Tenri memandang kaca jendela kamar mereka yang basah karena tampias air hujan. Dia mendekap dirinya sendiri untuk menghangatkan tubuhnya hingga Tyo melihat itu hingga memeluknya dari arah belakang.
“Jangan terlalu dipikirkan yaa Dek, ini sudah menjadi jalan kita berdua untuk memutuskan hidup bersama. Ini lag resiko yang harus kita hadapi. Kita hanya bisa berdoa pada Allah agar kelak kedua ibu kita mau membuka hati dan memberi kita restu. Oh ya , Mas masih menyimpan uang seratus juta itu. Apa kamu tidak ingin membeli perabot rumah atau apa gitu?” tanya Tyo dengan lembut di telinga Tenri.
Tenri mengusap pipi suaminya, laki-laki yang dia percayakan seluruh diri dan kehidupannya padanya.
“Mas simpan saja, untuk tabungan atau modal usaha. Tapi boleh gak kalau Tenri bekerja lagi, Mas?”
“Baiklah, jika kamu ingin bekerja lagi tapi ingat, Mas bisa cemburu lhoo kalau kamu akhirnya nanti lebih sibuk bekerja daripada memperhatikan Mas.” Tyo meletakkan dagunya di bahu Tenri sambil mempererat pelukannya.
“Iya, Tenri janji tidak akan mengabaikan tugas Tenri sebagai istri mas Tyo. Terima kasih banyak yaa Mas, terima kasih sudah mengijinkan Tenri kembali bekerja.”
“Apa siih yang tidak untuk bidadari surgaku?” bisik Tyo yang kemudian perutnya disikut pelan oleh Tenri.
“Apaan siih … Mas.” Pipi Tenri merona, diam-diam dalam hatinya terangkai sebuah doa agar rumah tangga yang dibinanya bersama Tyo bisa menjadi keluarga yang tenang, tentram dan damai serta memiliki penerus yang salih dan salihah.
“Hayooo … kenapa diam, lagi mikirin apa?” tanya Tyo lagi dengan nada menggoda istrinya.
“Tidak, tidak ada apa-apa.” jawab Tenri sambil tersenyum.
“Tidak ji … betulan kah?” goda Tyo lagi sambil menirukan dialek daerah yang sering digunakan istrinya. Tenri tertawa mendengar ucapan suaminya yang terdengar kaku di lidah Tyo.
“Kita cari makan di luar atau mau masak sendiri aja?” tawar Tyo pada Tenri, dia tahu jika Tenri bisa masak tapi setelah kejadian di Solo dia melihat Tenri tidak sedang bersemangat di dapur.
“Kita belanja aja yaa Mas? Tenri mau buat mie T**i, enak di cuaca seperti ini. Tyo membayangkan mie kuning yang digoreng garing lalu disiram kuah kental dengan isian sayur serta potongan bakso dan suwiran ayam.
“Hmmm … yuup baiklah, Mas pernah makan itu waktu di Makassar, buatan kamu pasti lebih enak.”
“Jelas mi itu Boss!” seru Tenri dengan dialek bugisnya. Keduanya tertawa dan menunggu hujan reda untuk berbelanja bersama.
Hari ini tepat sebulan Tenri bekerja, sebelumnya di Makassar Tenri sempat bekerja di salah satu bank swasta dan resign karena hendak dilamar Tyo. Kini setelah menikah atas bantuan pamannya Andi Baso, Tenri bisa mendapat pekerjaan sebagai akuntan di salah satu perusahaan dagang milik sahabat pamannya itu. Tyo sendiri semakin cemerlang karirnya di perusahaan konsultan dan konstruksi yang besar di ibukota. Semua berjalan dengan sempurna dan bahagia.
Sesekali Tenri menelpon kakaknya untuk menanyakan kabar ibunya, Tyo juga melakukan hal yang sama menelpon saudara-saudaranya untuk menanyakan kabar ibu. Seperti siang ini di jam istirahat kantor Tenri menelpon Ilham lagi.
“Bagaimana mi keadaan mamak, Kak? Ku dengar sakit katanya mamak di sana. Sakit apa kah?” tanya Tenri usai menyantap makan siangnya.
“Biasa ji Dek, kolesterolnya kambuh, ada Daeng Amri datang bawakan ki kepiting sama udang dari laut baru mamak banyak sekali na makan kayaknya itu. kau yaa, bagaimana mi kamu sama Tyo, kerja kamu katanya na bilang puang Baso ? na ijinkan ji suamimu kerja?”
“Iye Kak, tidak bakalan ji ka’ juga kerja kalau tidak dikasih ijin sama mas Tyo, untungnya pekerjaan di sini tidak terlalu berat ji jadi sore itu bisa ji ka’ pulang cepat.”
