"Kau lihat?!"
Speranza hanya mampu menunduk saat sang ayah menunjuknya dengan penuh amarah. Speranza memejamkan matanya saat ayahnya membanting handphonenya.
"Itulah alasanku tidak membiarkanmu berkeliaran di sini, Kau benar-benar tidak bisa hidup di luar," kata sang ayah membuat Speranza menatapnya terkejut.
"Tidak bisa hidup di luar? Apa kau berniat untuk mengurungku?!" tanya Speranza tak habis pikir.
"Ya! Aku berniat untuk mengurungmu! Kalau saja manusia sepertimu tidak ada di dunia ini, maka dunia ini akan begitu damai."
"CAIDEN!!" Speranza meneriaki nama ayahnya membuat semua orang tuanya menatap dirinya terkejut.
"Berani sekali kau meneriaki nama ayahmu sendiri?!" teriak Caiden tak mampu menahan amarah.
Speranza tersenyum miring mendengar perkataan itu. Dengan gerakan cepat Speranza mencekik leher Caiden hingga Caiden terjatuh ke sofa. Istri Caiden—Xaviera berusaha untuk memisahkan Speranza dari Caiden, namun dia kesulitan karena Speranza sangat kuat.
"Kau juga tidak pantas hidup brengsek!!" Speranza memperkuat cekikannya hingga membuat wajah Caiden memerah.
"Kau bilang dunia ini akan aman jika manusia seperti ku tidak ada?!"
"OMONG KOSONG!! Semua itu hanya omong kosong!!"
"Kau harus mati, bajingan!!"
"AARGHH!!"
Speranza memegang pelipisnya. Dia tersenyum miring saat melihat darah di tangannya. Speranza terkekeh. "Sial!" makinya, lalu terjatuh tak sadarkan diri.
Tubuh Xaviera gemetar di tempatnya berdiri. Dia menjatuhkan patung dewi Yunani yang digunakannya untuk memukul Speranza. Xaviera menatap Speranza dengan air mata yang mulai berjatuhan.
"Apa aku membunuhnya? Aku sudah menyakiti anakku sendiri, aku melanggar janji ku sebagai orang tuanya," ucap Xaviera, dia menjatuhkan tubuhnya ke lantai dan menangis dengan tersedu-sedu.
Caiden menghela napas menatap Speranza yang terbaring tak sadarkan diri di atas lantai. Dia berjalan menghampiri Speranza dan menggendongnya." Aku yang salah jadi berhenti menyalahkan dirimu sendiri dan panggil dokter sekarang!" titah Caiden yang langsung dilaksanakan oleh Xaviera.
****
Byakta mengusap telinganya dengan kesal saat mendengar ocehan Yasa. Dia menatap Yasa dengan kesal. "Ada apa denganmu?! Mengapa kau terus mengoceh?!" kesal Byakta.
Yasa terdiam menatap Byakta. Dia menghela napas dan memilih untuk membelakangi Byakta. "Mengapa dia tidak bisa dihubungi?" tanya Yasa entah pada siapa.
Dia menatap handphonenya dan berusaha untuk menghubungi orang yang berkeliaran di kepalanya. Yasa kembali berdecak. "Apa dia begitu sibuk hingga tidak bisa mengangkat panggilan dariku?!" Yasa melempar handphonenya ke atas ranjang. Dia menidurkan dirinya diatas ranjang.
Byakta menatap handphone Yasa. "Memangnya kau menelepon siapa tadi?" tanya Byakta sambil memakan camilan ringan. Yasa menggeleng dan memilih untuk memejamkan matanya.
Byakta mengambil handphone Yasa dan langsung memeriksa panggilan Yasa. Mulutnya membuat saat melihat nama kontak yang ditelpon Yasa berulang kali.
"Kau menelepon Speranza?!" teriak Byakta membuat Yasa terkejut. Dia menatap handphonenya yang berada do genggaman Byakta. Yasa berusaha untuk mengambilnya, namun gagal karena Byakta bergerak dengan begitu cepat.
"Kembalikan handphone ku!!" titah Yasa berusaha untuk merampas handphonenya.
"Apa kau merindukannya?" Byakta menaik turunkan alis nya menggoda Yasa.
Yasa menggeleng dengan cepat. "Tidak! Aku tidak merindukannya!" bantah Yasa.
Byakta tersenyum menggoda. "Ah … yang benar? Tapi, kau terlihat sangat merindukannya," goda Byakta kembali.
Yasa melempar bantal kepada Byakta. "Sudah ku katakan aku tidak merindukannya!" teriak Yasa. "Kembalikan handphoneku!" titah Yasa dengan mimik wajah marah.
Byakta memanyunkan bibirnya. Dia melempar handphone Yasa. "Mengapa kau marah? Aku hanya bercanda. Aku sangat tahu kalau hatimu hanya milik Lovie," kata Byakta dan kembali memakan camilannya. Yasa terdiam mendengar itu, dia menghela napas dan memejamkan matanya.
