2. Tim Pengembang
Masa sekolah bukan hanya tentang kita mempersiapkan untuk kehidupan, tetapi masa sekolah juga merupakan kehidupan. Maka nikmatilah kehidupan itu. Kelak tidak ada kata yang sia-sia.
Hampir tiga tahun aku di sekolah ini. begitu banyak cerita, pahit atau pun manis. Aku termasuk siswa yang rajin, jarang sekali aku absen, apalagi bolos sekolah lalu nongkrong di sebuah cafe, atau sekedar bermain game.
Perpustakaan adalah kelas kedua ku. disinilah aku mencuri berbagai ilmu. Beruntungnya sekolah kami memiliki banyak buku di luar pelajaran, baik itu pertanian, politik atau wirausaha.
“Woi, pak bos yang rajin sudah makan setengah buku saja,” Sapa Doni salah seorang sahabat ku. Ia datang tidak sendiri. Melaikan bersama para sahabat terbaik ku.
Doni Pradita, seorang yang humoris, begitu mencintai dunia technologi. Laptop tidak pernah lepas dari barang yang wajib ia bawa. Ia juga termasuk salah satu hacker muda di Indonesia. Menurutnya, bisa meretas suatu jaringan adalah hiburan yang menyenangkan.
Ajis Prayoga, sahabat ku, pelatih beladiri ku. Ia adalah kader dari Pencak Silat. Seorang atlet tingkat propinsi. Pernah juga mengikuti kejuaraan tingkat Nasional, tapi ia hanya mendapat juara 3 bersama. Diusianya yang muda, ia sudah menjadi pelatih silat di beberapa sekolah lain, baik itu tingkat SD, SMP dan SMA.
Sahabat ku yang terakhir bernama Anton, pemuda dengan kacamata menghiasi wajahnya, mahir dalam pelajaran matematika. Sahabat yang tidak bisa lepas dari makanan, hingga bentuk badannya sudah seperti kuda nil.
Johan Aditama, itulah nama lengkap ku. Aku lebih tertarik dengan dunia literasi dan wirausaha. Meski aku bukan seorang penulis terkenal, tapi banyak tulisan-tulisan ku yang sengaja hanya menjadi koleksi pribadi.
Setiap hari sekolah kami selalu bersama, menghabiskan waktu sesuai dengan kesepakatan. Akan belajar, atau sekedar mencari hiburan.
Pada dasarnya setiap manusia terlahir sempurna. Disetiap kekurangan pasti ada kelebihan, begitupun sebaliknya. Kami adalah pemuda dengan kesibukan dan kegiatan yang berbeda, tetapi kami memiliki prinsip dan tujuan yang sama. Kami ingin merubah dunia, walaupun hanya sedikit, walaupun sekedar pada bidang yang kami tekuni, setidaknya pada setiap perubahan, kami ada di saat prosesnya.
*****
Pagi itu, semua berjalan seperti biasanya. Masakan Bi Tina adalah masakan paling enak yang pernah kutemui. Wajar saja, sebelum memutuskan pindah ke rumah ini, Bi Tina adalah seorang pekerja di sebuah rumah makan yang cukup besar di daerah Lampung Tengah. Dan ia menempati posisi ketua kokinya. Sedangkan om Agung adalah manager di rumah makan yang sama. Tetapi ada yang berbeda dari wajah Om Agung hari ini, ia nampak lesu, pucat dan penuh masalah.
“Bi, Gita besok ikut lomba baca puisi mewakili sekolah, bibi bisa hadir?” Tanya Gita disela sarapan kami.
“Oh ya,, wah selamat ya dek, kamu memang anak yang pintar, bibi pasti datang,” Jawab Bi Tina menyemangati.
“Asiiik,,, makasih ya bi,” Sahut Gita
Bi Tina menjawab dengan senyum ayu nya.
“Eghemm,,,, Johan, nanti biar sekalian Gita bibi yang antar ya, bersama mas Dakir, kamu ikut Om Agung sebentar,” Ucap Om Agung setelah dari tadi hanya terdiam. Mas Dakir adalah sopir pribadi om Agung, ia adalah teman sekolah om Agung saat SMA dulu.
“Mas,,,” Bi Tina mencoba memotong pembicaraan kami.
“Yakinlah padaku dek, inilah yang harus kita lakukan.” Potong om Agung menjawab keraguan Bi Tina.
Keadaan itu membuat aku bingung, ingin aku bertanya tentang apa yang terjadi, tetapi mulut ini berat untuk melakukannya.
“Baik Om.” Jawab ku singkat.
