Rumah besar Bu Utari. Kini hanya diisi oleh beberapa kerabat yang masih berdiam di sana. Memutuskan pulang, setelah mengikuti tahlilan nanti malam.Di dapur, Bi Yuyun serta Mang Parjo—suaminya. Tengah meratapi kepergian majikan mereka. Sepasang mata mereka masih mengembun. Dipenuhi sisa-sisa airmata.Majikan yang telah memperkerjakan mereka bertahun-tahun. Majikan yang sangat baik di mata mereka. Kini, telah kembali kepelukan Sang Pemilik Kehidupan.Dewa serta Nakula, berada di ruang depan. Duduk berhadapan di sofa single dan Wira di tengah-tengah mereka.Wira menatap bergantian kedua anak dari almarhum Bu Utari. Wira yang merupakan kerabat dekat dari Bu Utari merasakan kekesalan pada kelakuan Dewa dan Nakula.“Kita cari jalan keluar dari masalah yang terjadi di antara kalian!" tegas Wira tanpa banyak basa-basi."Nakula. Kamu yang paling bertanggungjawab, dan menjadi pemicu dari segala masalah yang terjadi saat ini!" ujar Wira. Membuat Nakula mendongak, dan matanya membesar. Tak perca
Dalam kamar Dewa. Wira telah duduk bersila di atas tempat tidur king size. Dengan laptop di pangkuannya.Sementara Dewa. Memilih duduk di hadapan Om-nya itu. Tak sanggup, dia melihat adegan-adegan menjijikan itu lagi. Dewa mual jika harus melihat semua adegan yang terekam di sana.Wira fokus memeriksa satu persatu file yang terdapat dalam galeri.Wira terkejut. Melihat begitu banyak foto Kharisma dalam balutan lingerie terpampang di depan matanya.Begitu juga foto-foto Kharisma di club malam. Belum lagi, foto Kharisma bersama Guntur. Wira hanya mampu menggelengkan kepalanya tak percaya.Dalam galeri foto. Memang tidak ada foto Kharisma bersama Nakula. Lantas Wira segera beralih pada folder video.Mata Wira membesar. Video itu belum dia putar satu pun. Tapi, hanya tangkapan awal video itu saja, sudah membuat jantung Wira hampir copot.Wira terpaksa memutar satu demi satu video yang ada. Termasuk video Kharisma bersama Nakula, yang memang hanya ada satu. Berbeda dengan video Kharisma de
Wira menutup layar laptop. Menaruhnya ke samping. Lantas menatap Dewa di sebelahnya. Wira menatap iba pada anak dari kerabatnya itu. Dewa yang tampan. Mapan. Sukses dan kaya. Harus mendapati kenyataan yang sangat menyakitkan.Wira bisa merasakan posisinya. Wira mengusap punggung Dewa. Menyalurkan sedikit ketegaran padanya. Mengisyaratkan, bahwa dia ada di sana. Ada untuk Dewa dan menolong semampu yang dia bisa. Menyiratkan, bahwa Dewa tak sendiri. Wira akan ada untuknya.Dewa bergeming di tempatnya. Menatap kosong tembok berwarna khaki dalam kamarnya."Bunuh saja Dewa, Om!" cetusnya, dengan pandangan lurus ke depan. Wira dapat mendengar ucapan lelaki di sampingnya itu. Wira mengerti sakit hati yang mendera pada Dewa.Wira menepuk-nepuk punggung Dewa. Lalu tangannya beralih pada pundak Dewa. "Nggak, Wa! Jangan pernah bicara seperti itu. Om mengerti keadaan kamu. Percaya pada Om. Om ada di sini. Kamu nggak sendirian!"Dewa menunduk. Hatinya patah. Hancur berkeping. Bahkan mungkin remuk
