Tiga hari setelah pernikahan mereka, Tyo dan Tenri keluar dari rumah paman Tenri untuk mengontrak sebuah rumah kecil yang tak jauh dari kantor konsultan tempat Tyo bekerja. Semua dari nol, Tenri tak keberatan jika mereka memulainya hanya dengan selembar kasur tipis di lantai kamar tidur mereka. Seminggu setelah pindah Tyo pun membawa Tenri ke rumah ibunya di Solo untuk memperkenalkan istrinya pada ibu Dibyo, ibu kandung Tyo. Di sana juga ada dua kakak Tyo, Damar dan Wulan.
Ketika Tyo hendak melamar Tenri hanya Damar saja yang bisa mewakili sebagai keluarga karena Wulan kakaknya yang tengah sedang hamil muda dan tidak bisa bepergian jauh. Namun, Tenri dan kedua kakak iparnya itu sudah saling mengenal dan keduanya bersikap baik dan ramah pada Tenri.
Suasana rumah tampak sepi, di rumah itu memang hanya ibunya dan Damar serta istrinya yang tinggal di rumah tua itu. sementara Wulan tinggal beserta suaminya di rumah milik mereka sendiri. Tenri melangkah ragu-ragu saat masuk ke pekarangan rumah yang luas dan asri itu. Berbagai tanaman hias tumbuh dan terawat dengan sangat baik.
“Assalamualaikum, Bu.” Tyo memandang punggung ibunya yang sedang menyemprot tanaman yang tergantung di teras rumah mereka. Ibu Dibyo menghentikan kegiatannya dan tersenyum lebar mendengar anak bungsunya pulang. Perempuan paruh baya itu berbalik dan seketika senyumnya hilang begitu saja melihat sosok perempuan muda yang berdiri di samping puteranya itu.
“Waalaikumsalam, masuklah.” Sikap ibu Dibyo sangat dingin sudut matanya melirik ke arah Tenri tanpa keramahan untuk menantunya.
“Ibu, perkenalkan ini Tenri, Andi Tenri Bungauleng, istri Tyo.” Ucap Tyo dengan penuh harap jika ibunya mau menerima kehadiran Tenri sebagai istrinya. Tenri mengulurkan tangannya untuk menyalami ibu mertuanya tapi ibu Dibyo hanya melihat tangan Tenri itu tanpa berniat membalas uluran tangan menantunya. Dia malah menarik lengan anaknya ke arah kamar tidurnya.
“Ibu mau bicara sama kamu, ayo ikut Ibu!” ibu Dibyo dengan setengah menyeret Tyo masuk ke kamarnya dan menutup pintu dengan keras. Meski pintu tertutup rapat suara ibu Dibyo masih terdengar jelas tertangkap pendengaran Tenri.
“Kamu tetap menikahi gadis itu hah? Ibu pikir setelah kamu dipersulit oleh ibu dari gadis itu kamu akan pulang dan menerima perjodohanmu dengan Sekar. Apa-apaan ini? justru kamu bawa dia sebagai istri! Kurang apa sih Sekar di mata kamu,Tyo. Sekar itu jelas bibit, bobot dan bebetnya, cantik, berpendidikan tinggi dan dari keluarga ningrat!” seru ibu Dibyo berapi-api. Di luar kamar Tenri hanya dapat tertunduk dan menggigit bibirnya. Sudah jelas tampak penolakan dari ibu mertuanya atas dirinya.
“Tyo cinta sama Tenri, Bu. Tyo rela melakukan apa saja agar bisa menikah dia, kami saling mencintai. Dia juga gadis bangsawan di keluarganya, tolong, Bu … restui kami.” Pinta Tyo dengan suara memelas.
“Kau sudah mengecewakan Ibu, Tyo. Kenapa sih kamu gak bisa seperti mas dan mbakmu itu yang nurut dijodohin? Dari dulu kamu memang pembangkang, keras kepala. Sekarang kamu bertindak semaunya, sudah dipelet kamu ya?!” dengan berkacak pinggang dan mata yang membesar ibu Dibyo menyemburkan kemarahannya.
“Astaghfirullah … Ibu ngomong apa sih? Hati-hati kalau ngomong, Bu, jangan sembarangan begitu.”
