Hati Edward berdebar-debar, penuh kecemasan saat mendengar ultimatum yang sudah diberikan sang Dewi Cinta.Meskipun Edward masih terpesona oleh kecantikan Dewi Lexia, ia khawatir kecantikan tersebut akan membunuhnya.Apalagi dia sudah melihat para korbannya, yang jelas-jelas akan menjadi situasi berbahaya jika salah memberikan jawaban kepada Dewi Lexia.“Aku akan menjawabnya dengan jujur. Silakan beri saja pertanyaannya,” ucap Edward, setelah membuang nafas berat.Dewi Lexia tersenyum puas mendengar tanggapan Edward. Ia merasa senang karena Edward bersedia untuk berkomitmen pada kejujuran.Dengan lembut, Dewi Lexia membawa Edward ke singgasana, kemudian duduk di sebelahnya."Mari kita mulai, Ed," ucap Dewi Lexia, terdengar menggoda sekali suaranya. "Aku ingin tahu tentang impianmu, tentang apa yang membuatmu bahagia, dan apa yang membuatmu takut."Edward terkejut akan pertanyaan-pertanyaan tersebut, tapi dia masih bisa memberikan jawabannya.“Jujur, aku tidak punya mimpi yang terlalu
Edward merasakan tekanan luar biasa dalam menghadapi pertanyaan terakhir Dewi Lexia. Dia merenung sejenak, membiarkan pikirannya melayang ke masa depan yang mungkin terjadi jika dia memilih salah satu opsi.Di satu sisi, Edward menyadari bahwa melanjutkan Sistem Harem adalah tanggung jawabnya sebagai orang terpilih. Dia telah berjuang keras hingga mencapai titik ini, menghadapi berbagai rintangan dan bahaya. Jika dia memilih untuk melanjutkan perjuangan ini, dia bisa memastikan kalau peperangan itu akan berhasil dicegah, menyelamatkan banyak nyawa dan membawa kedamaian bagi dunia.Namun, di sisi lain, Edward tidak bisa mengabaikan kehadiran anak yang ada di dalam rahim Helena. Dia merasakan ikatan kuat dengan kehidupan yang sedang tumbuh di dalam rahim wanita cantik itu. Edward pun tahu, begitu ia memilih anak itu berarti dia harus berhenti menjadi pahlawan dan menghadapi kehidupan baru sebagai seorang ayah. Ini adalah pilihan yang sulit, karena Edward akan meninggalkan perjuangan
Sementara itu. Di tepi danau yang sepi dan berhawa dingin. “Ah, tolong hentikan, Edward. Rasanya ini terlalu geli ....” “Huh ... aku tak bisa menahannya lagi, bisa terbawa nafsu jika kamu terus begini ....” “Edwrard, apa yang akan kamu lakukan?! Hei ... cepat jauhkan ular besar itu dari sana! Punyaku masih perawan, bisa sobek jika kamu langsung memasukannya ....” Clara tampak berusaha menghentikan perbuatan Edward yang hendak memasukan benda pusaka ke lubang miliknya. Dia terkejut karena Edward tiba-tiba berubah seagresif ini. Sebelumnya, Clara dan Edward jatuh ke jurang yang sangat dalam. Beruntung mereka mendarat di permukaan air danau, sehingga tidak mendapatkan luka serius. Hanya saja, punggung Edward menghantam air lebih dulu, membuatnya tak sadarkan diri untuk waktu yang sangat lama. Clara langsung merasa bersalah gara-gara kejadian tersebut, sebab dia yang sudah membuat Edward celaka gara-gara dikejar kelompok mafia. Terlebih, Edward sudah melindunginya saat terjadi ben
