1. Kenangan
Sebuah kenangan tidak bisa menyentuh serta melukai kita secara fisik, tetapi ingatan kita yang mengulang kejadian serta rasa sakitnya itu yang menyakiti.
Ma..ma...! Pa....pa...!
Jangan pergi...!
Mama..!! Teriak Anggita dengan keringat membasahi tubuhnya.
“Gita, kamu mimpi buruk lagi?” Tanyaku setelah masuk ke kamar adik ku itu ketika mendengar teriakannya dari kamar ku.
“Iya kak, Gita mimpi mama pergi.” Jawab gita dengan wajah sedihnya.
“Sabar ya dek, ada kak Johan disini,” Hibur ku pada Gita. Segera aku ambilkan tisu untuk mengelap keringat di dahinya.
Setahun sudah sejak kami ditinggal oleh orang tua kami yang wafat dalam sebuah kecelakaan mobil. Suatu kejadian yang hampir membuat aku terjatuh.
*******
Saat itu Papa dan Mama hendak pergi ke kantornya setelah mengantar kami sekolah. Bagi kami, semua berjalan normal seperti biasa. Beberapa jam kemudian kami dijemput Om Ferdi dan Tante Luna, lalu dibawalah kami menuju Rumah Sakit Abdoel Moeluk Bandar Lampung. Sesampainya kami di sana, terlihat juga Om Agung dan Bi Tina. Jika Tante Luna adik papa, sedangkan Bi Tina adalah adik mama. Kami sering berkunjung di tempat mereka. namun kami lebih suka ke tempat Bi Tina, orangnya baik dan Desa Bi Tina juga sangat nyaman. Sedangkan rumah Tante Luna tidak jauh dari rumah kami. Ditambah lagi Om Ferdi bekerja di perusahaan papa, jadi kami sering bertemu mereka.
Aku dan Gita semakin bingung dan bertanya-tanya,ada apa sebenarnya. Di mobil Om Ferdi ataupun Tante Luna sama sekali tidak mengatakan apa yang terjadi, mereka hanya mengatakan Papa dan Mama meminta kami ikut mereka, karena ada sesuatu yang penting.
Melihat kami, Bi Tina langsung menghampiri dan memeluk Gita dengan erat, sambil menangis tersedu-sedu.
Aku hanya terpaku, beribu pertanyaan mulai menghantui. Perasaan yang sakit mulai berdatangan, sebuah kecurigaan. Pama, Mama, apakah .......
“Johan,” Suara Om Ferdi memutus laju khayalan ku.
“Iya Om,” Jawab ku dengan wajah tak mengerti
“Papa dan Mama mengalami kecelakaan.” terang Om Ferdi sambil memegang kedua pundak ku.
“Apa om, om ngomong apa,?” Tanyaku memastikan, berharap apa yang ku dengar adalah salah.
“Mobil Papa dan Mama menabrak sebuah Bus, Papa dan Mama kalian tidak terselamatkan.” Jawab Om Ferdi.
“Apaa!! Gak.... gak.....” teriak Gita yang memberontak dari pelukan Bi Tina, tetapi kembali di peluk Bi Tina lebih erat.
“Sabar Gita, sabar,” Ucap Bi Tina seraya menangis
“Mama dimana bi,,? Papa Gita dimana..?” Tanya Gita panik
“Om Ferdi bohong kan bi,,?” Tambah Gita
Bi Tina hanya membalas dengan memeluk Gita semakin erat.
Aku tak sanggup menahan deraian air mata yang keluar saat mendengar cerita Om Ferdi, terlebih saat melihat jasad Papa dan Mama yang terbujur kaku di kamar jenazah. Tubuh ini bagai hancur tak bertulang, aku menangis diatas jenazah mama yang terasa dingin. Aku belum siap menerima pahitnya ditinggal mereka. Dada terasa sesak untuk bernafas, bumi bagai berhenti berputar. Tuhan,, bantulah aku bangun dari mimpi buruk ini.