“Jangan pernah harap restu dariku, anakku bukan cuma kau saja seorang Dimas Prasetyo! Kau sudah mengecewakanku karena menolak Sekar dan membawa perempuan asing masuk ke dalam keluarga kita. Sekarang kau pergi dengan perempuan pilihanmu itu, Ibu tidak sudi melihat kalian bersama!” telunjuk ibu Dibyo mengarah pada pintu kamarnya.
“Baik, Tyo akan pergi,Bu. Ampuni Tyo yang sudah membuat Ibu kecewa. Tyo akan pergi bersama istri Tyo. Ibu jaga kesehatan baik-baik. Tyo pamit.” Air mata Tyo menitik dia tidak menyangka jika ibunya akan berbuat sejauh itu pada dirinya.
Pintu kamar yang di pandangi Tenri sedari tadi sudah terbuka. Langkah gontai tyo yang berjalan ke arahnya telah menjawab jika tidak ada restu dari ibunya untuk mereka.
“Ayo kita kembali ke Jakarta hari ini juga. Kita akan mulai semuanya berdua saja, pasti kelak ada jalan untuk doa dan restu dari kedua ibu kita.” Tyo merangkul bahu istrinya. Mata Tenri berkabut, kakinya seakan berat tak bergerak saat Tyo memintanya ikut bersamanya.
“Tapi Mas, kita belum dapat restu dari ibu, aku belum bersalaman dengan ibu, Mas.” Suara Tenri bergetar dan masih menatap pintu kamar ibu mertuanya.
“Ayo Tenri, tidak apa-apa, ayo kita pulang sekarang, Sayang. kita pulang … ayo Tenri.” Bisik Tyo dengan lirih, pipinya sudah basah akan air matanya.
“Ta-tapi Mas ….” Tenri mulai terisak, ditolak oleh kedua ibu mereka seakan separuh nyawa mereka terlepas. Mereka tahu ini adalah resiko dari pernikahan mereka tapi mereka tidak menyangka jika rasanya akan sesakit ini.
“Ayo, kita tidak punya tempat di sini. Kita punya tempat kita sendiri tapi tidak di sini.” Tyo kembali merengkuh bahu Tenri dan sedikit memaksa perempuan muda itu untuk mengikuti langkahnya.
“Maafkan Tenri, Bu. Maafkan Tenri….” Hanya kalimat itu yang berulang kali diucapkan Tenri dengan deraian air matanya.
“Ayo Sayang, tidak apa-apa, ayo kita pergi dari sini secepatnya.” Pinta Tyo dengan raut penuh duka.
“Tyo? Tenri?” seorang perempuan muda dengan perut agak besar tiba-tiba datang menyapa mereka.
“Mba Wulan, ibu … Mba.” Tyo tidak melanjutkan kata-katanya, dia hanya mengambil kakaknya dan menyalami punggung tangan perempuan itu.
“Tyo dan Tenri akan kembali ke Jakarta, ibu tidak mau menerima kami di sini meski hanya sebentar saja. Tolong jaga ibu yaa Mba, sampaikan salam Tyo ke mas Damar.”
“Beri ibu waktu yaa Tyo, Tenri, ibu sifatnya memang keras dan tidak mau dibantah. Suatu saat nanti pasti ibu akan luluh juga. Dia hanya belum menyadari jika dia memiliki seorang menantu perempuan lagi yang cantik dan baik ini.” Wulan mengelus lengan Tenri kemudian merengkuhnya ke dalam pelukan yang hangat.
“Jaga adikku yaa Tenri, dia adalah anak kesayangan ibu, ibu hanya belum siap melihat putranya bersanding dengan perempuan yang belum ibu kenali dengan baik. Mba percaya suatu hari nanti ibu akan menerimamu dengan suka cita.” Wulan mengusap punggung Tenri dengan lembut dan penuh kasih. Tenri hanya dapat mengangguk paling tidak dia memiliki harapan atas kebaikan kakak iparnya ini.
Wulan mengusap air matanya, dipandanginya Tyo dan Tenri yang berjalan keluar menuju pagar saling bergandeng tangan.
“Semoga kalian berbahagia, semoga cinta kalian akan sampai di surga. Aku dan mas Damar sudah cukup mengorbankan perasaan dan cita-cita kami untuk memenuhi keinginan ibu. Berbahagialah dengan pilihanmu Tyo.” Wulan mengelus perutnya andai saja ibunya tahu jika laki-laki pilihannya itu tak sebaik yang terlihat di matanya. Wulan hanya bisa pasrah menerima nasibnya yang dijodohkan dengan laki-laki yang hanya di awalnya saja baik tetapi di depan siapa saja suami Wulan ibarat laki-laki dan suami yang sempurna.
