Tyo memandangi Tenri tak berkedip, wanita di hadapannya itu semakin cantik dan anggun dengan gamis dan hijab yang dikenakannya.
“Bagaimana penampilan Tenri, Mas?” tanya Tenri di hari pertamanya berhijab.
“MasyaAllah, cantik sekali istriku … semoga istiqomah yaaa Sayang.” Tyo mengelus pipi istrinya dengan penuh kasih sayang. Tyo pun mengantarkan istrinya berangkat kerja, perjalanan menjadi mudah karena jalan menuju kantor mereka searah.
“Dek, kayaknya Mas gak bisa jemput pulang kantor nanti, gak apa yaa?” mata Tyo tertuju pada jalanan yang mulai padat.
“Iya, gak apa kok, Mas. Tenri kan juga sudah biasa pulang sendiri. Mas mau ke lokasi yaa?” tanya Tenri sambil bersiap turun, kantornya sudah mulai terlihat.
“Iya nih, jadi mungkin agak telat juga pulang ke rumah.” Sahut Tyo pelan. Dia menepikan mobil dan menerima cium tangan dari istrinya. Tenri turun dengan perasaan bahagia dan mulai berbalik menuju pintu kantornya setelah mobil suaminya tak terlihat lagi di ujung jalan.
“Cieee mobil baru dan penampilan baruuu….” Goda Asha teman kerja Tenri, mereka sama-sama sedang menunggu lift yang akan membawa mereka ke ruang kerja mereka.
“Betewe, ada bos baru lhoo hari ini, denger-denger anaknya pak direktur yang bakal gantikan bapaknya dalam waktu dekat ini. keluaran luar negeri.” Bisik Asha dengan penuh semangat.
“Iihh barang kali Sha keluaran luar negeri.” Tenri tertawa kecil mendengarnya.
Bunyi denting lift terbuka dan kedua perempuan itu masuk lalu tiba-tiba seorang laki-laki muda ikut masuk dengan tergesa dan hampir menabrak Tenri.
“Ouh … Maaf … Maaf Mba saya gak sengaja.” Refleks laki-laki itu menangkap lengan Tenri yang oleng karena kehilangan keseimbangan. Tenri hanya tersenyum canggung dan mundur selangkah memberi laki-laki itu ruang. Tenri merasa mengenal laki-laki yang baru saja masuk ke lift itu.
“Andi Tenri, bukan? Anak fakultas Ekonomi, Unhas?” laki-laki itu berbalik dan bertanya pada Tenri tiba-tiba. Tenri terkejut karena laki-laki muda itu mengenalinya, sekali lagi Tenri memindai mulai dari ujung kaki hingga ujung kepala sosok di depannya ini lalu dengan ekspresi terkejut dia berseru gembira.
“Kak Arsyl? masyaAllah … ini kak Arsyl toh? Lamanya baru ketemu ki’ lagi Kak. Eeh kerja juga di sini kah?” Tenri sangat senang bertemu dengan kakak seniornya dulu di kampus.
“Iya, ini hari pertama saya kerja, saya takut terlambat jadi buru-buru masuk lift. Kamu kerja di sini juga?” tanya Arsyl masih dengan tatapan yang sama lima tahun lalu kepada Tenri.
“Iye Kak, saya juga baru kerja di sini hampir sebulanan kalo tidak salah. Kakak kerja di bagian apa?”
Sesaat Arsyl seperti kebingungan hendak menjawab apa lalu dia mengalihkannya pada Asha dan bertanya tentang gadis yang dari tadi menyimak pertemuan mereka.
“Ini dengan Mba siapa? Saya Arsyl, seniornya Tenri dulu di kampus.” Arsyl mengulurkan tangannya untuk berkenalan dengan Asha.
“Nama saya Asha, Mas.” Jawab Asha dengan tatapan terpesona pada laki-laki yang tinggi tegap, berkulit sawo matang, alisnya tebal dan hidungnya mancung. Senyumnya bisa membuat hati Asha seperti coklat yang sedang meleleh. Rasanya Asha tidak mau melepaskan tangannya dari Arsyl pada jabat tangan singkat itu.
“Panggil Arsyl aja, atau Kak Arsyl saya bukan orang Jawa dipanggil Mas.” Sekali lagi senyum manis itu mengembang di bibir Arsyl yang sepertinya tidak terjamah nikotin.
“Iya, Kak Arsyl. Nanti siang kita makan bareng yaa?” tawar Asha tanpa sadar yang membuat Tenri menyikutnya.
