Home / Romansa / SILARIANG / Lamaran seratus juta

Share

SILARIANG
SILARIANG
Author: Joya Janis

Lamaran seratus juta

Author: Joya Janis
last update Last Updated: 2021-12-10 23:27:52

“Apa?! seratus juta? pacarmu minta uang seratus juta untuk uang apa itu namanya … Naik … uang panaik? Jangan harap Ibu mau keluarkan uang sebanyak itu untuk perempuan itu!” hardik ibu Dibyo dengan keras pada putranya Dimas Prasetyo. 

“Masalahnya keluarga Tenri masih menjunjung adat istiadat dalam keluarganya,Bu. Jadi Dimas harus menyerahkan uang pannaik seperti yang keluarganya sepakati.” terang Dimas pada ibunya. 

“Jangan harap Ibu mau menuruti keinginan keluarga perempuan itu, gak bakalan Ibu merestui kamu yaa Tyo, cari saja perempuan lain yang pantas untuk kita. Lagi pula kita tidak sesuku dengan mereka, pernikahan kok kayak jual beli.” Ibu Dibyo mendengkus sebal pada putranya bungsunya itu.

“Tidak, Bu. Bukan jual beli, mereka hanya ingin melihat kesungguhan Tyo, toh Tyo juga punya tabungan,Bu. Tyo tidak akan minta uang Ibu dan—“

“Cukup yaa Tyo! Sekali Ibu bilang tidak, berarti tidak. Cari perempuan lain untuk kamu nikahi, tinggalkan perempuan bugis itu. Dari awal ibu juga memang gak suka, sekarang mereka minta uang dalam jumlah besar. Jangan harap Ibu setuju!” Suara ibu Dibyo semakin meninggi, perempuan paruh baya itu berdiri dari kursi sofanya dan meninggalkan Tyo dengan keputusan akhir yang tidak dapat ditawar lagi oleh Tyo. 

Tyo masuk ke kamarnya,  dia terduduk di tepi ranjang dan menatap ponselnya dengan gamang. Ibu jarinya mengusap pelan layar ponselnya dan memandang foto seorang gadis manis yang sedang tersenyum manis. Sebuah janji telah terucap kepada gadis itu jika dia akan segera melamarnya dan menikahinya. Tyo gagal mendapatkan restu ibunya sementara Tenri pun sedang sibuk membujuk ibunya agar tidak terlalu menyulitkan Tyo. 

“Assalamu’alaikum, Tenri,” sapa tyo pada gadis itu yang sedang menunggunya di seberang kota Daeng sana. 

“Waalaikumsalam, Mas. Bagaimana kabar Mas dan ibu di sana, sehat-sehat saja?”

“Alhamdulillah sehat, Dik. Mas mau kasih tahu kalau minggu depan Mas akan datang dengan kakaknya Mas beserta istrinya. Mas juga mau minta maaf mungkin ibu gak bisa ikut karena berhalangan.” dengan ragu Tyo mengatakan itu pada Tenri kekasih hatinya. 

“Gak apa, Mas. Yang penting ibu merestui Mas menikah dengan saya. Dengan senang hati saya akan menunggu kedatangan Mas Tyo dan Mas Damar," jawab Tenri dengan nada suara penuh suka cita. 

“Sudah dulu ya? Mas cuma mau kasih tahu itu, Mas harus urus pekerjaan Mas dulu, nanti malam Mas telpon lagi. Assalamu’alaikum calon istriku.” 

Suara tawa kecil terdengar di ujung sana khas Tenri mendengar kata terakhir dari Tyo.

“Baiklah, Mas. Jangan lupa jangan sering begadang dulu dan banyak minum air putih ya. Sampai nanti malam, Mas. Waalaikumsalam.” 

Tenri tersenyum lebar, dia tidak menyangka jika Tyo kekasihnya itu akan datang jadi melamarnya karena ibunya cukup mempersulit Tyo. Ibunya tidak suka jika Tenri berhubungan dengan Tyo, ibunya lebih suka jika Tenri menikah dengan laki-laki pilihannya yang masih ada hubungan kekerabatan. Mereka sudah sepakat uang pannaik untuk Tenri senilai lima puluh juta, satu set perhiasan, seekor sapi yang gemuk dan besar, perlengkapan bahan dapur seperti beberapa karung beras, terigu dan gula serta satu unit rumah yang sudah siap mereka huni jika sudah menikah kelak. Itu lah mengapa ibu Hasnah mempersulit Tyo dengan meminta uang pannaik seratus juta. 

