikkan satu alisnya. "Apa jika aku membuat masalah kau akan mengembalikan ku ke Italia?" tanya Speranza.Caiden mengepalkan tangannya dengan kuat. Dia melepaskan cengkramannya dari dagu Speranza. "TIDAK AKAN PERNAH!!" bentak Caiden membua
"SPERANZA!!"Speranza dan Arzan terkejut saat mendengar itu. Arzan menoleh ke sumber suara sedangkan Speranza dengan mengambil tangan Arzan dan menaruhnya tepat diatas rambutnya. Speranza bertingkah seolah-olah Arzan menjambaknya."AAKKHH!! APA YANG KAU LAKUKAN?!!""ARZAN SAKIT!!!"Speranza terus berteriak membuat Arzan terkejut. Arzan melotot dan berusaha untuk melepaskan tangannya, namun Speranza mencengkram tangannya dengan kuat."Dasar rubah licik!" desis Arzan saat melihat air mata Speranza.Yasa yang melihat Speranza kesakitan memberanikan diri menolongnya. Dia menjauhkan tangan Arzan dari rambut Speranza, kemudian di a mengelus dan merapikan rambut Speranza."Apa kau baik-baik saja?" tanya Yasa begitu khawatir. Speranza menatap Yasa, dia mengangguk dan langsung memeluk Yasa.Sedangkan Arzan, dia menatap pergelangan tangannya yang mengeluarkan darah akibat tercakar kuku Speranza. Satu tangannya yang lain terke
Malam yang gelap dan begitu sunyi. Mobil Speranza terparkir di jalanan yang begitu sunyi dan mungkin jalanan ini tidak pernah di lalui oleh siapapun. Di dalam sana, Speranza tengah tidur. Dia kembali kabur agar mereka semua tidak bisa kembali ke Italia. Tidur Speranza begitu nyenyak hingga akhirnya sebuah telepon yang masuk berhasil mengganggu tidurnya. Dia tersentak dan menggeram. Speranza menatap handphonenya dengan kesal. Tadinya dia tidak ingin mengangkat karena mengira itu adalah kedua orang tuanya, namun rasa penasaran kembali mengalahkannya. Speranza melihat siapa yang meneleponnya dan dengan terburu-buru dia mengangkatnya. "Halo Yasa, ada apa?" sapa Speranza setelah mengangkat panggilan itu. Tidak ada sahutan sedikitipun dari Yasa. Speranza mengerutkan dahinya bingung dan kembali memastikan kalau yang meneleponnya adalah Yasa. "Yasa?" panggil Speranza agar Yasa berbicara. "Speranza,"
"Kau yakin ingin turun di sini?"Yasa tersenyum manis kepada Lovie. Dia mengangguk dan menjawab, "Aku yakin. Ada yang harus aku bicarakan dengan Byakta."Lovie menatap Yasa dengan khawatir. Pasalnya wajah Yasa sudah sangat pucat. "Kau harus pulang dan beristirahat, itu lebih penting untuk mu daripada berbincang dengan Byakta," Keukeh Lovie.Yasa kembali tersenyum. "Aku akan beristirahat di rumah Byakta. Aku juga akan menghubungi orang tua ku nanti," katanya."Mengapa kau sangat keras kepala! Berbincang dengan Byakta itu tidak penting!" Kesal Lovie.Yasa menatap Lovie dengan jahil. "Mengapa reaksi mu seperti itu? Kau marah jika aku berbincang dengan kekasih mu?" Yasa tertawa di akhir pertanyaannya.Lovie terdiam dan tidak sadar kalau Yasa sudah keluar dari taksi. "Aku akan istirahat. Terima kasih dan hati-hati," ucap Yasa dengan lembut. Dia menutup pintu taksi dan menatap taksi itu pergi menjauh darinya.Setelah taksi itu pergi,