****
Tiga hari tepatnya Yasa tidak melihat Speranza bahkan Speranza sama sekali tidak bisa dihubungi. Dia merasa ada aneh saat Speranza tidak ada disampingnya. Padahal mereka hanya menghabiskan waktu selama beberapa hari, tapi mengapa rasanya berbeda saat Speranza tidak ada disampingnya. Yasa terus mengaduk bubur miliknya dengan tatapan kosong.
"DORR!!"
Yasa tersentak saat seseorang mengejutkannya. Dia menoleh dan menatap Lovie yang tengah asik tertawa bahagia karena berhasil mengejutkannya.
"Apa kau terkejut?" tanya Lovie dan duduk di samping Yasa.
Yasa mengangguk. "Ya, kau berhasil mengejutkanku," jawab Yasa membuat tawa Lovie semakin kuat. "Kau terlihat sangat bahagia," kata Yasa dan kembali mengaduk buburnya.
"Ya, aku bahagia karena berhasil mengejutkan mu," jawab Lovie membuat Yasa menatapnya. "Aku sangat mengenalmu," ujar Yasa membuat Lovie memanyunkan bibirnya.
"Kau tidak pernah asik!" kesal Lovie. Yasa terkekeh. "Ada apa? Mengapa kau menemuiku?" tanya Yasa mulai serius.
Lovie kembali tersenyum lebar. Dia menghadap Yasa dan menyentuh tangannya. "Kau tahu? Aku satu-satunya murid yang berhasil menjawab banyak soal di kelas ku," ucap Lovie sombong.
Yasa tersenyum miring. "Semua orang juga bisa menjawab banyak soal, tapi apa semua jawabanmu itu benar?" tanya Yasa remeh.
Lovie melotot. Dia memukul pelan bahu Yasa. "Tentu saja! Semua jawabanku itu benar jika tidak untuk apa aku berada di sini?!" Lovie menaikkan dagunya sombong.
Yasa tertawa melihat tingkah Lovie. "Kau tidak pernah berubah. Dasar kelinci sombong," ujar Yasa. Bukannya marah, Lovie malah tertawa bersama Yasa. Mereka sudah mengenal satu sama lain sejak kecil sehingga tahu yang mana bercanda dan yang mana serius.
"Aku pasti akan membunuhmu, wanita sialan!"
Speranza meremas tangannya saat melihat Yasa dan Lovie yang tengah tertawa bersama. Dia menatap ke kanan dan ke kiri. Speranza tersenyum miring saat melihat dua orang adik kelas yang sedang membawa alat praktik.
"Tunggu!" Speranza menghentikan kedua adik kelas itu.
Kedua adik kelas itu menatapnya dengan bingung. "Iya kak, ada apa ya?" tanya salah satu dari mereka dengan sopan.
"Apa aku bisa meminjam gunting kalian sebentar?" Speranza menatap kedua adik kelas itu dengan serius.
Kedua adik kelas itu saling tatap. "Apa yang akan kakak lakukan dengan gunting itu?" tanya salah satu dari mereka.
Speranza menghela napas, dia merampas gunting itu membuat kedua adik kelas terkejut. "Kakak mau apa dengan gunting itu?" tanya mereka ketakutan.
Speranza tidak memperdulikan ucapan kedua adik kelas itu. Dia dengan nekat menggoreskan gunting itu pada telapak tangannya, darah mengalir dengan begitu cepat dari telapak tangan Speranza.
Kedua adik kelas itu menutup mulutnya terkejut dengan aksi Speranza. "Apa yang kakak lakukan?!" teriak mereka ketakutan. Speranza menatap mereka berdua dengan datar. "Jangan memberitahukan siapapun. Ini guntingnya, terima kasih," kata Speranza dan berjalan pergi menghampiri Yasa dan Lovie yang tengah asyik memakan bubur bersama.
Speranza berjalan dengan tangan yang berlumuran darah. Dia duduk tepat di tengah-tengah Yasa dan Lovie. Yasa dan Lovie terkejut dengan kehadiran Speranza di tengah-tengah mereka.
"Speranza?" Yasa menatap Speranza terkejut. Dia pikir Speranza tidak datang ke sekolah.
Speranza menatap lurus ke depan. Dia menunjukkan tangannya yang terluka kepada Yasa tanpa berkata apapun dan tanpa ekspresi apapun. Tentu saja Yasa terkejut dengan kondisi tangan Speranza yang terluka parah.
Dengan cepat Yasa membuka dasinya dan melilitkannya pada tangan Speranza. "Mengapa tanganmu terluka?" tanya Yasa begitu khawatir. Speranza tidak menjawab.
Lovie berdiri dan menatap Speranza curiga. "Apa kau melukai tanganmu sendiri? Itu seperti disengaja," kata Lovie curiga.