“Eeh ma-maksud saya kita bertiga makan bareng, udah lama kan gak ketemu Tenri?” Asha tetap punya cara untuk membujuk Arsyl.
“Iya tentu saja saya bersedia, banyak hal yang ingin saya ketahui tentang Tenri. Lima tahun yaa Ri kita baru ketemu lagi?” pandangan Arsyl beralih pada Tenri lagi.
“Engh … iye Kak sepertinya memang sudah selama itu.” Tenri terkekeh dan masih merasa canggung karena perpisahan mereka lima tahun lalu membuat Arsyl patah hati.
Lift mengeluarkan suara denting lagi dan pintu lift pun terbuka di lantai kantor mereka. Asha dan Tenri masih berjalan beriringan menuju kubikel mereka dan Arsyl berbelok menuju ruang direktur.
“Saya ke sana dulu yaa, mau bertemu dengan pak Direktur.” Pamit Arsyl pada kedua perempuan itu. Asha melambaikan tangannya membalas lambaian tangan Arsyl yang ditujukan pada Tenri. Sementara Terryn hanya tersenyum dan masuk ke dalam kubikelnya.
“Ten, nemu di mana cowo cakep kek gitu? Yaa ampuuun kalo senyum bikin aku diabetes. Mintain nomer W* nya doong….” Pinta Asha dengan suara memelas.
“Duuh … Miss Gercep, kan udah dengar tadi kalo kami aja baru ketemu lagi setelah lima tahun, mana aku tahu nomer W*-nya kak Arsyl, Sha.” Terryn pun menyalakan komputernya dan Asha juga duduk di tempatnya persis di samping kubikel Terryn.
“Emang Arsyl itu asli Makassar juga yaa, senior kamu di Unhas ‘kan?” jomblo akut Asha yang sudah sepanjang tahun ini melekat membuat jiwa kepo Asha meronta-ronta melihat pria muda sebening Arsyl.
“Ayahnya memang asli Makassar teman dari pamanku, ibunya orang Sunda. Perpaduan tegas dan lembut yang unik.” Seulas senyum tertarik di bibir Tenri.
“Gimana ceritanya kalian pisah Ten?” lanjut Asha yang masih juga menggali informasi tentang Arsyl.
“Engh … saat itu kak Arsyl mendapat beasiswa kuliah di luar negeri, aku masih pertengahan kuliah saat itu, dia mau nikahin aku supaya bisa bawa istri ke negeri orang. Tapi aku menolak karena aku masih ingin kuliah.” Jawab Tenri yang membuat Asha terkejut dan mendorong kursinya mendekati Tenri. Tenri baru saja tersadar jika dia sudah keceplosan menceritakan masa lalunya pada Asha.
“Hah … Jadi Arsyl itu mantan kamu?!” seru Asha dengan mata membulat. Tenri segera menutup mulut Asha karena beberapa orang yang sudah tiba di kantor mendadak berbalik ke arah mereka karena suara Asha.
“Ssst … gak gitu juga. Udah aah udah lama juga. Aku juga belum tahu kak Arsyl itu sudah menikah atau belum saat ini. Mudah-mudahan siih sudah dan—“
“Eeeh mudah-mudahan belum dooong … Asha masih butuh kesempatan untuk memiliki seorang gebetan baru!” seru Asha sambil mengibaskan rambutnya.
Pukul delapan lewat disaat jam kantor sudah dimulai beberapa saat yang lalu, pak direktur pun keluar bersama Arsyl dan memberikan pengumuman penting.
“Selamat pagi semua. Saya ingin memperkenalkan putra sulung saya yang mulai hari ini menjabat sebagai wakil direktur. Arsyl Perdana Putra, dia baru saja kembali dari luar negeri, tolong bantu dia yaa dan semoga kalian bisa bekerja sama agar perusahaan kita lebih maju lagi nantinya.”
Asha semakin terkejut dengan pengumuman itu tapi tidak dengan Tenri dari awal dia sudah menduga jika putra pak direktur yang akan bekerja hari ini adalah Arsyl.
“Selamat datang yaa Pak Arsyl semoga betah di sini kalau ada apa-apa tanya aja ke saya jangan sungkan.” Vivi sekretaris pak direktur segera mendekat pada Arsyl dan menyalaminya. Tenri mengulum senyumnya karena Asha merasa punya saingan sekarang. Tapi satu hal yang diketahui Tenri, Arsyl masih mencuri pandang ke arahnya masih dengan sorot mata yang membuat Tenri merasa bersalah.