“Baek-baek kamu sama Tyo nah … kalau ada apa-apa bilang sama suamimu, kalau dulu waktumu gadis ridho Allah ada sama orang tuamu sekarang pindah mi ke suamimu. Baek-baek kamu orang dua di sana naah.”
“Iye, kak. Jadi bagaimana mi dengan kak Leyla? Tenri kira mau ki naik melamar juga?”
“Tidak jadi Dek, kau tau mi bagaimana mamak toh? Mau ka kasih kawin sama Asri anaknya puang Welong. Biarmi ku turuti saja maunya mamak kali ini, yang penting mamak senang ki. Eeh sudah mi dulu naah, ada meetingku siang ini. salamku sama suamimu. Assalamualaikum.”
“Iye, Kak. Waalaikumsalam.” Tenri menatap layar ponselnya. Matanya berkabut, kak Ilham mengalah untuk dijodohkan dengan kerabatnya yang lain setelah dia melakukan silariang (kawin lari) dengan Tyo.
‘Maafkan Tenri kak Ilham, gara-gara saya tidak jadi ki menikah dengan kak Leyla.’ Batin Tenri sambil menyeka sudut matanya.
Pekerjaan Tenri menginput data dan pembukuan telah selesai sebelum senja. Dia merasa senang karena bisa pulang lebih awal dan memasak untuk suaminya. Dipilihnya menu ikan bandeng pallu mara khas Sulawesi Selatan dan tumis kangkung pedas kesukaan mereka berdua. Biasanya Tyo pulang setelah magrib dan semua makanan sudah tersaji di meja.
Raungan mobil masuk ke pekarangan rumah kontrakannya, Tenri mengernyitkan dahi karena mereka berdua belum punya mobil. Tenri mengira ada tamu hingga terdengar Tyo memberi salam.
“Assalamualaikum, kejutaaaan …!” seru Tyo sambil merentangkan tangannya dibarengi senyum yang lebar.
“Waalaikumsalam, kejutan apa Mas?” Tenri melongo ke arah garasi samping rumah mereka setelah mengambil tangan suaminya dan mencium punggung tangan Tyo. Tyo merengkuh istrinya sambil tertawa-tawa.
“Bener yaa kata orang, menikah itu membuka jalan rejeki jadi lebih lebar. Ini mobil kantor, aku mendapat kenaikan jabatan sebagai kepala divisi. Jadi mereka memberi fasilitas agar aku bisa lebih mudah mobile meninjau lokasi proyek.”
“Syukur Alhamdulillah, Mas. Ingat yaa amanah orang ada di tangan Mas, tanggung jawab Mas sekarang lebih berat, hati-hati dalam melangkah dan mengambil keputusan.” Tenri memeluk pinggang suaminya sambil menatap mobil mini bus berwarna hitam itu.
“Kamu masak kah Dek? Mas udah laaaaapaaarrr….” Tyo mengusap-usap bahu istrinya dengan gemas.
“Mas mandi aja dulu, Tenri dinginkan nasinya buat Mas.” Tenri mengikuti suaminya masuk ke kamar dan membantu membuka dasi suaminya lelu menyodorkannya handuk. Tyo mengambilnya sambil mengucapkan terima kasih. Satu lagi kesyukuran Tenri, Tyo bukan tipe suami yang meletakkan handuk basah di atas kasur.
Dengan lahap Tyo menyantap masakan Tenri sambil sesekali memuji rasa masakannya yang lezat.
“Oh ya Mas, bentar lagi puasa nih, ini puasa pertama kita. Tenri ada satu niatan dan mudah-mudahan Mas menginjinkan.”
Tyo menyeka mulutnya setelah meminum air pemberian Tenri.
“Kamu mau apa, Sayang?” tanya Tyo dengan lembut sambil menatap istrinya yang tengah ragu hendak mengatakan sesuatu.
“Tenri, mau pakai hijab Mas. Mas setuju ‘kan?”
“Alhamdulillah … Mas dukung niat baik kamu Dek, akhir pekan nanti Mas akan temani kamu berbelanja kebutuhan kamu, pokoknya sampai seisi toko pun Mas gak akan keberatan.” Tyo memasang senyumnya yang lebar dan mata yang berbinar. Siapa yang tidak menginginkan istri yang shalihah ? pikir Tyo.