Gita datang menghampiri ku, melihat nya menangis bertambah hancur hati ini. kami hanyut dalam kesedihan yang teramat dalam. Banyak hal yang ingin kami lakukan bersama, banyak tempat yang akan kami tuju saat aku lulus sekolah. Tapi kini, papa dan mama telah pergi. Pergi meninggalkan setiap kenangan indah bersama kami.
Kesedihan itu semakin menjadi kala jasad papa dan mama dimakamkan. Mereka tidur terpisah, beralaskan tanah terhimpit papan, berteman sepi.
******
Angin malam bertiup sayu. Membelai setiap dedaunan yang menari-nari dalam kegelapan. Kesunyian menerpa kalbu, kegelisahan kian menyiksa. Kupandangi Gita yang tengah menangis memeluk foto keluarga. Ditemani Bella, anak Bi Tina. Kemarin, kami masih bersama, bercanda bahagia. Kemarin, hangat keluarga masih terasa. Kemarin, adalah akhir cerita.
Ditengah kesedihan kepergian orang tua kami, keluarga Papa dan Mama berkumpul dan membahas akan diasuh oleh siapa kami nantinya. Pilihannya adalah Tante Luna adik dari Ayah, atau Bi Tina adik dari ibu. Orang tua papa dan mama sudah lama meninggal. Dan kini, anaknya menyusul mereka memeluk panggilan Sang Kuasa. Terdengar sayup-sayup percakapan mereka di ruang keluarga.
“Ini adalah perkara yang serius mas, bukan hanya tentang mengurus Johan dan Gita, tetapi juga tentang mengurus perusahaan dari Almarhum Bang Zaky,” Dari kamar terdengar penuturan Om Ferdi.
“Saya paham Fer, makanya saya minta kita saling bekerja sama, baik kamu, Tina dan Luna,” Jawab Om Agung
Aku dan Gita tak menghiraukan apa kelanjutan percakapan mereka.
Lantunan adzan subuh berkumandang, memanggil para pemilik keimanan menghadap Yang Maha Esa. Sebagai bukti akan kesetiaan yang hakiki. Ketika sedang tidur lelap, dipaksa bangun melakukan ibadah. Terdengar suara lembut membangunkan ku dengan sabarnya, sesaat ku pikir itu mama, mataku seketika terbuka. Namun, itu adalah suara Bi Tina.
“Johan, Gita, bangun yuk, sholat subuh. Kita sama-sama do’akan kedua orang tua kalian bahagia di sisi-Nya,” Ucap bi Tina dengan senyum yang merekah.
“Iya bi,” Jawab ku singkat.
Teringat akan apa yang terjadi, kesedihan kembali menghampiri. Kupanjatkan do’a pada Illahi. Semoga papa dan mama bahagia, semoga kami selalu sabar, hingga kami kembali bersama.
Pagi itu aku tidak melihat Om Ferdi dan Tante Luna. Dan sejak hari itu juga kami diasuh oleh Om Agung dan Bi Tina.
*****
Satu tahun telah berlalu, kenangan manis bersama Papa dan Mama masih terkenang jelas di ingatan ku. Tapi, aku tidak boleh egois. Aku harus bisa bangkit, karena aku harus memikirkan adik ku. Keadaan Gita satu tahun yang lalu sangat memprihatinkan. Butuh waktu 1 bulan untuk Gita bisa memahami. Dan 3 bulan sampai ia mau masuk sekolah kembali. Bahkan, sering kali Gita mengigau dalam tidurnya. Aku adalah anak tertua, sebagai kakak, aku harus bisa memberikan contoh yang baik. Sebagai kakak, aku harus bisa menjadi pengganti papa dan mama untuk Gita. Kini aku tengah sekolah di SMA kelas 3 dan Gita kelas 2 SMP.
Masih di kamar Gita, kami duduk memandang foto orang tua kami. Aku bercerita, bercanda, agar perasaan Gita lebih tenang. Kulihat jam dinding yang terpajang di atas meja belajar dengan background Hinata, salah satu karakter pada anime Naruto. Tepat pukul 03.15 dini hari.
