Home / Fiksi Remaja / SPERANZA / 002: Posesif

Share

002: Posesif

Author: Sabittttt_
last update Last Updated: 2021-08-09 13:30:04

Cuaca yang begitu panas. Hari ini matahari merdeka memamerkan sinarnya. Keringat mengucur dari dahi hingga ke ujung kaki. Semua orang tidak tahan dengan hawa panas di sekeliling mereka. 

Yang berada di dalam ruangan saja kepanasan dan bagaimana dengan orang yang berada di luar ruangan? Para murid kelas dua belas ipa tiga sedang merasakannya. Dibawah terik matahari mereka diminta untuk berolahraga. Tidak tahu berapa liter keringat yang sudah mereka keluarkan. 

Yasa menghembuskan napas untuk kesekian kalinya. Dia sudah tidak sanggup melakukan aktivitas ini lagi. Namun sayang, Yasa tidak bisa memberitahu siapapun kalau dia ingin berhenti melakukan semua ini. 

Dengan wajah yang begitu pucat, Yasa berlari mengelilingi lapangan dengan teman-teman sekelasnya. Keringat yang jatuh di setiap detiknya, detak jantung yang begitu cepat. Pandangan Yasa mulai mengabur. Dia memejamkan matanya, lalu membukanya kembali. Yasa menggelengkan kepala karena sudah tidak tahan. 

Beberapa detik kemudian, semua orang terkejut melihat Yasa tumbang di atas lapangan. Semua orang mengerubunginya sambil bertanya-tanya. Guru olahraga meminta semua orang untuk menjauh dan membawa Yasa ke uks. 

Dengan nafas naik turun Speranza berhenti tepat di lapangan. Dia berlari menuruni anak tangga saat melihat gelagat Yasa yang ingin pingsan. Speranza memilih untuk mengikuti mereka semua ke uks. 

Saat tiba di depan uks, Speranza menunggu di depan pintu. Semua orang yang membawa Yasa ke uks keluar. Mereka menatap Speranza dengan bingung. Byakta yang juga ikut membawa Yasa menatap bingung Speranza. 

"Speranza," panggilnya membuat Speranza menoleh ke arahnya.

"Apa yang terjadi dengannya?" tanya Speranza sambil menunjuk ke dalam uks dengan dagunya. 

Byakta menatap ke dalam, dia menghela napas dan menatap Speranza dengan serius. "Yasa mengidap penyakit gagal ginjal," ujar Byakta dengan sedih. 

Tidak ada ekspresi terkejut di wajah Speranza. Dia sangat pandai menyembunyikan ekspresinya. "Apa dia akan mati dengan cepat?" tanya Speranza membuat Byakta melongo. 

"Pertanyaan macam apa itu?! Kau ingin Yasa cepat mati?!" sungut Byakta. 

Speranza menghela napas. Dia memilih untuk masuk dan meninggalkan Byakta sendiri. Speranza melangkah masuk dan mencari Yasa. Dia terdiam kaku saat melihat seorang gadis duduk disamping brankar Yasa sambil menangis. 

"Permisi," ucap Speranza membuat gadis itu menatapnya. Gadis berambut pendek itu menatap Speranza dengan bingung. 

"Maaf, siapa ya?" tanya gadis itu sopan. 

Speranza menghela napas, dia sangat malas berkenalan dan memberitahukan pada semua orang tentang namanya. "Aku kekasih Yasa," ujar Speranza pada akhirnya. 

Gadis itu terdiam untuk beberapa saat, kemudian dia tersenyum dan mengulurkan tangannya. "Aku Lovie sahabat kecil Yasa," ucap gadis itu memperkenalkan diri. 

Speranza terdiam menatap uluran tangan gadis itu, lalu dia menatap wajah gadis itu. "Lovie?" tanyanya membuat gadis itu mengangguk. 

'Itu berarti dia adalah orang yang disukai Yasa' batin Speranza. Tanpa sadar tangan Speranza terkepal, matanya menatap tajam Lovie bersiap untuk mencincangnya. 

"Maaf, tapi siapa namamu?" tanya Lovie masih bersikap sopan. 

"Kau tidak terlalu penting untuk mengetahui namaku," kata Speranza dengan jutek. Lovie terdiam mendengar itu. Dia sudah bersikap sopan, tapi sebagai balasannya dia malah mendapat sikap jutek. 

"Aku juga tidak peduli dengan namamu," balas Lovie tak kalah jutek. Speranza melongo dan bersiap untuk mencakar wajah Lovie. 

"Lovie …." Yasa membuka matanya dan memanggil nama Lovie.

Lovie menghadap Yasa, dia tersenyum bahagia saat melihat Yasa baik-baik saja. Sedangkan Speranza mengepalkan tangannya dengan sangat kuat, dia tidak suka saat Yasa memanggil Lovie disaat dia bangun.

Speranza mendorong Lovie agar menjauh dari Yasa. "Aku adalah kekasihmu! mengapa kau malah memanggilnya bukannya diriku?!" kesal Speranza membuat Yasa dan Lovie melongo. 

