Di kantor polisi.Nakula duduk berhadapan dengan Bu Gita—Mama dari Karina. Mereka bertemu di ruang besuk kantor kepolisian. Mereka duduk berhadapan terhalang meja panjang di tengahnya."Naku, maap Tante baru bisa menjenguk kamu di sini. Tante sendiri masih sangat syok ...." ujar Bu Gita pelan.Nakula mengangguk memaklumi. "Nggak papa, Tante. Aku paham situasinya," sahutnya."Gimana kabar Karina, Tan?" lanjutnya bertanya.Bu Gita menghela napasnya berat, saat mendengar pertanyaan dari Nakula barusan. Lantas, ia merogoh tas di pangkuannya. Untuk mengambil sesuatu.Kemudian, ia mengeluarkan benda pipih dari dalam tasnya. Mengotak-atik beberapa saat, barulah detik berikutnya benda pipih miliknya itu disodorkan pada Nakula. "Lihatlah!" titahnya.Tanpa banyak pertanyaan. Nakula mengambil ponsel dari tangan Bu Gita. Lalu melihat, apa yang ingin Bu Gita tunjukkan.Nakula mendapati sebuah video. Di mana seorang wanita yang sangat ia kenali. Tengah berteriak-teriak di atas brankar. Kedua kakiny
"Tunggu!"Nakula yang berdiri di depan pintu sel dan siap kembali masuk ke dalamnya. Sontak berbalik badan, saat mendengar teriakan Dewa dari belakang.Dewa yang hanya beberapa langkah di belakang Nakula, menghambur pada Nakula yang telah berhadapan dengannya.Dewa merengkuh adik satu-satunya di hadapannya saat ini.Beberapa detik, Nakula terkesiap. Terkejut dengan perlakuan sang kakak. Barulah di detik berikutnya, Nakula tersadar dan membalas pelukan dari sang kakak."Maafin gue, Bang! Maafin gue," ujar Nakula dengan suara yang parau.Dewa hanya mengangguk. Menepis serta menghalau rasa sakit di hatinya. Membuang semua ego dan dendamnya. Demi pesan terakhir sang ibu, yang terus terngiang di telinga dan pikirannya.Dewa lantas melerai pelukannya dengan Nakula. Dia memegangi bahu adiknya itu. "Kamu adik abang satu-satunya. Keluarga satu-satunya yang abang punya. Seperti kata Ibu, kita harus hidup akur, Naku. Abang akan coba memenuhi pesan terakhirnya itu. Kita pulang, kamu akan abang be
Alwina baru saja sampai di kediaman Dewa. Namun, berkali-kali dia mengetuk pintu rumah Dewa. Pintu tak kunjung dibuka.Dewa pun tak membalas pesan darinya. Sehingga Alwina memutuskan ke rumah Dewa secara langsung dengan menggunakan ojek online. Karena sedan merah miliknya, masih menginap di bengkel.Entah angin apa, yang membawa Alwina sampai di rumah Dewa. Alwina hanya mengikuti kata hatinya. Ya, kata hati yang aneh dan meresahkan Alwina sendiri. Resah jika tak bertemu dengan Dewa. Alwina paham apa yang menderanya. Tapi, Alwina tak berani memulai lebih dulu.Apalagi akhir-akhir ini, di setiap pagi selalu ada kiriman buket mawar putih di meja kerjanya, tanpa identitas pengirimnya. Membuat Alwina berprasangka sendiri. Bahwa Dewa-lah yang mengirimkan untuknya. Alwina berpikir, bahwa Dewa memang sosok yang romantis jika tengah mendekati perempuan. Dan jujur saja, Alwina suka hal itu.Alwina berbalik dari pintu rumah yang tak kunjung dibuka. Dia melangkah turun dari teras rumah Dewa. Berj
Detik berganti menit. Menit berlalu, berganti jam. Jam berputar, berganti hari.Hari demi hari, berganti menjadi minggu. Satu minggu bertemu minggu berikutnya, hingga menjadi bulan.Bulan bulan telah berlalu, hingga menjadi tahun.Ternyata Satu tahun sudah, kematian Kharisma bersama Guntur sejak hari itu di penginapan.Satu tahun sudah, peristiwa kelam itu berlalu. Meninggalkan luka di hati pasangan mereka masing-masing, yang telah berhasil disembuhkan, seiring berjalannya waktu.Luka itu telah mengering. Meski menyisakan bekas tak terlihat.Baik Dewa maupun Alwina. Mereka masih sendiri. Mereka menyibukkan diri, dengan bisnis masing-masing. Mereka tetap berteman baik. Meski mereka menyadari, ada hal lain yang telah menjalar di hati mereka. Namun, tak ada satu pun dari mereka yang mau mengakui terlebih dulu.Alwina, dia perempuan. Tak ada dalam kamusnya, mengungkapkan perasaan pada lawan jenis lebih dulu. Alwina hanya menanti, saat laki-laki yang telah menawan hatinya, akan dengan gent