“Jika kamu sudah tenang, lebih baik kita tahajud,kita do’akan agar papa dan mama bahagia disana.” Ucapku pada Gita.
“Tuhan mengambil orang tua kita, tetapi Tuhan juga mengirimkan Om Agung dan Bi Tina sebagai gantinya, agar kita sabar, kuat dalam menghadapi ujian ini” Lanjut ku.
“Iya kak, kak Johan benar.” Jawabnya pelan.
“Ya sudah, kakak tinggal ya, kakak mau sholat di kamar kakak,” Ucapku lagi, Gita hanya mengangguk tanda setuju. Akupun bergegas melangkah pergi.
Beberapa jam berlalu. Aku tengah bersiap hendak ke sekolah, seragam putih abu-abu kebanggaanku tengah terpasang menutupi tubuhku. Ini adalah tahun terakhir aku menggunakannya.
“Assalamu’alaikum kakak ku yang ganteng,,” Suara Gita terdengar dari arah pintu, terlihat wajahnya yang sudah kembali berseri. Aku hanya membalas sapaannya dengan senyuman lebar.
“Kak, uang jajan ku habis kak, kakak mintain ke Om Agung ya,” Pinta Gita dengan wajah manja nya.
“Emm, Iya kakak juga mau minta untuk biaya tugas,” Jawabku sembari sibuk memasang dasi.
“Asiik,,” Jawab Gita yang kini sudah berada diatas kasur ku.
Ketika semua sudah siap, kami berjalan menuju ruang makan tempat Om dan Bibi yang biasanya sedang sarapan. Ketika kami hendak keluar kamar, terdengar suara khas Bi Tina, suara yang kini menyatu dengan kami. Suara yang menjadi penyemangat kami. Suara yang hampir mirip dengan suara mama.
“Johan, Gita, buruan turun, kita sarapan,” Teriak Bi Tina memanggil pertanda sarapan telah siap.
Segera kami melangkah turun.
“Pagi Om, Bi,” Sapa gita setelah kami sampai di ruang makan.
“Pagi, keponakan Om yang ganteng dan cantik,” Jawab Om Agung
“Sini-sini, Bibi sudah masakkan makanan kesukaan kalian,” Ajak Bi Tina yang sudah sigap mengambilkan kami nasi di piring.
“Makan yang lahap, belajar yang rajin, agar kalian bisa melanjutkan perusahaan warisan orang tua kalian,” Tambah Bi Tina
“Terima kasih banyak bi,” Jawab ku
Bi Tina membalas dengan senyum ayu nya, yang mengingatkan ku pada wajah Mama.
Om Agung dan Bi Tina adalah malaikat kedua kami, mereka mengurusi kami dengan sangat baik, bahkan menganggap kami anak kandung mereka. Bella kini tengah kuliah di Universitas di kota Yogyakarta. Kami bersyukur kami diurus oleh Bi Tina yang memenangkan hak asuh kami lewat persidangan melawan Om Ferdi dan Tante Luna. Mereka dibantu orang kepercayaan Papa yang mengatakan bahwa Om Agung dan Bi Tina adalah keluarga yang baik, dan sebelum kejadian kecelakaan itu, sebenarnya Papa hendak mengangkat Om Agung menjadi salah satu staf di perusahaan.
Sebagai gantinya Om Ferdi diangkat menjadi wakil dari Om Agung di perusahaan. Begitulah yang diceritakan Om Agung pada kami. Meskipun ada kekecewaan dalam hati Om Ferdi dan Tante Luna, tetapi itu sudah menjadi keputusan pengadilan.
Bersama Om Agung dan Bi Tina kami menjalani hidup baru. Meskipun butuh waktu untuk ku dan Gita kembali tersenyum. Menjalani aktifitas sebagaimana biasa. Tetapi Om Agung dan Bi Tina adalah orang yang sabar, perlahan mereka menasehati kami, menghibur hingga kami bisa menerima apa yang terjadi.