Tenri memandang kaca jendela kamar mereka yang basah karena tampias air hujan. Dia mendekap dirinya sendiri untuk menghangatkan tubuhnya hingga Tyo melihat itu hingga memeluknya dari arah belakang.“Jangan terlalu dipikirkan yaa Dek, ini sudah menjadi jalan kita berdua untuk memutuskan hidup bersama. Ini lag resiko yang harus kita hadapi. Kita hanya bisa berdoa pada Allah agar kelak kedua ibu kita mau membuka hati dan memberi kita restu. Oh ya , Mas masih menyimpan uang seratus juta itu. Apa kamu tidak ingin membeli perabot rumah atau apa gitu?” tanya Tyo dengan lembut di telinga Tenri.Tenri mengusap pipi suaminya, laki-laki yang dia percayakan seluruh diri dan kehidupannya padanya.“Mas simpan saja, untuk tabungan atau modal usaha. Tapi boleh gak kalau Tenri bekerja lagi, Mas?”
Tyo memandangi Tenri tak berkedip, wanita di hadapannya itu semakin cantik dan anggun dengan gamis dan hijab yang dikenakannya.“Bagaimana penampilan Tenri, Mas?” tanya Tenri di hari pertamanya berhijab.“MasyaAllah, cantik sekali istriku … semoga istiqomah yaaa Sayang.” Tyo mengelus pipi istrinya dengan penuh kasih sayang. Tyo pun mengantarkan istrinya berangkat kerja, perjalanan menjadi mudah karena jalan menuju kantor mereka searah.“Dek, kayaknya Mas gak bisa jemput pulang kantor nanti, gak apa yaa?” mata Tyo tertuju pada jalanan yang mulai padat.“Iya, gak apa kok, Mas. Tenri kan juga sudah biasa pulang sendiri. Mas mau ke lokasi yaa?” tanya Tenri sambil bersiap turun, kantornya sudah mulai terlihat.
“Apa?! seratus juta? pacarmu minta uang seratus juta untuk uang apa itu namanya … Naik … uang panaik? Jangan harap Ibu mau keluarkan uang sebanyak itu untuk perempuan itu!” hardik ibu Dibyo dengan keras pada putranya Dimas Prasetyo.“Masalahnya keluarga Tenri masih menjunjung adat istiadat dalam keluarganya,Bu. Jadi Dimas harus menyerahkan uang pannaik seperti yang keluarganya sepakati.” terang Dimas pada ibunya.“Jangan harap Ibu mau menuruti keinginan keluarga perempuan itu, gak bakalan Ibu merestui kamu yaa Tyo, cari saja perempuan lain yang pantas untuk kita. Lagi pula kita tidak sesuku dengan mereka, pernikahan kok kayak jual beli.” Ibu Dibyo mendengkus sebal pada putranya bungsunya itu.“Tidak, Bu. Buk
Air mata Tenri berlinang ketika pernikahan mereka yang sangat sederhana itu telah disahkan oleh penghulu dan buku nikah mereka sudah dalam genggaman. Walaupun hanya sekedar akad nikah saja Tenri tetap mengenakan baju bodo, baju adat pernikahan khas Sulawesi Selatan. Mereka menikah di rumah kerabat jauh mereka di Jakarta dengan Ilham kakak kandung Tenri yang menjadi wali nikah gadis manis itu.Tenri menyalami tangan Tyo dengan perasaan takzim, tak menyangka harus nekat menempuh jalan silariang (kawin lari) agar dapat menjadi istrinya yang sah.Lamat terdengar suara gaduh di pekarangan rumah paman Tenri, Andi Baso yang dengan lapang dada menampung mereka selama silariang di kota ini.“Tega-tegamu Tenriiii … ko pakasiri ka’ (kau membuatku malu)!” telunjuk ibu Hasnah mengarah pada anak per
Tyo memandangi Tenri tak berkedip, wanita di hadapannya itu semakin cantik dan anggun dengan gamis dan hijab yang dikenakannya.“Bagaimana penampilan Tenri, Mas?” tanya Tenri di hari pertamanya berhijab.“MasyaAllah, cantik sekali istriku … semoga istiqomah yaaa Sayang.” Tyo mengelus pipi istrinya dengan penuh kasih sayang. Tyo pun mengantarkan istrinya berangkat kerja, perjalanan menjadi mudah karena jalan menuju kantor mereka searah.“Dek, kayaknya Mas gak bisa jemput pulang kantor nanti, gak apa yaa?” mata Tyo tertuju pada jalanan yang mulai padat.“Iya, gak apa kok, Mas. Tenri kan juga sudah biasa pulang sendiri. Mas mau ke lokasi yaa?” tanya Tenri sambil bersiap turun, kantornya sudah mulai terlihat.