Di kantor polisi.Nakula duduk berhadapan dengan Bu Gita—Mama dari Karina. Mereka bertemu di ruang besuk kantor kepolisian. Mereka duduk berhadapan terhalang meja panjang di tengahnya."Naku, maap Tante baru bisa menjenguk kamu di sini. Tante sendiri masih sangat syok ...." ujar Bu Gita pelan.Nakula mengangguk memaklumi. "Nggak papa, Tante. Aku paham situasinya," sahutnya."Gimana kabar Karina, Tan?" lanjutnya bertanya.Bu Gita menghela napasnya berat, saat mendengar pertanyaan dari Nakula barusan. Lantas, ia merogoh tas di pangkuannya. Untuk mengambil sesuatu.Kemudian, ia mengeluarkan benda pipih dari dalam tasnya. Mengotak-atik beberapa saat, barulah detik berikutnya benda pipih miliknya itu disodorkan pada Nakula. "Lihatlah!" titahnya.Tanpa banyak pertanyaan. Nakula mengambil ponsel dari tangan Bu Gita. Lalu melihat, apa yang ingin Bu Gita tunjukkan.Nakula mendapati sebuah video. Di mana seorang wanita yang sangat ia kenali. Tengah berteriak-teriak di atas brankar. Kedua kakiny
"Tunggu!"Nakula yang berdiri di depan pintu sel dan siap kembali masuk ke dalamnya. Sontak berbalik badan, saat mendengar teriakan Dewa dari belakang.Dewa yang hanya beberapa langkah di belakang Nakula, menghambur pada Nakula yang telah berhadapan dengannya.Dewa merengkuh adik satu-satunya di hadapannya saat ini.Beberapa detik, Nakula terkesiap. Terkejut dengan perlakuan sang kakak. Barulah di detik berikutnya, Nakula tersadar dan membalas pelukan dari sang kakak."Maafin gue, Bang! Maafin gue," ujar Nakula dengan suara yang parau.Dewa hanya mengangguk. Menepis serta menghalau rasa sakit di hatinya. Membuang semua ego dan dendamnya. Demi pesan terakhir sang ibu, yang terus terngiang di telinga dan pikirannya.Dewa lantas melerai pelukannya dengan Nakula. Dia memegangi bahu adiknya itu. "Kamu adik abang satu-satunya. Keluarga satu-satunya yang abang punya. Seperti kata Ibu, kita harus hidup akur, Naku. Abang akan coba memenuhi pesan terakhirnya itu. Kita pulang, kamu akan abang be
Alwina baru saja sampai di kediaman Dewa. Namun, berkali-kali dia mengetuk pintu rumah Dewa. Pintu tak kunjung dibuka.Dewa pun tak membalas pesan darinya. Sehingga Alwina memutuskan ke rumah Dewa secara langsung dengan menggunakan ojek online. Karena sedan merah miliknya, masih menginap di bengkel.Entah angin apa, yang membawa Alwina sampai di rumah Dewa. Alwina hanya mengikuti kata hatinya. Ya, kata hati yang aneh dan meresahkan Alwina sendiri. Resah jika tak bertemu dengan Dewa. Alwina paham apa yang menderanya. Tapi, Alwina tak berani memulai lebih dulu.Apalagi akhir-akhir ini, di setiap pagi selalu ada kiriman buket mawar putih di meja kerjanya, tanpa identitas pengirimnya. Membuat Alwina berprasangka sendiri. Bahwa Dewa-lah yang mengirimkan untuknya. Alwina berpikir, bahwa Dewa memang sosok yang romantis jika tengah mendekati perempuan. Dan jujur saja, Alwina suka hal itu.Alwina berbalik dari pintu rumah yang tak kunjung dibuka. Dia melangkah turun dari teras rumah Dewa. Berj
Detik berganti menit. Menit berlalu, berganti jam. Jam berputar, berganti hari.Hari demi hari, berganti menjadi minggu. Satu minggu bertemu minggu berikutnya, hingga menjadi bulan.Bulan bulan telah berlalu, hingga menjadi tahun.Ternyata Satu tahun sudah, kematian Kharisma bersama Guntur sejak hari itu di penginapan.Satu tahun sudah, peristiwa kelam itu berlalu. Meninggalkan luka di hati pasangan mereka masing-masing, yang telah berhasil disembuhkan, seiring berjalannya waktu.Luka itu telah mengering. Meski menyisakan bekas tak terlihat.Baik Dewa maupun Alwina. Mereka masih sendiri. Mereka menyibukkan diri, dengan bisnis masing-masing. Mereka tetap berteman baik. Meski mereka menyadari, ada hal lain yang telah menjalar di hati mereka. Namun, tak ada satu pun dari mereka yang mau mengakui terlebih dulu.Alwina, dia perempuan. Tak ada dalam kamusnya, mengungkapkan perasaan pada lawan jenis lebih dulu. Alwina hanya menanti, saat laki-laki yang telah menawan hatinya, akan dengan gent