Speranza menatap Lovie, kemudian dia tersenyum miring. "Aakkhh! Sakit sekali!!" Speranza berteriak sambil memegang tangannya yang terluka. Yasa terkejut dia langsung mengambil tangan Speranza dengan penuh kekhawatiran.
"Ayo kita ke uks sekarang!" ajak Yasa dan berjalan meninggalkan Lovie sendirian.
Lovie membalikkan badannya menatap kepergian Yasa dan Speranza. "Perempuan itu bermain drama? Apa dia masih cemburu padaku?" tanya Lovie pada dirinya sendiri.
****
"Kau darimana saja? Mengapa tidak masuk sekolah? Mengapa kau tidak bisa dihubungi? Dan kenapa pelipis mu diperban?" tanya Yasa secara beruntun.
Speranza memejamkan matanya sambil mendengarkan ocehan Yasa. Dia senang karena setidaknya sekarang ada yang mengkhawatirkannya. Speranza begitu bahagia.
"Speranza aku tahu kau hanya pura-pura tidur!" kesal Yasa dan mengguncang tubuh Speranza.
"Apa kau benar-benar khawatir kepada ku?" tanya Speranza membuka matanya. Yasa mengangguk dengan cepat.
"Mengapa kau khawatir kepada ku?" tanya Speranza lembut. Yasa terdiam, dia menunduk memikirkan jawabannya.
Speranza tersenyum tipis. "Kau bilang kau mengkhawatirkan ku tapi, kau memerlukan waktu untuk memberikan alasannya," kata Speranza membuat Yasa menatapnya.
"Apa aku harus memiliki alasan?" tanya Yasa bingung dengan jalan pikir Speranza.
Speranza mengangguk. "Ya, kau butuh alasan. Bahkan kehidupan tercipta karena sebuah alasan. Kau berada di sini karena sebuah alasan."
"Lalu, apa kau terluka juga karena sebuah alasan?" tanya Yasa membuat Speranza terkekeh. "Ya, aku memiliki alasan. Aku terluka karena aku cemburu kepada Lovie," jawab Speranza membuat Yasa terkejut.
"Kau cemburu kepada Lovie?"
"Bagaimana aku tidak cemburu, saat ini Lovie masih menjadi nomor satu di hidupmu," ucap Speranza tanpa menatap Yasa.
"Hm … Speranza," panggil Yasa dengan pelan. Speranza menoleh kearah Yasa. "Ada apa? Mengapa kau terlihat gugup?" tanya Speranza geli.
Yasa menggigit bibirnya, jarinya saling tertaut saat ini, dia begitu gugup. "Apa kau mau menjadi alasan ku keluar malam ini?" tanya Yasa membuat Speranza terdiam.
"Jika kau tidak mau, tidak apa. Aku tidak—"
"Aku mau! Kemana kita akan pergi?" Speranza memotong perkataan Yasa dengan penuh semangat.
"Kau mau? Benarkah?" tanya yas atak percaya. Speranza mengangguk. "Kemana kita akan pergi? Club malam? Restoran mewah? Atau hotel mewah?" tanya Speranza secara beruntun.
Yasa tertawa melihat keantusiasan Speranza. Dia mengelus rambut Speranza dengan lembut. "Aku akan memberitahu mu nanti," ujar Yasa sambil tersenyum. Speranza mengubah posisinya menjadi duduk. Dia merengek seperti anak kecil karena perkataan Yasa sedangkan Yasa tertawa senang melihat tingkah manja Speranza keluar.
"Hebat! Anak yang sangat dipercaya tengah mengkhianati orang tuanya sendiri." Arzan tersenyum senang saat melihat bukti kebersamaan Yasa dan Speranza.
****
Ingin rasanya Speranza mencekik Yasa hingga mati. Dia begitu kesal dengan Yasa saat ini. Sedangkan Yasa? Jangan di tanya lagi dia tengah sibuk menertawakan Speranza. Dia terlihat bahagia setelah berhasil membohongi Speranza.
"Ayo kita masuk!" ajak Yasa sambil menggenggam tangan Speranza.
"Aku tidak suka pasar malam! Mengapa kau membawaku ke sini?!" rengek Speranza sambil menghentakkan kakinya.
Yasa terkekeh. "Aku sudah lama tidak ke pasar malam, jadi aku ingin kembali merasakan suasana pasar malam," kata Yasa membuat Speranza semakin kesal.
"Berhenti menatap ku seperti itu! Aku sangat membenci tatapan mu!" marah Speranza karena Yasa menatapnya dengan tatapan sedih dan polos.
Yasa tersenyum. "Ayo masuk atau pasar malamnya akan segera tutup!" ajak Yasa dan berusaha menarik Speranza, namun Speranza malah berpegangan di tiang listrik.