Sebagaimana penuturan om Agung, setelah selesai sarapan, Gita berangkat sekolah diantar bibi. Dan aku ikut om Agung mengendarai mobil Terios kesayangan om Agung. Mobil melaju dengan kecepatan sedang, kami pergi dengan ditemani lagu-lagu favorite om Agung, yaitu Iwan Fals. Beberapa saat om Agung bertanya tentang kegiatan sekolah ku, tapi lebih banyak diammenikmati setiap lirik lagu yang berdendang. Kupikir kami akan ke kantor atau tempat usaha keluarga yang lain, tetapi ternyata kami pergi ke sebuah fila di teluk. Sesampainya di fila, om Agung langsung memarkirkan mobil ke tempat parkir.
“Kita sampai Johan,” Ucap om Agung.
“Ada acara apa disini om,?” Tanyaku penasaran
“Kita akan bertemu dengan orang-orang yang baik” jawab om Agung dengan senyum menghiasi muka nya mencoba menghilangkan semua masalah.
Kami berjalan menuju sebuah gazebo yang menghadap ke arah laut. Dengan ruangan yang berukuran sekitar 3 x 4, di design serapi dan seindah mungkin. Terdapat kolam ikan di seputar lokasi. Membuat nyaman para pengunjung. Daerah Teluk adalah daerah yang sangat indah, karena kita bisa menikmati pemandangan air laut seperti akan tumpah dan membanjiri tempat kita berada.
Disana sudah berkumpul 4 orang. Satu yang aku kenal, Pak Reihan. Karena ia sering sekali berkunjung ke rumah, ia adalah pemegang keuangan perusahaan kami, orang kepercayaan papa dan di masa om Agung ia tetap dipertahankan.
“Assalamu’alaikum,” Om Agung mengucap salam pada mereka.
“Wa’alaikumussalam,” Jawab mereka hampir berbarengan.
“Hai Johan, bagaimana kabar mu hah,?” Tanya Pak Reihan padaku.
“Alhamdulillah baik Pak.” Jawab ku singkat.
“Johan, perkenalkan ini adalah sahabat sekaligus orang kepercayaan papamu, kamu pasti belum pernah melihat mereka,” Ucap Om Agung sembari melihat ke arah orang-orang yang dimaksud. Aku hanya tersenyum yang dibalas senyum hangat mereka.
“Ini adalah Pak Ridwan, beliau selaku pemegang kunci marketing perusahaan kita,” Sambung Om Agung dengan menunjuk salah seorang diantara mereka. Segera aku menyalami orang tersebut.
Berdasarkan penjelasan singkat Om Agung, Pak Ridwan adalah salah seorang hacker senior di Indonesia. Sampai saat ini ia masih aktif bermain dengan dunia tersebut.
“Kedua ada Pak Hasan, beliau ini adalah kepala biro keamanan di perusahaan.” Om Agung melanjutkan perkenalan temannya.
Pak Hasan adalah orang yang sangat penting di perusahaan papa, dia adalah perwakilan dari perusahaan untuk masuk ke dunia pasar gelap atau biasa disebut shadow economy, dunia para mafia.. Bukan untuk mengikuti perdagangan di pasar gelap, tetapi untuk menjaga keamanan perusahaan. Menjaga kelancaran pemasaran ataupun persaingan pasar. Begitulah yang Om Agung jelaskan.
“Sejatinya lebih dari itu Johan, kau akan mempelajarinya nanti,” Sambung Pak Hasan sembari tersenyum.
Meskipun tersenyum lebar, tidak bisa menutupi wajah sangarnya. Aura premannya tetap mengalir erat. Usianya berkisar 50 tahunan. Tetapi fisiknya masih segar bugar.
“Yang ketiga adalah Pak M. Chairil, mungkin kau bertanya-tanya seperti pernah melihat wajahnya,” Lanjut Om Agung dengan candanya yang didikuti gelagat tawa yang lain.
“Gimana gak kenal, wajahnya terpampang di seluruh jalan, bahkan sampai di WC umum,” Timpal Pak Hasan yang menambah panjang tawa mereka, aku masih belum memahami maksud nya.
“Beliau adalah Anggota Dewan Perwakilan Rakyat han, baru seminggu yang lalu dilantik kembali,” Terang Om Agung.
Kini aku baru sadar mengapa wajahnya tidak asing bagiku. Benar kata Pak Hasan, wajah Pak Chairil memang terpampang di setiap penjuru jalan Bandar Lampung bersama dengan lambang partainya. Menurut Om Agung, fungsi Pak Chairil adalah mengamankan perusahaan di wilayah pemerintahan, bisa dengan dukungan Anggota Dewan ataupun Kepolisian. Pak Chairil menjadi DPR karena biaya yang dikeluarkan dari perusahaan kami. Karena memang kamilah yang menunjuk nya untuk maju.
