Acara makan dengan ayah dan ibunya berjalan lancar. Dalam artian tidak ada pembahasan yang aneh dibicarakan. Menjadi sebuah keanehan.
Biasanya kerap akan muncul saat sedang berkumpul. Namun, bukan berarti kewaspadaan Adaline hilang. Hanya dikurangi.
Pasalnya sang kakak masih ikut bergabung di ruang makan. Sangat memungkinkan jika Davae akan melancarkan aksi jahil padanya.
Bukan merupakan bentuk dari kepercayaan diri yang tinggi. Hanya saja, sudah sering menjadi bahan candaan sang kakak. Jadi, ia otomatis menerapkan sikap waspada.
Apalagi tadi, mereka telah terlibat dalam percakapan yang sedikit menyebalkan. Tak ada salah berpikir kakaknya akan berulah.
"Ada apa adikku, Sayang?"
Adaline langsung mengernyit ke arah sang kakak. "Aku bagaimana? Aku tidak kenapa."
"Kau saja yang berlebihan." Adaline dengan nada santai meloloskan sindirannya.
Tingkat antisipasi ditambah oleh Adaline, saat sang kakak memamerkan seringaian. Ia yakin Davae sudah merencanakan suatu hal. Entah apa, masih belum bisa juga ditebak.
"Aku cemas kau kelelahan bekerja, Adikku. Tapi, aku dengar kau sudah punya seorang staf cakap baru yang membantumu."
Harus diakui sejak mencari masalah dengan mengaitkan Titans Genon dan perusahaan Amanda Geovant, kakaknya pun semakin menunjukkan kepedulian yang membuatnya wajib curiga. Tak biasa seperti itu, tentunya.
"Memang ada. Kenapa?" Adaline menjawab dalam gaya seolah sedang ingin menantang.
"Tidak apa-apa. Aku senang kalau ada yang membantumu. Aku dengar dia adalah pria."
"Seorang pegawai pria? Kenapa kau tidak beri tahu Dad, Sayang? Tumben sekali."
Adaline telah memiliki jawaban dilontarkan membalas sang kakak. Namun, diurungkan, ketika ayahnya ikut memberi tanggapan.
Adaline sudah memfokuskan seluruh atensi ke sang ayah. Kemudian, kepala digelengka dengan mantap. "Bukan begitu, Dad."
"Aku hanya belum sempat untuk mencerit--"
"Adaline akan memperkenalkannya sebagai seorang kekasih pada Dad dan Mom. Sejarah baru yang kita tunggu akhirnya tercipta."
Adaline langsung melemparkan delikan ke sang kakak. Tatapan tajam yang sarat akan peringatan. Dengan tujuan agar kakaknya bisa sesegera mungkin menutup mulut.
Tentu, tidak digubris oleh Davae. Saudara sulungnya itu justru memamerkan lebih lebar seringaian dan tertawa mengejek.
"Kau berkencan dengan staf di perusahaan, Nak? Benar begitu? Kenapa Dad tidak di--"
"Titans baru bekerja, Dad." Adaline cepat memotong seraya mengangguk mantap.
"Memang aku dan dia sudah lebih dahulu menjadi teman. Ya, kami saling menyukai."
"Alasanku untuk menerima dia bekerja di perusahaan karena dia begitu cakap dan cerdas, Dad." Adaline berujar mantap.
"Aku setuju dengan pendapatmu, Adikku. Dia tidak usah diragukan kecakapan da--"
"Diam saja kau! Jangan berkomentar," seru Adaline galak. Mata semakin dipelototkan.
"Jangan ikut campur masalahku!" Intonasi suara lebih ditinggikan lagi oleh Adaline.
Sang kakak pun lekas bereaksi. Mengangguk sembari beranjak bangun dari kursi meja makan. Adaline cukup tak percaya dengan reaksi ditunjukkan oleh kakak sulungnya.
Bahkan, Davae melangkah santai menjauh. Ya, pergi meninggalkan ruang makan. Tentu Adaline semakin curiga. Benar-benar tidak seperti itu biasanya sikap sang kakak.