"Maaf, aku tadi tidak melihatmu," ucap Yasa dengan pelan. Yasa tidak sadar kalau ucapannya berhasil memancing sebuah amarah. 

"Kau bilang tidak melihatku?! Kau ingin mati?!!" marah Speranza membuat Yasa memejamkan matanya. 

Lovie mendorong bahu Speranza membuat Speranza menatapnya tajam. "Aku ragu kau adalah kekasih Yasa," kata Lovie semakin membuat Speranza marah. 

"Lalu, kau adalah kekasihnya begitu?!" teriak Speranza. 

"Mengapa kau berteriak-teriak?! Ini bukan hutan!" Lovie ikut kesal dengan Speranza. 

Speranza menggertakkan giginya. "Lebih baik kau pergi dari sini! Aku yakin kau bukan kekasih Yasa, kau hanya berpura-pura!" kata Lovie. 

Speranza tersenyum miring. "Mengapa kau mengatakan itu?! Apa kau cemburu?!" sungut Speranza. Yasa meringis melihat mereka berdua terus berdebat tanpa henti. 

"Aku cemburu? Aku rasa kau yang cemburu karena Yasa memanggil namaku," kata Lovie sambil tersenyum miring. 

"Kau benar-benar mencari mati," desis Speranza bersiap untuk mencekik Lovie, namun Yasa lebih dulu menahan tangannya. 

"Speranza," ujar Yasa dengan pelan. Entah mengapa Speranza langsung menurunkan tangannya dan menatap Yasa. 

"Kau menyebut namaku?" tanya Speranza lugu. Yasa mengangguk. Speranza beralih menatap Lovie, dia memeletkan lidahnya mengejek Lovie. 

Lovie yang melihat itu berdecih. "Ternyata kau benar-benar cemburu," ejek Lovie membuat Speranza kembali berniat untuk mencekiknya, namun Yasa terus menahan tangannya. 

"Lovie, maaf atas sikap Speranza," ucap Yasa dengan begitu lembut. 

Lovie menghela napas. "Darimana kau mendapatkan perempuan ini?!" tanya Lovie dengan heran. "Ah ... Sudahlah, jangan lupa minum obatmu dan beristirahatlah. Jangan sampai terlalu lelah, jangan—" 

"CUKUP!!" 

Ucapan Lovie terpotong oleh teriakan Speranza. Diam-diam Lovie menahan senyumnya melihat Speranza yang kembali cemburu. 

Dengan iseng, Lovie menyentuh tangan Yasa membuat jantung Yasa Berdetak dengan cepat. "Jika kau tidak mampu berolahraga jangan dipaksakan, jika kau memaksakannya itu hanya akan membuatmu semakin sakit," kata Lovie. 

Speranza menghentakkan kakinya dan pergi dari ruang uks dengan perasaan dongkol. Sedangkan Lovie tertawa terbahak-bahak melihat tingkah Speranza. Yasa terus memperhatikan Lovie yang sedang tertawa. 

"Terima kasih karena sudah perhatian kepada ku," ujar Yasa. 

Lovie menghentikan tawanya dan menatap Yasa. "Aku mengatakan semua itu hanya untuk membuat kekasihmu cemburu, aku tidak ada maksud lain. Ya sudah, semoga kau cepat sembuh," kata Lovie dan pergi dari ruang uks. 

Yasa terdiam, seharusnya dia mengerti kalau Lovie hanya menganggapnya sebagai sahabat yang sangat menyusahkan. Yasa tersenyum kecut. "Kapan kau akan sadar dengan perasaanku?" gumam Yasa dengan sedih. 

****

Speranza meneguk soda dengan cepat hingga habis. Dia kembali membuka kaleng soda berikutnya dan meminumnya. 

"Apa yang terjadi kepada ku?" 

"Mengapa aku begitu marah?" 

Speranza terus bermonolog sendiri. Dia kembali meneguk soda itu. "Aku tidak seharusnya marah, aku hanya bosan dan berniat untuk mengerjainya." 

"Aku menjadikannya kekasih hanya untuk bersenang-senang, tapi mengapa aku marah saat perempuan itu memberikan perhatiannya," geram Speranza. 

"Aku tidak bisa melakukan kesenangan ku disini, mereka memintaku untuk menjaga sikap. Tapi, bagaimana aku bisa menahan emosi dan hasrat ku?" gumam Speranza. 

"Kau pasti bisa menahan emosi mu." 

Speranza menoleh dan melihat Yasa. Dia mendengus sebal dan meminum soda tanpa henti. Yasa duduk disamping Speranza. 

"Selama bersekolah disini aku tidak pernah ke rooftop, tapi bukankah siswa dilarang untuk ke rooftop? Bagaimana kau bisa ke sini?" Yasa menatap Speranza dengan bingung. 

"Apa itu penting?" tanya Speranza. Yasa mengangguk. "Ya, itu sangat penting," sahut Yasa. 

"Kalau begitu cari tahu saja sendiri," ujar Speranza membuat Yasa menghela napas. 

Speranza menyodorkan satu kaleng soda kepada Yasa. "Maaf, aku tidak meminum soda," tolak Yasa dengan sopan. 