“Yang terakhir sudah kau kenal lama han, dialah Pak Reihan,” Lanjut Om Agung.
“Sini han, duduk samping Pak Reihan,” Pinta Pak Reihan padaku. Akupun segera mengikuti permintaannya. Om Agung mengambil posisi di di sebelah ku tepat di sisi meja yang bisa menjadi pusat perhatian, karena pada hari ini, Om Agunglah pemilik acara. Mewakili Papa sebagai direktur perusahaan.
Pernah ketika sarapan, Om Agung menjelaskan bahwa perusahaan kita memiliki sebuah team. Dimana mereka bekerja sama membangun dan mengembangkan perusahaan dengan fokus di bidangnya masing-masing. Team ini sangat penting bagi perusahaan, karena tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan cara diplomatik. Ada kalanya hukum rimba berlaku di dunia bisnis dan usaha. Dan kini, aku bertemu dengan mereka.
“Baiklah, langsung saja kita mulai.” Ucap Om Agung memotog lamunanku.
“Seperti yang sudah saya sampaikan beberapa waktu lalu, bahwa cepat atau lambat, kita akan mengajak pewaris perusahaan ini untuk mengetahui tentang perusahaan” Ucap Om Agung memulai percakapan yang kini berubah menjadi serius, semua menyimak, semua diam mendengarkan. Terlihat jelas profesionalitas pada diri mereka.
“Adanya pergolakan di dalam perusahaan yang semakin hari semakin menjadi, banyak data perusahaan yang di bajak, pelanggan yang kabur karena kecewa, atau pengeluaran perusahaan yang belum diketahui sumber nya, dan masih ada beberapa masalah yang terjadi, itu adalah tanggung jawab kita bersama.” Lanjut Om Agung. Semua mengangguk tanda setuju.
“Maka pada hari ini, hadir diantara kita, Johan. Putra Almarhum Bang Zaky, orang yang kita cintai dan hormati.” Jelas Om Agung.
“Johan, di depan kamu ini adalah orang yang dihormati dan menghormati Papa mu, berkembangnya perusahaan juga berkat kerja keras mereka. merekalah yang Om katakan sebagai team pengembang.” Terang Om Agung.
Satu jam berlalu, kami membicarakan tentang rencana perusahaan dan kendala-kendala yang ada. Aku hanya mendengarkan. Banyak yang belum aku mengerti, tetapi mulut ini tak berani mengajukan pertanyaan.
“Sekarang aku serahkan Johan kepada kalian, siapa yang akan memulai melatihnya duluan.” Tanya Om Agung disela-sela diskusi.
“Biarlah ia belajar yang ringan-ringan dulu, duduk tanpa mengeluarkan keringat.” Jawab Pak Hasan meledek.
“Hei Hasan, jangan kau remehkan latihan dengan ku, aku yakin kalau kau ikut, kubuat kau kurus dan muntah-muntah, ha,,” Timpal Pak Reihan.
“Tapi baiklah biar Johan ikut dengan ku dulu, sudah lama aku menunggu waktu ini,” Lanjut Pak Reihan.
“Oke sudah diputuskan, Johan. Satu bulan kedepan kamu akan tinggal bersama Pak Reihan, pulanglah seminggu sekali ke rumah, nanti jadwal Pak Reihan yang mengatur.” Ucap Om Agung menjelaskan.
“Baik Om,” Jawab ku singkat.
Beberapa menit kemudian acara selesai, tepat setelah kami menikmati hidangan makan siang. Sesuai rencana, aku langsung ikut ke mobil Pak Reihan.
Mobil Avanza berwana silver, dengan gambar boneka menghiasi dasbornya. Kulihat banyak mainan di kursi belakang.
“Ada apa Johan, kamu heran dengan isi mobil bapak,?” Tanya Pak Reihan mencoba menebak fikiranku. Aku hanya tersenyu tipis.
“Bapak punya 2 putri. Yang pertama sedang kuliah di UNILA, yang kedua kelas satu SMA.” Jelas Pak Reihan.
“Dan ini adalah kelakuan putri Bapak yang kedua, memang ia sedikit Bapak manjakan.” Lanjut Pak Reihan.
“Rumah Bapak di daerah mana Pak,?” Tanyaku penasaran.
“Oh iya, kamu belum pernah ke rumah bapak ya,?” Jawab Pak Reihan.