“Apa?! seratus juta? pacarmu minta uang seratus juta untuk uang apa itu namanya … Naik … uang panaik? Jangan harap Ibu mau keluarkan uang sebanyak itu untuk perempuan itu!” hardik ibu Dibyo dengan keras pada putranya Dimas Prasetyo.“Masalahnya keluarga Tenri masih menjunjung adat istiadat dalam keluarganya,Bu. Jadi Dimas harus menyerahkan uang pannaik seperti yang keluarganya sepakati.” terang Dimas pada ibunya.“Jangan harap Ibu mau menuruti keinginan keluarga perempuan itu, gak bakalan Ibu merestui kamu yaa Tyo, cari saja perempuan lain yang pantas untuk kita. Lagi pula kita tidak sesuku dengan mereka, pernikahan kok kayak jual beli.” Ibu Dibyo mendengkus sebal pada putranya bungsunya itu.“Tidak, Bu. Buk
Air mata Tenri berlinang ketika pernikahan mereka yang sangat sederhana itu telah disahkan oleh penghulu dan buku nikah mereka sudah dalam genggaman. Walaupun hanya sekedar akad nikah saja Tenri tetap mengenakan baju bodo, baju adat pernikahan khas Sulawesi Selatan. Mereka menikah di rumah kerabat jauh mereka di Jakarta dengan Ilham kakak kandung Tenri yang menjadi wali nikah gadis manis itu.Tenri menyalami tangan Tyo dengan perasaan takzim, tak menyangka harus nekat menempuh jalan silariang (kawin lari) agar dapat menjadi istrinya yang sah.Lamat terdengar suara gaduh di pekarangan rumah paman Tenri, Andi Baso yang dengan lapang dada menampung mereka selama silariang di kota ini.“Tega-tegamu Tenriiii … ko pakasiri ka’ (kau membuatku malu)!” telunjuk ibu Hasnah mengarah pada anak per
Tiga hari setelah pernikahan mereka, Tyo dan Tenri keluar dari rumah paman Tenri untuk mengontrak sebuah rumah kecil yang tak jauh dari kantor konsultan tempat Tyo bekerja. Semua dari nol, Tenri tak keberatan jika mereka memulainya hanya dengan selembar kasur tipis di lantai kamar tidur mereka. Seminggu setelah pindah Tyo pun membawa Tenri ke rumah ibunya di Solo untuk memperkenalkan istrinya pada ibu Dibyo, ibu kandung Tyo. Di sana juga ada dua kakak Tyo, Damar dan Wulan.Ketika Tyo hendak melamar Tenri hanya Damar saja yang bisa mewakili sebagai keluarga karena Wulan kakaknya yang tengah sedang hamil muda dan tidak bisa bepergian jauh. Namun, Tenri dan kedua kakak iparnya itu sudah saling mengenal dan keduanya bersikap baik dan ramah pada Tenri.Suasana rumah tampak sepi, di rumah itu memang hanya ibunya dan Damar serta istrinya yang tinggal di rumah tu
Tenri memandang kaca jendela kamar mereka yang basah karena tampias air hujan. Dia mendekap dirinya sendiri untuk menghangatkan tubuhnya hingga Tyo melihat itu hingga memeluknya dari arah belakang.“Jangan terlalu dipikirkan yaa Dek, ini sudah menjadi jalan kita berdua untuk memutuskan hidup bersama. Ini lag resiko yang harus kita hadapi. Kita hanya bisa berdoa pada Allah agar kelak kedua ibu kita mau membuka hati dan memberi kita restu. Oh ya , Mas masih menyimpan uang seratus juta itu. Apa kamu tidak ingin membeli perabot rumah atau apa gitu?” tanya Tyo dengan lembut di telinga Tenri.Tenri mengusap pipi suaminya, laki-laki yang dia percayakan seluruh diri dan kehidupannya padanya.“Mas simpan saja, untuk tabungan atau modal usaha. Tapi boleh gak kalau Tenri bekerja lagi, Mas?”
