Satu bulan setelah kepergian om Ferdy, aku dan Ajis sudah menyelesaikan latihan ku dengan Pak Hasan dan Reina. Om Agung benar, Reina adalah gadis yang luar biasa. Ia adalah pesilat, penembak jitu dan ahli strategi peperangan.
Banyak ilmu yang kami peroleh dari nya. Meskipun banyak juga siksaan yang harus kami terima sebagai syaratnya. Dalam latihan selama satu bulan, aku dan Ajis sekalipun tidak bisa mengalahkan Reina dalam hal sambung atau adu tanding. Kami selalu kalah telak, sekeras apapun kami berusaha. Tetapi dalam hal menembak, Ajis bisa mengunggulinya.
Aku kembali ke rumah. Semua tim ku telah menjalani latihan awal kami. Kami sedang menunggu latihan selanjutnya yang sedang direncanakan oleh om Agung dan pak Hasan. Menurut mereka, kami harus tinggal bersama untuk mematangkan kekompakan kami.
Minggu ini waktunya aku dan Gita menikmati liburan kami, sesuai dengan janji yang pernah aku ucapkan. Aku dan om Agung sepakat menyembunyikan tentang pesan terakhir om Ferdy mengenai tim pengembang. Aku selalu bertanya-tanya siapa pelaku pembunuh om Ferdy. Bahkan Reina dan pasukannya bisa alpa mengenai keberadaan pelaku tersebut. Sehingga ia berhasil kabur melalui jalan yang aku dan om Agung lalui di Gudang itu.
Aku mulai mengumpulkan data tentang tim pengembang tanpa sepengetahuan om Agung. Teka-teki ini, harus aku yang memecahkannya.
Hari ini kami berencana liburan ke Way Kambas di Kabupaten Way Jepara. Bukan sekedar menyenangkan Gita.tetapi aku dan om Agung berencana menyelidiki alamat yang tertera di video dari om Ferdy yang telah kami putar. Di alamat itulah om Ferdy melakukan pertemuan, yang kemungkinan menyusun rencana pembunuhan orang tua ku.
Sayangnya video itu berhenti ketika om Ferdy masuk ke rumah tersebut. Dalam flashdisk itu juga terdapat sebuah rekaman suara. Tetapi rekaman itu terkunci. Dan kini sedang ditangani oleh Doni, karena kami tidak bisa ke Pak Ridwan. Kami teringat pesan terakhir om Ferdy.
“Kak Johan dan om Agung lama gak perginya?” Tanya Gita yang sedikit kesal karena harus kami tinggal bersama bi Lina di Way Kambas.
Aku tersenyum tipis. “Tenang dek,, kakak dan om Cuma sebentar kok. Bener gak om,?” Jawab ku menghiburnya.
“Ia dong, kami juga kan pingin liburan, foto dengan gajah-gajah,” sahut om Agung.
“Oke deh, Gita tunggu,” Jawab Gita dengan senyum bahagia di bibirnya. Diikuti usapan tangan bi Lina ke kepala Gita. Sejujurnya aku sudah tidak sabar meraih kebahagiaan bersama mereka. tetapi, ada halpenting yang harus kami selesaikan. Menyangkut keluarga, perusahaan dan balas dendam.
“Kita berangkat Han,” Ucap om Agung. Aku menoleh ke arahnya, muka om Agung sudah berubah serius. “Baik om,” Jawab ku diikuti langkah kami menuju mobil.
Balas dendam, aku baru sadar akan kata-kata itu. Kini impian ku bukan hanya tentang melindungi perusahaan kami. Tetapi ada misi baru yang terpatri di dadaku. Aku harus menemukan siapa pelaku pembunuh orang tua ku. Aku harus menemukan siapa pembunuh om Ferdy. Untuk merekalah dendam ini tercipta.
Kami segera melaju ke alamat yang letaknya tidak terlalu jauh dari tempat kami berlibur. Hanya satu kilo meter. Daerah disini masih banyak pedesaan. Udara yang tertiup segar. Aroma tumbuhan padi memanjakan hidung ku yang sengaja membuka kaca mobil. Sungguh indah dan asri.