Di rumah Bi Tina dibantu oleh Mbak Jum, pembantu kepercayaan kami sejak Papa dan Mama masih hidup. Dan Bi Tina meminta Mbak Jum untuk tetap bekerja menemani Bi Tina mengurus rumah kami. Selain Mbak Jum ada juga Mas Dakir, sopir pribadi Om Agung.
Pagi itu kami sarapan dengan lahap dan penuh kasih sayang, seperti kebahagiaan bersama orang tua kembali hadir di tengah hidup ku. Om Agung biasanya selalu menghibur kami dengan cerita masa lalu nya. Dan sekarang mulai sedikit bercerita tentang keadaan di perusahaan peninggalan Papa, dimana aku harus segera bersiap untuk belajar tetang managemen usaha. Agar bisa membantu Om Agung mengurus usaha tersebut.
Kini kami telah bangkit dari masa sulit. Kami terbangun dari setiap kenangan buruk perginya orang tua kami. Kami harus bersahabat dengan keadaan sekarang. Mungkin itulah yang dinamakan ikhlas. Saat ini kami diurus oleh orang yang berhati baik. Esok, kamilah yang harus mengurus mereka, membalas setiap kebaikan mereka. Agar orang tua kami bahagia bersama Sang Pencipta. Melihat dari alam yang berbeda.
Setelah menerima uang bulanan kami, Aku dan Gita pamit berangkat sekolah. Meskipun aku sudah lihai membawa mobil, tetapi aku lebih nyaman mengendarai sepeda motor. Selain itu bi Tina lebih suka melihat kami memakai motor, karena kebanyakan murid SMA masih mengendarai sepeda motor.
Ketika hati ini masih berharap orang yang telah pergi kembali datang membawa setiap kenangan indah itu, ingatlah hidup terus maju bersama masa depan.
2.Tim PengembangMasa sekolah bukan hanya tentang kita mempersiapkan untuk kehidupan, tetapi masa sekolah juga merupakan kehidupan. Maka nikmatilah kehidupan itu. Kelak tidak ada kata yang sia-sia.Hampir tiga tahun aku di sekolah ini. begitu banyak cerita, pahit atau pun manis. Aku termasuk siswa yang rajin, jarang sekali aku absen, apalagi bolos sekolah lalu nongkrong di sebuah cafe, atau sekedar bermain game.Perpustakaan adalah kelas kedua ku. disinilah aku mencuri berbagai ilmu. Beruntungnya sekolah kami memiliki banyak buku di luar pelajaran, baik itu pertanian, politik atau wirausaha.“Woi, pak bos yang rajin sudah makan setengah buku saja,” Sapa Doni salah seorang sahabat ku. Ia datang tidak sendiri. Melaikan bersama para sahabat terbaik ku.Doni Pradita, seorang yang humoris, begitu mencintai dunia technologi. Laptop tidak pernah lepas dari barang yang wajib ia bawa. Ia juga ter
Tidak perlu menjadi orang lain agar semua orang mendekati kita. Cukup menjadi diri sendiri, bersahabat dengan beberapa orang asalkan ia bisa menjadi sahabat sejati yang selalu ada untuk setiap keluh kesah.Dua minggu telah berlalu, selesai sudah Ujian Sekolahku. Hari ini aku dan om Agung menjadwalkan akan kembali bertemu dengan team pengembang. Demi melanjutkan latihan-latihanku.Aku masih duduk termangu di dalam kamarku, kamar yang kucintai, kamar yang penuh dengan kenangan. Kamarku berukuran sekitar 5 x 4 meter. Warna ungu muda menghiasi dindingnya. Jendela yang menghadap langsung ke jalanan. Dari sini aku selalu tahu apabila ada seseorang yang datang ke rumah.“Assalamu’alaikum,” Gita datang dengan membawa setoples wafer ditangannya.“Wa’alaikumussalam,” Jawab ku.“Kak, sekarang kan hari minggu, kita sudah jarang sekali keluar bersama. Apakah hari ini kakak sibuk?” Ucap Gita yang
