Jesica menghentikan aktivitasnya sejenak, mendongak wajah agar bisa melihat Edward. “Administrator? Apa maksudmu, Ed?” tanya Jesica, tampak kebingungan.“Administrator, masa kamu tidak tahu?” Edward juga jadi bingung sendiri. “Dia tuh utusan yang suka memberi pesan tentang ….”Edward langsung menjeda ucapannya, hampir saja keceplosan tentang sistem harem. “Tentang?” Jesica menatap dalam mata Edward, mencoba mencaritahu sendiri maksudnya.“Ah, bukan apa-apa, lupakan saja,” ujar Edward, tidak ingin membahas masalah itu lagi. Dia pun menerka hal lain. “Apa mungkin Lena sudah memberitahumu?” tanyanya.Jesica mengangguk tanpa ragu. “Lebih tepatnya aku yang sudah menanyakan sendiri pada Lena, bahkan sedikit mendesaknya. Karena itu, aku tahu masalah kehamilan Helena,” akunya.“Begitu ya?” Edward merasa lega usai mendengarnya. Dengan begini, dia tidak perlu menaruh rasa curiga lagi pada Jesica.“Ya, begitu saja, sayang. Memangnya kamu mau apa lagi?” Jesica kembali bergelayut manja di leher
Keesokan harinya.Tepat pukul 09.00 waktu setempat, di Bandara Kota Noxus.Tampak Edward, Jessica, Gracia, Kana, dan Lisa sedang mengobrol di depan gerbang keberangkatan. Keempat wanita cantik yang selalu menarik perhatian orang-orang itu, sepertinya ingin memberikan beberapa patah kata sebelum merelakan kepergian Edward ke ibu kota.“Aku sudah mengurus izin cutimu untuk satu tahun. Jadi, kamu bisa pergi dengan tenang dan tidak perlu memikirkan urusan kuliah. Kamu tinggal sidang skripsi saja nanti,” ucap Lisa, menjelaskan situasi di kampus. Dia bersedia bertanggung jawab selama Edward pergi untuk menyelesaikan urusannya.“Terima kasih, Lisa. Aku berhutang banyak padamu.” Edward langsung mengelus lembut rambut Lisa. “Kamu boleh minta apa saja padaku nanti,” tawarnya.Lisa jelas senang mendengarnya, memeluk Edward tanpa sadar. “Aku pasti akan selalu merindukanmu. Semoga semua urusanmu bisa selesai dengan cepat agar aku bisa melihatmu lagi,” ucapnya sedikit terisak.Edward sedikit terkej
Edward terdiam sejenak, menatap wanita cantik itu dengan penuh kekaguman. "Tentu saja, aku tidak keberatan. Aku juga mengerti perasaanmu," balasnya dengan suara yang lembut, senang karena bisa membantunya, suasana di dalam pesawat pun terasa lebih hangat seketika.Wanita itu tersenyum lega, "Terima kasih banyak, Tuan ...?""Edward, cukup panggil aku Edward saja," selanya sambil tersenyum. "Bolehkah aku tahu namamu?"Wanita itu menatap Edward, matanya berkilauan dalam cahaya pesawat. "Aku Clara. Senang mengenalmu, Edward."Clara dan Edward lagi, kemudian terlibat dalam percakapan yang lembut dan hangat. Dia bercerita tentang tujuannya ke ibu kota, tentang impian-impian yang ingin dia capai di sana. Edward pun mendengarkan dengan penuh perhatian dan empati, sesekali menimpali cerita Clara dengan pengalaman dan pemikirannya sendiri.Seiring waktu, Edward merasa ada ikatan yang kuat terbentuk antara mereka. Dia merasa nyaman berada di samping Clara, dan dia yakin Clara juga merasakan hal
Edward berhenti sejenak, mencoba mencari kata-kata yang tepat. Dia menatap Clara dengan pandangan yang penuh kekaguman dan rasa penasaran. "Mungkinkah kamu sebenarnya bisa melihat masa depan?" tanyanya berbisik.Clara menatap Edward, lalu menghela napas panjang. Dia pun mengangguk sambil tersenyum lembut, "Ya, Edward. Aku bisa melihat masa depan. Aku sebenarnya seorang cenayang," akunya.Edward tampak terkejut, tak mengira dugaannya benar-benar terjadi. "Itu ... itu sangat luar biasa, Clara. Berkatmu, kita semua selamat dari kecelakaan pesawat. Huh, kalau saja kamu tidak mendapat pengelihatan, bisa habis riwayatku," ujarnya.Clara spontan tersenyum canggung, "Kamu jangan berlebihan, Edward. Lagian, aku juga nggak mau mati di pesawat itu. Terus, kamu juga sudah banyak membantuku, jadi aku harusnya berterima kasih sama kamu," ujarnya juga, merendah.Namun, detak jantung Clara tiba-tiba meningkat ketika melihat Jhon berlari cepat ke arahnya. Dia tahu harus segera pergi dari tempat ini se