“Kita sudah dekat Han. Dari warung inilah video itu mulai,” Ucap om Agung seraya menunjuk warung sembako dengan nama warung Munawir.
Aku mengangguk. “Iya om,” Jawab ku sependapat.
“Nah itu dia rumahnya.” Lanjut ku setelah melihat sebuah rumah dengan design lebih mewah dari rumah-rumah yang lain di sekitarnya.
“Kita pakai penyamarannya dulu Han,” Ajak om Agung. Segera aku keluarkan topeng wajah yang kami beli dari online dengan harga yang cukup mahal. Tapi topeng ini sungguh luar biasa. Sangat persis menyerupai wajah manusia. Kami menyamar dengan wajah yang penuh dengan brewok dan sedikit menyerupai seorang ustadz.
Dengan ini kami bisa menyembunyikan identitas kami. Mobil om Agung sengaja kami parkir dengan jarak yang lumayan jauh dari lokasi. Kami akan menyamar sebagai seorang ustadz yang sedang mencari donatur sebuah pondok pesantren.
Ketika semua sudah siap, kami segera menuju lokasi.
“Assalamu’alaikum,,” Ucap ku.
“Wa’alaikumussalam,” Seorang Gadis anggun dengan pakaian syar’i menjawab salam ku dibalut suaranya yang merdu. Seakan suara yang sangat aku kenal. Tapi siapa, entahlah. Tak ada waktu untuk menelusurinya.
“Ada yang bisa saya bantu tadz,?” Lanjut Gadis itu.
“Kami sedang mencari seorang donatur untuk pondok pesantren kami dek, boleh kami bertemu bapak atau ibu,?” Jawab om Agung memulai alasan.
“Oh, saya panggilkan dulu ya tadz. Silahkan masuk dan tunggu di teras tadz.” Jawab Gadis itu seraya membuka kuci gerbang dan berlalu ke dalam rumah. Aku dan om Agung segera menuju kursi rotan yang ada di teras.
“Maaf, ada apa ya,?” Ucap seorang laki-laki dengan pakaian jubah yang keluar setelah beberapa menit kami menunggu.
“Oh, maaf pak mengganggu waktunya. Kami utusan dari Pondok Pesantren Al-Falah.” Jawab om Agung seraya menjulurkan tangan yang disambut hangat oleh lelaki tersebut.
“Oh tidak sama sekali. Silahkan masuk. Kita bicara di dalam saja,” Lanjut lelaki tersebut. Kamipun mengikuti ajakannya. Kami masuk dengan penuh kehati-hatian. Mata ku tak berhenti melihat sekeliling isi rumah dari sudut satu ke sudut yang lain, selagi om Agung melakukan tugasnya sebagai pengalih perhatian. Sekaligus memancing dan mencuri informasi. Di peci ku sudah terpasang sebuah kamera tersembunyi yang siap merekam apa yang aku lihat.
Bapak Abdulloh Nasution. Itulah nama lelaki tersebut. Pemilik salah satu pondok pesantren di daerah Way Jepara. Siti Aisyah adalah nama istrinya. Memiliki 2 orang anak, yang pertama Reisya Nasution, dan yang ke dua Abdul Rozik Nasution. Kami berbincang dengan Pak Abdulloh yang ditemani oleh istri dan anak gadis yang menyambut kami.
Sudah tinggal selama 20 tahun di rumah itu. Tak ada tanda-tanda keterlibatan dengan almarhum orang tua ku. Bahkan sebanyak apapun om Agung menyinggung tentang perusahaan, tetapi raut wajah datar Pak Abduloh menandakan ketidak tahuannya tentang perusahaan kami ataupun tentang orang yang kami sebutkan nama-namanya. Termasuk nama om Ferdy. Begitu juga reaksi istrinya. Sedangkan anak gadisnya lebih banyak memalingkan wajahnya, yang menurut penilaianku karena sangat menjaga pandangannya sebagai seorang muslimah. Sesaat aku teringat sosok Adinda.