Tenri memandang kaca jendela kamar mereka yang basah karena tampias air hujan. Dia mendekap dirinya sendiri untuk menghangatkan tubuhnya hingga Tyo melihat itu hingga memeluknya dari arah belakang.“Jangan terlalu dipikirkan yaa Dek, ini sudah menjadi jalan kita berdua untuk memutuskan hidup bersama. Ini lag resiko yang harus kita hadapi. Kita hanya bisa berdoa pada Allah agar kelak kedua ibu kita mau membuka hati dan memberi kita restu. Oh ya , Mas masih menyimpan uang seratus juta itu. Apa kamu tidak ingin membeli perabot rumah atau apa gitu?” tanya Tyo dengan lembut di telinga Tenri.Tenri mengusap pipi suaminya, laki-laki yang dia percayakan seluruh diri dan kehidupannya padanya.“Mas simpan saja, untuk tabungan atau modal usaha. Tapi boleh gak kalau Tenri bekerja lagi, Mas?”
Tiga hari setelah pernikahan mereka, Tyo dan Tenri keluar dari rumah paman Tenri untuk mengontrak sebuah rumah kecil yang tak jauh dari kantor konsultan tempat Tyo bekerja. Semua dari nol, Tenri tak keberatan jika mereka memulainya hanya dengan selembar kasur tipis di lantai kamar tidur mereka. Seminggu setelah pindah Tyo pun membawa Tenri ke rumah ibunya di Solo untuk memperkenalkan istrinya pada ibu Dibyo, ibu kandung Tyo. Di sana juga ada dua kakak Tyo, Damar dan Wulan.Ketika Tyo hendak melamar Tenri hanya Damar saja yang bisa mewakili sebagai keluarga karena Wulan kakaknya yang tengah sedang hamil muda dan tidak bisa bepergian jauh. Namun, Tenri dan kedua kakak iparnya itu sudah saling mengenal dan keduanya bersikap baik dan ramah pada Tenri.Suasana rumah tampak sepi, di rumah itu memang hanya ibunya dan Damar serta istrinya yang tinggal di rumah tu
Air mata Tenri berlinang ketika pernikahan mereka yang sangat sederhana itu telah disahkan oleh penghulu dan buku nikah mereka sudah dalam genggaman. Walaupun hanya sekedar akad nikah saja Tenri tetap mengenakan baju bodo, baju adat pernikahan khas Sulawesi Selatan. Mereka menikah di rumah kerabat jauh mereka di Jakarta dengan Ilham kakak kandung Tenri yang menjadi wali nikah gadis manis itu.Tenri menyalami tangan Tyo dengan perasaan takzim, tak menyangka harus nekat menempuh jalan silariang (kawin lari) agar dapat menjadi istrinya yang sah.Lamat terdengar suara gaduh di pekarangan rumah paman Tenri, Andi Baso yang dengan lapang dada menampung mereka selama silariang di kota ini.“Tega-tegamu Tenriiii … ko pakasiri ka’ (kau membuatku malu)!” telunjuk ibu Hasnah mengarah pada anak per
“Apa?! seratus juta? pacarmu minta uang seratus juta untuk uang apa itu namanya … Naik … uang panaik? Jangan harap Ibu mau keluarkan uang sebanyak itu untuk perempuan itu!” hardik ibu Dibyo dengan keras pada putranya Dimas Prasetyo.“Masalahnya keluarga Tenri masih menjunjung adat istiadat dalam keluarganya,Bu. Jadi Dimas harus menyerahkan uang pannaik seperti yang keluarganya sepakati.” terang Dimas pada ibunya.“Jangan harap Ibu mau menuruti keinginan keluarga perempuan itu, gak bakalan Ibu merestui kamu yaa Tyo, cari saja perempuan lain yang pantas untuk kita. Lagi pula kita tidak sesuku dengan mereka, pernikahan kok kayak jual beli.” Ibu Dibyo mendengkus sebal pada putranya bungsunya itu.“Tidak, Bu. Buk