“Rumah Bapak berada di Kota Metro,” lanjut Pak Reihan.
30 menit berlalu, kami sudah memasuki Kota Metro. Kota yang terkenal dengan dunia pendidikan, pertanian dan wisata kulinernya. Kota yang sejuk, meskipun banyak gedung menjulang, tetapi persawahan tetap terjaga. Sebuah kota yang unik.
“Disinilah rumah Bapak, han.” Ucap Pak Reihan.
Kami masuk ke sebuah gerbang, dengan design yang luar biasa. Dari gerbang kita masuk sekitar dua ratus meter, baru terlihat ada rumah. Sungguh design keamanan yang canggih.
“Besok rumah-rumah para pengembang perusahaan akan di design seperti ini han, rumah Bapak adalah uji coba. Dan ini adalah ide dari Pak Hasan.” Lagi-lagi Pak Reihan seolah mengetahui apa yang aku pikirkan.
Kami masuk ke dalam rumah dengan model minimalis dipadu dengan warna cat serba putih, sangat elegant.
“Oke, silahkan duduk han, kita istirahat dulu. Kamar mu sedang disiapkan.” Ucap Pak Reihan.
“Ayah, apakah ayah bawa pesananku,” Terdengar suara seorang gadis dari dapur.
“Tentu dong.” Jawab Pak Reihan, kulihat ia tadi mampir ke sebuah cafe. Mungkin barang di plastik hitam itulah yang dimaksud.
“Asiik,” seseorang keluar dari dapur.
“Astaghfirulloh, papa gak ngomong kalo ada tamu.” Protesnya pada pak Herman dengan suara hampir berbisik.
“Ini baru mau ngomong, kenalkan ia adalah Johan. Anak dari Bos Ayah.” Terang Pak Reihan.
Gadis itupun membalikkan badannya, mencoba menepis rasa malunya yang keluar dengan sifat manjanya.
“Hai, sa..ya Dinda, Adinda Putri.” Ucap gadis itu sembari mengalungkan tangan kanannya. Gadis yang anggun dan manis.
“Ha..hai,, nama saya Johan, Johan Aditama.” Jawabku yang ikut gagu sedikit terpesona dengan wajahnya.
Tak butuh waktu lama, sehari setelah datang di rumah Pak Reihan, aku langsung dihadapkan dengan setumpukan buku. Dan semua harus aku baca dalam waktu satu minggu.
Ternyata benar kata Pak Reihan, bahwa berlatih dengannya tidak semudah yang di bayangkan. Rasa jenuh pasti datang, tapi Pak Reihan punya caranya untuk menghiburku. Terkadang sesekali Dinda datang menghampiri, kian hari kami semakin akrab. Ternyata ia sosok yang menyenangkan, pintar dan mandiri. Ia manja hanya karena ingin diperhatikan lebih oleh Ayahnya. Maklum, ibunya meninggal saat dia SMP. Aku jadi teringat Gita. Bagaimana kabarnya, disini aku dilarang membawa HP, tujuannya adalah agar aku fokus dan konsentrasi. Sudah 6 hari aku pergi dari rumah. Besok jadwal aku berkunjung ke rumah.
*****
Satu bulan tidak terasa telah ku lewati bersama Pak Reihan. Ujian pun sudah aku ikuti, tinggal menunggu hasil. Otakku terasa lelah bagai perut yang dipaksa makan meski telah kekenyangan. Ibarat komputer, mungkin perlu dilakukan riset ulang, agar kembali normal.
“Pagi kak Johan,” Sapa dinda dengan membawa secangkir susu dan kue di nampan.
“Pagi din,” Jawab ku singkat.
“Diminum kak susunya,” Sambungnya.
“Oh iya, terima kasih ya din,” Sahut ku sambil mengambil secangkir susu.
“Oh iya, kata ayah kk Johan sudah mendapat ujian dari Ayah ya, wah,, selamat ya,” Ucapnya.
“Iya, kamu gak ada kegiatan din, biasanya kamu berlatih silat,” Tanyaku.
“Aku lagi pingin libur kak, pingin ikut ke rumah kak Johan.” Jawabnya dengan senyum menghiasi.
“Wah bagus tuh, Gita pasti senang mendapat teman baru.” Tambah ku sambil kembali menikmati susu yang terasa pas manisnya.
“Oh iya terima kasih ya sudah menjadi penhibur ku selama disini, kalo gak ada kamu, bisa-bisa pingsan aku.” Sambung ku.