Speranza mengangguk mengerti. "Ya, kau tidak bisa minum soda karena ginjalmu bermasalah," kata Speranza dan meminum soda itu sendiri. 

Yasa menatap Speranza bingung. "Bagaimana kau tahu?" tanyanya terkejut. "Teman mu yang memberitahuku, aku lupa siapa namanya," kata Speranza. 

"Byakta?" tanya Yasa, Speranza mengangguk membenarkan. Yasa menghela napas, Byakta benar-benar tidak bisa menjaga rahasia. 

"Speranza," panggil Yasa dengan pelan. Speranza berdehem sebagai balasan. 

"Apa kau benar-benar cemburu saat di uks tadi?" tanya Yasa membuat Speranza berhenti meminum sodanya. 

Yasa menatap Speranza untuk mendapatkan jawaban. Speranza menggeleng. "Tidak, aku hanya mudah marah," jawabnya dan meminum soda kembali. 

Yasa tersenyum senang. "Baguslah, aku pikir kau cemburu kepada Lovie," ujar Yasa dengan senang. 

"Untuk apa aku cemburu padanya?! Benar-benar tidak ada gunanya." 

"Ya, aku hanya ingin memastikan bahwa kau tidak cemburu dan tidak berniat melukai Lovie. Aku sangat menyayangi Lovie, aku tidak ingin melihatnya terluka," kata Yasa. Speranza yang mendengar itu meremas kaleng soda hingga mengecil. 

Yasa yang melihat itu terdiam. "Speranza, ada apa?" tanya Yasa khawatir.

Speranza menghela napas, dia melempar kaleng soda itu dengan penuh amarah. "Bisa kau tinggalkan aku sendiri?" pinta Speranza. Yasa terdiam. "Apa kau baik-baik saja?" tanya Yasa begitu khawatir. 

"AKU BAIK-BAIK SAJA! BISA KAU PERGI DARI SINI?!!" teriak Speranza membuat Yasa terkejut. 

"Aku akan pergi, tapi kau tidak harus berteriak seperti itu," ucap Yasa. 

"PERGI!!" teriak Speranza dan melempar kaleng kosong kepada Yasa. Dengan cepat Yasa berdiri dan berlari pergi dari rooftop. 

Dada Speranza naik turun, saat ini dia benar-benar sangat emosi. "Aku sangat menyayanginya, aku tidak ingin dia terluka. Aakkhh … Berengsek!!" 

****

"AKU PULANG!!" 

Speranza berjalan dengan lesu. Dia melempar tas sekolahnya ke sofa. Speranza duduk dengan bersandar di atas sofa. 

"Mengapa kamu pulang di malam hari? Ini indonesia untuk Italia, kamu tidak bisa sesukamu disini." seorang wanita paruh baya berjalan ke arah Speranza, dia berkacak pinggang menatap seragam Speranza yang sangat berantakan. 

"Kau habis darimana?! Mengapa seragam mu sangat berantakan dan kotor?!" tanya wanita paruh baya itu. 

Speranza membuka matanya. "Aku sangat marah tadi, maaf," ucap Speranza dengan santai. 

Speranza berdiri dan mengambil tas sekolahnya. Dia berniat berjalan menuju kamarnya, namun perkataan wanita itu menghentikannya. 

"Ini negaraku bukan negara mu. Ini rumahku bukan rumahmu, ikuti peraturan ku jika kau ingin hidup." 

Speranza tertawa mendengar itu. Dia membalikkan badannya dan menatap wanita itu. Speranza menyentuh kedua bahu wanita itu. 

"Tuhan membuatmu menjadi orang tua ku. Aku akan mengikuti semua keinginanmu, tapi jika waktunya sudah tiba kau akan mati ditanganku. Ingat itu baik-baik," ucap Speranza. Dia menepuk pelan bahu wanita itu, lalu pergi menuju kamarnya. 

"Jika bukan karena ku kau pasti sudah mati!" teriak wanita itu yang tidak dipedulikan oleh Speranza. 

Wanita itu menghela napas. "Kapan iblis dalam dirimu akan pergi? Aku adalah ibumu, dulu kau sangat menyayangiku tapi, mengapa sekarang kau berubah sayang …" gumam perempuan itu sambil menangis. 

****

"Yasa," panggil seorang wanita paruh baya yang masih awet muda. 

Yasa mendongak menatap wanita itu. "Iya ma," sahutnya dengan lembut. "Besok kamu cuci darah sendiri ya … mama sama papa ada urusan ke luar kota. Kamu tenang aja, mama udah bicara sama dokternya kamu jumpai saja dokternya besok. Tidak masalah kan sayang …" kata Mama Yasa dengan begitu lembut. 

Yasa tersenyum manis, dia mengangguk. "Iya mama tenang aja, besok aku pergi bersama Byakta," jawab Yasa dan kembali memakan makanannya. 

"Kamu yang sabar ya Yasa, mama sama papa lagi berusaha untuk mencari pendonor untuk kamu. Kamu masih bisa bertahankan?" Papa Yasa menatap Yasa dengan lembut. 

Yasa mengangguk dengan semangat. "Yasa bisa bertahan selama mama sama papa ada disamping Yasa," jawabnya membuat kedua orang tuanya saling tatap. Mereka bertiga tertawa dengan penuh bahagia. 