Namun, Adaline enggan terlalu lama untuk memusingkan. Ia harus memberi penjelasan kepada kedua orangtuanya. Ayah dan sang ibu terus memandang dirinya dengan lekat.
Embusan napas panjang pun dilakukan guna menetralisir rasa gugup. Lalu, senyuman ia bentuk dengan lebar. Senetral mungkin agar tak menimbulkan menerus kecurigaan.
"Aku dan Titans memang ingin menjalin hubungan layaknya kekasih. Kami pun baru memulainya." Adaline melontarkan untaian kalimat-kalimat dusta dengan mantap.
"Aku pasti akan mengenalkan dia pada Dad dan Mom segera. Oke? Mom dan Dad bisa menerima keputusanku ini bukan? Ak--"
"Selamat siang, Mr. Hernandez dan Mrs. Hernandez."
Sapaan sopan untuk ayah dan sang ibu dari suara sangat familier, membuat Adaline jadi seketika merinding. Bulunya meremang.
Guna memastikan tidak salah mendengar, kepala ditolehkannya ke samping untuk bisa melihat sosok Titans Genon dengan jelas.
Reaksi pertama yang ditunjukkan olehnya ketika dugaan tak salah tentu keterkejutan. Kedua bola mata membesar. Nyaris seperti ingin keluar. Namun, tak mungkin bisa.
"Hai, Sayang."
Adaline enggan bereaksi cepat atas sapaan bernada manis dari Titans Genon. Ungkapan rasa kesal lalu ditunjukkan dengan delikan lebih maut. Tak hanya pada pria itu, tetapi juga Davae yang menyeringai mengejek.
"Selamat siang juga. Kau siapa?"
Adaline tak menengokkan kepala ke sang ayah. Masih memandang lekat pada sosok Titans Genon, bahkan tanpa berkedip.
Membaca ekspresi pria itu guna mengetahui apa tengah dipikirkan. Namun, tak kunjung berhasil. Tak dapat diterjemahkannya.
"Mom, Dad, ini Mr. Genon. Kekasih pertama dari Adaline. Aku minta Titans kemari untuk bertemu Mom dan Dad. Dia setuju."
Adaline memindahkan cepat pandangan ke sang kakak. Ia pun mendapatkan seringaian dari Davae. Sementara, Titans tak bereaksi berlebihan. Hanya tersenyum dan kepala mengangguk-angguk pelan.
Adaline segera memutar otak guna mampu menghadapi, bahkan menguasai keadaan. Ia berupaya memikirkan cara terbaik yang tak akan memojokkan ataupun merugikannya. Dengan cepat didapatkan ide. Sangat yakin pasti berhasil dilakukan dengan ciamik.
"Sayang, selamat datang." Adaline berucap dalam nada mesra seraya bangun dari kursi.
Menggerakkan kedua kaki ke arah Titans seperti setengah berlari supaya bisa cepat mencapai pria itu. Dan ketika, sudah berdiri di hadapan Titans, dikecup bibir pria itu.
Aksinya tentu mendapatkan reaksi terkejut dari Titans Genon. Namun, tak dipedulikan. Justru semakin tersenyum lebar. Tentu saja masih bagian dari aktingnya. "Aku senang kau datang ke sini, Sayang."
"Nah, kau harus mengobrol dengan Mom dan Dad. Presentasikan semua rencanamu tentang bisnis kedepan untuk perusahaan."
Tanpa menunggu respons dari Titans, telah dialihkan perhatian ke sang kakak. Diraih cepat tangan saudara sulungnya. Tak ada penolakan yang ditunjukkan Davae.
"Kakak Tertampanku, ayo kita bicara dulu sebentar berdua. Ah, aku juga mau memberi kau hadiah yang sangat bagus." Adaline pun menekankan setiap kata diucapkannya.
Tak ditunggu jawaban Davae. Segera saja ditarik sang kakak keluar dari ruang makan.