“Ah, santai aja kak, aku juga ikut senang karena jadi punya teman baru di rumah.” Jawab Dinda.
Semakin kupelajari dunia usaha semakin membuat aku tertarik, rasanya sudah tidak sabar aku terjun langsung ke perusahaan.
Beberapa menit berlalu, kini aku tengah bersiap kembali ke rumah. Kuambil jam dan jaket ku.
Setelah aku turun dari tangga kamar ku yang terletak di lantai atas, kulihat Dinda dan Pak Reihan sudah menunggu di ruang tamu.
“Sudah siap han,” Tanya Pak Reihan.
“Sudah pak,” Jawab ku singkat.
Kamipun berangkat menuju Bandar Lampung, ditemani dengan alunan musik Pop yang diputar melalui Hp Dinda. Pak Reihan mengisi perjalanan dengan cerita tentang kecilnya Dinda, hingga membuatnya tersipu malu. Tapi itu menyenangkan. Kebahagiaan antara Ayah dan anaknya. Meski tidak ada Ibu, tetapi Dinda masih memiliki Ayah yang sangat sayang padanya. Dibalik kesedihan, tersimpan kebahagiaan yang disediakan untuk kita.
“Han, kita tidak langsung ke rumah ya,” Ucap Pak Reihan sesampainya kami di kota Bandar Lampung.
“Kemana dulu kita Pak,” Tanyaku penasaran.
“Biasa, tempat team pengembang bertemu.” Jawab Pak Reihan.
Sesampainya di parkiran, kulihat mobil om Agung sudah ada, berarti mereka sudah datang terlebih dahulu.
“Dinda kamu makan di bawah ya, pesan sesukamu. Ayok han,” Ucap Pak Reihan menjelaskan. Yah, Dinda tidak ada hubungannya dengan team pengembang, jadi tidak perlu ikut rapat. Karena percakapan kami adalah percakapan yang sangat rahasia.
“Assalamu’alaikum,” Sapa Pak Reihan kepada Team pengembang yang sudah lengkap personelnya.
“Wa’alaikumussalam,” Jawab mereka bersama.
“Wah, Bagaimana Johan, kelihatannya kau sangat kurus, apa Pak Reihan tidak memberimu makan.” Ledek Pak Chairil. Aku hanya membalas dengan senyuman. Sambil menyalami dan mengambil posisi tempat duduk.
“Lalu, bagaimana hasilnya mas,?” Tanya Om Agung pada Pak Reihan. Diikuti gerakan Pak Reihan yang mengambil sesuatu di dalam tas nya, itu adalah hasil ujianku.
“Hasilnya,,, A+. Hanya salah 5 jawaban dari 300 soal.” Jawab Pak Reihan dengan bangganya.
“Luar biasa, Alhamdulillah.” Sambut om Agung diiringi tepuk tangan dari yang lain.
“Oke, Johan, selamat atas prestasimu ya, om bangga sekali.” Ucap om Agung. Agung membalas dengan anggukan dan senyum tipis.
“Waktu kita tidak banyak, sementara munggu depan Johan Ujian Nasional Sekolahnya, apakah latihan akan tetap berjalan,?” Tanya om Agung pada yang lain.
“Menurut saya kita biarkan Johan istirahat dulu sambil Ujian Sekolah, setelah itu kita lanjutkan.” Saran Pak Chairil.
“Bagaimana yang lain.?” Tanya om Agung. Pak Reihan mengangguk tanda setuju, kemudian diikuti Pak Hasan dan Ridwan.
Setelah keputusan diperoleh, kami melanjutkan ke topik yang lain, yakni laporan dari setiap Team. Belajar berbuku-buku dengan Pak Reihan tidak sia-sia, kini aku memahami setiap masalah yang terjadi, sungguh luar biasa.
Kemarin adalah kenangan, esok adalah masa depan sedangkan hari ini adalah kehidupan nyata yang harus kita lakukan dengan sebaik-baiknya.