"AKU TIDAK MAU MASUK KE DALAM!! HANYA ANAK KECIL YANG MASUK KE DALAM PASAR MALAM!" teriak Speranza hingga membuat mereka berdua menjadi pusat perhatian.
Yasa tersenyum sopan kepada orang yang berlalu lalang disekitar mereka. Dia menutup mulut Speranza membuat Speranza semakin memberontak.
"Kau membuatku malu! Semua orang memperhatikan kita sekarang," bisik Yasa.
"Biarkan saja mereka mendengar agar mereka tahu kalau kau begitu bodoh!!" teriak Speranza, Yasa menggerutu dan kembali menutup mulut Speranza.
"Diamlah! Aku hanya ingin berusaha keluar dari zona nyamanku, bukankah kau sendiri yang mengatakan hal itu," bisik Yasa membuat Speranza berhenti memberontak.
Speranza menatap Yasa. "Ya, tapi tidak perlu ke pasar malam …," rengek Speranza. Yasa tersenyum manis, dia menggenggam tangan Speranza dengan erat.
"Ayo masuk!"
Speranza menghela napas dan pasrah saat Yasa menariknya masuk ke dalam pasar malam. Dia mempererat genggaman tangannya pada Yasa saat melihat begitu ramainya orang dipasar malam ini.
"Ada apa? Apa kau tidak nyaman?" tanya Yasa mulai merasa bersalah. Speranza menatap Yasa, dia menggeleng. "Tidak. Aku merasa nyaman karena bersamamu," sahut Speranza sambil tersenyum berusaha meyakinkan Yasa.
Yasa ikut tersenyum senang. "Kalau begitu mari kita mulai dengan permen kapas!" teriak Yasa dan menarik Speranza agar ikut berlari dengannya.
"Ini!" Yasa menyerahkan satu tangkai permen kapas berwarna merah jambu. Speranza mengambil permen kapas itu. Mereka berdua berjalan mengelilingi pasar malam.
"Hm … Sangat manis," puji Yasa membuat Speranza menghentikan langkahnya.
"Siapa yang lebih manis? Aku atau permen itu?" tanya Speranza membuat Yasa ikut menghentikan langkahnya. Yasa menatap Speranza yang saat ini tengah serius. Dia tersenyum saat ide jahil terlintas dipikirannya.
Yasa berjalan mendekati Speranza. "Tentu saja lebih manis permen ini," jawab Yasa sambil memakan permen itu.
Speranza menggeram. Dia menatap permen kapas ditangan nya dengan tajam. Sedetik kemudian, Speranza membuang permen itu ke tanah dan menginjaknya hingga hancur. "Dasar permen sialan!" maki ya pada permen malang itu.
Yasa melongo. "Hei! Apa yang kau lakukan?!" tanya Yasa terkejut dnegna aksi Speranza.
Speranza menatap Yasa kemudian, dia menatap permen kapas ditangan Yasa. "Berikan permen sialan itu!" titah Speranza berusaha untuk merampas permen itu.
"Tidak! Aku tidak akan memberikannya!" teriak Yasa dan berlari menghindar dari Speranza. Speranza melotot dengan aksi Yasa barusan, dengan cepat dia mengejar Yasa hingga terjadi aksi kejar-kejaran dipasar malam ini.
"YASA KEMBALI KAU!!" Speranza terus mengejar Yasa tanpa henti.
Yasa tertawa bahagia, dia menggeleng. "TIDAK MAU!!" balasnya ikut berteriak. Speranza terkekeh dia mengejar Yasa tanpa perduli dengan keringat yang mengucur di dahinya.
"AARGHH!!"
Yasa menghentikan kakinya saat mendengar teriakan Speranza. Dia membalikkan badannya dan melihat Speranza terjatuh diatas tanah. Tanpa sadar Yasa menjatuhkan permen kapasnya, dia langsung berlari menghampiri Speranza.
"Apa kau baik-baik saja?" tanya Yasa dan membantu Speranza berdiri.
"Apa kau terluka?" Yasa memutar tubuh Speranza untuk memeriksa keadaannya.
Speranza tertawa dengan keras. "Aku baik-baik saja," ucapnya tanpa menghentikan tawanya. Yasa melongo, apa Speranza baru saja mengerjainya?
"Kau membohongi ku?" tanya Yasa dengan kesal. Speranza menghentikan tawanya. "Maaf," ujarnya dengan tulus.
"Menyebalkan! Aku tidak ingin bicara pada mu!" kata Yasa dan berjalan meninggalkan Speranza.
Speranza terdiam, dia berlari menghampiri Yasa dan berusaha untuk membujuknya. "Yasa, aku minta maaf, aku hanya bercanda tolong jangan marah," ujar Speranza tulus.
Yasa sama sekali tidak memperdulikan Speranza. Dia terus berjalan tanpa menoleh kearah Speranza. "Baiklah, kau ingin bermain apa? Aku akan mengikuti mu tanpa membantah. Aku janji, tapi kau jangan marah lagi kepadaku," bujuk Speranza membuat Yasa tersenyum.