"Selamat malam, Miss Hernandez. Maaf, jika aku datang terlambat. Aku mendadak punya urusan yang harus aku tuntaskan dulu."Adaline segera bangun dari kursi. Kepala ia anggukan dengan gerakan ringan. Senyum cukup lebar terukir di wajah cantiknya guna memberikan sambutan hangat serta juga bersahabat kepada Amanda Geovant. Tamu spesial sudah dinantinya sejak satu jam lalu."Tidak apa-apa, Miss Geovant. Aku mengerti dengan kesibukanmu. Terima kasih sudah menyempatkan waktu menemuiku di sini."Setelah menyelesaikan ucapannya, Adaline pun menjabat tangan Amanda Geovant dan dilanjutkan dengan memberikan pelukan. Singkat saja sebagai bentuk keramahannya.Kemudian, Adaline mempersilakan Amanda Geovant untuk duduk lewat gerakan tangan. Wanita itu secara cepat dapat mengerti. Dan, melakukan apa diminta olehnya tadi."Tentu aku harus mendatangi klien baruku untuk melanjutkan pembicaraan kita yang belum sep
Adaline mendengar jelas percakapan yang dilakukan oleh Amanda Geovant dan orang bernama Titans Genon di telepon tadi. Pria itu mengatakan jika akan datang sekitar 30 menit lagi. Namun, satu jam telah berlalu.Adaline sudah tentu dibuat kesal menanti kehadiran pria itu di restoran. Memang, ia tak terlalu suka dengan janji yang diundur. Waktu berharga baginya. Jadi, saat terbuang begitu saja, ia tak rela. Namun, telah terjadi.Adaline harus tetap menunggu jika ingin urusan pentingnya terealisasikan. Ia harus mengorbankan beberapa hal yang belum pernah dilakukan. Tujuan besarnya wajib untuk diwujudkan demi masa depan lebih cerah dengan tahta tinggi di perusahaan."Aku bisa menawarkanmu staf yang lain. Aku ada tiga lagi. Kau bisa memilih beb--""Tidak, Miss Geovant. Aku tetap ingin dia. Aku tidak tertarik dengan yang lain. Titans akan aku tunggu sampai dia datang ke sini."Adaline menarik kedua ujung bibir secara bersamaan, membentuk senyum yang lebih meleb
Adaline tidak suka dengan penolakan yang diberikan oleh Titans Genon kemarin malam di restoran. Ia pun masih mengingat jelas bagaimana kata-kata pedas ditujukan oleh pria itu kepadanya. Tergiang-giang terus.Adaline tak menyangka saja bahwa respons negatif akan diberikan Titans Genon. Belum ada pria yang bersikap demikian. Membuat Adaline sadar jika ia semakin tertarik akan sosok Titans Genon. Harus mampu dirinya mengubah keputusan diambil pria itu.Adaline memilih mendatangi apartemen milik Titans Genon. Alamatnya diberi tahu oleh Amanda Geovant. Ia akan melakukan apa saja agar pria itu mau membantunya."Hai, Miss Hernandez. Selamat datang.""Kau bisa juga datang telat? Aku pikir kau orang yang sangatlah disiplin seperti yang kau sudah tunjukkan kepadaku. Terny--""Kau tahu aku akan datang?" Adaline pun memotong segera dengan pertanyaan sarat keterkejutan. Kedua mata kian membulat.