"Ada apa? Mengapa kau terlihat gelisah?" Caiden memperhatikan mimik wajah Xaviera. Dia sangat mengenal Xaviera dan mengerti kalau Xaviera sulit untuk menyembunyikan ekspresinya. Xaviera masih diam dengan kepala yang tertunduk. Caiden tersenyum tipis, tangannya bergerak menyentuh pipi Xaviera dan mengelusnya dengan lembut. "Ada apa sayang?" tanya Caiden lembut. Tiba-tiba saja Xaviera menetskan air mata membuat Caiden terkejut. Dengan cepat Caiden memeluk Xaviera dan membiarkannya mengeluarkan segalanya. Setelah mulai tenang, Xaviera melepaskan pelukannya dan menatap suaminya dengan mata sembab. "Tadi pagi aku bertemu dengannya," ucap Xaviera membuat dahi Caiden berkerut. "Dengannya? Siapa?" tanya Caiden kebingungan. Xaviera terdiam sejenak, kemudian dia menatap tepat di mata suaminya. "Bitari," jawabnya dengan suara lesu. Mendadak suasana menjadi dingin. Mereka berdua sama sekali tidak mengeluarkan su
Ketukan sepatu seseorang berhasil mengusik ketenangan yang Yasa miliki. Dia menghela napas dan menatap tajam pelaku yang membuat kebisingan itu. Sang pelaku tidak peduli, ia malah bersiul seolah tidak melakukan kesalahan apapun. Yasa menghela napas bersabar. Matanya menatap ke arah pintu operasi yang masih tertutup dengan lampu merah yang menyala. "Dia sedang dioperasi bukan? Lalu, mengapa kita tetap di sini? Ayo kita pulang!" Ajak Speranza dengan santai. "Apa kau sudah gila? Kau mau kita meninggalkan dia begitu saja?" Tanya Yasa sedikit marah. "Mengapa kau peduli sekali dengannya? Aku benar-benar tidak menyukainya! Aku harap dia tidak selamat!" Sumpah Speranza menatap pintu ruang operasi dengan tajam. "SPERANZA!!" bentak Yasa membuat Speranza terkejut. Yasa menghela napas, kejadian beberapa menit yang lalu terus berputar di kepalanya. Dia sama sekali tidak mengerti apa yang sedang terjadi. "Speranza, aku—" "Aku harus pulang. Ayah sudah menunggu ku," ujar Speranza memotong perk
Milan, Italia, 28 Mei 2021. Saat ini sang purnama yang cantik jelita sudah duduk manis di langit yang begitu luas, sinarnya menyoroti setiap pergerakan makhluk di bumi. Cuaca yang cerah membuat kita dapat melihat sang purnama dengan jelas, begitu pula dengan keluarga bahagia yang tengah menatap purnama sambil berbincang hangat dan menikmati makan malam bersama. Ibu, ayah dan dua anak perempuan mereka yang terlihat sangat cantik tertawa bersama karena candaan yang dilontarkan oleh sang ayah. Mereka terlihat begitu harmonis, tidak ada yang mengganggu mereka karena mereka telah menyewa restoran itu untuk malam ini. "Tertawalah, tertawalah untuk terakhir kalinya." Dibalik pagar tanaman merambat seorang gadis dengan hoodie yang menutupi kepala dan masker
Jakarta, Indonesia, 14 Juli 2021 SMA Zervard adalah salah satu SMA favorit di Jakarta dan saat ini sekolah tersebut tengah ramai dan dipadati oleh siswa siswi baru. Para murid baru berkumpul dilapangan bersama anggota OSIS dari sekolah tersebut. Pemuda dengan pakaian yang sangat rapi berdecak sebal saat melihat lapangan dan koridor yang dipenuhi oleh para siswa dan siswi. Dia berjinjit untuk melihat celah agar bisa berjalan melewati mereka semua. Namun, tidak ada celah sedikitpun. Lelaki itu dengan lesu membalikkan badannya, namun tanpa sengaja dia menabrak seorang perempuan hingga membuat semua buku yang dia pegang berjatuhan di atas lantai. Lelaki itu dengan cepat menunduk dan membereskan buku-bukunya. Sang perempuan juga ikut membereskan buku milik lelaki tersebut membuat lelaki itu terkejut.