"Tertawa terus! Kalian bertiga benar-benar terlihat begitu bahagia. Apakah kalian hanya memiliki satu putra?!" 

Semua orang menatap ke satu arah. Disana berdiri seorang pemuda dengan seragam sekolah yang begitu berantakan. Rambutnya acak-acakan, tidak terlihat seperti seorang murid sekolah. 

Arzan berjalan menghampiri meja makan. Dia duduk disebelah mamanya. " Kamu darimana saja Arzan! Apa kamu tidak ingat rumah?!" tanya sang mama. 

Arzan mengambil piring dan menaruh nasi beserta lauk pauknya. "Apa mama ingat aku?" tanya Arzan dengan santai. Mamanya terdiam, dia menghela napas. "Yang mama ingat adalah mama hanya memiliki satu putra yang sangat menyusahkan," ucap Arzan melirik Yasa yang tengah menunduk. 

"ARZAN!!" teriak papanya dengan penuh amarah. 

Arzan menghela napas. "Sudahlah lupakan, ayo makan! Bukankah anak penyakitan itu harus butuh energi," kata Arzan dan memakan makanannya. 

Yasa terdiam dia mendongak menatap semua orang. "Aku ada tugas, aku akan mengerjakannya sekarang. Selamat malam ma, pa," ucap Yasa dan berjalan pergi meninggalkannya meja makan. 

"Selamat malam sayang." 

Arzan mencengkram sendok dengan sangat kuat. Dia menatap punggung Yasa dengan tajam. Arzan sangat membenci Yasa karena sudah merebut perhatian kedua orang tuanya. Mungkin, mereka memang kakak beradik, namun Arzan sangat membenci Yasa. Bahkan mungkin selamanya dia akan membenci Yasa. 

****

Yasa menutup pintu kamarnya dengan pelan. Dia menghela nafas saat mengingat kejadian di meja makan. Hampir setiap hari kejadian itu selalu terjadi. Yasa tidak mengerti mengapa Arzan begitu membenci ya. 

Yasa berjalan menuju meja belajarnya. Dia membuka buku fisika dan mulai mempelajari pelajaran yang belum pernah dia pelajari. 

Karena terlalu serius, Yasa sampai tidak sadar kalau handphonenya berdering selama beberapa kali. Dia mengambil handphonenya dan melihat siapa yang menelepon nya. 

Terdapat dua belas panggilan tak terjawab dari nomor yang tak dikenal. Dia mengerutkan dahinya bingung, kemudian dengan acuh tak acuh Yasa menaruh kembali handphonenya. 

Belum sampai satu menit handphonenya kembali berdering dengan nomor yang sama. Yasa mengangkat panggilan tersebut. 

"Halo? Ini siapa ya?" sapa Yasa dengan sopan. Tidak ada sahutan dari seberang sana membuat Yasa bingung. 

"Halo?

Yasa menghela napas dan berniat untuk mematikan panggilannya. "Ternyata ini benar nomor mu."  Yasa terdiam mendengar suara itu. 

"Speranza?" 

"Darimana kau dapat nomorku?" tanya Yasa penasaran. 

"Ingin berpesta?" tanya Speranza diseberang sana. 

"Berpesta? Aku tidak mau, ini sudah malam aku harus belajar," jawab Yasa. 

"Aku akan sampai di rumahmu dalam waktu lima belas menit." Speranza mematikan panggilan secara sepihak. 

Yasa menghela napas kasar. Dia menatap handphonenya. "Dia tidak mungkin datang, dia tidak tahu rumahku," ucap Yasa percaya diri dan kembali belajar. 

Lima belas menit berlalu. 

Handphone Yasa kembali berdering. Dia terdiam menatap nomor yang Speranza. Dengan cepat Yasa mengangkat panggilan tersebut. 

"Ada apa lagi?" tanya Yasa. 

"Aku sudah berada di depan rumahmu. Cepat turun! Aku sangat bosan," ujar Speranza membuat Yasa terkejut. 

Yasa berjalan kearah jendela. Dia melongo saat melihat Speranza bersandar di mobil sambil memakan memakan sebuah humberger. 

"Bagaimana kau tahu rumah ku?" tanya Yasa ketakutan. 

"Aku bosan!" kata Speranza dan mematikan panggilan. 

Yasa menghela napas. Dia kembali mengintip melalui jendela. Yasa berjalan mengambil hoodie berwarna abu-abu dan memakainya. Kemudian, Yasa berjalan keluar dari kamarnya menuju keluar rumah. 

Yasa berjalan dengan perlahan agar tidak ada yang tahu dia keluar malam. Yasa tidak pernah melakukan semua ini. Yasa sampai di luar rumah, dia menutup pagar dan berlari ke arah Speranza. 

"Mengapa kau melakukan semua ini?!" tanya Yasa kesal. 

Speranza menatap Yasa dari atas kepala hingga ujung kaki. "Kau sangat jelek!" ejek Speranza. Yasa menghela napas bersabar. 

"Lebih baik kau pergi dari sini, aku harus tidur!" kata Yasa dan mendorong tubuh Speranza. 