Sebelum mata kuliah pertama dimulai. Kharisma dibawa teman-teman wanitanya ke ruangan kelas dengan mata ditutupi kain.Tiba di kelas. Guntur membacakan puisi, pengungkapan isi hati untuk Kharisma. Mewakilkan isi hati Dewa pada Kharisma.Selesai berpuisi. Satu teman pria kemudian memainkan gitar, menyanyikan lagu cinta yang juga mewakili perasaan Dewa pada Kharisma.Barulah penutup mata itu dibuka, setelah satu lagu cinta selesai disenandungkan dengan merdu.Membuat Kharisma yang diposisikan di depan dan didampingi teman perempuannya. Melihat apa yang terjadi di ruangan kelas saat itu.Semua teman-teman berjejer setelah deretan meja paling depan. Lalu, satu spanduk putih di tembok kelas mulai tergerai ke bawah. Memunculkan tulisan besar dan jelas yang bisa Kharisma baca."Will you be my beloved?"Seiring dengan spanduk yang tergerai. Teman-teman di hadapan Kharisma yang berjejer. Perlahan terbelah menjadi dua. Bergeser ke kanan dan ke kiri. Memunculkan sosok Dewa yang lalu berjalan men
Satu setengah tahun kemudian…...Aku berdiri di depan pagar rumahku. Menatap bangunan dua lantai yang ada di seberang rumah ini.Bangunan yang sudah satu tahun terakhir, menjadi kaffe baru milik Dewa.Setelah melalui perundingan dan pemikiran yang matang. Aku dan Dewa akhirnya mencapai kesepakatan.Aku resmi keluar dari Gwyna Group. Aku menjual saham serta kantor itu pada adik iparku. Juga rumah mewah peninggalan Mas Guntur pun, telah aku jual.Aku dan Dewa sepakat. Akan memulai hidup baru. Benar-benar baru. Tanpa sedikitpun jejak masa lalu.Begitu juga dengan Dewa. Empat bangunan kaffe miliknya, berhasil ia jual dengan harga tinggi.Dia lalu memilih bangunan rumah di seberang rumah kami, untuk dijadikan caffe miliknya.Dewa memulai bisnis kafe dari awal lagi. Bahkan dari nol. Kafe dengan nama baru, akan tetapi dia masih memperkerjakan Haris, orang kepercayaannya di kafe yang lama.Dia memilih membangun kafe di seberang rumah ini, agar dia tak perlu lagi meninggalkan keluarga kecil
*********Aku melakukan apa yang Dewa inginkan. Dia telah melucuti celana training yang dipakainya. Kedua tanganku, bergerak menyentuh lalu menggenggam pusaka miliknya. Bergerak mengurut dari ujung hingga pangkal. Setelahnya, lantas meremas bagian pangkalnya. Hingga pusaka itu mulai menggeliat untuk berdiri.Dewa menegakkan tubuhnya cepat, untuk melepas kaos oblong yang melekat. Hingga sekarang, tubuh atasnya telah polos. Dewa kembali membungkuk lalu menyambar kembali bibirku. Kedua tangannya, mencoba menarik baju yang masih menutupi tubuhku. Hingga sampai di bagian dada, kami melepas cumbuan kami sejenak, agar bajuku terlepas.Kami melanjutkan cumb*an yang terhenti. Dewa dengan tubuhnya yang sudah polos, dan tubuh atasku yang hanya terbalut bra.Entah kenapa, cumb*an sore ini, terasa begitu panas. Kulit tubuh bagian atas tubuh kami, saliing bersentuhan. Tak ada jarak.Dewa menurunkan cumb*annya ke leher, lalu kedua bahuku yang polos. Turun ke bagian dada. Dan membuatku cukup terlena.