20 menit berlalu, setelah om Agung mendapatkan kabar dari sekretarisnya. Sindy masih duduk ketakutan di depan pintu ruang kerja om Agung. Matanya tak terpalingkan dari pintu ruang khusus tersebut.“Bagaimana situasinya,?” Tanya Pak Hasan yang datang bersama dengan pasukan kepolisian juga om Agung.Sindy menghembuskan nafas, merasa lega. “Belum ada yang keluar dari ruangan, Pak.” Jawab Sindy.Para pasukan langsung masuk ke ruang kerja om Agung, dan kini tepat di depan pintu ruang khusus. Setelah memberi kode aman, om Agung yang sejak tadi memang menunggu perintah untuk membuka pintu.Setelah membuka akses pintu itu, om Agung langsung bersembunyi dibelakang salah satu anggota polisi demi menjaga keamanan. Segera salah satu anggota polisi tersebut melihat ke dalam ruangan, disusul yang lain setelah ada kode aman lagi, Mereka mengecek setiap sudut ruangan. Dan hasilnya nol besar, tidak ditemukan sese
Karena kejadian penyusupan itu, aku lebih sering diminta menemani om Agung di kantor. Memeriksa berkas-berkas tentang laporan setiap cabang. Ada sekitar 50 cabang tersebar ke seluruh Lampung. 3 cabang di medan, 2 di Padang, 3 di Palembang dan 3 di Jambi dan 10 cabang di Pulau Jawa, termasuk 1 di Jakarta. Total, kami memiliki 71 cabang perusahaan. Kami memiliki impian melebarkan cabang kami hingga luar Negeri. Pagi itu, matahari bersinar cerah, udara yang tidak terlalu dingin atau panas menemaniku dan om Agung yang tengah sibuk di kantor. Banyak berkas dari tim pemasaran yang berkaitan dengan model celana jeans terbaru yang harus kami periksa dan pilih menjadi produk unggulan kami.“Hallo, Assalamu’alaikum,” Sapa om Agung setelah mendengar bunyi dering Hp nya.“Wa’alaikumsalam,” Jawab penelfon di sebrang sana yang terdengar jelas oleh ku. Dari suaranya, ia adalah om Ferdy. Memang kami sedangmenung
Satu bulan setelah kepergian om Ferdy, aku dan Ajis sudah menyelesaikan latihan ku dengan Pak Hasan dan Reina. Om Agung benar, Reina adalah gadis yang luar biasa. Ia adalah pesilat, penembak jitu dan ahli strategi peperangan.Banyak ilmu yang kami peroleh dari nya. Meskipun banyak juga siksaan yang harus kami terima sebagai syaratnya. Dalam latihan selama satu bulan, aku dan Ajis sekalipun tidak bisa mengalahkan Reina dalam hal sambung atau adu tanding. Kami selalu kalah telak, sekeras apapun kami berusaha. Tetapi dalam hal menembak, Ajis bisa mengunggulinya.Aku kembali ke rumah. Semua tim ku telah menjalani latihan awal kami. Kami sedang menunggu latihan selanjutnya yang sedang direncanakan oleh om Agung dan pak Hasan. Menurut mereka, kami harus tinggal bersama untuk mematangkan kekompakan kami.Minggu ini waktunya aku dan Gita menikmati liburan kami, sesuai dengan janji yang pernah aku ucapkan. Aku dan om Agung sepakat menyembunyikan t
Satu bulan berlalu, aku dan om Agung masih selalu menyelidiki tentang alamat itu. Bahkan, selama beberapa hari aku mengikuti kegiatan mereka. Tapi semua sia-sia, tidak ada bukti yang menunjukkan keterlibatan pak Abdulloh dengan papa, atau on Ferdy. Apakah pelaku menggunakan rumah atau identitas palsu?. Itulah jawaban yang saat ini aku yakini. Mungkin pelaku menyadari bahwa om Ferdi bisa menghianatinya, sehingga ia tetap berhati-hati, bahkan menjebak dan membunuh om Ferdy. Dengan kejadian itu, aku menyadari bahwa penghianat ini adalah orang yang berbahaya. Ia tak segan melakukan apapun agar rencananya berhasil. Sejak kejadian Om Ferdy, sistem keamanan di setiap perusahaan ditambah. Bahkan di rumah juga. Kami harus selalu berhati-hati. Sesuatu bisa terjadi jika kami lengah lagi. Kini Gita diantar jemput oleh salah satu anggota pasukan khus