Speranza tidak peduli. Dia menarik tangan Yasa dan memaksa Yasa masuk ke dalam mobil. 

"Apa yang kau lakukan?! Aku harus tidur!!" teriak Yasa. 

Speranza menunduk menatap yas ayang sudak duduk di dalam mobil. "Terkadang kau harus melangkah keluar dari zona nyaman," ucap Speranza dan menutup pintu mobil. Dia berjalan mengelilingi mobil dan masuk ke dalam. Mobil itu berjalan meninggalkan rumah Yasa entah menuju kemana. 

"Wow … Ini akan menjadi senjata untuk ku menghancurkan Yasa." Arzan tersenyum miring. Dia menatap handphonenya yang berisikan foto-foto Yasa bersama dengan Speranza. 

****

Related chapters

  • SPERANZA    003: Perempuan Yang Penuh Amarah

    "Kita mau kemana?"Yasa menatap keluar melalui jendela mobil. Suasana malam ini sangat sepi. Hanya ada beberapa kendaraan yang melintasi jalan raya ini.Yasa menoleh ke arah Speranza saat Speranza tak kunjung menjawab pertanyaannya. "Kita mau kemana?" ulangnya sambil menatap Speranza. Speranza hanya melirik dan tidak menjawab.Yasa menghela napas bersabar. Beberapa menit kemudian mobil berhenti di sebuah taman yang sangat sepi bahkan mungkin sudah lama ditinggalkan. Yasa menelan ludah saat merasakan hawa dingin yang membuatnya merinding."Ayo turun!" ajak Speranza."Tunggu!" ucap Yasa sambil menahan tangan Speranza. "Kita mau apa disini? Tempat ini sangat seram," ujar Yasa menelan salivanya gugup.

    Last Updated : 2021-08-11
  • SPERANZA    004: Khawatir

    "Kau lihat?!"Speranza hanya mampu menunduk saat sang ayah menunjuknya dengan penuh amarah. Speranza memejamkan matanya saat ayahnya membanting handphonenya."Itulah alasanku tidak membiarkanmu berkeliaran di sini, Kau benar-benar tidak bisa hidup di luar," kata sang ayah membuat Speranza menatapnya terkejut."Tidak bisa hidup di luar? Apa kau berniat untuk mengurungku?!" tanya Speranza tak habis pikir."Ya! Aku berniat untuk mengurungmu! Kalau saja manusia sepertimu tidak ada di dunia ini, maka dunia ini akan begitu damai.""CAIDEN!!" Speranza meneriaki nama ayahnya membuat semua orang tuanya menatap dirinya terkejut."Berani sekali kau meneria

    Last Updated : 2021-08-17
  • SPERANZA    005: Memutuskan Hubungan

    Baru kali ini senyum Yasa bertahan cukup lama. Dia terlalu bahagia untuk berpura-pura menahan senyumnya. Yasa berjalan masuk ke dalam rumahnya.Saat ini jam menunjukkan pukul 21.52. Yasa menghela napas karena sadar dia telah pergi keluar terlalu lama. Dengan jantung yang Berdetak dengan cepat, Yasa terus melangkah masuk ke dalam rumah."Hebat!"Tubuh Yasa tersentak. Dia menoleh kearah sumber suara. Dia terdiam saat melihat mama dan papanya berdiri dengan wajah penuh amarah."Hebat ya kamu sekarang!" ucap sang mama membuat Yasa terdiam."Ada apa ma?" tanya Yasa lugu. Arzan yang melihat itu tertawa dengan keras. "Semakin lama kau semakin pintar," komentar Arzan membuat Yasa semakin takut.

    Last Updated : 2021-08-19
  • SPERANZA    006: Saling Rindu

    "Tapi, bu ...." "KELUAR!!" Xaviera mendorong tubuh Byakta dan Yasa hingga keluar dari rumahnya. Byakta dan Yasa hanya bisa pasrah mengikuti keinginan Xaviera. Mereka berdua menghela napas. Yasa menatap pintu rumah Xaviera dengan tatapan bingung. "Byakta," panggil Yasa membuat Byakta menoleh ke arahnya. "Apa?" Yasa menatap Byakta dengan serius. "Apa kau tidak merasa ada yang aneh?" tanya Yasa membuat Byakta mengerutkan dahinya bingung. Byakta menggeleng. "Tidak. Memangnya kenapa?" tanya Byakta balik. "Mengapa ibu Speranza memanggilnya dengan nama Flavia?" tanya Yasa sambil mengelus dagunya. "Mungkin saja itu nama panggilan dari ibunya," sahut Byakta membuat Yasa terdiam. "Lalu, kau lihat sendiri bukan? Ibu Speranza memiliki wajah asli orang Indonesia sedangkan Speranza wajahnya sangat kental dengan Italia," kata Yasa membuat Byakta terdiam. "Mungkin saja ayah Speranza asli Italia," jawab Byakta sedikit ti