Tidak perlu menjadi orang lain agar semua orang mendekati kita. Cukup menjadi diri sendiri, bersahabat dengan beberapa orang asalkan ia bisa menjadi sahabat sejati yang selalu ada untuk setiap keluh kesah.Dua minggu telah berlalu, selesai sudah Ujian Sekolahku. Hari ini aku dan om Agung menjadwalkan akan kembali bertemu dengan team pengembang. Demi melanjutkan latihan-latihanku.Aku masih duduk termangu di dalam kamarku, kamar yang kucintai, kamar yang penuh dengan kenangan. Kamarku berukuran sekitar 5 x 4 meter. Warna ungu muda menghiasi dindingnya. Jendela yang menghadap langsung ke jalanan. Dari sini aku selalu tahu apabila ada seseorang yang datang ke rumah.“Assalamu’alaikum,” Gita datang dengan membawa setoples wafer ditangannya.“Wa’alaikumussalam,” Jawab ku.“Kak, sekarang kan hari minggu, kita sudah jarang sekali keluar bersama. Apakah hari ini kakak sibuk?” Ucap Gita yang
20 menit berlalu, setelah om Agung mendapatkan kabar dari sekretarisnya. Sindy masih duduk ketakutan di depan pintu ruang kerja om Agung. Matanya tak terpalingkan dari pintu ruang khusus tersebut.“Bagaimana situasinya,?” Tanya Pak Hasan yang datang bersama dengan pasukan kepolisian juga om Agung.Sindy menghembuskan nafas, merasa lega. “Belum ada yang keluar dari ruangan, Pak.” Jawab Sindy.Para pasukan langsung masuk ke ruang kerja om Agung, dan kini tepat di depan pintu ruang khusus. Setelah memberi kode aman, om Agung yang sejak tadi memang menunggu perintah untuk membuka pintu.Setelah membuka akses pintu itu, om Agung langsung bersembunyi dibelakang salah satu anggota polisi demi menjaga keamanan. Segera salah satu anggota polisi tersebut melihat ke dalam ruangan, disusul yang lain setelah ada kode aman lagi, Mereka mengecek setiap sudut ruangan. Dan hasilnya nol besar, tidak ditemukan sese
Karena kejadian penyusupan itu, aku lebih sering diminta menemani om Agung di kantor. Memeriksa berkas-berkas tentang laporan setiap cabang. Ada sekitar 50 cabang tersebar ke seluruh Lampung. 3 cabang di medan, 2 di Padang, 3 di Palembang dan 3 di Jambi dan 10 cabang di Pulau Jawa, termasuk 1 di Jakarta. Total, kami memiliki 71 cabang perusahaan. Kami memiliki impian melebarkan cabang kami hingga luar Negeri. Pagi itu, matahari bersinar cerah, udara yang tidak terlalu dingin atau panas menemaniku dan om Agung yang tengah sibuk di kantor. Banyak berkas dari tim pemasaran yang berkaitan dengan model celana jeans terbaru yang harus kami periksa dan pilih menjadi produk unggulan kami.“Hallo, Assalamu’alaikum,” Sapa om Agung setelah mendengar bunyi dering Hp nya.“Wa’alaikumsalam,” Jawab penelfon di sebrang sana yang terdengar jelas oleh ku. Dari suaranya, ia adalah om Ferdy. Memang kami sedangmenung
Satu bulan setelah kepergian om Ferdy, aku dan Ajis sudah menyelesaikan latihan ku dengan Pak Hasan dan Reina. Om Agung benar, Reina adalah gadis yang luar biasa. Ia adalah pesilat, penembak jitu dan ahli strategi peperangan.Banyak ilmu yang kami peroleh dari nya. Meskipun banyak juga siksaan yang harus kami terima sebagai syaratnya. Dalam latihan selama satu bulan, aku dan Ajis sekalipun tidak bisa mengalahkan Reina dalam hal sambung atau adu tanding. Kami selalu kalah telak, sekeras apapun kami berusaha. Tetapi dalam hal menembak, Ajis bisa mengunggulinya.Aku kembali ke rumah. Semua tim ku telah menjalani latihan awal kami. Kami sedang menunggu latihan selanjutnya yang sedang direncanakan oleh om Agung dan pak Hasan. Menurut mereka, kami harus tinggal bersama untuk mematangkan kekompakan kami.Minggu ini waktunya aku dan Gita menikmati liburan kami, sesuai dengan janji yang pernah aku ucapkan. Aku dan om Agung sepakat menyembunyikan t