Tyo memandangi Tenri tak berkedip, wanita di hadapannya itu semakin cantik dan anggun dengan gamis dan hijab yang dikenakannya.“Bagaimana penampilan Tenri, Mas?” tanya Tenri di hari pertamanya berhijab.“MasyaAllah, cantik sekali istriku … semoga istiqomah yaaa Sayang.” Tyo mengelus pipi istrinya dengan penuh kasih sayang. Tyo pun mengantarkan istrinya berangkat kerja, perjalanan menjadi mudah karena jalan menuju kantor mereka searah.“Dek, kayaknya Mas gak bisa jemput pulang kantor nanti, gak apa yaa?” mata Tyo tertuju pada jalanan yang mulai padat.“Iya, gak apa kok, Mas. Tenri kan juga sudah biasa pulang sendiri. Mas mau ke lokasi yaa?” tanya Tenri sambil bersiap turun, kantornya sudah mulai terlihat.
Tenri memandang kaca jendela kamar mereka yang basah karena tampias air hujan. Dia mendekap dirinya sendiri untuk menghangatkan tubuhnya hingga Tyo melihat itu hingga memeluknya dari arah belakang.“Jangan terlalu dipikirkan yaa Dek, ini sudah menjadi jalan kita berdua untuk memutuskan hidup bersama. Ini lag resiko yang harus kita hadapi. Kita hanya bisa berdoa pada Allah agar kelak kedua ibu kita mau membuka hati dan memberi kita restu. Oh ya , Mas masih menyimpan uang seratus juta itu. Apa kamu tidak ingin membeli perabot rumah atau apa gitu?” tanya Tyo dengan lembut di telinga Tenri.Tenri mengusap pipi suaminya, laki-laki yang dia percayakan seluruh diri dan kehidupannya padanya.“Mas simpan saja, untuk tabungan atau modal usaha. Tapi boleh gak kalau Tenri bekerja lagi, Mas?”
Tiga hari setelah pernikahan mereka, Tyo dan Tenri keluar dari rumah paman Tenri untuk mengontrak sebuah rumah kecil yang tak jauh dari kantor konsultan tempat Tyo bekerja. Semua dari nol, Tenri tak keberatan jika mereka memulainya hanya dengan selembar kasur tipis di lantai kamar tidur mereka. Seminggu setelah pindah Tyo pun membawa Tenri ke rumah ibunya di Solo untuk memperkenalkan istrinya pada ibu Dibyo, ibu kandung Tyo. Di sana juga ada dua kakak Tyo, Damar dan Wulan.Ketika Tyo hendak melamar Tenri hanya Damar saja yang bisa mewakili sebagai keluarga karena Wulan kakaknya yang tengah sedang hamil muda dan tidak bisa bepergian jauh. Namun, Tenri dan kedua kakak iparnya itu sudah saling mengenal dan keduanya bersikap baik dan ramah pada Tenri.Suasana rumah tampak sepi, di rumah itu memang hanya ibunya dan Damar serta istrinya yang tinggal di rumah tu
Air mata Tenri berlinang ketika pernikahan mereka yang sangat sederhana itu telah disahkan oleh penghulu dan buku nikah mereka sudah dalam genggaman. Walaupun hanya sekedar akad nikah saja Tenri tetap mengenakan baju bodo, baju adat pernikahan khas Sulawesi Selatan. Mereka menikah di rumah kerabat jauh mereka di Jakarta dengan Ilham kakak kandung Tenri yang menjadi wali nikah gadis manis itu.Tenri menyalami tangan Tyo dengan perasaan takzim, tak menyangka harus nekat menempuh jalan silariang (kawin lari) agar dapat menjadi istrinya yang sah.Lamat terdengar suara gaduh di pekarangan rumah paman Tenri, Andi Baso yang dengan lapang dada menampung mereka selama silariang di kota ini.“Tega-tegamu Tenriiii … ko pakasiri ka’ (kau membuatku malu)!” telunjuk ibu Hasnah mengarah pada anak per
“Apa?! seratus juta? pacarmu minta uang seratus juta untuk uang apa itu namanya … Naik … uang panaik? Jangan harap Ibu mau keluarkan uang sebanyak itu untuk perempuan itu!” hardik ibu Dibyo dengan keras pada putranya Dimas Prasetyo.“Masalahnya keluarga Tenri masih menjunjung adat istiadat dalam keluarganya,Bu. Jadi Dimas harus menyerahkan uang pannaik seperti yang keluarganya sepakati.” terang Dimas pada ibunya.“Jangan harap Ibu mau menuruti keinginan keluarga perempuan itu, gak bakalan Ibu merestui kamu yaa Tyo, cari saja perempuan lain yang pantas untuk kita. Lagi pula kita tidak sesuku dengan mereka, pernikahan kok kayak jual beli.” Ibu Dibyo mendengkus sebal pada putranya bungsunya itu.“Tidak, Bu. Buk