Clara terpaku sejenak, dibuai oleh visi masa depan yang mendadak muncul dalam pikirannya. Dia melihat Edward berdiri gagah di tengah medan laga yang telah hancur lebur, dikelilingi oleh barisan wanita pejuang yang perkasa. Seolah dunia ini hanya milik Edward, pria terakhir yang berdiri, sementara pria lainnya telah lenyap ditelan pasukan wanita itu."Edward, apa yang terjadi padamu?" Clara bertanya dengan nada penuh kekhawatiran. "Bagaimana mungkin kamu berada di medan perang, dikelilingi oleh pasukan wanita?"“EH?!” Edward terkejut, mencoba mencerna pertanyaan Clara, "Apa yang kamu maksud, Clara? Pasukan wanita apa yang kamu bicarakan?" balasnya dengan bertanya.Clara merasa gelisah, ingin membantu Edward, namun dia terbentur oleh kebingungan bagaimana menjelaskan situasinya. Dia hanya tahu bahwa Edward akan menghadapi ancaman besar dari sosok dengan kekuatan luar biasa."Pokoknya, kamu harus mencari tahu lebih lanjut tentang pasukan wanita itu," saran Clara, berusaha meyakinkan Edwa
Singkat cerita, Edward melanjutkan perjalanan menuju ibu kota menggunakan kereta biasa. Ia tidak kebagian tiket kereta cepat, makanya terpaksa menaiki kendaraan tersebut.Clara juga naik kereta itu, mereka pun pergi bersama, tetapi mereka tidak banyak mengobrol seperti sebelumnya. Edward jadi lebih pendiam semenjak menerima teguran dari Administrator.Clara heran, memperhatikan setiap mimik wajah yang terpancar dari Edward. Dia mencoba menerka, namun tidak bisa menemukan apa-apa."Edward, apa kamu baik-baik saja?" tanya Clara, mencoba membuka obrolan."Aku tak apa kok, jangan khawatir," jawab Edward tanpa menoleh, matanya masih melihat pemandangan di luar lewat kaca jendela."Yakin?" Clara memastikan. "Kok aku ngerasa kamu sedang tidak baik-baik saja? Mungkinkah kamu masih kepikiran tentang masalah di masa depan itu?"Edward mau tak mau menoleh ke Clara, "Aku memang memikirkannya, tapi tidak terlalu serius. Lagi pula, apa yang kamu lihat belum tentu akan terjadi, bukan?"Clara mengangg
Tak lama kemudian.Edward terbangun, merasa tubuhnya ringan. Kepalanya berputar-putar, dan segalanya tampak seperti mimpi. Dia berada dalam keadaan jatuh, namun tanpa rasa sakit. Dia serasa melayang tanpa rasa takut. Berada di tempat yang sangat jauh, tapi seolah sedang berada di rumah sendiri.Edward membuka matanya perlahan. Langit biru yang cerah menyambutnya, dan awan putih bergerak perlahan di atasnya. Hangat dan nyaman, tempat ini memancarkan banyak kedamaian dan ketenangan.Di depannya berdiri seorang wanita cantik dengan sayap putih yang indah, seperti seorang malaikat. Senyumnya juga hangat, sorot matanya berkilau dengan kebaikan dan kasih sayang."Halo, Edward Lewis," ucap wanita itu dengan suara yang lembut dan menenangkan. "Selamat datang di alam Nirwana. Saya adalah administrator yang selalu mengirim pesan padamu. Saya akan membantumu selama berada di sini."Edward tidak langsung menanggapi, malah menatap sekelilingnya. Ada pohon-pohon hijau dan subur, bunga-bunga indah
Hati Edward berdebar-debar, penuh kecemasan saat mendengar ultimatum yang sudah diberikan sang Dewi Cinta.Meskipun Edward masih terpesona oleh kecantikan Dewi Lexia, ia khawatir kecantikan tersebut akan membunuhnya.Apalagi dia sudah melihat para korbannya, yang jelas-jelas akan menjadi situasi berbahaya jika salah memberikan jawaban kepada Dewi Lexia.“Aku akan menjawabnya dengan jujur. Silakan beri saja pertanyaannya,” ucap Edward, setelah membuang nafas berat.Dewi Lexia tersenyum puas mendengar tanggapan Edward. Ia merasa senang karena Edward bersedia untuk berkomitmen pada kejujuran.Dengan lembut, Dewi Lexia membawa Edward ke singgasana, kemudian duduk di sebelahnya."Mari kita mulai, Ed," ucap Dewi Lexia, terdengar menggoda sekali suaranya. "Aku ingin tahu tentang impianmu, tentang apa yang membuatmu bahagia, dan apa yang membuatmu takut."Edward terkejut akan pertanyaan-pertanyaan tersebut, tapi dia masih bisa memberikan jawabannya.“Jujur, aku tidak punya mimpi yang terlalu