Satu bulan berlalu, aku dan om Agung masih selalu menyelidiki tentang alamat itu. Bahkan, selama beberapa hari aku mengikuti kegiatan mereka. Tapi semua sia-sia, tidak ada bukti yang menunjukkan keterlibatan pak Abdulloh dengan papa, atau on Ferdy. Apakah pelaku menggunakan rumah atau identitas palsu?. Itulah jawaban yang saat ini aku yakini. Mungkin pelaku menyadari bahwa om Ferdi bisa menghianatinya, sehingga ia tetap berhati-hati, bahkan menjebak dan membunuh om Ferdy. Dengan kejadian itu, aku menyadari bahwa penghianat ini adalah orang yang berbahaya. Ia tak segan melakukan apapun agar rencananya berhasil. Sejak kejadian Om Ferdy, sistem keamanan di setiap perusahaan ditambah. Bahkan di rumah juga. Kami harus selalu berhati-hati. Sesuatu bisa terjadi jika kami lengah lagi. Kini Gita diantar jemput oleh salah satu anggota pasukan khus
Satu bulan setelah kepergian om Ferdy, aku dan Ajis sudah menyelesaikan latihan ku dengan Pak Hasan dan Reina. Om Agung benar, Reina adalah gadis yang luar biasa. Ia adalah pesilat, penembak jitu dan ahli strategi peperangan.Banyak ilmu yang kami peroleh dari nya. Meskipun banyak juga siksaan yang harus kami terima sebagai syaratnya. Dalam latihan selama satu bulan, aku dan Ajis sekalipun tidak bisa mengalahkan Reina dalam hal sambung atau adu tanding. Kami selalu kalah telak, sekeras apapun kami berusaha. Tetapi dalam hal menembak, Ajis bisa mengunggulinya.Aku kembali ke rumah. Semua tim ku telah menjalani latihan awal kami. Kami sedang menunggu latihan selanjutnya yang sedang direncanakan oleh om Agung dan pak Hasan. Menurut mereka, kami harus tinggal bersama untuk mematangkan kekompakan kami.Minggu ini waktunya aku dan Gita menikmati liburan kami, sesuai dengan janji yang pernah aku ucapkan. Aku dan om Agung sepakat menyembunyikan t
Karena kejadian penyusupan itu, aku lebih sering diminta menemani om Agung di kantor. Memeriksa berkas-berkas tentang laporan setiap cabang. Ada sekitar 50 cabang tersebar ke seluruh Lampung. 3 cabang di medan, 2 di Padang, 3 di Palembang dan 3 di Jambi dan 10 cabang di Pulau Jawa, termasuk 1 di Jakarta. Total, kami memiliki 71 cabang perusahaan. Kami memiliki impian melebarkan cabang kami hingga luar Negeri. Pagi itu, matahari bersinar cerah, udara yang tidak terlalu dingin atau panas menemaniku dan om Agung yang tengah sibuk di kantor. Banyak berkas dari tim pemasaran yang berkaitan dengan model celana jeans terbaru yang harus kami periksa dan pilih menjadi produk unggulan kami.“Hallo, Assalamu’alaikum,” Sapa om Agung setelah mendengar bunyi dering Hp nya.“Wa’alaikumsalam,” Jawab penelfon di sebrang sana yang terdengar jelas oleh ku. Dari suaranya, ia adalah om Ferdy. Memang kami sedangmenung