Satu bulan berlalu, aku dan om Agung masih selalu menyelidiki tentang alamat itu. Bahkan, selama beberapa hari aku mengikuti kegiatan mereka. Tapi semua sia-sia, tidak ada bukti yang menunjukkan keterlibatan pak Abdulloh dengan papa, atau on Ferdy. Apakah pelaku menggunakan rumah atau identitas palsu?. Itulah jawaban yang saat ini aku yakini. Mungkin pelaku menyadari bahwa om Ferdi bisa menghianatinya, sehingga ia tetap berhati-hati, bahkan menjebak dan membunuh om Ferdy. Dengan kejadian itu, aku menyadari bahwa penghianat ini adalah orang yang berbahaya. Ia tak segan melakukan apapun agar rencananya berhasil. Sejak kejadian Om Ferdy, sistem keamanan di setiap perusahaan ditambah. Bahkan di rumah juga. Kami harus selalu berhati-hati. Sesuatu bisa terjadi jika kami lengah lagi. Kini Gita diantar jemput oleh salah satu anggota pasukan khus
1. KenanganSebuah kenangan tidak bisa menyentuh serta melukai kita secara fisik, tetapi ingatan kita yang mengulang kejadian serta rasa sakitnya itu yang menyakiti.Ma..ma...! Pa....pa...!Jangan pergi...!Mama..!! Teriak Anggita dengan keringat membasahi tubuhnya.“Gita, kamu mimpi buruk lagi?” Tanyaku setelah masuk ke kamar adik ku itu ketika mendengar teriakannya dari kamar ku.“Iya kak, Gita mimpi mama pergi.” Jawab gita dengan wajah sedihnya.“Sabar ya dek, ada kak Johan disini,” Hibur ku pada Gita. Segera aku ambilkan tisu untuk mengelap keringat di dahinya.Setahun sudah sejak kami ditinggal oleh orang tua kami yang wafat dalam sebuah kecelakaan mobil. Suatu kejadian yang hampir membuat aku terjatuh.*******Saat itu Papa dan Mama hendak pergi ke kantornya setelah mengantar kami sekolah. Bagi kami, s
Satu bulan berlalu, aku dan om Agung masih selalu menyelidiki tentang alamat itu. Bahkan, selama beberapa hari aku mengikuti kegiatan mereka. Tapi semua sia-sia, tidak ada bukti yang menunjukkan keterlibatan pak Abdulloh dengan papa, atau on Ferdy. Apakah pelaku menggunakan rumah atau identitas palsu?. Itulah jawaban yang saat ini aku yakini. Mungkin pelaku menyadari bahwa om Ferdi bisa menghianatinya, sehingga ia tetap berhati-hati, bahkan menjebak dan membunuh om Ferdy. Dengan kejadian itu, aku menyadari bahwa penghianat ini adalah orang yang berbahaya. Ia tak segan melakukan apapun agar rencananya berhasil. Sejak kejadian Om Ferdy, sistem keamanan di setiap perusahaan ditambah. Bahkan di rumah juga. Kami harus selalu berhati-hati. Sesuatu bisa terjadi jika kami lengah lagi. Kini Gita diantar jemput oleh salah satu anggota pasukan khus
Satu bulan setelah kepergian om Ferdy, aku dan Ajis sudah menyelesaikan latihan ku dengan Pak Hasan dan Reina. Om Agung benar, Reina adalah gadis yang luar biasa. Ia adalah pesilat, penembak jitu dan ahli strategi peperangan.Banyak ilmu yang kami peroleh dari nya. Meskipun banyak juga siksaan yang harus kami terima sebagai syaratnya. Dalam latihan selama satu bulan, aku dan Ajis sekalipun tidak bisa mengalahkan Reina dalam hal sambung atau adu tanding. Kami selalu kalah telak, sekeras apapun kami berusaha. Tetapi dalam hal menembak, Ajis bisa mengunggulinya.Aku kembali ke rumah. Semua tim ku telah menjalani latihan awal kami. Kami sedang menunggu latihan selanjutnya yang sedang direncanakan oleh om Agung dan pak Hasan. Menurut mereka, kami harus tinggal bersama untuk mematangkan kekompakan kami.Minggu ini waktunya aku dan Gita menikmati liburan kami, sesuai dengan janji yang pernah aku ucapkan. Aku dan om Agung sepakat menyembunyikan t
Karena kejadian penyusupan itu, aku lebih sering diminta menemani om Agung di kantor. Memeriksa berkas-berkas tentang laporan setiap cabang. Ada sekitar 50 cabang tersebar ke seluruh Lampung. 3 cabang di medan, 2 di Padang, 3 di Palembang dan 3 di Jambi dan 10 cabang di Pulau Jawa, termasuk 1 di Jakarta. Total, kami memiliki 71 cabang perusahaan. Kami memiliki impian melebarkan cabang kami hingga luar Negeri. Pagi itu, matahari bersinar cerah, udara yang tidak terlalu dingin atau panas menemaniku dan om Agung yang tengah sibuk di kantor. Banyak berkas dari tim pemasaran yang berkaitan dengan model celana jeans terbaru yang harus kami periksa dan pilih menjadi produk unggulan kami.“Hallo, Assalamu’alaikum,” Sapa om Agung setelah mendengar bunyi dering Hp nya.“Wa’alaikumsalam,” Jawab penelfon di sebrang sana yang terdengar jelas oleh ku. Dari suaranya, ia adalah om Ferdy. Memang kami sedangmenung