“Bagaimana dengan orang Jawa itu? Jadi ji datang?” tanya ibu Hasnah sambil memegang remote tivi, perempuan yang sudah melewati usia setengah abad itu tengah asik menonton sinetron. 

“Iye, Mak, mereka jadi datang, tapi dengan kakak Mas Tyo saja dengan istrinya yang akan datang minggu depan,” jawab Tenri dengan pelan. Gadis manis itu khawatir jika ibunya akan mempersulit lagi sementara Tyo sudah menyanggupi pannaik seratus juta itu. 

“Kenapa ibunya tidak datang? Ibunya tidak setuju toh, kamu menikah dengan anaknya? Dari pada nanti kamu susah dengan mamaknya si Tyo itu mending dari sekarang kamu tidak usah menikah dengan dia. Itu Faisal baik ji juga orangnya, ganteng ki juga baru bagus kerjanya.” Ibu Hasnah mengungkit lagi sosok Faisal yang lebih disukainya. 

“Faisal itu tukang minum, Mak. Kerjanya juga ganti pacar terus, saya tidak mau punya suami tukang mabuk juga suka main perempuan.” jawab Tenri dengan suara bergetar menahan kesal.

“Eeededeeh … nanti kalo sudah mi beristri berubah ji nanti. Sebagai istri kamu nanti yang kasih ingat dia!” dengan logat khas Makassar nada suara ibu Hasnah mulai meninggi. Tenri lebih memilih meninggalkan ibunya menuju ruang kerja kakak sulungnya Ilham. 

Tenri mengetuk pintu sejenak dan masuk setelah kakak tertuanya itu menyahutinya. Dia melihat kakaknya sedang membaca tumpukan kertas di depannya. 

“Kenapa lagi itu muka cemberut?” tanya Ilham sambil memperhatikan wajah adik bungsunya. 

“Kak, tolong nah kodong, mas Tyo mau datang sama kakaknya, saya takut kalau mamak mau persulit lagi mas Tyo. Dia juga sudah sanggupi itu uang pannaik seratus juta, kurang apa pi lagi keseriusannya?” 

Tenri sangat berharap banyak pada kakak tertuanya ini agar berada di pihaknya. Ilham membuang nafasnya berat, dia juga kurang setuju atas sikap ibunya yang dianggapnya berlebihan kepada Tyo. 

“Kak, awas ki  nah … kalau sampai mamak masih saja mempersulit mas Tyo nanti, saya akan ajak mas Tyo silariang saja. Mending saya kawin lari sama mas Tyo, dari pada mamak mau kasih kawin saya dengan Faisal!” ancam Tenri dengan matanya yang berkabut.

Ilham hanya mampu menghela napas panjang, laki-laki muda itu pun tak setuju jika adik satu-satunya jatuh di tangan pria yang tidak tepat. Meskipun Faisal dan keluarganya adalah orang terpandang dengan darah bangsawan tetapi bagi Ilham akhlak dan aqidah yang bagus lah yang seharusnya jadi pertimbangan. Jika tak ada jalan lain dia akan membiarkan adiknya silariang saja dengan pria Jawa itu. Soal ibunya biar dia yang hadapi nanti. 

"Tidak ada kakak yang mau liat adeknya menderita, Tenri. Kalau kau pikir itu orang Jawa lebih pantas jadi imam-mu, pergi mi kau sama dia," ujar Ilham pasrah. Mereka sama-sama tahu jika ibunya adalah wanita yang sangat keras dan tidak suka dengan penolakan. Keputusannya adalah harga mati yang tidak bisa ditawar lagi. 

Related chapters

  • SILARIANG   Pernikahan Silariang

    Air mata Tenri berlinang ketika pernikahan mereka yang sangat sederhana itu telah disahkan oleh penghulu dan buku nikah mereka sudah dalam genggaman. Walaupun hanya sekedar akad nikah saja Tenri tetap mengenakan baju bodo, baju adat pernikahan khas Sulawesi Selatan. Mereka menikah di rumah kerabat jauh mereka di Jakarta dengan Ilham kakak kandung Tenri yang menjadi wali nikah gadis manis itu.Tenri menyalami tangan Tyo dengan perasaan takzim, tak menyangka harus nekat menempuh jalan silariang (kawin lari) agar dapat menjadi istrinya yang sah.Lamat terdengar suara gaduh di pekarangan rumah paman Tenri, Andi Baso yang dengan lapang dada menampung mereka selama silariang di kota ini.“Tega-tegamu Tenriiii … ko pakasiri ka’ (kau membuatku malu)!” telunjuk ibu Hasnah mengarah pada anak per