"Bermain apa saja?" tanya Yasa yang diangguki oleh Speranza. "Kalau begitu ayo!" teriak ya dan menarik Speranza. Malam itu mereka tertawa bahagia bersama.
****
Baru kali ini senyum Yasa bertahan cukup lama. Dia terlalu bahagia untuk berpura-pura menahan senyumnya. Yasa berjalan masuk ke dalam rumahnya.Saat ini jam menunjukkan pukul 21.52. Yasa menghela napas karena sadar dia telah pergi keluar terlalu lama. Dengan jantung yang Berdetak dengan cepat, Yasa terus melangkah masuk ke dalam rumah."Hebat!"Tubuh Yasa tersentak. Dia menoleh kearah sumber suara. Dia terdiam saat melihat mama dan papanya berdiri dengan wajah penuh amarah."Hebat ya kamu sekarang!" ucap sang mama membuat Yasa terdiam."Ada apa ma?" tanya Yasa lugu. Arzan yang melihat itu tertawa dengan keras. "Semakin lama kau semakin pintar," komentar Arzan membuat Yasa semakin takut.
"Tapi, bu ...." "KELUAR!!" Xaviera mendorong tubuh Byakta dan Yasa hingga keluar dari rumahnya. Byakta dan Yasa hanya bisa pasrah mengikuti keinginan Xaviera. Mereka berdua menghela napas. Yasa menatap pintu rumah Xaviera dengan tatapan bingung. "Byakta," panggil Yasa membuat Byakta menoleh ke arahnya. "Apa?" Yasa menatap Byakta dengan serius. "Apa kau tidak merasa ada yang aneh?" tanya Yasa membuat Byakta mengerutkan dahinya bingung. Byakta menggeleng. "Tidak. Memangnya kenapa?" tanya Byakta balik. "Mengapa ibu Speranza memanggilnya dengan nama Flavia?" tanya Yasa sambil mengelus dagunya. "Mungkin saja itu nama panggilan dari ibunya," sahut Byakta membuat Yasa terdiam. "Lalu, kau lihat sendiri bukan? Ibu Speranza memiliki wajah asli orang Indonesia sedangkan Speranza wajahnya sangat kental dengan Italia," kata Yasa membuat Byakta terdiam. "Mungkin saja ayah Speranza asli Italia," jawab Byakta sedikit ti
Dengan wajah penuh amarah, Caiden menarik tangan Speranza. Dia mendorong Speranza ke arah sofa dengan begitu kasar."Ayah enggak suka kamu dekat dengan orang lain!"Speranza mengelus pergelangan tangannya yang tadi dicengkram oleh Caiden. Hatinya sakit karena baru kali ini Caiden bersikap kasar kepadanya."Apa dia kekasihmu itu?!" tanya Caiden penuh amarah. Speranza diam tidak menjawab.Caiden mencengkram dagu Speranza dengan begitu kuat. Speranza berusaha untuk melepaskan cengkraman itu menggunakan tangannya."Jangan bertingkah lagi Via! Jauhi semua orang! Saat di Italia kamu tidak pernah memiliki teman jadi jangan pernah berpikir untuk memiliki teman di sini!" teriak Caiden.Speranza menaikkan satu alisnya. "Apa jika aku membuat masalah kau akan mengembalikan ku ke Italia?" tanya Speranza.Caiden mengepalkan tangannya dengan kuat. Dia melepaskan cengkramannya dari dagu Speranza. "TIDAK AKAN PERNAH!!" bentak Caiden membua
"SPERANZA!!"Speranza dan Arzan terkejut saat mendengar itu. Arzan menoleh ke sumber suara sedangkan Speranza dengan mengambil tangan Arzan dan menaruhnya tepat diatas rambutnya. Speranza bertingkah seolah-olah Arzan menjambaknya."AAKKHH!! APA YANG KAU LAKUKAN?!!""ARZAN SAKIT!!!"Speranza terus berteriak membuat Arzan terkejut. Arzan melotot dan berusaha untuk melepaskan tangannya, namun Speranza mencengkram tangannya dengan kuat."Dasar rubah licik!" desis Arzan saat melihat air mata Speranza.Yasa yang melihat Speranza kesakitan memberanikan diri menolongnya. Dia menjauhkan tangan Arzan dari rambut Speranza, kemudian di a mengelus dan merapikan rambut Speranza."Apa kau baik-baik saja?" tanya Yasa begitu khawatir. Speranza menatap Yasa, dia mengangguk dan langsung memeluk Yasa.Sedangkan Arzan, dia menatap pergelangan tangannya yang mengeluarkan darah akibat tercakar kuku Speranza. Satu tangannya yang lain terke