“Dan uang seratus juta itu Mas … Tenri—“
“Uang itu adalah mahar Mas untuk kamu, kamu berhak penuh dan bebas menggunakannya karena itu milik kamu. Soal nafkah lahir dan batin kamu biar Mas yang penuhi, kamu bilang saja butuh apa saja insyaAllah Mas akan usahakan semampu Mas. Tapi jangan lupa doakan aku juga yaa, Sayang.” kalimat terakhir itu diucapkan Tyo dengan sangat lembut. Sejuk hati Tenri mendengar semua kata-kata Tyo, siapa yang tidak bersyukur memiliki suami seperti Dimas prasetyo? pikir Tenri.
Tyo memandangi Tenri tak berkedip, wanita di hadapannya itu semakin cantik dan anggun dengan gamis dan hijab yang dikenakannya.“Bagaimana penampilan Tenri, Mas?” tanya Tenri di hari pertamanya berhijab.“MasyaAllah, cantik sekali istriku … semoga istiqomah yaaa Sayang.” Tyo mengelus pipi istrinya dengan penuh kasih sayang. Tyo pun mengantarkan istrinya berangkat kerja, perjalanan menjadi mudah karena jalan menuju kantor mereka searah.“Dek, kayaknya Mas gak bisa jemput pulang kantor nanti, gak apa yaa?” mata Tyo tertuju pada jalanan yang mulai padat.“Iya, gak apa kok, Mas. Tenri kan juga sudah biasa pulang sendiri. Mas mau ke lokasi yaa?” tanya Tenri sambil bersiap turun, kantornya sudah mulai terlihat.
“Apa?! seratus juta? pacarmu minta uang seratus juta untuk uang apa itu namanya … Naik … uang panaik? Jangan harap Ibu mau keluarkan uang sebanyak itu untuk perempuan itu!” hardik ibu Dibyo dengan keras pada putranya Dimas Prasetyo.“Masalahnya keluarga Tenri masih menjunjung adat istiadat dalam keluarganya,Bu. Jadi Dimas harus menyerahkan uang pannaik seperti yang keluarganya sepakati.” terang Dimas pada ibunya.“Jangan harap Ibu mau menuruti keinginan keluarga perempuan itu, gak bakalan Ibu merestui kamu yaa Tyo, cari saja perempuan lain yang pantas untuk kita. Lagi pula kita tidak sesuku dengan mereka, pernikahan kok kayak jual beli.” Ibu Dibyo mendengkus sebal pada putranya bungsunya itu.“Tidak, Bu. Buk
Air mata Tenri berlinang ketika pernikahan mereka yang sangat sederhana itu telah disahkan oleh penghulu dan buku nikah mereka sudah dalam genggaman. Walaupun hanya sekedar akad nikah saja Tenri tetap mengenakan baju bodo, baju adat pernikahan khas Sulawesi Selatan. Mereka menikah di rumah kerabat jauh mereka di Jakarta dengan Ilham kakak kandung Tenri yang menjadi wali nikah gadis manis itu.Tenri menyalami tangan Tyo dengan perasaan takzim, tak menyangka harus nekat menempuh jalan silariang (kawin lari) agar dapat menjadi istrinya yang sah.Lamat terdengar suara gaduh di pekarangan rumah paman Tenri, Andi Baso yang dengan lapang dada menampung mereka selama silariang di kota ini.“Tega-tegamu Tenriiii … ko pakasiri ka’ (kau membuatku malu)!” telunjuk ibu Hasnah mengarah pada anak per
Tiga hari setelah pernikahan mereka, Tyo dan Tenri keluar dari rumah paman Tenri untuk mengontrak sebuah rumah kecil yang tak jauh dari kantor konsultan tempat Tyo bekerja. Semua dari nol, Tenri tak keberatan jika mereka memulainya hanya dengan selembar kasur tipis di lantai kamar tidur mereka. Seminggu setelah pindah Tyo pun membawa Tenri ke rumah ibunya di Solo untuk memperkenalkan istrinya pada ibu Dibyo, ibu kandung Tyo. Di sana juga ada dua kakak Tyo, Damar dan Wulan.Ketika Tyo hendak melamar Tenri hanya Damar saja yang bisa mewakili sebagai keluarga karena Wulan kakaknya yang tengah sedang hamil muda dan tidak bisa bepergian jauh. Namun, Tenri dan kedua kakak iparnya itu sudah saling mengenal dan keduanya bersikap baik dan ramah pada Tenri.Suasana rumah tampak sepi, di rumah itu memang hanya ibunya dan Damar serta istrinya yang tinggal di rumah tu
Tyo memandangi Tenri tak berkedip, wanita di hadapannya itu semakin cantik dan anggun dengan gamis dan hijab yang dikenakannya.“Bagaimana penampilan Tenri, Mas?” tanya Tenri di hari pertamanya berhijab.“MasyaAllah, cantik sekali istriku … semoga istiqomah yaaa Sayang.” Tyo mengelus pipi istrinya dengan penuh kasih sayang. Tyo pun mengantarkan istrinya berangkat kerja, perjalanan menjadi mudah karena jalan menuju kantor mereka searah.“Dek, kayaknya Mas gak bisa jemput pulang kantor nanti, gak apa yaa?” mata Tyo tertuju pada jalanan yang mulai padat.“Iya, gak apa kok, Mas. Tenri kan juga sudah biasa pulang sendiri. Mas mau ke lokasi yaa?” tanya Tenri sambil bersiap turun, kantornya sudah mulai terlihat.