Adaline mengakhiri ciumannya. Berjalan mundur sebanyak dua langkah saja, hendak menjaga jarak dengan Titans Genon. Jika ia lebih lama berdekatan, maka kendali dirinya akan benar-benar hilang. Entah apa yang terjadi nanti. Bisa berakhir tak bagus."Apa keputusanmu? Kau mau terima kerja sama yang aku tawarkan?" Adaline bertanya serius. Ingin tahu kepastian pria itu."Aku bilang aku masih pikirkan, Sayang.""Tidakkah kau bisa langsung mengatakan kepadaku, apa yang kau mau? Aku pastinya akan berusaha mengabulkan permintaanmu agar kau mau bekerja sama denganku."Adaline menarik napas panjang. Kemudian, ia embuskan kasar. Ditatapnya sosok Titans Genon dalam pancaran mata yang semakin kesal. Sedangkan, pria itu masih tak henti menunjukkan seringaian di wajah. Adaline jelas saja curiga. Ekspresi yang tidak biasa baginya untuk dilihat. Mengandung pesan tersirat. Ia harus menemukan jawaban."Aku juga pas
"Selamat pagi, Miss Adaline. Aku datang ke sini sudah tepat waktu bukan?""Sesuai akan perintahmu semalam kepadaku. Dan, aku menepati. Jadi, kau akan memberi hadiah apakah kepadaku sebagai imbalan tertepat?"Adaline masih diam mematung dengan rasa terkejut yang tak kunjung bisa dihilangkan. Wajar jika ia menunjukkan reaksi demikian sebab tak menyangka bahwa Titans Genon akan sesuai rencana janji mendatanginya di pagi hari. Ia menyangka pria itu terlambat.Kekagetan telah melandanya sejak beberapa menit lalu, tepat ketika kamera depan yang terpasang di pintu utama apartemennya sehingga ia dapat menyaksikan sosok pria itu dengan nyata. Bukan bayangan semata."Hei! Kenapa kau tidak menjawab apa yang aku tanyakan. Kau tidak tuli bukan?"Adaline menggeleng pelan. Rasa kesalnya pun seketika muncul akibat sindiran Titans Genon dalam nada ejekan yang begitu jelas.Pria itu sengaja menga
"Wanita harus bisa sedikit memasak. Apakah kau mengerti, Miss Adaline?""Aku rasa kau tidak masuk kategori wanita yang akan bisa mudah membuat makanan enak. Benar?"Kedua daun telinga Adaline seketika sukses memanas mendengar sindiran diucapkan oleh Titans Genon. Terlebih, pria itu sengaja memperlebar seringaian, saat mata mereka berdua masih saling melakukan kontak.Harusnya, ia memalingkan wajah. Namun, tak dilakukan. Adaline justru jadi semakin terpesona dengan paras tampan dari Titans Genon.Hati dan perasaan memihak pria itu. Walau, logika tetap berteriak agar ia dapat menjaga harga diri sebagai wanita berkelas."Kau tidak mendengar ucapanku? Kenapa kau selalu merespons terlambat?""Kontras dengan perintahmu yang menyuruh aku selalu datang tepat waktu. Aneh memang."Adaline mengembuskan napas panjang yang kasar sembari coba merangkai jawaban di dalam kepala
Adaline sudah menduga bahwa orangtuanya akan sampai di rumah tak sesuai akan janji yang sudah dibuat. Ia pun dapat memaklumi karena pertemuan dengan klien besar tetap paling diutamakan demi hubungan baik di masa depan dan juga jangka panjang bagi bisnis jika masih menginginkan kejayaan.Tak hanya orangtuanya saja, namun ia dan sang kakak sudah mulai menjalin relasi baik nan akrab dengan mitra-mitra perusahaan. Ya, hanya sebatas hubungan kerja. Ia sangat menghindari perjodohan-perjodohan yang biasa dilakukan oleh kalangan pebisnis."Kau jangan berkelid lagi. Paham, Adikku? Jangan membohongiku. Kau tahu jika aku tidak suka. Sudah mengerti belum?"Adaline menyeringai. "Kenapa aku berkelid? Memang ada masalah apa?" balasnya santai."Aku tidak paham dengan ucapanmu, Kakak. Kau bisa mengatakan tanpa ada kode? Langsung ke inti."Sembari menunggu ayah dan ibunya datang, Adaline memanfaatkan waktu luang untuk makan bersama sang kakak, Davae. Kegiatan yang jarang