    Last Updated : 2021-12-10
  • SILARIANG   Penolakan yang sama

    Tiga hari setelah pernikahan mereka, Tyo dan Tenri keluar dari rumah paman Tenri untuk mengontrak sebuah rumah kecil yang tak jauh dari kantor konsultan tempat Tyo bekerja. Semua dari nol, Tenri tak keberatan jika mereka memulainya hanya dengan selembar kasur tipis di lantai kamar tidur mereka. Seminggu setelah pindah Tyo pun membawa Tenri ke rumah ibunya di Solo untuk memperkenalkan istrinya pada ibu Dibyo, ibu kandung Tyo. Di sana juga ada dua kakak Tyo, Damar dan Wulan.Ketika Tyo hendak melamar Tenri hanya Damar saja yang bisa mewakili sebagai keluarga karena Wulan kakaknya yang tengah sedang hamil muda dan tidak bisa bepergian jauh. Namun, Tenri dan kedua kakak iparnya itu sudah saling mengenal dan keduanya bersikap baik dan ramah pada Tenri.Suasana rumah tampak sepi, di rumah itu memang hanya ibunya dan Damar serta istrinya yang tinggal di rumah tu

    Last Updated : 2021-12-10
  • SILARIANG   Ketulusan hati

    Tenri memandang kaca jendela kamar mereka yang basah karena tampias air hujan. Dia mendekap dirinya sendiri untuk menghangatkan tubuhnya hingga Tyo melihat itu hingga memeluknya dari arah belakang.“Jangan terlalu dipikirkan yaa Dek, ini sudah menjadi jalan kita berdua untuk memutuskan hidup bersama. Ini lag resiko yang harus kita hadapi. Kita hanya bisa berdoa pada Allah agar kelak kedua ibu kita mau membuka hati dan memberi kita restu. Oh ya , Mas masih menyimpan uang seratus juta itu. Apa kamu tidak ingin membeli perabot rumah atau apa gitu?” tanya Tyo dengan lembut di telinga Tenri.Tenri mengusap pipi suaminya, laki-laki yang dia percayakan seluruh diri dan kehidupannya padanya.“Mas simpan saja, untuk tabungan atau modal usaha. Tapi boleh gak kalau Tenri bekerja lagi, Mas?”

    Last Updated : 2021-12-10
  • SILARIANG   Seseorang dari masa lalu

    Tyo memandangi Tenri tak berkedip, wanita di hadapannya itu semakin cantik dan anggun dengan gamis dan hijab yang dikenakannya.“Bagaimana penampilan Tenri, Mas?” tanya Tenri di hari pertamanya berhijab.“MasyaAllah, cantik sekali istriku … semoga istiqomah yaaa Sayang.” Tyo mengelus pipi istrinya dengan penuh kasih sayang. Tyo pun mengantarkan istrinya berangkat kerja, perjalanan menjadi mudah karena jalan menuju kantor mereka searah.“Dek, kayaknya Mas gak bisa jemput pulang kantor nanti, gak apa yaa?” mata Tyo tertuju pada jalanan yang mulai padat.“Iya, gak apa kok, Mas. Tenri kan juga sudah biasa pulang sendiri. Mas mau ke lokasi yaa?” tanya Tenri sambil bersiap turun, kantornya sudah mulai terlihat.

    Last Updated : 2021-12-10

Latest chapter

  • SILARIANG   Seseorang dari masa lalu

    Tyo memandangi Tenri tak berkedip, wanita di hadapannya itu semakin cantik dan anggun dengan gamis dan hijab yang dikenakannya.“Bagaimana penampilan Tenri, Mas?” tanya Tenri di hari pertamanya berhijab.“MasyaAllah, cantik sekali istriku … semoga istiqomah yaaa Sayang.” Tyo mengelus pipi istrinya dengan penuh kasih sayang. Tyo pun mengantarkan istrinya berangkat kerja, perjalanan menjadi mudah karena jalan menuju kantor mereka searah.“Dek, kayaknya Mas gak bisa jemput pulang kantor nanti, gak apa yaa?” mata Tyo tertuju pada jalanan yang mulai padat.“Iya, gak apa kok, Mas. Tenri kan juga sudah biasa pulang sendiri. Mas mau ke lokasi yaa?” tanya Tenri sambil bersiap turun, kantornya sudah mulai terlihat.