Seisi ruangan itu tak luput dari pandanganku, hanya sebuah piagam, piala, hiasan dan foto keluarga yang memenuhi ruangan. Semua jawaban dari pak Abdulloh membuat kami putus asa. 30 menit kami berbincang, akhirnya kami pamit pulang dengan hasil nol besar.
Kenapa om Ferdy menunjukkan alamat rumah itu?. Sebuah teka-teki baru yang sangat sulit kami pecahkan.
“Bagaimana om,?” Tanyaku pada om Agung yang memutar video hasil rekaman ku sejak kami kembali ke mobil.
Om agung menarik napas panjang dan menyenderkan kepalanya di kursi kemudi. “Nol besar Han,” Keluh om Agung.
“Tak ada tanda-tanda sangkut pautnya dengan perusahaan kita atau papa om,” tambah ku.
“Begitulah, bahkan reaksi mereka sangat datar ketika oom sebut tentang perusahaan, mereka sama sekali tidak tahu,” Ucap om Agung melanjutkan. “Lalu siapa yang bicara dengan Ferdy di rumah itu,?” Om Agung kembali mengeluh.
“Oke, kita lanjutkan di rumah Han, kasian Gita dan bibimu sudah lama menunggu,” Ucap om Agung yang merasa lelah dengan teka-teki ini.
Kami segera kembali ke tempat Gita berada. Menikmati indahnya sebuah keluarga meskipun tanda tanya besar tak hilang dari kepala ku atau om Agung.
*****
Satu bulan berlalu, aku dan om Agung masih selalu menyelidiki tentang alamat itu. Bahkan, selama beberapa hari aku mengikuti kegiatan mereka. Tapi semua sia-sia, tidak ada bukti yang menunjukkan keterlibatan pak Abdulloh dengan papa, atau on Ferdy. Apakah pelaku menggunakan rumah atau identitas palsu?. Itulah jawaban yang saat ini aku yakini. Mungkin pelaku menyadari bahwa om Ferdi bisa menghianatinya, sehingga ia tetap berhati-hati, bahkan menjebak dan membunuh om Ferdy. Dengan kejadian itu, aku menyadari bahwa penghianat ini adalah orang yang berbahaya. Ia tak segan melakukan apapun agar rencananya berhasil. Sejak kejadian Om Ferdy, sistem keamanan di setiap perusahaan ditambah. Bahkan di rumah juga. Kami harus selalu berhati-hati. Sesuatu bisa terjadi jika kami lengah lagi. Kini Gita diantar jemput oleh salah satu anggota pasukan khus
1. KenanganSebuah kenangan tidak bisa menyentuh serta melukai kita secara fisik, tetapi ingatan kita yang mengulang kejadian serta rasa sakitnya itu yang menyakiti.Ma..ma...! Pa....pa...!Jangan pergi...!Mama..!! Teriak Anggita dengan keringat membasahi tubuhnya.“Gita, kamu mimpi buruk lagi?” Tanyaku setelah masuk ke kamar adik ku itu ketika mendengar teriakannya dari kamar ku.“Iya kak, Gita mimpi mama pergi.” Jawab gita dengan wajah sedihnya.“Sabar ya dek, ada kak Johan disini,” Hibur ku pada Gita. Segera aku ambilkan tisu untuk mengelap keringat di dahinya.Setahun sudah sejak kami ditinggal oleh orang tua kami yang wafat dalam sebuah kecelakaan mobil. Suatu kejadian yang hampir membuat aku terjatuh.*******Saat itu Papa dan Mama hendak pergi ke kantornya setelah mengantar kami sekolah. Bagi kami, s