Tenri memandang kaca jendela kamar mereka yang basah karena tampias air hujan. Dia mendekap dirinya sendiri untuk menghangatkan tubuhnya hingga Tyo melihat itu hingga memeluknya dari arah belakang.“Jangan terlalu dipikirkan yaa Dek, ini sudah menjadi jalan kita berdua untuk memutuskan hidup bersama. Ini lag resiko yang harus kita hadapi. Kita hanya bisa berdoa pada Allah agar kelak kedua ibu kita mau membuka hati dan memberi kita restu. Oh ya , Mas masih menyimpan uang seratus juta itu. Apa kamu tidak ingin membeli perabot rumah atau apa gitu?” tanya Tyo dengan lembut di telinga Tenri.Tenri mengusap pipi suaminya, laki-laki yang dia percayakan seluruh diri dan kehidupannya padanya.“Mas simpan saja, untuk tabungan atau modal usaha. Tapi boleh gak kalau Tenri bekerja lagi, Mas?”
Tiga hari setelah pernikahan mereka, Tyo dan Tenri keluar dari rumah paman Tenri untuk mengontrak sebuah rumah kecil yang tak jauh dari kantor konsultan tempat Tyo bekerja. Semua dari nol, Tenri tak keberatan jika mereka memulainya hanya dengan selembar kasur tipis di lantai kamar tidur mereka. Seminggu setelah pindah Tyo pun membawa Tenri ke rumah ibunya di Solo untuk memperkenalkan istrinya pada ibu Dibyo, ibu kandung Tyo. Di sana juga ada dua kakak Tyo, Damar dan Wulan.Ketika Tyo hendak melamar Tenri hanya Damar saja yang bisa mewakili sebagai keluarga karena Wulan kakaknya yang tengah sedang hamil muda dan tidak bisa bepergian jauh. Namun, Tenri dan kedua kakak iparnya itu sudah saling mengenal dan keduanya bersikap baik dan ramah pada Tenri.Suasana rumah tampak sepi, di rumah itu memang hanya ibunya dan Damar serta istrinya yang tinggal di rumah tu
Air mata Tenri berlinang ketika pernikahan mereka yang sangat sederhana itu telah disahkan oleh penghulu dan buku nikah mereka sudah dalam genggaman. Walaupun hanya sekedar akad nikah saja Tenri tetap mengenakan baju bodo, baju adat pernikahan khas Sulawesi Selatan. Mereka menikah di rumah kerabat jauh mereka di Jakarta dengan Ilham kakak kandung Tenri yang menjadi wali nikah gadis manis itu.Tenri menyalami tangan Tyo dengan perasaan takzim, tak menyangka harus nekat menempuh jalan silariang (kawin lari) agar dapat menjadi istrinya yang sah.Lamat terdengar suara gaduh di pekarangan rumah paman Tenri, Andi Baso yang dengan lapang dada menampung mereka selama silariang di kota ini.“Tega-tegamu Tenriiii … ko pakasiri ka’ (kau membuatku malu)!” telunjuk ibu Hasnah mengarah pada anak per
“Apa?! seratus juta? pacarmu minta uang seratus juta untuk uang apa itu namanya … Naik … uang panaik? Jangan harap Ibu mau keluarkan uang sebanyak itu untuk perempuan itu!” hardik ibu Dibyo dengan keras pada putranya Dimas Prasetyo.“Masalahnya keluarga Tenri masih menjunjung adat istiadat dalam keluarganya,Bu. Jadi Dimas harus menyerahkan uang pannaik seperti yang keluarganya sepakati.” terang Dimas pada ibunya.“Jangan harap Ibu mau menuruti keinginan keluarga perempuan itu, gak bakalan Ibu merestui kamu yaa Tyo, cari saja perempuan lain yang pantas untuk kita. Lagi pula kita tidak sesuku dengan mereka, pernikahan kok kayak jual beli.” Ibu Dibyo mendengkus sebal pada putranya bungsunya itu.“Tidak, Bu. Buk