“Huh ... ini terlalu luar biasa. Aku bisa keluar lagi jika punya kamu masih seperkasa ini,” gumam Clara, tampak masih sibuk menyetubuhi Edward dari posisi atas. Entah sudah berapa kali dia mendapatkan pelepasan cairan cinta selama persetubuhan tersebut berlangsung. Pastinya, dia benar-benar sudah kecanduan oleh benda pusaka Edward yang besar dan panjang itu. Terlebih, Clara tidak bisa menemukan kelemahan dari benda puasa nafsu itu. Tidak peduli seberapa cepat dia memainkannya, kepunyaan Edward bisa memberikan respon yang sangat baik. Kalau tidak, Clara tak akan mungkin akan segila ini. “Keluar ... aku keluar lagi ... ahhhh .....” Clara mendesah panjang, bersamaan dengan mengalirnya cairan hangat dari lubang nikmatnya. Langsung membasahi kepunyaan Edward yang masih menusuk di dalam sana. Clara berusaha menstabilkan tubuhnya, menarik nafas berkali-kali guna memulihkan stamina. Rasanya sangat melelahkan ketika dia terus mengeluarkan cairan cinta, sementara pihak lain belum mengeluark
“Sembunyilah di balik semak, biar aku yang akan melawan mereka,” ujar Edward, berlari ke arah helikopter kelompok mafia itu. Clara bangkit, berusaha menghentikan Edward. “Tidak, kamu tidak boleh pergi sendirian, Edward,” cegahnya. “Jangan membantah, turuti saja perintahku. Kamu akan celaka jika pergi bersamaku,” ujar Edward tanpa menoleh, bersikap tegas demi menjauhkan Clara dari marabaha.Lagi pula, Edward melakukan itu bukan tanpa alasan. Sejujurnya dia tak ingin Clara melihat cara bertarungnya yang tidak biasa itu. Dia sadar hal tersebut sangat memalukan, makanya dia tak mau Clara melihatnya. Perasaan Clara langsung berkecamuk usai mendengar perintah Edward, merasa bersalah karena sudah melibatkan orang lain dalam masalahnya sendiri. ‘Coba aku ikut Jhon kembali ke markas, mungkin Edward tak perlu repot-repot seperti ini,’ gumamnya penuh sesal. “Jangan berpikir seperti itu, Clara. Bukankah kamu ingin bertemu ibumu? Kamu harusnya lebih kuat agar kita bisa keluar dari situasi in
Jhon langsung ketar ketir usai mendengar ancaman Edward, takut pria tampan itu akan menghabisi kelompoknya jika mereka masih bersikeras mengejar Clara.Apalagi Edward berasal dari sekte pencari cinta, takutnya kekuatan sekter tersebut sangat kuat dan bisa menghancurkan kelompok mafia Shadow dengan mudah. Jhon sendiri punya kekasih yang masih tinggal di dalam kelompok mafia tersebut. Dia jelas takut sesuatu yang buruk akan menimpanya.Karena itu, Jhon memutuskan untuk berdamai dengan Edward. Setidaknya dia harus memastikan Edward tidak mengincar kelompoknya sampai kekasihnya berhasil dibawa pergi.“To-Tolong lepaskan aku. Aku janji akan menuruti setiap perintahmu mulai dari sekarang,” ucap Jhon, memohon belas kasih pada Edward.“Apa maksudmu?” tanya Edward, menatap bingung wajah Jhon. Dia khawatir pria itu sedang berpura-pura dan akan mengambil kesempatan ketika lengah.Jhon bingung menjelaskan keadaannya, sebab dia takut Edward tidak akan percaya. Lagi pula, dia berniat menghabisiny
Di tengah hiruk pikuk ibu kota, terdapat sebuah kafe yang menjadi oase bagi para penikmat kopi. Kafe ini bernama "Caffeine Haven", sebuah tempat yang menawarkan kedamaian di tengah kebisingan kota.Dinding-dindingnya yang berwarna coklat hangat, dipenuhi dengan lukisan-lukisan abstrak yang menambah keunikan tempat ini.Cahaya lampu gantung yang temaram memberikan suasana yang nyaman dan hangat.Aroma kopi yang kuat dan menggoda juga mampu menciptakan suasana yang menenangkan.Di salah