Malam yang gelap dan begitu sunyi. Mobil Speranza terparkir di jalanan yang begitu sunyi dan mungkin jalanan ini tidak pernah di lalui oleh siapapun. Di dalam sana, Speranza tengah tidur. Dia kembali kabur agar mereka semua tidak bisa kembali ke Italia. Tidur Speranza begitu nyenyak hingga akhirnya sebuah telepon yang masuk berhasil mengganggu tidurnya. Dia tersentak dan menggeram. Speranza menatap handphonenya dengan kesal. Tadinya dia tidak ingin mengangkat karena mengira itu adalah kedua orang tuanya, namun rasa penasaran kembali mengalahkannya. Speranza melihat siapa yang meneleponnya dan dengan terburu-buru dia mengangkatnya. "Halo Yasa, ada apa?" sapa Speranza setelah mengangkat panggilan itu. Tidak ada sahutan sedikitipun dari Yasa. Speranza mengerutkan dahinya bingung dan kembali memastikan kalau yang meneleponnya adalah Yasa. "Yasa?" panggil Speranza agar Yasa berbicara. "Speranza,"
"Kau yakin ingin turun di sini?"Yasa tersenyum manis kepada Lovie. Dia mengangguk dan menjawab, "Aku yakin. Ada yang harus aku bicarakan dengan Byakta."Lovie menatap Yasa dengan khawatir. Pasalnya wajah Yasa sudah sangat pucat. "Kau harus pulang dan beristirahat, itu lebih penting untuk mu daripada berbincang dengan Byakta," Keukeh Lovie.Yasa kembali tersenyum. "Aku akan beristirahat di rumah Byakta. Aku juga akan menghubungi orang tua ku nanti," katanya."Mengapa kau sangat keras kepala! Berbincang dengan Byakta itu tidak penting!" Kesal Lovie.Yasa menatap Lovie dengan jahil. "Mengapa reaksi mu seperti itu? Kau marah jika aku berbincang dengan kekasih mu?" Yasa tertawa di akhir pertanyaannya.Lovie terdiam dan tidak sadar kalau Yasa sudah keluar dari taksi. "Aku akan istirahat. Terima kasih dan hati-hati," ucap Yasa dengan lembut. Dia menutup pintu taksi dan menatap taksi itu pergi menjauh darinya.Setelah taksi itu pergi,
"Ada apa? Mengapa kau terlihat gelisah?" Caiden memperhatikan mimik wajah Xaviera. Dia sangat mengenal Xaviera dan mengerti kalau Xaviera sulit untuk menyembunyikan ekspresinya. Xaviera masih diam dengan kepala yang tertunduk. Caiden tersenyum tipis, tangannya bergerak menyentuh pipi Xaviera dan mengelusnya dengan lembut. "Ada apa sayang?" tanya Caiden lembut. Tiba-tiba saja Xaviera menetskan air mata membuat Caiden terkejut. Dengan cepat Caiden memeluk Xaviera dan membiarkannya mengeluarkan segalanya. Setelah mulai tenang, Xaviera melepaskan pelukannya dan menatap suaminya dengan mata sembab. "Tadi pagi aku bertemu dengannya," ucap Xaviera membuat dahi Caiden berkerut. "Dengannya? Siapa?" tanya Caiden kebingungan. Xaviera terdiam sejenak, kemudian dia menatap tepat di mata suaminya. "Bitari," jawabnya dengan suara lesu. Mendadak suasana menjadi dingin. Mereka berdua sama sekali tidak mengeluarkan su
Ketukan sepatu seseorang berhasil mengusik ketenangan yang Yasa miliki. Dia menghela napas dan menatap tajam pelaku yang membuat kebisingan itu. Sang pelaku tidak peduli, ia malah bersiul seolah tidak melakukan kesalahan apapun. Yasa menghela napas bersabar. Matanya menatap ke arah pintu operasi yang masih tertutup dengan lampu merah yang menyala. "Dia sedang dioperasi bukan? Lalu, mengapa kita tetap di sini? Ayo kita pulang!" Ajak Speranza dengan santai. "Apa kau sudah gila? Kau mau kita meninggalkan dia begitu saja?" Tanya Yasa sedikit marah. "Mengapa kau peduli sekali dengannya? Aku benar-benar tidak menyukainya! Aku harap dia tidak selamat!" Sumpah Speranza menatap pintu ruang operasi dengan tajam. "SPERANZA!!" bentak Yasa membuat Speranza terkejut. Yasa menghela napas, kejadian beberapa menit yang lalu terus berputar di kepalanya. Dia sama sekali tidak mengerti apa yang sedang terjadi. "Speranza, aku—" "Aku harus pulang. Ayah sudah menunggu ku," ujar Speranza memotong perk