Pagi ini, aku tidak bangun terlambat lagi. Jam lima pagi, aku sudah berkutat di dapur. Menyiapkan sarapan untuk Naga dan juga aku. Sementara Dewa, dia hanya meminta untuk dibuatkan roti kupas isi selai seperti biasa. Tak ketinggalan, segelas cappucino hangat sebagai teman rotinya.Aku tengah membuat sup ayam. Juga nasi yang sudah kutanak menggunakan magic com. Aku memang membiasakan Naga untuk langsung makan nasi saat sarapan.Aku mematikan kompor. Saat sup ayam buatanku sudah mendidih dan matang. Aku menuangkan sedikit kuahnya pada sendok, lalu mencicipinya. Dan rasanya, selalu pas.Selesai membuat sup ayam. Lantas aku menanak air dalam panci kecil. Untuk menyeduh cappucino pesanan Dewa. Aku masih tidak mengerti, apa dia kenyang sarapan roti dan kopi seperti ini? Hanya dua lembar roti dan segelas kopi. Dan dia baru akan makan makanan berat, pada jam 11 siang nanti. Apa dia akan memiliki tenaga?Sedangkan sependek yang aku tahu, sarapan itu penting. Karena setelah semalaman kita tidur
********Setelah aku berhasil menemukan Dewa di rooftop kafe miliknya semalam. Aku dan Dewa, akhirnya sama-sama pulang ke rumah baru kami.Dan pagi ini.Aku kembali mendatangi pusara Davina, tentu bersama Dewa.Laki-laki dengan tatapan mata bak elang itu. Saat ini masih berjongkok di sisi gundukan tanah yang masih dipenuhi kelopak bunga tabur.Dia juga menaruh buket bunga mawar putih, di dekat papan nisan yang tertancap. Tangan besarnya, meraba, mengusap dan menelisik tulisan yang tertera di papan nisan tersebut.Kemudian, ia menempelkan keningnya, pada papan nisan. "Bagaimana pun, kamu pernah menjadi satu-satunya pelipur dalam hidup ini. Meski kenyatannya, kita bukanlah siapa-siapa. Semoga kamu selalu berada dalam kedamaian, Sa—yang. Tenanglah, dan berbahagialah di sana!" ucapnya setengah berbisik. Namun, masih dapat kutangkap. Sebab, aku berada dekat di sampingnya.Dan terakhir. Ia mencium papan nisan itu cukup lama. Hingga menyudahinya, dan mengajakku kembali ke rumah baru kami.**
Davina telah kembali pada pangkuan Sang Khaliq. Ia telah pergi menuju kedamaian yang abadi. Pusaranya dipenuhi kelopak bunga tabur. Di sisi papan nisan yang terukir namanya, Bu Titi menangis sesenggukan. Dengan tangan kirinya yang masih dipasangi arm sling.Bu Titi, aku serta Bi Ima. Masih terpekur di samping pusara, tempat peristirahatan terakhir anak kecil manis nan menggemaskan itu. Sama seperti Bu Titi, Bi Ima pun menangis pilu di sebelahku.Sekuat hati, aku menahan agar tak menangis. Tetapi, lelehan air mataku, bak tanggul yang bisa jebol kapan saja. Tangisku pun tak dapat dibendung."Bu, maapkan saya, Bu. Gara-gara saya, Davina jadi meninggal. Pak Dewa pasti marah sekali sama saya, Bu … Saya sudah membuat anaknya meninggal …." ujar Bu Titi di sela isakan tangisnya.Aku mengusap wajahku yang basah. Lalu mengusap-usap bahu Bu Titi. Perempuan seusia Bi Ima, yang tengah meratapi kepergian putri asuhnya ini."Nggak, Bu! Ini bukan karena Ibu. Kematian itu pasti datang. Semua ini, suda