2.Tim PengembangMasa sekolah bukan hanya tentang kita mempersiapkan untuk kehidupan, tetapi masa sekolah juga merupakan kehidupan. Maka nikmatilah kehidupan itu. Kelak tidak ada kata yang sia-sia.Hampir tiga tahun aku di sekolah ini. begitu banyak cerita, pahit atau pun manis. Aku termasuk siswa yang rajin, jarang sekali aku absen, apalagi bolos sekolah lalu nongkrong di sebuah cafe, atau sekedar bermain game.Perpustakaan adalah kelas kedua ku. disinilah aku mencuri berbagai ilmu. Beruntungnya sekolah kami memiliki banyak buku di luar pelajaran, baik itu pertanian, politik atau wirausaha.“Woi, pak bos yang rajin sudah makan setengah buku saja,” Sapa Doni salah seorang sahabat ku. Ia datang tidak sendiri. Melaikan bersama para sahabat terbaik ku.Doni Pradita, seorang yang humoris, begitu mencintai dunia technologi. Laptop tidak pernah lepas dari barang yang wajib ia bawa. Ia juga ter
Tidak perlu menjadi orang lain agar semua orang mendekati kita. Cukup menjadi diri sendiri, bersahabat dengan beberapa orang asalkan ia bisa menjadi sahabat sejati yang selalu ada untuk setiap keluh kesah.Dua minggu telah berlalu, selesai sudah Ujian Sekolahku. Hari ini aku dan om Agung menjadwalkan akan kembali bertemu dengan team pengembang. Demi melanjutkan latihan-latihanku.Aku masih duduk termangu di dalam kamarku, kamar yang kucintai, kamar yang penuh dengan kenangan. Kamarku berukuran sekitar 5 x 4 meter. Warna ungu muda menghiasi dindingnya. Jendela yang menghadap langsung ke jalanan. Dari sini aku selalu tahu apabila ada seseorang yang datang ke rumah.“Assalamu’alaikum,” Gita datang dengan membawa setoples wafer ditangannya.“Wa’alaikumussalam,” Jawab ku.“Kak, sekarang kan hari minggu, kita sudah jarang sekali keluar bersama. Apakah hari ini kakak sibuk?” Ucap Gita yang
20 menit berlalu, setelah om Agung mendapatkan kabar dari sekretarisnya. Sindy masih duduk ketakutan di depan pintu ruang kerja om Agung. Matanya tak terpalingkan dari pintu ruang khusus tersebut.“Bagaimana situasinya,?” Tanya Pak Hasan yang datang bersama dengan pasukan kepolisian juga om Agung.Sindy menghembuskan nafas, merasa lega. “Belum ada yang keluar dari ruangan, Pak.” Jawab Sindy.Para pasukan langsung masuk ke ruang kerja om Agung, dan kini tepat di depan pintu ruang khusus. Setelah memberi kode aman, om Agung yang sejak tadi memang menunggu perintah untuk membuka pintu.Setelah membuka akses pintu itu, om Agung langsung bersembunyi dibelakang salah satu anggota polisi demi menjaga keamanan. Segera salah satu anggota polisi tersebut melihat ke dalam ruangan, disusul yang lain setelah ada kode aman lagi, Mereka mengecek setiap sudut ruangan. Dan hasilnya nol besar, tidak ditemukan sese
Karena kejadian penyusupan itu, aku lebih sering diminta menemani om Agung di kantor. Memeriksa berkas-berkas tentang laporan setiap cabang. Ada sekitar 50 cabang tersebar ke seluruh Lampung. 3 cabang di medan, 2 di Padang, 3 di Palembang dan 3 di Jambi dan 10 cabang di Pulau Jawa, termasuk 1 di Jakarta. Total, kami memiliki 71 cabang perusahaan. Kami memiliki impian melebarkan cabang kami hingga luar Negeri. Pagi itu, matahari bersinar cerah, udara yang tidak terlalu dingin atau panas menemaniku dan om Agung yang tengah sibuk di kantor. Banyak berkas dari tim pemasaran yang berkaitan dengan model celana jeans terbaru yang harus kami periksa dan pilih menjadi produk unggulan kami.“Hallo, Assalamu’alaikum,” Sapa om Agung setelah mendengar bunyi dering Hp nya.“Wa’alaikumsalam,” Jawab penelfon di sebrang sana yang terdengar jelas oleh ku. Dari suaranya, ia adalah om Ferdy. Memang kami sedangmenung