20 menit berlalu, setelah om Agung mendapatkan kabar dari sekretarisnya. Sindy masih duduk ketakutan di depan pintu ruang kerja om Agung. Matanya tak terpalingkan dari pintu ruang khusus tersebut.“Bagaimana situasinya,?” Tanya Pak Hasan yang datang bersama dengan pasukan kepolisian juga om Agung.Sindy menghembuskan nafas, merasa lega. “Belum ada yang keluar dari ruangan, Pak.” Jawab Sindy.Para pasukan langsung masuk ke ruang kerja om Agung, dan kini tepat di depan pintu ruang khusus. Setelah memberi kode aman, om Agung yang sejak tadi memang menunggu perintah untuk membuka pintu.Setelah membuka akses pintu itu, om Agung langsung bersembunyi dibelakang salah satu anggota polisi demi menjaga keamanan. Segera salah satu anggota polisi tersebut melihat ke dalam ruangan, disusul yang lain setelah ada kode aman lagi, Mereka mengecek setiap sudut ruangan. Dan hasilnya nol besar, tidak ditemukan sese
Tidak perlu menjadi orang lain agar semua orang mendekati kita. Cukup menjadi diri sendiri, bersahabat dengan beberapa orang asalkan ia bisa menjadi sahabat sejati yang selalu ada untuk setiap keluh kesah.Dua minggu telah berlalu, selesai sudah Ujian Sekolahku. Hari ini aku dan om Agung menjadwalkan akan kembali bertemu dengan team pengembang. Demi melanjutkan latihan-latihanku.Aku masih duduk termangu di dalam kamarku, kamar yang kucintai, kamar yang penuh dengan kenangan. Kamarku berukuran sekitar 5 x 4 meter. Warna ungu muda menghiasi dindingnya. Jendela yang menghadap langsung ke jalanan. Dari sini aku selalu tahu apabila ada seseorang yang datang ke rumah.“Assalamu’alaikum,” Gita datang dengan membawa setoples wafer ditangannya.“Wa’alaikumussalam,” Jawab ku.“Kak, sekarang kan hari minggu, kita sudah jarang sekali keluar bersama. Apakah hari ini kakak sibuk?” Ucap Gita yang
2.Tim PengembangMasa sekolah bukan hanya tentang kita mempersiapkan untuk kehidupan, tetapi masa sekolah juga merupakan kehidupan. Maka nikmatilah kehidupan itu. Kelak tidak ada kata yang sia-sia.Hampir tiga tahun aku di sekolah ini. begitu banyak cerita, pahit atau pun manis. Aku termasuk siswa yang rajin, jarang sekali aku absen, apalagi bolos sekolah lalu nongkrong di sebuah cafe, atau sekedar bermain game.Perpustakaan adalah kelas kedua ku. disinilah aku mencuri berbagai ilmu. Beruntungnya sekolah kami memiliki banyak buku di luar pelajaran, baik itu pertanian, politik atau wirausaha.“Woi, pak bos yang rajin sudah makan setengah buku saja,” Sapa Doni salah seorang sahabat ku. Ia datang tidak sendiri. Melaikan bersama para sahabat terbaik ku.Doni Pradita, seorang yang humoris, begitu mencintai dunia technologi. Laptop tidak pernah lepas dari barang yang wajib ia bawa. Ia juga ter
1. KenanganSebuah kenangan tidak bisa menyentuh serta melukai kita secara fisik, tetapi ingatan kita yang mengulang kejadian serta rasa sakitnya itu yang menyakiti.Ma..ma...! Pa....pa...!Jangan pergi...!Mama..!! Teriak Anggita dengan keringat membasahi tubuhnya.“Gita, kamu mimpi buruk lagi?” Tanyaku setelah masuk ke kamar adik ku itu ketika mendengar teriakannya dari kamar ku.“Iya kak, Gita mimpi mama pergi.” Jawab gita dengan wajah sedihnya.“Sabar ya dek, ada kak Johan disini,” Hibur ku pada Gita. Segera aku ambilkan tisu untuk mengelap keringat di dahinya.Setahun sudah sejak kami ditinggal oleh orang tua kami yang wafat dalam sebuah kecelakaan mobil. Suatu kejadian yang hampir membuat aku terjatuh.*******Saat itu Papa dan Mama hendak pergi ke kantornya setelah mengantar kami sekolah. Bagi kami, s