    Last Updated : 2021-09-12
  • SPERANZA    007: Kebenaran Lovie

    Dengan wajah penuh amarah, Caiden menarik tangan Speranza. Dia mendorong Speranza ke arah sofa dengan begitu kasar."Ayah enggak suka kamu dekat dengan orang lain!"Speranza mengelus pergelangan tangannya yang tadi dicengkram oleh Caiden. Hatinya sakit karena baru kali ini Caiden bersikap kasar kepadanya."Apa dia kekasihmu itu?!" tanya Caiden penuh amarah. Speranza diam tidak menjawab.Caiden mencengkram dagu Speranza dengan begitu kuat. Speranza berusaha untuk melepaskan cengkraman itu menggunakan tangannya."Jangan bertingkah lagi Via! Jauhi semua orang! Saat di Italia kamu tidak pernah memiliki teman jadi jangan pernah berpikir untuk memiliki teman di sini!" teriak Caiden.Speranza menaikkan satu alisnya. "Apa jika aku membuat masalah kau akan mengembalikan ku ke Italia?" tanya Speranza.Caiden mengepalkan tangannya dengan kuat. Dia melepaskan cengkramannya dari dagu Speranza. "TIDAK AKAN PERNAH!!" bentak Caiden membua

    Last Updated : 2021-09-13
  • SPERANZA    008: Kebenaran yang sangat menyakitkan

    "SPERANZA!!"Speranza dan Arzan terkejut saat mendengar itu. Arzan menoleh ke sumber suara sedangkan Speranza dengan mengambil tangan Arzan dan menaruhnya tepat diatas rambutnya. Speranza bertingkah seolah-olah Arzan menjambaknya."AAKKHH!! APA YANG KAU LAKUKAN?!!""ARZAN SAKIT!!!"Speranza terus berteriak membuat Arzan terkejut. Arzan melotot dan berusaha untuk melepaskan tangannya, namun Speranza mencengkram tangannya dengan kuat."Dasar rubah licik!" desis Arzan saat melihat air mata Speranza.Yasa yang melihat Speranza kesakitan memberanikan diri menolongnya. Dia menjauhkan tangan Arzan dari rambut Speranza, kemudian di a mengelus dan merapikan rambut Speranza."Apa kau baik-baik saja?" tanya Yasa begitu khawatir. Speranza menatap Yasa, dia mengangguk dan langsung memeluk Yasa.Sedangkan Arzan, dia menatap pergelangan tangannya yang mengeluarkan darah akibat tercakar kuku Speranza. Satu tangannya yang lain terke

    Last Updated : 2021-09-15
  • SPERANZA    009 : Pengkhianat?

    Malam yang gelap dan begitu sunyi. Mobil Speranza terparkir di jalanan yang begitu sunyi dan mungkin jalanan ini tidak pernah di lalui oleh siapapun. Di dalam sana, Speranza tengah tidur. Dia kembali kabur agar mereka semua tidak bisa kembali ke Italia. Tidur Speranza begitu nyenyak hingga akhirnya sebuah telepon yang masuk berhasil mengganggu tidurnya. Dia tersentak dan menggeram. Speranza menatap handphonenya dengan kesal. Tadinya dia tidak ingin mengangkat karena mengira itu adalah kedua orang tuanya, namun rasa penasaran kembali mengalahkannya. Speranza melihat siapa yang meneleponnya dan dengan terburu-buru dia mengangkatnya. "Halo Yasa, ada apa?" sapa Speranza setelah mengangkat panggilan itu. Tidak ada sahutan sedikitipun dari Yasa. Speranza mengerutkan dahinya bingung dan kembali memastikan kalau yang meneleponnya adalah Yasa. "Yasa?" panggil Speranza agar Yasa berbicara. "Speranza,"

    Last Updated : 2021-10-02
  • SPERANZA    010 : Kakak?

    "Kau yakin ingin turun di sini?"Yasa tersenyum manis kepada Lovie. Dia mengangguk dan menjawab, "Aku yakin. Ada yang harus aku bicarakan dengan Byakta."Lovie menatap Yasa dengan khawatir. Pasalnya wajah Yasa sudah sangat pucat. "Kau harus pulang dan beristirahat, itu lebih penting untuk mu daripada berbincang dengan Byakta," Keukeh Lovie.Yasa kembali tersenyum. "Aku akan beristirahat di rumah Byakta. Aku juga akan menghubungi orang tua ku nanti," katanya."Mengapa kau sangat keras kepala! Berbincang dengan Byakta itu tidak penting!" Kesal Lovie.Yasa menatap Lovie dengan jahil. "Mengapa reaksi mu seperti itu? Kau marah jika aku berbincang dengan kekasih mu?" Yasa tertawa di akhir pertanyaannya.Lovie terdiam dan tidak sadar kalau Yasa sudah keluar dari taksi. "Aku akan istirahat. Terima kasih dan hati-hati," ucap Yasa dengan lembut. Dia menutup pintu taksi dan menatap taksi itu pergi menjauh darinya.Setelah taksi itu pergi,

    Last Updated : 2021-10-20

Latest chapter

  • SPERANZA    012 : Caiden!