satu sudut kafe, tampak dua wanita cantik sedang duduk saling berhadapan.Helena Roses, dengan rambut legamnya yang panjang dan mata birunya yang tajam, terlihat anggun dalam balutan blus putih dan rok hitam.Sementara lawan bicaranya, Aluna Everdeen, memiliki rambut pirang dan mata coklat yang dalam. Ia terlihat menawan dalam gaun merah muda pastel.Kedua wanita cantik itu sudah berteman sejak masih kuliah, tapi hubungan mereka perlahan retak setelah lulus kuliah. Alasannya, mereka berasal dari keluarg
“Nona Everdeen ya?” Edward menyebut nama targetnya, agak asing dengan marga tersebut.“Irene, tolong caritahu posisi Nona Everdeen. Biar aku bisa menyelesaikan misinya dengan cepat,” pinta Edward pada Irene.“Baik, Master.” Irene pun melacak keberadaan wanita tersebut. Tak butuh lama, informasinya segera muncul di layar posel Edward. “Little Garden?” Edward mengerutkan kening saat membacanya. Melihat lokasi wanita itu, ternyata sangat dengannya.“Hahaha! Aku sangat beruntung!” Serunya, kemudian melangkahkan kaki menuju Little Garden.Meskipun langkah Edward cepat, matanya tak luput dari tempat-tempat yang berdiri kokoh di sepanjang jalan.Hingga langkahnya tiba-tiba terhenti di depan sebuah kafe bernama Caffeine Haven. Dia melihat ada kerumunan orang di sana.“Apa yang terjadi?” Edward bertanya pada diri sendiri, cukup penasaran dengan keributan di depan kafe itu. Apalagi, nampak sebuah ambulance di sana, yang membuatnya semakin penasaran.Hanya saja Edward tidak tinggal di sana terl
Edward menatap dengan cermat sosok pria yang baru saja bangkit dengan tenaga luar biasa. Meskipun dia mengaku telah sembuh berkat obat Edward, ekspresi wajah pria itu menunjukkan kekhawatiran mendalam. “Ayah, kamu benar-benar baik-baik saja?” tanya Aluna, penuh rasa syukur dan cemas bersamaan. “Tenang, Nak. Aku baik-baik saja sekarang,” jawab pria itu sambil mengamati tim medis yang sudah berusaha menolongnya. Edward merasa lega, tetapi rasa ingin tahunya semakin membara. Dia berusaha menyusun strategi untuk menghadapi ancaman di balik serangan bom tersebut. “Aluna, ayo kita bicara sebentar,” ajak Edward, menarik Aluna ke samping, jauh dari kerumunan. “Ada apa, Ed? Kenapa serangan ini bisa terjadi?” tanya Aluna dengan suara bergetar. Edward mencoba menganalisis situasi. “Ada kemungkinan bahwa serangan ini bukan hanya sekadar aksi teroris. Menurut informasi yang aku dapat, keluarga Everdeen mungkin sudah menjadi target lama. Ada beberapa kelompok yang bisa melakukan hal ini,
Edward merasa gelisah dan khawatir usai mendengar kabar buruk dari Aluna. Dia segera kembali ke meja Clara dengan wajah yang penuh kekhawatiran."Ada apa, Ed?" tanya Clara, tampak penasaran.Edward menjelaskan situasi yang sedang terjadi kepada Clara, tentang pengeboman di perusahaan ayah Aluna. Clara terkejut mendengarnya dan merasa prihatin dengan keadaan Aluna dan keluarganya."Kita harus segera pergi ke tempat Aluna. Dia butuh dukungan kita di saat-saat seperti ini," ujar Clara tegas.“Tidak, kamu tak perlu pergi kesana. Kamu masih punya masalah yang harus diselesaikan,” tukas Edward, diam-diam mengeluarkan sebotol air dari sistem harem.“Minumkan ini pada ibumu, lalu kabari aku reaksinya. Cukup satu gelas saja, jangan berlebihan,” jelasnya sambil memberikan botol air itu pada Clara.“Air mineral? Untuk apa air mineral, Ed?” Clara bingung sendiri, menatap air itu dan tidak mengerti.Edward tersenyum tipis, “Percayalah, air itu bisa mengatasi masalahmu. Aku yakin ibumu aka