Tiba di RS Harapan. Aku serta Dewa buru-buru mencari keberadaan Davina. Setelah sebelumnya, menanyakan informasi tentangnya.Sampai di depan kamar dimana Davina ditangani. Bi Ima pun sudah ada di sana. Ia bangkit dari duduknya dan berhambur memelukku. Bi Ima terisak begitu saja."Gimana Davina sekarang, Bi? Kalian mau pergi kemana? Kenapa nggak hubungi saya kalau kalian mau pergi? Aghh!" Dewa melayangkan kepalan tangannya di udara.Sedangkan Bi Ima, tak berucap apa pun. Dia masih terisak dalam pelukanku. Aku pun hanya bisa mengusap-usap lengannya, agar ia sedikit tenang dan mau menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.Klek!Pintu ruangan terbuka. Berbarengan dengan seorang dokter wanita yang keluar."Bagaimana? Sudah ada keluarga dari Ananda Davina? Korban harus segera mendapat transfusi darah," ujar sang dokter.Dewa maju dengan sigap ke hadapan dokter tersebut. "Saya ayahnya, Dok. Ambil darah saya. Selamatkan Davina, Dok!" ucap Dewa memohon.Dokter itu mengangguk cepat. "Baik. Mari
Kutarik napas dalam sepenuh dadaku."Semalam. Saat kita melakukan hubungan suami istri. Dan kamu udah duluan sampai ke puncak. Aku saat itu, sama sekali belum merasakan apa-apa. Aku nggak merasa terpuaskan sama sekali …."Senyum di bibir itu seketika lenyap. Setelah aku berucap demikian.Keningnya melipat. Tatapan matanya meredup dan raut wajahnya penuh tanya menatapku."Maksudnya?" tanyanya pelan.Aku menelan saliva. Mengumpulkan segenap kekuatan. Otakku berputar, mencari kata-kata yang tepat agar maksudku tersampaikan tapi tidak mwmbuat Dewa tersinggung.Kembali aku menarik napas sepenuh dada."E—eu—m … I—i—iyyaa … jadi … aku belum mencapai klimaks saat milik kamu sudah selesai …." Hati-hati dan pelan aku mengutarakan apa yang aku rasakan semalam.Dewa nampak terdiam. Semoga aku tidak salah berucap dan Dewa mengerti apa yang kusampaikan."Apa kamu mau menuduhku lemah syahw*t juga, seperti yang Karina lakukan?" tanyanya dengan tatapan mendelik.Sontak netraku membeliak mendengarnya.
*****Jam delapan malam.Aku sedang menyisir rambutku. Duduk di depan meja rias. Aku masih berdua di rumah baruku bersama Dewa ini.Malam ini. Lingerie hitam dengan belahan dada agak rendah, membalut tubuhku. Panjangnya hanya sampai lutut. Dua utas tali dibagian pundak, hanya sebagai penyangga. Membiarkan pundakku terekspos.Aku rasa, penampilanku saat ini sudah cukup menggoda. Harusnya bisa membangkitkan dan membuat gairah Dewa lebih dari kemarin.K l e k!Pintu kamar dibuka. Berbarengan dengan Dewa yang masuk ke dalam kamar ini. Pandangan mata kami bertemu, dalam pantulan cermin di hadapanku.Dewa menutup pintu kembali. Lantas dia berjalan mendekat. Dan kali ini, memang berjalan ke arahku. Dewa menghenyakkan bobotnya di ujung meja rias di hadapanku. Dia menatapku. Aku lantas menunduk, tak kuat untuk lama-lama menatap mata elangnya.Daguku disentuh ujung jarinya, lalu diangkat. Hingga tatapan kami bersirobok. Mau tak mau, aku pun harus kembali menatapnya."Kamu nggak dingin pakai baj
****Apa yang barusan terjadi antara aku dan suamiku itu?Dia sudah merebahkan tubuhnya di sampingku dengan napasnya yang terengah. Sedangkan aku, masih belum mencapai puncak yang kuinginkan. Bahkan milikku saja masih berdenyut tak karuan di bawah sana.Oh. Ya, ampun. Ada apa ini?Aku masih telentang dengan pandangan lurus menatap langit-langit kamar baruku ini.Aku beranikan diri menoleh pada Dewa yang sudah berbaring tepat di sebelahku. Dia masih terjaga. Dadanya nampak naik turun. Lantas, dia pun menoleh padaku dan tersenyum, kemudian mendekatkan wajahnya.Cup.Dia mengecup keningku sekilas, dan kembali ke posisinya semula. Sambil menarik selimut dengan kakinya, untuk menutupi tubuhnya. Dia juga membenahi selimut itu, agar menutupi tubuhku. Kemudian, matanya mulai ia pejamkan.Dia tidur?Aku memalingkan wajahku kembali.Apa ini? Apa yang terjadi pada Dewa? Apa dia sudah mencapai klimaksnya saat penyatuan tadi?Kepalaku disergap berbagai pertanyaan. Sedangkan inti bawah tubuhku masih