    Ketukan sepatu seseorang berhasil mengusik ketenangan yang Yasa miliki. Dia menghela napas dan menatap tajam pelaku yang membuat kebisingan itu. Sang pelaku tidak peduli, ia malah bersiul seolah tidak melakukan kesalahan apapun. Yasa menghela napas bersabar. Matanya menatap ke arah pintu operasi yang masih tertutup dengan lampu merah yang menyala. "Dia sedang dioperasi bukan? Lalu, mengapa kita tetap di sini? Ayo kita pulang!" Ajak Speranza dengan santai. "Apa kau sudah gila? Kau mau kita meninggalkan dia begitu saja?" Tanya Yasa sedikit marah. "Mengapa kau peduli sekali dengannya? Aku benar-benar tidak menyukainya! Aku harap dia tidak selamat!" Sumpah Speranza menatap pintu ruang operasi dengan tajam. "SPERANZA!!" bentak Yasa membuat Speranza terkejut. Yasa menghela napas, kejadian beberapa menit yang lalu terus berputar di kepalanya. Dia sama sekali tidak mengerti apa yang sedang terjadi. "Speranza, aku—" "Aku harus pulang. Ayah sudah menunggu ku," ujar Speranza memotong perk

  • SPERANZA    011 : Rahasia Yang Terungkap

    "Ada apa? Mengapa kau terlihat gelisah?" Caiden memperhatikan mimik wajah Xaviera. Dia sangat mengenal Xaviera dan mengerti kalau Xaviera sulit untuk menyembunyikan ekspresinya. Xaviera masih diam dengan kepala yang tertunduk. Caiden tersenyum tipis, tangannya bergerak menyentuh pipi Xaviera dan mengelusnya dengan lembut. "Ada apa sayang?" tanya Caiden lembut. Tiba-tiba saja Xaviera menetskan air mata membuat Caiden terkejut. Dengan cepat Caiden memeluk Xaviera dan membiarkannya mengeluarkan segalanya. Setelah mulai tenang, Xaviera melepaskan pelukannya dan menatap suaminya dengan mata sembab. "Tadi pagi aku bertemu dengannya," ucap Xaviera membuat dahi Caiden berkerut. "Dengannya? Siapa?" tanya Caiden kebingungan. Xaviera terdiam sejenak, kemudian dia menatap tepat di mata suaminya. "Bitari," jawabnya dengan suara lesu. Mendadak suasana menjadi dingin. Mereka berdua sama sekali tidak mengeluarkan su

  • SPERANZA    010 : Kakak?

    "Kau yakin ingin turun di sini?"Yasa tersenyum manis kepada Lovie. Dia mengangguk dan menjawab, "Aku yakin. Ada yang harus aku bicarakan dengan Byakta."Lovie menatap Yasa dengan khawatir. Pasalnya wajah Yasa sudah sangat pucat. "Kau harus pulang dan beristirahat, itu lebih penting untuk mu daripada berbincang dengan Byakta," Keukeh Lovie.Yasa kembali tersenyum. "Aku akan beristirahat di rumah Byakta. Aku juga akan menghubungi orang tua ku nanti," katanya."Mengapa kau sangat keras kepala! Berbincang dengan Byakta itu tidak penting!" Kesal Lovie.Yasa menatap Lovie dengan jahil. "Mengapa reaksi mu seperti itu? Kau marah jika aku berbincang dengan kekasih mu?" Yasa tertawa di akhir pertanyaannya.Lovie terdiam dan tidak sadar kalau Yasa sudah keluar dari taksi. "Aku akan istirahat. Terima kasih dan hati-hati," ucap Yasa dengan lembut. Dia menutup pintu taksi dan menatap taksi itu pergi menjauh darinya.Setelah taksi itu pergi,

  • SPERANZA    009 : Pengkhianat?

    Malam yang gelap dan begitu sunyi. Mobil Speranza terparkir di jalanan yang begitu sunyi dan mungkin jalanan ini tidak pernah di lalui oleh siapapun. Di dalam sana, Speranza tengah tidur. Dia kembali kabur agar mereka semua tidak bisa kembali ke Italia. Tidur Speranza begitu nyenyak hingga akhirnya sebuah telepon yang masuk berhasil mengganggu tidurnya. Dia tersentak dan menggeram. Speranza menatap handphonenya dengan kesal. Tadinya dia tidak ingin mengangkat karena mengira itu adalah kedua orang tuanya, namun rasa penasaran kembali mengalahkannya. Speranza melihat siapa yang meneleponnya dan dengan terburu-buru dia mengangkatnya. "Halo Yasa, ada apa?" sapa Speranza setelah mengangkat panggilan itu. Tidak ada sahutan sedikitipun dari Yasa. Speranza mengerutkan dahinya bingung dan kembali memastikan kalau yang meneleponnya adalah Yasa. "Yasa?" panggil Speranza agar Yasa berbicara. "Speranza,"