Ketukan sepatu seseorang berhasil mengusik ketenangan yang Yasa miliki. Dia menghela napas dan menatap tajam pelaku yang membuat kebisingan itu. Sang pelaku tidak peduli, ia malah bersiul seolah tidak melakukan kesalahan apapun. Yasa menghela napas bersabar. Matanya menatap ke arah pintu operasi yang masih tertutup dengan lampu merah yang menyala. "Dia sedang dioperasi bukan? Lalu, mengapa kita tetap di sini? Ayo kita pulang!" Ajak Speranza dengan santai. "Apa kau sudah gila? Kau mau kita meninggalkan dia begitu saja?" Tanya Yasa sedikit marah. "Mengapa kau peduli sekali dengannya? Aku benar-benar tidak menyukainya! Aku harap dia tidak selamat!" Sumpah Speranza menatap pintu ruang operasi dengan tajam. "SPERANZA!!" bentak Yasa membuat Speranza terkejut. Yasa menghela napas, kejadian beberapa menit yang lalu terus berputar di kepalanya. Dia sama sekali tidak mengerti apa yang sedang terjadi. "Speranza, aku—" "Aku harus pulang. Ayah sudah menunggu ku," ujar Speranza memotong perk
"Ada apa? Mengapa kau terlihat gelisah?" Caiden memperhatikan mimik wajah Xaviera. Dia sangat mengenal Xaviera dan mengerti kalau Xaviera sulit untuk menyembunyikan ekspresinya. Xaviera masih diam dengan kepala yang tertunduk. Caiden tersenyum tipis, tangannya bergerak menyentuh pipi Xaviera dan mengelusnya dengan lembut. "Ada apa sayang?" tanya Caiden lembut. Tiba-tiba saja Xaviera menetskan air mata membuat Caiden terkejut. Dengan cepat Caiden memeluk Xaviera dan membiarkannya mengeluarkan segalanya. Setelah mulai tenang, Xaviera melepaskan pelukannya dan menatap suaminya dengan mata sembab. "Tadi pagi aku bertemu dengannya," ucap Xaviera membuat dahi Caiden berkerut. "Dengannya? Siapa?" tanya Caiden kebingungan. Xaviera terdiam sejenak, kemudian dia menatap tepat di mata suaminya. "Bitari," jawabnya dengan suara lesu. Mendadak suasana menjadi dingin. Mereka berdua sama sekali tidak mengeluarkan su
"Kau yakin ingin turun di sini?"Yasa tersenyum manis kepada Lovie. Dia mengangguk dan menjawab, "Aku yakin. Ada yang harus aku bicarakan dengan Byakta."Lovie menatap Yasa dengan khawatir. Pasalnya wajah Yasa sudah sangat pucat. "Kau harus pulang dan beristirahat, itu lebih penting untuk mu daripada berbincang dengan Byakta," Keukeh Lovie.Yasa kembali tersenyum. "Aku akan beristirahat di rumah Byakta. Aku juga akan menghubungi orang tua ku nanti," katanya."Mengapa kau sangat keras kepala! Berbincang dengan Byakta itu tidak penting!" Kesal Lovie.Yasa menatap Lovie dengan jahil. "Mengapa reaksi mu seperti itu? Kau marah jika aku berbincang dengan kekasih mu?" Yasa tertawa di akhir pertanyaannya.Lovie terdiam dan tidak sadar kalau Yasa sudah keluar dari taksi. "Aku akan istirahat. Terima kasih dan hati-hati," ucap Yasa dengan lembut. Dia menutup pintu taksi dan menatap taksi itu pergi menjauh darinya.Setelah taksi itu pergi,
Malam yang gelap dan begitu sunyi. Mobil Speranza terparkir di jalanan yang begitu sunyi dan mungkin jalanan ini tidak pernah di lalui oleh siapapun. Di dalam sana, Speranza tengah tidur. Dia kembali kabur agar mereka semua tidak bisa kembali ke Italia. Tidur Speranza begitu nyenyak hingga akhirnya sebuah telepon yang masuk berhasil mengganggu tidurnya. Dia tersentak dan menggeram. Speranza menatap handphonenya dengan kesal. Tadinya dia tidak ingin mengangkat karena mengira itu adalah kedua orang tuanya, namun rasa penasaran kembali mengalahkannya. Speranza melihat siapa yang meneleponnya dan dengan terburu-buru dia mengangkatnya. "Halo Yasa, ada apa?" sapa Speranza setelah mengangkat panggilan itu. Tidak ada sahutan sedikitipun dari Yasa. Speranza mengerutkan dahinya bingung dan kembali memastikan kalau yang meneleponnya adalah Yasa. "Yasa?" panggil Speranza agar Yasa berbicara. "Speranza,"