Acara makan dengan ayah dan ibunya berjalan lancar. Dalam artian tidak ada pembahasan yang aneh dibicarakan. Menjadi sebuah keanehan.Biasanya kerap akan muncul saat sedang berkumpul. Namun, bukan berarti kewaspadaan Adaline hilang. Hanya dikurangi.Pasalnya sang kakak masih ikut bergabung di ruang makan. Sangat memungkinkan jika Davae akan melancarkan aksi jahil padanya.Bukan merupakan bentuk dari kepercayaan diri yang tinggi. Hanya saja, sudah sering menjadi bahan candaan sang kakak. Jadi, ia otomatis menerapkan sikap waspada.Apalagi tadi, mereka telah terlibat dalam percakapan yang sedikit menyebalkan. Tak ada salah berpikir kakaknya akan berulah."Ada apa adikku, Sayang?"Adaline langsung mengernyit ke arah sang kakak. "Aku bagaimana? Aku tidak kenapa.""Kau saja yang berlebihan." Adaline dengan nada santai meloloskan sindirannya.Tingkat antisipasi ditambah oleh Adaline, saat sang kakak memamerkan seringaian. Ia yakin Dava
Adaline sudah menduga bahwa orangtuanya akan sampai di rumah tak sesuai akan janji yang sudah dibuat. Ia pun dapat memaklumi karena pertemuan dengan klien besar tetap paling diutamakan demi hubungan baik di masa depan dan juga jangka panjang bagi bisnis jika masih menginginkan kejayaan.Tak hanya orangtuanya saja, namun ia dan sang kakak sudah mulai menjalin relasi baik nan akrab dengan mitra-mitra perusahaan. Ya, hanya sebatas hubungan kerja. Ia sangat menghindari perjodohan-perjodohan yang biasa dilakukan oleh kalangan pebisnis."Kau jangan berkelid lagi. Paham, Adikku? Jangan membohongiku. Kau tahu jika aku tidak suka. Sudah mengerti belum?"Adaline menyeringai. "Kenapa aku berkelid? Memang ada masalah apa?" balasnya santai."Aku tidak paham dengan ucapanmu, Kakak. Kau bisa mengatakan tanpa ada kode? Langsung ke inti."Sembari menunggu ayah dan ibunya datang, Adaline memanfaatkan waktu luang untuk makan bersama sang kakak, Davae. Kegiatan yang jarang
"Wanita harus bisa sedikit memasak. Apakah kau mengerti, Miss Adaline?""Aku rasa kau tidak masuk kategori wanita yang akan bisa mudah membuat makanan enak. Benar?"Kedua daun telinga Adaline seketika sukses memanas mendengar sindiran diucapkan oleh Titans Genon. Terlebih, pria itu sengaja memperlebar seringaian, saat mata mereka berdua masih saling melakukan kontak.Harusnya, ia memalingkan wajah. Namun, tak dilakukan. Adaline justru jadi semakin terpesona dengan paras tampan dari Titans Genon.Hati dan perasaan memihak pria itu. Walau, logika tetap berteriak agar ia dapat menjaga harga diri sebagai wanita berkelas."Kau tidak mendengar ucapanku? Kenapa kau selalu merespons terlambat?""Kontras dengan perintahmu yang menyuruh aku selalu datang tepat waktu. Aneh memang."Adaline mengembuskan napas panjang yang kasar sembari coba merangkai jawaban di dalam kepala
"Selamat pagi, Miss Adaline. Aku datang ke sini sudah tepat waktu bukan?""Sesuai akan perintahmu semalam kepadaku. Dan, aku menepati. Jadi, kau akan memberi hadiah apakah kepadaku sebagai imbalan tertepat?"Adaline masih diam mematung dengan rasa terkejut yang tak kunjung bisa dihilangkan. Wajar jika ia menunjukkan reaksi demikian sebab tak menyangka bahwa Titans Genon akan sesuai rencana janji mendatanginya di pagi hari. Ia menyangka pria itu terlambat.Kekagetan telah melandanya sejak beberapa menit lalu, tepat ketika kamera depan yang terpasang di pintu utama apartemennya sehingga ia dapat menyaksikan sosok pria itu dengan nyata. Bukan bayangan semata."Hei! Kenapa kau tidak menjawab apa yang aku tanyakan. Kau tidak tuli bukan?"Adaline menggeleng pelan. Rasa kesalnya pun seketika muncul akibat sindiran Titans Genon dalam nada ejekan yang begitu jelas.Pria itu sengaja menga