Ketukan sepatu seseorang berhasil mengusik ketenangan yang Yasa miliki. Dia menghela napas dan menatap tajam pelaku yang membuat kebisingan itu. Sang pelaku tidak peduli, ia malah bersiul seolah tidak melakukan kesalahan apapun. Yasa menghela napas bersabar. Matanya menatap ke arah pintu operasi yang masih tertutup dengan lampu merah yang menyala. "Dia sedang dioperasi bukan? Lalu, mengapa kita tetap di sini? Ayo kita pulang!" Ajak Speranza dengan santai. "Apa kau sudah gila? Kau mau kita meninggalkan dia begitu saja?" Tanya Yasa sedikit marah. "Mengapa kau peduli sekali dengannya? Aku benar-benar tidak menyukainya! Aku harap dia tidak selamat!" Sumpah Speranza menatap pintu ruang operasi dengan tajam. "SPERANZA!!" bentak Yasa membuat Speranza terkejut. Yasa menghela napas, kejadian beberapa menit yang lalu terus berputar di kepalanya. Dia sama sekali tidak mengerti apa yang sedang terjadi. "Speranza, aku—" "Aku harus pulang. Ayah sudah menunggu ku," ujar Speranza memotong perk
"Ada apa? Mengapa kau terlihat gelisah?" Caiden memperhatikan mimik wajah Xaviera. Dia sangat mengenal Xaviera dan mengerti kalau Xaviera sulit untuk menyembunyikan ekspresinya. Xaviera masih diam dengan kepala yang tertunduk. Caiden tersenyum tipis, tangannya bergerak menyentuh pipi Xaviera dan mengelusnya dengan lembut. "Ada apa sayang?" tanya Caiden lembut. Tiba-tiba saja Xaviera menetskan air mata membuat Caiden terkejut. Dengan cepat Caiden memeluk Xaviera dan membiarkannya mengeluarkan segalanya. Setelah mulai tenang, Xaviera melepaskan pelukannya dan menatap suaminya dengan mata sembab. "Tadi pagi aku bertemu dengannya," ucap Xaviera membuat dahi Caiden berkerut. "Dengannya? Siapa?" tanya Caiden kebingungan. Xaviera terdiam sejenak, kemudian dia menatap tepat di mata suaminya. "Bitari," jawabnya dengan suara lesu. Mendadak suasana menjadi dingin. Mereka berdua sama sekali tidak mengeluarkan su
"Kau yakin ingin turun di sini?"Yasa tersenyum manis kepada Lovie. Dia mengangguk dan menjawab, "Aku yakin. Ada yang harus aku bicarakan dengan Byakta."Lovie menatap Yasa dengan khawatir. Pasalnya wajah Yasa sudah sangat pucat. "Kau harus pulang dan beristirahat, itu lebih penting untuk mu daripada berbincang dengan Byakta," Keukeh Lovie.Yasa kembali tersenyum. "Aku akan beristirahat di rumah Byakta. Aku juga akan menghubungi orang tua ku nanti," katanya."Mengapa kau sangat keras kepala! Berbincang dengan Byakta itu tidak penting!" Kesal Lovie.Yasa menatap Lovie dengan jahil. "Mengapa reaksi mu seperti itu? Kau marah jika aku berbincang dengan kekasih mu?" Yasa tertawa di akhir pertanyaannya.Lovie terdiam dan tidak sadar kalau Yasa sudah keluar dari taksi. "Aku akan istirahat. Terima kasih dan hati-hati," ucap Yasa dengan lembut. Dia menutup pintu taksi dan menatap taksi itu pergi menjauh darinya.Setelah taksi itu pergi,
Malam yang gelap dan begitu sunyi. Mobil Speranza terparkir di jalanan yang begitu sunyi dan mungkin jalanan ini tidak pernah di lalui oleh siapapun. Di dalam sana, Speranza tengah tidur. Dia kembali kabur agar mereka semua tidak bisa kembali ke Italia. Tidur Speranza begitu nyenyak hingga akhirnya sebuah telepon yang masuk berhasil mengganggu tidurnya. Dia tersentak dan menggeram. Speranza menatap handphonenya dengan kesal. Tadinya dia tidak ingin mengangkat karena mengira itu adalah kedua orang tuanya, namun rasa penasaran kembali mengalahkannya. Speranza melihat siapa yang meneleponnya dan dengan terburu-buru dia mengangkatnya. "Halo Yasa, ada apa?" sapa Speranza setelah mengangkat panggilan itu. Tidak ada sahutan sedikitipun dari Yasa. Speranza mengerutkan dahinya bingung dan kembali memastikan kalau yang meneleponnya adalah Yasa. "Yasa?" panggil Speranza agar Yasa berbicara. "Speranza,"