"SPERANZA!!"Speranza dan Arzan terkejut saat mendengar itu. Arzan menoleh ke sumber suara sedangkan Speranza dengan mengambil tangan Arzan dan menaruhnya tepat diatas rambutnya. Speranza bertingkah seolah-olah Arzan menjambaknya."AAKKHH!! APA YANG KAU LAKUKAN?!!""ARZAN SAKIT!!!"Speranza terus berteriak membuat Arzan terkejut. Arzan melotot dan berusaha untuk melepaskan tangannya, namun Speranza mencengkram tangannya dengan kuat."Dasar rubah licik!" desis Arzan saat melihat air mata Speranza.Yasa yang melihat Speranza kesakitan memberanikan diri menolongnya. Dia menjauhkan tangan Arzan dari rambut Speranza, kemudian di a mengelus dan merapikan rambut Speranza."Apa kau baik-baik saja?" tanya Yasa begitu khawatir. Speranza menatap Yasa, dia mengangguk dan langsung memeluk Yasa.Sedangkan Arzan, dia menatap pergelangan tangannya yang mengeluarkan darah akibat tercakar kuku Speranza. Satu tangannya yang lain terke
Dengan wajah penuh amarah, Caiden menarik tangan Speranza. Dia mendorong Speranza ke arah sofa dengan begitu kasar."Ayah enggak suka kamu dekat dengan orang lain!"Speranza mengelus pergelangan tangannya yang tadi dicengkram oleh Caiden. Hatinya sakit karena baru kali ini Caiden bersikap kasar kepadanya."Apa dia kekasihmu itu?!" tanya Caiden penuh amarah. Speranza diam tidak menjawab.Caiden mencengkram dagu Speranza dengan begitu kuat. Speranza berusaha untuk melepaskan cengkraman itu menggunakan tangannya."Jangan bertingkah lagi Via! Jauhi semua orang! Saat di Italia kamu tidak pernah memiliki teman jadi jangan pernah berpikir untuk memiliki teman di sini!" teriak Caiden.Speranza menaikkan satu alisnya. "Apa jika aku membuat masalah kau akan mengembalikan ku ke Italia?" tanya Speranza.Caiden mengepalkan tangannya dengan kuat. Dia melepaskan cengkramannya dari dagu Speranza. "TIDAK AKAN PERNAH!!" bentak Caiden membua
"Tapi, bu ...." "KELUAR!!" Xaviera mendorong tubuh Byakta dan Yasa hingga keluar dari rumahnya. Byakta dan Yasa hanya bisa pasrah mengikuti keinginan Xaviera. Mereka berdua menghela napas. Yasa menatap pintu rumah Xaviera dengan tatapan bingung. "Byakta," panggil Yasa membuat Byakta menoleh ke arahnya. "Apa?" Yasa menatap Byakta dengan serius. "Apa kau tidak merasa ada yang aneh?" tanya Yasa membuat Byakta mengerutkan dahinya bingung. Byakta menggeleng. "Tidak. Memangnya kenapa?" tanya Byakta balik. "Mengapa ibu Speranza memanggilnya dengan nama Flavia?" tanya Yasa sambil mengelus dagunya. "Mungkin saja itu nama panggilan dari ibunya," sahut Byakta membuat Yasa terdiam. "Lalu, kau lihat sendiri bukan? Ibu Speranza memiliki wajah asli orang Indonesia sedangkan Speranza wajahnya sangat kental dengan Italia," kata Yasa membuat Byakta terdiam. "Mungkin saja ayah Speranza asli Italia," jawab Byakta sedikit ti
Baru kali ini senyum Yasa bertahan cukup lama. Dia terlalu bahagia untuk berpura-pura menahan senyumnya. Yasa berjalan masuk ke dalam rumahnya.Saat ini jam menunjukkan pukul 21.52. Yasa menghela napas karena sadar dia telah pergi keluar terlalu lama. Dengan jantung yang Berdetak dengan cepat, Yasa terus melangkah masuk ke dalam rumah."Hebat!"Tubuh Yasa tersentak. Dia menoleh kearah sumber suara. Dia terdiam saat melihat mama dan papanya berdiri dengan wajah penuh amarah."Hebat ya kamu sekarang!" ucap sang mama membuat Yasa terdiam."Ada apa ma?" tanya Yasa lugu. Arzan yang melihat itu tertawa dengan keras. "Semakin lama kau semakin pintar," komentar Arzan membuat Yasa semakin takut.
"Kau lihat?!"Speranza hanya mampu menunduk saat sang ayah menunjuknya dengan penuh amarah. Speranza memejamkan matanya saat ayahnya membanting handphonenya."Itulah alasanku tidak membiarkanmu berkeliaran di sini, Kau benar-benar tidak bisa hidup di luar," kata sang ayah membuat Speranza menatapnya terkejut."Tidak bisa hidup di luar? Apa kau berniat untuk mengurungku?!" tanya Speranza tak habis pikir."Ya! Aku berniat untuk mengurungmu! Kalau saja manusia sepertimu tidak ada di dunia ini, maka dunia ini akan begitu damai.""CAIDEN!!" Speranza meneriaki nama ayahnya membuat semua orang tuanya menatap dirinya terkejut."Berani sekali kau meneria