Edward menatap Aluna dengan ekspresi serius, mengangguk pelan. "Dua triliun, ya? Baiklah, aku akan membantu kamu," ujarnya, mengambil ponsel Aluna dan mulai melakukan transfer.Aluna menatap Edward dengan mata berkaca-kaca, terharu dengan kesediaan Edward yang membantu keluarganya. "Terima kasih, Edward," ucapnya, suaranya bergetar.Edward hanya tersenyum, menepuk bahu Aluna dengan lembut. "Tidak perlu berterima kasih, Aluna. Kita adalah pasangan, dan pasangan harus selalu membantu satu sama lain," ujarnya, menenangkan Aluna.Setelah selesai transfer, Edward mengembalikan ponsel Aluna. "Ok, masalahnya beres. Aset keluarga Everdeen sudah aman sekarang," ujarnya, tersenyum tulus.Aluna menatap Edward dengan mata berbinar, penuh rasa terima kasih. "Kamu benar-benar menyelamatkan kami, Edward. Aku tidak tahu bagaimana cara membalas budi baikmu," ucapnya, suaranya penuh rasa haru.Edward hanya tersenyum, menggelengkan kepalanya. "Tak perlu membalas apa-apa, aku hanya melakukan apa yang seh
Edward termenung cukup lama usai membaca pesan Irene, benar-benar bingung dan tak tahu harus mengambil keputusan apa."Sarapannya sudah siap, Ed. Ayo kesini," teriak Aluna dari arah dapur, sontak membuyarkan lamunan Edward."Oke, sebentar ...." Edward menanggapi sambil mengenakan pakaiannya. Mencoba melupakan Helena sejenak dan berusaha fokus pada Aluna.Tak lama berselang, Edward tiba di ruang makan, tampak beragam makanan yang sudah tersaji di atas meja."Wah, kamu jago masak ternyata. Kelihatannya makananmu enak-enak," ujar Edward, memuji usaha Aluna.Wajah Aluna pun memerah, jelas senang dengan pujian Edward."Silakan dicoba, Ed. Semoga kamu tidak kecewa," ujarnya.Edward tersenyum kecil mendengarnya, "Kenapa aku harus kecewa? Aku pikir makananmu terasa lezat.", kemudian dia menyantap makanan itu. Mulai dari daging hingga sayur sop bening.Namun, yang paling menggugah selera Edward adalah sambal buatan Aluna. Siapa sangka, wanita secantik dia sangat pandai membuat sambal."Ini ena
Pagi berikutnya.Edward dan Aluna terbangung dalam keadaan telanjang, mereka tampak masih lelah usai melakukan persetubuhan panas tadi malam.Aluna sendiri sangat menikmati hal tabu tersebut meski sudah pernah merasakannya. Dia pikir Edward terlalu perkasa sehingga berhasil membuatnya melalang buana berulang kali. Ini juga merupakan pengalaman baru bagi wanita dewasa itu.Entah berapa kali Aluna mendapatkan pelepasan tadi malam, pastinya sangat sering sampai dia tak bisa menghitungnya pakai jari lagi.“Uh ... aku sepertinya akan kesulitan berjalan,” ujar Aluna masih dengan mata mengantuk.Dia lalu menyentuh ranah kewanitaannya, dan ternyata masih ada sisa-sisa cairan di sana.“Aduh, aku langsung tidur semalam, aku tak sempat membersihkannya. Kira-kira Edward benci wanita kurang teliti seperti aku tidak ya?” Aluna tampak cemas, jelas takut akan hal tersebut.“Mana mungkin aku membencimu, jusru aku menyukai wanita seperti kamu,” sahut Edward, langsung membawa Aluna ke dalam pelukannya.