"SPERANZA!!"Speranza dan Arzan terkejut saat mendengar itu. Arzan menoleh ke sumber suara sedangkan Speranza dengan mengambil tangan Arzan dan menaruhnya tepat diatas rambutnya. Speranza bertingkah seolah-olah Arzan menjambaknya."AAKKHH!! APA YANG KAU LAKUKAN?!!""ARZAN SAKIT!!!"Speranza terus berteriak membuat Arzan terkejut. Arzan melotot dan berusaha untuk melepaskan tangannya, namun Speranza mencengkram tangannya dengan kuat."Dasar rubah licik!" desis Arzan saat melihat air mata Speranza.Yasa yang melihat Speranza kesakitan memberanikan diri menolongnya. Dia menjauhkan tangan Arzan dari rambut Speranza, kemudian di a mengelus dan merapikan rambut Speranza."Apa kau baik-baik saja?" tanya Yasa begitu khawatir. Speranza menatap Yasa, dia mengangguk dan langsung memeluk Yasa.Sedangkan Arzan, dia menatap pergelangan tangannya yang mengeluarkan darah akibat tercakar kuku Speranza. Satu tangannya yang lain terke
Dengan wajah penuh amarah, Caiden menarik tangan Speranza. Dia mendorong Speranza ke arah sofa dengan begitu kasar."Ayah enggak suka kamu dekat dengan orang lain!"Speranza mengelus pergelangan tangannya yang tadi dicengkram oleh Caiden. Hatinya sakit karena baru kali ini Caiden bersikap kasar kepadanya."Apa dia kekasihmu itu?!" tanya Caiden penuh amarah. Speranza diam tidak menjawab.Caiden mencengkram dagu Speranza dengan begitu kuat. Speranza berusaha untuk melepaskan cengkraman itu menggunakan tangannya."Jangan bertingkah lagi Via! Jauhi semua orang! Saat di Italia kamu tidak pernah memiliki teman jadi jangan pernah berpikir untuk memiliki teman di sini!" teriak Caiden.Speranza menaikkan satu alisnya. "Apa jika aku membuat masalah kau akan mengembalikan ku ke Italia?" tanya Speranza.Caiden mengepalkan tangannya dengan kuat. Dia melepaskan cengkramannya dari dagu Speranza. "TIDAK AKAN PERNAH!!" bentak Caiden membua
"Tapi, bu ...." "KELUAR!!" Xaviera mendorong tubuh Byakta dan Yasa hingga keluar dari rumahnya. Byakta dan Yasa hanya bisa pasrah mengikuti keinginan Xaviera. Mereka berdua menghela napas. Yasa menatap pintu rumah Xaviera dengan tatapan bingung. "Byakta," panggil Yasa membuat Byakta menoleh ke arahnya. "Apa?" Yasa menatap Byakta dengan serius. "Apa kau tidak merasa ada yang aneh?" tanya Yasa membuat Byakta mengerutkan dahinya bingung. Byakta menggeleng. "Tidak. Memangnya kenapa?" tanya Byakta balik. "Mengapa ibu Speranza memanggilnya dengan nama Flavia?" tanya Yasa sambil mengelus dagunya. "Mungkin saja itu nama panggilan dari ibunya," sahut Byakta membuat Yasa terdiam. "Lalu, kau lihat sendiri bukan? Ibu Speranza memiliki wajah asli orang Indonesia sedangkan Speranza wajahnya sangat kental dengan Italia," kata Yasa membuat Byakta terdiam. "Mungkin saja ayah Speranza asli Italia," jawab Byakta sedikit ti
Baru kali ini senyum Yasa bertahan cukup lama. Dia terlalu bahagia untuk berpura-pura menahan senyumnya. Yasa berjalan masuk ke dalam rumahnya.Saat ini jam menunjukkan pukul 21.52. Yasa menghela napas karena sadar dia telah pergi keluar terlalu lama. Dengan jantung yang Berdetak dengan cepat, Yasa terus melangkah masuk ke dalam rumah."Hebat!"Tubuh Yasa tersentak. Dia menoleh kearah sumber suara. Dia terdiam saat melihat mama dan papanya berdiri dengan wajah penuh amarah."Hebat ya kamu sekarang!" ucap sang mama membuat Yasa terdiam."Ada apa ma?" tanya Yasa lugu. Arzan yang melihat itu tertawa dengan keras. "Semakin lama kau semakin pintar," komentar Arzan membuat Yasa semakin takut.
"Kau lihat?!"Speranza hanya mampu menunduk saat sang ayah menunjuknya dengan penuh amarah. Speranza memejamkan matanya saat ayahnya membanting handphonenya."Itulah alasanku tidak membiarkanmu berkeliaran di sini, Kau benar-benar tidak bisa hidup di luar," kata sang ayah membuat Speranza menatapnya terkejut."Tidak bisa hidup di luar? Apa kau berniat untuk mengurungku?!" tanya Speranza tak habis pikir."Ya! Aku berniat untuk mengurungmu! Kalau saja manusia sepertimu tidak ada di dunia ini, maka dunia ini akan begitu damai.""CAIDEN!!" Speranza meneriaki nama ayahnya membuat semua orang tuanya menatap dirinya terkejut."Berani sekali kau meneria