Satu bulan berlalu, aku dan om Agung masih selalu menyelidiki tentang alamat itu. Bahkan, selama beberapa hari aku mengikuti kegiatan mereka. Tapi semua sia-sia, tidak ada bukti yang menunjukkan keterlibatan pak Abdulloh dengan papa, atau on Ferdy. Apakah pelaku menggunakan rumah atau identitas palsu?. Itulah jawaban yang saat ini aku yakini. Mungkin pelaku menyadari bahwa om Ferdi bisa menghianatinya, sehingga ia tetap berhati-hati, bahkan menjebak dan membunuh om Ferdy. Dengan kejadian itu, aku menyadari bahwa penghianat ini adalah orang yang berbahaya. Ia tak segan melakukan apapun agar rencananya berhasil. Sejak kejadian Om Ferdy, sistem keamanan di setiap perusahaan ditambah. Bahkan di rumah juga. Kami harus selalu berhati-hati. Sesuatu bisa terjadi jika kami lengah lagi. Kini Gita diantar jemput oleh salah satu anggota pasukan khus
Satu bulan setelah kepergian om Ferdy, aku dan Ajis sudah menyelesaikan latihan ku dengan Pak Hasan dan Reina. Om Agung benar, Reina adalah gadis yang luar biasa. Ia adalah pesilat, penembak jitu dan ahli strategi peperangan.Banyak ilmu yang kami peroleh dari nya. Meskipun banyak juga siksaan yang harus kami terima sebagai syaratnya. Dalam latihan selama satu bulan, aku dan Ajis sekalipun tidak bisa mengalahkan Reina dalam hal sambung atau adu tanding. Kami selalu kalah telak, sekeras apapun kami berusaha. Tetapi dalam hal menembak, Ajis bisa mengunggulinya.Aku kembali ke rumah. Semua tim ku telah menjalani latihan awal kami. Kami sedang menunggu latihan selanjutnya yang sedang direncanakan oleh om Agung dan pak Hasan. Menurut mereka, kami harus tinggal bersama untuk mematangkan kekompakan kami.Minggu ini waktunya aku dan Gita menikmati liburan kami, sesuai dengan janji yang pernah aku ucapkan. Aku dan om Agung sepakat menyembunyikan t
Karena kejadian penyusupan itu, aku lebih sering diminta menemani om Agung di kantor. Memeriksa berkas-berkas tentang laporan setiap cabang. Ada sekitar 50 cabang tersebar ke seluruh Lampung. 3 cabang di medan, 2 di Padang, 3 di Palembang dan 3 di Jambi dan 10 cabang di Pulau Jawa, termasuk 1 di Jakarta. Total, kami memiliki 71 cabang perusahaan. Kami memiliki impian melebarkan cabang kami hingga luar Negeri. Pagi itu, matahari bersinar cerah, udara yang tidak terlalu dingin atau panas menemaniku dan om Agung yang tengah sibuk di kantor. Banyak berkas dari tim pemasaran yang berkaitan dengan model celana jeans terbaru yang harus kami periksa dan pilih menjadi produk unggulan kami.“Hallo, Assalamu’alaikum,” Sapa om Agung setelah mendengar bunyi dering Hp nya.“Wa’alaikumsalam,” Jawab penelfon di sebrang sana yang terdengar jelas oleh ku. Dari suaranya, ia adalah om Ferdy. Memang kami sedangmenung