20 menit berlalu, setelah om Agung mendapatkan kabar dari sekretarisnya. Sindy masih duduk ketakutan di depan pintu ruang kerja om Agung. Matanya tak terpalingkan dari pintu ruang khusus tersebut.“Bagaimana situasinya,?” Tanya Pak Hasan yang datang bersama dengan pasukan kepolisian juga om Agung.Sindy menghembuskan nafas, merasa lega. “Belum ada yang keluar dari ruangan, Pak.” Jawab Sindy.Para pasukan langsung masuk ke ruang kerja om Agung, dan kini tepat di depan pintu ruang khusus. Setelah memberi kode aman, om Agung yang sejak tadi memang menunggu perintah untuk membuka pintu.Setelah membuka akses pintu itu, om Agung langsung bersembunyi dibelakang salah satu anggota polisi demi menjaga keamanan. Segera salah satu anggota polisi tersebut melihat ke dalam ruangan, disusul yang lain setelah ada kode aman lagi, Mereka mengecek setiap sudut ruangan. Dan hasilnya nol besar, tidak ditemukan sese
Tidak perlu menjadi orang lain agar semua orang mendekati kita. Cukup menjadi diri sendiri, bersahabat dengan beberapa orang asalkan ia bisa menjadi sahabat sejati yang selalu ada untuk setiap keluh kesah.Dua minggu telah berlalu, selesai sudah Ujian Sekolahku. Hari ini aku dan om Agung menjadwalkan akan kembali bertemu dengan team pengembang. Demi melanjutkan latihan-latihanku.Aku masih duduk termangu di dalam kamarku, kamar yang kucintai, kamar yang penuh dengan kenangan. Kamarku berukuran sekitar 5 x 4 meter. Warna ungu muda menghiasi dindingnya. Jendela yang menghadap langsung ke jalanan. Dari sini aku selalu tahu apabila ada seseorang yang datang ke rumah.“Assalamu’alaikum,” Gita datang dengan membawa setoples wafer ditangannya.“Wa’alaikumussalam,” Jawab ku.“Kak, sekarang kan hari minggu, kita sudah jarang sekali keluar bersama. Apakah hari ini kakak sibuk?” Ucap Gita yang
2.Tim PengembangMasa sekolah bukan hanya tentang kita mempersiapkan untuk kehidupan, tetapi masa sekolah juga merupakan kehidupan. Maka nikmatilah kehidupan itu. Kelak tidak ada kata yang sia-sia.Hampir tiga tahun aku di sekolah ini. begitu banyak cerita, pahit atau pun manis. Aku termasuk siswa yang rajin, jarang sekali aku absen, apalagi bolos sekolah lalu nongkrong di sebuah cafe, atau sekedar bermain game.Perpustakaan adalah kelas kedua ku. disinilah aku mencuri berbagai ilmu. Beruntungnya sekolah kami memiliki banyak buku di luar pelajaran, baik itu pertanian, politik atau wirausaha.“Woi, pak bos yang rajin sudah makan setengah buku saja,” Sapa Doni salah seorang sahabat ku. Ia datang tidak sendiri. Melaikan bersama para sahabat terbaik ku.Doni Pradita, seorang yang humoris, begitu mencintai dunia technologi. Laptop tidak pernah lepas dari barang yang wajib ia bawa. Ia juga ter
1. KenanganSebuah kenangan tidak bisa menyentuh serta melukai kita secara fisik, tetapi ingatan kita yang mengulang kejadian serta rasa sakitnya itu yang menyakiti.Ma..ma...! Pa....pa...!Jangan pergi...!Mama..!! Teriak Anggita dengan keringat membasahi tubuhnya.“Gita, kamu mimpi buruk lagi?” Tanyaku setelah masuk ke kamar adik ku itu ketika mendengar teriakannya dari kamar ku.“Iya kak, Gita mimpi mama pergi.” Jawab gita dengan wajah sedihnya.“Sabar ya dek, ada kak Johan disini,” Hibur ku pada Gita. Segera aku ambilkan tisu untuk mengelap keringat di dahinya.Setahun sudah sejak kami ditinggal oleh orang tua kami yang wafat dalam sebuah kecelakaan mobil. Suatu kejadian yang hampir membuat aku terjatuh.*******Saat itu Papa dan Mama hendak pergi ke kantornya setelah mengantar kami sekolah. Bagi kami, s