  • SPERANZA    008: Kebenaran yang sangat menyakitkan

    "SPERANZA!!"Speranza dan Arzan terkejut saat mendengar itu. Arzan menoleh ke sumber suara sedangkan Speranza dengan mengambil tangan Arzan dan menaruhnya tepat diatas rambutnya. Speranza bertingkah seolah-olah Arzan menjambaknya."AAKKHH!! APA YANG KAU LAKUKAN?!!""ARZAN SAKIT!!!"Speranza terus berteriak membuat Arzan terkejut. Arzan melotot dan berusaha untuk melepaskan tangannya, namun Speranza mencengkram tangannya dengan kuat."Dasar rubah licik!" desis Arzan saat melihat air mata Speranza.Yasa yang melihat Speranza kesakitan memberanikan diri menolongnya. Dia menjauhkan tangan Arzan dari rambut Speranza, kemudian di a mengelus dan merapikan rambut Speranza."Apa kau baik-baik saja?" tanya Yasa begitu khawatir. Speranza menatap Yasa, dia mengangguk dan langsung memeluk Yasa.Sedangkan Arzan, dia menatap pergelangan tangannya yang mengeluarkan darah akibat tercakar kuku Speranza. Satu tangannya yang lain terke

  • SPERANZA    007: Kebenaran Lovie

    Dengan wajah penuh amarah, Caiden menarik tangan Speranza. Dia mendorong Speranza ke arah sofa dengan begitu kasar."Ayah enggak suka kamu dekat dengan orang lain!"Speranza mengelus pergelangan tangannya yang tadi dicengkram oleh Caiden. Hatinya sakit karena baru kali ini Caiden bersikap kasar kepadanya."Apa dia kekasihmu itu?!" tanya Caiden penuh amarah. Speranza diam tidak menjawab.Caiden mencengkram dagu Speranza dengan begitu kuat. Speranza berusaha untuk melepaskan cengkraman itu menggunakan tangannya."Jangan bertingkah lagi Via! Jauhi semua orang! Saat di Italia kamu tidak pernah memiliki teman jadi jangan pernah berpikir untuk memiliki teman di sini!" teriak Caiden.Speranza menaikkan satu alisnya. "Apa jika aku membuat masalah kau akan mengembalikan ku ke Italia?" tanya Speranza.Caiden mengepalkan tangannya dengan kuat. Dia melepaskan cengkramannya dari dagu Speranza. "TIDAK AKAN PERNAH!!" bentak Caiden membua

  • SPERANZA    006: Saling Rindu

    "Tapi, bu ...." "KELUAR!!" Xaviera mendorong tubuh Byakta dan Yasa hingga keluar dari rumahnya. Byakta dan Yasa hanya bisa pasrah mengikuti keinginan Xaviera. Mereka berdua menghela napas. Yasa menatap pintu rumah Xaviera dengan tatapan bingung. "Byakta," panggil Yasa membuat Byakta menoleh ke arahnya. "Apa?" Yasa menatap Byakta dengan serius. "Apa kau tidak merasa ada yang aneh?" tanya Yasa membuat Byakta mengerutkan dahinya bingung. Byakta menggeleng. "Tidak. Memangnya kenapa?" tanya Byakta balik. "Mengapa ibu Speranza memanggilnya dengan nama Flavia?" tanya Yasa sambil mengelus dagunya. "Mungkin saja itu nama panggilan dari ibunya," sahut Byakta membuat Yasa terdiam. "Lalu, kau lihat sendiri bukan? Ibu Speranza memiliki wajah asli orang Indonesia sedangkan Speranza wajahnya sangat kental dengan Italia," kata Yasa membuat Byakta terdiam. "Mungkin saja ayah Speranza asli Italia," jawab Byakta sedikit ti

  • SPERANZA    005: Memutuskan Hubungan

    Baru kali ini senyum Yasa bertahan cukup lama. Dia terlalu bahagia untuk berpura-pura menahan senyumnya. Yasa berjalan masuk ke dalam rumahnya.Saat ini jam menunjukkan pukul 21.52. Yasa menghela napas karena sadar dia telah pergi keluar terlalu lama. Dengan jantung yang Berdetak dengan cepat, Yasa terus melangkah masuk ke dalam rumah."Hebat!"Tubuh Yasa tersentak. Dia menoleh kearah sumber suara. Dia terdiam saat melihat mama dan papanya berdiri dengan wajah penuh amarah."Hebat ya kamu sekarang!" ucap sang mama membuat Yasa terdiam."Ada apa ma?" tanya Yasa lugu. Arzan yang melihat itu tertawa dengan keras. "Semakin lama kau semakin pintar," komentar Arzan membuat Yasa semakin takut.

  • SPERANZA    004: Khawatir

    "Kau lihat?!"Speranza hanya mampu menunduk saat sang ayah menunjuknya dengan penuh amarah. Speranza memejamkan matanya saat ayahnya membanting handphonenya."Itulah alasanku tidak membiarkanmu berkeliaran di sini, Kau benar-benar tidak bisa hidup di luar," kata sang ayah membuat Speranza menatapnya terkejut."Tidak bisa hidup di luar? Apa kau berniat untuk mengurungku?!" tanya Speranza tak habis pikir."Ya! Aku berniat untuk mengurungmu! Kalau saja manusia sepertimu tidak ada di dunia ini, maka dunia ini akan begitu damai.""CAIDEN!!" Speranza meneriaki nama ayahnya membuat semua orang tuanya menatap dirinya terkejut."Berani sekali kau meneria

DMCA.com Protection Status