Adaline mengakhiri ciumannya. Berjalan mundur sebanyak dua langkah saja, hendak menjaga jarak dengan Titans Genon. Jika ia lebih lama berdekatan, maka kendali dirinya akan benar-benar hilang. Entah apa yang terjadi nanti. Bisa berakhir tak bagus."Apa keputusanmu? Kau mau terima kerja sama yang aku tawarkan?" Adaline bertanya serius. Ingin tahu kepastian pria itu."Aku bilang aku masih pikirkan, Sayang.""Tidakkah kau bisa langsung mengatakan kepadaku, apa yang kau mau? Aku pastinya akan berusaha mengabulkan permintaanmu agar kau mau bekerja sama denganku."Adaline menarik napas panjang. Kemudian, ia embuskan kasar. Ditatapnya sosok Titans Genon dalam pancaran mata yang semakin kesal. Sedangkan, pria itu masih tak henti menunjukkan seringaian di wajah. Adaline jelas saja curiga. Ekspresi yang tidak biasa baginya untuk dilihat. Mengandung pesan tersirat. Ia harus menemukan jawaban."Aku juga pas
Adaline tidak suka dengan penolakan yang diberikan oleh Titans Genon kemarin malam di restoran. Ia pun masih mengingat jelas bagaimana kata-kata pedas ditujukan oleh pria itu kepadanya. Tergiang-giang terus.Adaline tak menyangka saja bahwa respons negatif akan diberikan Titans Genon. Belum ada pria yang bersikap demikian. Membuat Adaline sadar jika ia semakin tertarik akan sosok Titans Genon. Harus mampu dirinya mengubah keputusan diambil pria itu.Adaline memilih mendatangi apartemen milik Titans Genon. Alamatnya diberi tahu oleh Amanda Geovant. Ia akan melakukan apa saja agar pria itu mau membantunya."Hai, Miss Hernandez. Selamat datang.""Kau bisa juga datang telat? Aku pikir kau orang yang sangatlah disiplin seperti yang kau sudah tunjukkan kepadaku. Terny--""Kau tahu aku akan datang?" Adaline pun memotong segera dengan pertanyaan sarat keterkejutan. Kedua mata kian membulat.
Adaline mendengar jelas percakapan yang dilakukan oleh Amanda Geovant dan orang bernama Titans Genon di telepon tadi. Pria itu mengatakan jika akan datang sekitar 30 menit lagi. Namun, satu jam telah berlalu.Adaline sudah tentu dibuat kesal menanti kehadiran pria itu di restoran. Memang, ia tak terlalu suka dengan janji yang diundur. Waktu berharga baginya. Jadi, saat terbuang begitu saja, ia tak rela. Namun, telah terjadi.Adaline harus tetap menunggu jika ingin urusan pentingnya terealisasikan. Ia harus mengorbankan beberapa hal yang belum pernah dilakukan. Tujuan besarnya wajib untuk diwujudkan demi masa depan lebih cerah dengan tahta tinggi di perusahaan."Aku bisa menawarkanmu staf yang lain. Aku ada tiga lagi. Kau bisa memilih beb--""Tidak, Miss Geovant. Aku tetap ingin dia. Aku tidak tertarik dengan yang lain. Titans akan aku tunggu sampai dia datang ke sini."Adaline menarik kedua ujung bibir secara bersamaan, membentuk senyum yang lebih meleb
"Selamat malam, Miss Hernandez. Maaf, jika aku datang terlambat. Aku mendadak punya urusan yang harus aku tuntaskan dulu."Adaline segera bangun dari kursi. Kepala ia anggukan dengan gerakan ringan. Senyum cukup lebar terukir di wajah cantiknya guna memberikan sambutan hangat serta juga bersahabat kepada Amanda Geovant. Tamu spesial sudah dinantinya sejak satu jam lalu."Tidak apa-apa, Miss Geovant. Aku mengerti dengan kesibukanmu. Terima kasih sudah menyempatkan waktu menemuiku di sini."Setelah menyelesaikan ucapannya, Adaline pun menjabat tangan Amanda Geovant dan dilanjutkan dengan memberikan pelukan. Singkat saja sebagai bentuk keramahannya.Kemudian, Adaline mempersilakan Amanda Geovant untuk duduk lewat gerakan tangan. Wanita itu secara cepat dapat mengerti. Dan, melakukan apa diminta olehnya tadi."Tentu aku harus mendatangi klien baruku untuk melanjutkan pembicaraan kita yang belum sep