  • SILARIANG   Ketulusan hati

    Tenri memandang kaca jendela kamar mereka yang basah karena tampias air hujan. Dia mendekap dirinya sendiri untuk menghangatkan tubuhnya hingga Tyo melihat itu hingga memeluknya dari arah belakang.“Jangan terlalu dipikirkan yaa Dek, ini sudah menjadi jalan kita berdua untuk memutuskan hidup bersama. Ini lag resiko yang harus kita hadapi. Kita hanya bisa berdoa pada Allah agar kelak kedua ibu kita mau membuka hati dan memberi kita restu. Oh ya , Mas masih menyimpan uang seratus juta itu. Apa kamu tidak ingin membeli perabot rumah atau apa gitu?” tanya Tyo dengan lembut di telinga Tenri.Tenri mengusap pipi suaminya, laki-laki yang dia percayakan seluruh diri dan kehidupannya padanya.“Mas simpan saja, untuk tabungan atau modal usaha. Tapi boleh gak kalau Tenri bekerja lagi, Mas?”

  • SILARIANG   Penolakan yang sama

    Tiga hari setelah pernikahan mereka, Tyo dan Tenri keluar dari rumah paman Tenri untuk mengontrak sebuah rumah kecil yang tak jauh dari kantor konsultan tempat Tyo bekerja. Semua dari nol, Tenri tak keberatan jika mereka memulainya hanya dengan selembar kasur tipis di lantai kamar tidur mereka. Seminggu setelah pindah Tyo pun membawa Tenri ke rumah ibunya di Solo untuk memperkenalkan istrinya pada ibu Dibyo, ibu kandung Tyo. Di sana juga ada dua kakak Tyo, Damar dan Wulan.Ketika Tyo hendak melamar Tenri hanya Damar saja yang bisa mewakili sebagai keluarga karena Wulan kakaknya yang tengah sedang hamil muda dan tidak bisa bepergian jauh. Namun, Tenri dan kedua kakak iparnya itu sudah saling mengenal dan keduanya bersikap baik dan ramah pada Tenri.Suasana rumah tampak sepi, di rumah itu memang hanya ibunya dan Damar serta istrinya yang tinggal di rumah tu

  • SILARIANG   Pernikahan Silariang

    Air mata Tenri berlinang ketika pernikahan mereka yang sangat sederhana itu telah disahkan oleh penghulu dan buku nikah mereka sudah dalam genggaman. Walaupun hanya sekedar akad nikah saja Tenri tetap mengenakan baju bodo, baju adat pernikahan khas Sulawesi Selatan. Mereka menikah di rumah kerabat jauh mereka di Jakarta dengan Ilham kakak kandung Tenri yang menjadi wali nikah gadis manis itu.Tenri menyalami tangan Tyo dengan perasaan takzim, tak menyangka harus nekat menempuh jalan silariang (kawin lari) agar dapat menjadi istrinya yang sah.Lamat terdengar suara gaduh di pekarangan rumah paman Tenri, Andi Baso yang dengan lapang dada menampung mereka selama silariang di kota ini.“Tega-tegamu Tenriiii … ko pakasiri ka’ (kau membuatku malu)!” telunjuk ibu Hasnah mengarah pada anak per

  • SILARIANG   Lamaran seratus juta

    “Apa?! seratus juta? pacarmu minta uang seratus juta untuk uang apa itu namanya … Naik … uang panaik? Jangan harap Ibu mau keluarkan uang sebanyak itu untuk perempuan itu!” hardik ibu Dibyo dengan keras pada putranya Dimas Prasetyo.“Masalahnya keluarga Tenri masih menjunjung adat istiadat dalam keluarganya,Bu. Jadi Dimas harus menyerahkan uang pannaik seperti yang keluarganya sepakati.” terang Dimas pada ibunya.“Jangan harap Ibu mau menuruti keinginan keluarga perempuan itu, gak bakalan Ibu merestui kamu yaa Tyo, cari saja perempuan lain yang pantas untuk kita. Lagi pula kita tidak sesuku dengan mereka, pernikahan kok kayak jual beli.” Ibu Dibyo mendengkus sebal pada putranya bungsunya itu.“Tidak, Bu. Buk

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status