“Edward, apa kamu baik-baik saja?” tegur Aluna kala Edward semakin larut dalam lamunannya.Edward tidak langsung menanggapi, hanya mentapa wajah cantik Aluna dengan sayu. Dia tiba-tiba ragu untuk menuntaskan misi utama sistem harem dengan wanita itu.Aluna seketika menyadari sesuatu dari ekspresi Edward, namun dia tidak ingin berhenti di sini setelah memantapkan hatinya untuk Edward. Dengan berani, dia pun mendekati Edward sambil melepas pakaiannya secara perlahan.“Ini mungkin bukan yang pertama bagiku, tapi aku percaya kemampuanku bisa mengilangkan semua keraguanmu. Aku harap kamu tidak keberatan, supaya kita bisa lanjut ke tahap yang lebih serius,” ujar Aluna, kini sudah telanjang bulat di depan Edward. Dia sangat berharap Edward akan langsung menyerangnya setelah disuguhkan pemandangan indah semacam itu.Glup!Edward menelan salivanya, bersamaan dengan naiknya gairah yang secara perlaan. Tidak mau jadi orang munafi, dia memang sudah terangsang oleh Aluna saat ini.“Tolong lihat ak
Malam semakin larut, bahkan hampir mendekati pagi.“Maaf, urusan kakekku benar-benar merepotkan. Kamu jadi terlibat dalam hal-hal aneh yang selalu dirasakan kakekku selama ini,” ujar Aluna begitu tiba di depan pintu apartemennya, kemudian dia membuka pintu itu dan membiarkan Edward masuk.“Silakan masuk, Edward. Anggap saja tempat tinggal sendiri,” ujarnya.“Terima kasih, Aluna,” balas Edward, tersenyum tulus. Kakinya lalu melangkah ke dalam kamar apartemen itu.Wusssh!Aroma sangat wangi langsung menyambut Edward di sana, apalagi kamar ini terasa sangat feminim karena hampir seluruhnya didekorasi warna merah muda.“Apa kamu sangat menyukai warna pink?” tanya Edward, cukup penasran jadinya, tanpa sadar menoleh ke arah selangkangan Aluna, mengira di dalam sana juga isinya berwarna merah muda. “Tentu saja, bukankah warna ini penuh dengan romansa?” Aluna tersenyum cerah, sepertinya paham maksud tatapan Edward.“Begitu ya?” Edward lanjut berjalan memasuki kamar, melihat-lihat ke sekitar.
Edward melihat Peter dengan penuh kekhawatiran. "Kakek, apa yang harus kita lakukan sekarang? Bagaimana kita bisa melawan vampir?" tanyanya.Peter mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sendiri sebelum menjawab. “Pertama-tama, kita harus mencari tahu lebih banyak tentang vampir, terutama kelemahan dan cara melawan mereka,” ujarnya.Edward mengangguk, ia juga berusaha menenangkan dirinya sendiri. "Tapi dari mana kita bisa menemukan informasi itu? Apa ada di buku yang aku bawa?" tanyanya lagi.Peter mengingat-ingat sambil merenung sejenak. "Ada satu tempat di kota ini yang mungkin memiliki jawabannya. Perpustakaan kuno. Mereka memiliki koleksi buku langka dan mungkin ada yang berkaitan dengan vampir," jawabnya.“Perputakaan itu lagi?” Edward terkejut mendengarnya.“Ya, hanya di sana satu-satunya tempat yang bisa digunakan untuk melawan vampir.” Peter tampak yakin dan tegas.“Ayo bergerak sekarang, kita tak boleh membuang waktu,” ajaknya.Kemudian, kedua pria beda usia i
Edward dan Aluna tiba di rumah sakit jiwa setelah beberapa saat berkendara. Aluna tampak gugup dan khawatir, sedangkan Edward mencoba untuk tetap tenang dan bijaksana.Mereka lalu berjalan menuju ke ruangan tempat kakek Aluna dirawat, letaknya di lantai atas gedung tersebut.Setelah menunggu beberapa saat, kakek Aluna akhirnya muncul di depan mereka. Dia tampak lemah dan pucat, namun masih bisa tersenyum lembut pada cucunya.“Aluna, kamu pasti cucuku, Aluna, ‘kan?” Sapa kakek itu, sepertinya masih bisa mengenali Aluna.“Ya, kakek.” Aluna langsung memeluk kakeknya dengan erat.“Salam kenal, kakek. Aku Edward Lewis,” ucap Edward segera memperkenalkan dirinya dan memberikan salam hormat pada kakek Aluna.Kakek Aluna pun memperkenalkan dirinya sebagai Peter Everdeen, seorang ahli dalam dunia ilmu hitam dari keluarga Everdeen.‘Ahli ilmu hitam?’ Ulang Edward dalam benaknya, rasanya agak akrab dengan hal-hal semacam ini.“Hahaha! Aku suka ekspresimu, Edward. Kau sepertinya sudah pernah beru