20 menit berlalu, setelah om Agung mendapatkan kabar dari sekretarisnya. Sindy masih duduk ketakutan di depan pintu ruang kerja om Agung. Matanya tak terpalingkan dari pintu ruang khusus tersebut.“Bagaimana situasinya,?” Tanya Pak Hasan yang datang bersama dengan pasukan kepolisian juga om Agung.Sindy menghembuskan nafas, merasa lega. “Belum ada yang keluar dari ruangan, Pak.” Jawab Sindy.Para pasukan langsung masuk ke ruang kerja om Agung, dan kini tepat di depan pintu ruang khusus. Setelah memberi kode aman, om Agung yang sejak tadi memang menunggu perintah untuk membuka pintu.Setelah membuka akses pintu itu, om Agung langsung bersembunyi dibelakang salah satu anggota polisi demi menjaga keamanan. Segera salah satu anggota polisi tersebut melihat ke dalam ruangan, disusul yang lain setelah ada kode aman lagi, Mereka mengecek setiap sudut ruangan. Dan hasilnya nol besar, tidak ditemukan sese
Tidak perlu menjadi orang lain agar semua orang mendekati kita. Cukup menjadi diri sendiri, bersahabat dengan beberapa orang asalkan ia bisa menjadi sahabat sejati yang selalu ada untuk setiap keluh kesah.Dua minggu telah berlalu, selesai sudah Ujian Sekolahku. Hari ini aku dan om Agung menjadwalkan akan kembali bertemu dengan team pengembang. Demi melanjutkan latihan-latihanku.Aku masih duduk termangu di dalam kamarku, kamar yang kucintai, kamar yang penuh dengan kenangan. Kamarku berukuran sekitar 5 x 4 meter. Warna ungu muda menghiasi dindingnya. Jendela yang menghadap langsung ke jalanan. Dari sini aku selalu tahu apabila ada seseorang yang datang ke rumah.“Assalamu’alaikum,” Gita datang dengan membawa setoples wafer ditangannya.“Wa’alaikumussalam,” Jawab ku.“Kak, sekarang kan hari minggu, kita sudah jarang sekali keluar bersama. Apakah hari ini kakak sibuk?” Ucap Gita yang
2.Tim PengembangMasa sekolah bukan hanya tentang kita mempersiapkan untuk kehidupan, tetapi masa sekolah juga merupakan kehidupan. Maka nikmatilah kehidupan itu. Kelak tidak ada kata yang sia-sia.Hampir tiga tahun aku di sekolah ini. begitu banyak cerita, pahit atau pun manis. Aku termasuk siswa yang rajin, jarang sekali aku absen, apalagi bolos sekolah lalu nongkrong di sebuah cafe, atau sekedar bermain game.Perpustakaan adalah kelas kedua ku. disinilah aku mencuri berbagai ilmu. Beruntungnya sekolah kami memiliki banyak buku di luar pelajaran, baik itu pertanian, politik atau wirausaha.“Woi, pak bos yang rajin sudah makan setengah buku saja,” Sapa Doni salah seorang sahabat ku. Ia datang tidak sendiri. Melaikan bersama para sahabat terbaik ku.Doni Pradita, seorang yang humoris, begitu mencintai dunia technologi. Laptop tidak pernah lepas dari barang yang wajib ia bawa. Ia juga ter
1. KenanganSebuah kenangan tidak bisa menyentuh serta melukai kita secara fisik, tetapi ingatan kita yang mengulang kejadian serta rasa sakitnya itu yang menyakiti.Ma..ma...! Pa....pa...!Jangan pergi...!Mama..!! Teriak Anggita dengan keringat membasahi tubuhnya.“Gita, kamu mimpi buruk lagi?” Tanyaku setelah masuk ke kamar adik ku itu ketika mendengar teriakannya dari kamar ku.“Iya kak, Gita mimpi mama pergi.” Jawab gita dengan wajah sedihnya.“Sabar ya dek, ada kak Johan disini,” Hibur ku pada Gita. Segera aku ambilkan tisu untuk mengelap keringat di dahinya.Setahun sudah sejak kami ditinggal oleh orang tua kami yang wafat dalam sebuah kecelakaan mobil. Suatu kejadian yang hampir membuat aku terjatuh.*******Saat itu Papa dan Mama hendak pergi ke kantornya setelah mengantar kami sekolah. Bagi kami, s