Sebelum mata kuliah pertama dimulai. Kharisma dibawa teman-teman wanitanya ke ruangan kelas dengan mata ditutupi kain.Tiba di kelas. Guntur membacakan puisi, pengungkapan isi hati untuk Kharisma. Mewakilkan isi hati Dewa pada Kharisma.Selesai berpuisi. Satu teman pria kemudian memainkan gitar, menyanyikan lagu cinta yang juga mewakili perasaan Dewa pada Kharisma.Barulah penutup mata itu dibuka, setelah satu lagu cinta selesai disenandungkan dengan merdu.Membuat Kharisma yang diposisikan di depan dan didampingi teman perempuannya. Melihat apa yang terjadi di ruangan kelas saat itu.Semua teman-teman berjejer setelah deretan meja paling depan. Lalu, satu spanduk putih di tembok kelas mulai tergerai ke bawah. Memunculkan tulisan besar dan jelas yang bisa Kharisma baca."Will you be my beloved?"Seiring dengan spanduk yang tergerai. Teman-teman di hadapan Kharisma yang berjejer. Perlahan terbelah menjadi dua. Bergeser ke kanan dan ke kiri. Memunculkan sosok Dewa yang lalu berjalan men
Aku termenung di meja kerjaku. Menatap surat pengunduran diri seorang Alvito, yang baru saja dikirimkan staff HRD ke ruanganku.Kuhela napas panjang. Satu minggu berlalu, setelah acara candle light dinner bersama Alvito malam itu. Malam di mana Alvito mengungkapkan perasaannya padaku. Dan aku, tentu menolaknya. Bukan karena dia bawahanku, aku tidak menerima cintanya. Tetapi, memang aku tidak memiliki rasa apa-apa padanya.Sudah satu minggu juga, sejak aku menolaknya, Alvito tak masuk kerja. Membuatku kelimpungan tanpa kedatangannya di kantor ini. Karena harus menghendel semuanya sendiri, di mana biasanya Alvito lah yang menghendel sebagian atau bahkan tiga perempat tugasku.Alvito menghilang tanpa kabar. Semua karyawanku tidak ada yang tahu keberadaannya. Nomornya tak dapat dihubungi. Hingga hari ini, tepat setelah satu minggu ketidakhadirannya, datanglah surat pengunduran diri darinya.Kupijat pelipisku pelan. Entah kenapa Alvito harus mengundurkan diri seperti ini. Padahal kantor se
Aku melirik pada kotak makan dan minuman, yang pasti dia bawa dari cafe-nya itu. Entah angin apa yang membawanya kembali mengirimkan makan siang seperti ini lagi, setelah sekian lama."Makan dulu!" ujarnya kembali. Karena aku belum menyentuh kotak makan yang disodorkan di hadapanku.Aku hanya mengangguk. Lalu meraih dan membuka kotak makan itu. Mau menolak, tapi perutku sudah berdemo. Akhirnya, aku menikmati makanan yang Dewa bawakan."Aku juga baru sekarang singgah di taman ini. Lumayan juga ternyata, sejuk," ungkap Dewa, di sela-sela aku makan. Pandangannya dia edarkan ke sekeliling taman."Iya, karena di sini sejuk, makanya aku ke sini."Makanan yang Dewa bawakan, rasanya tidak berubah di lidahku. Selalu enak dan pas. Tanpa terasa, makan siang yang diberikan Dewa habis sudah. Kuteguk air dalam botol lalu membersihkan mulutku.Tak lupa, kuucapkan terima kasih pada laki-laki di depanku saat ini. Karena hingga makanku selesai. Pedagang cuanki yang biasa berjualan di taman ini, mendada
****POV ALWINAAku menatap pantulan wajahku di depan cermin. Seulas senyuman coba terukir di bibirku. Menepis rasa hati yang berdebar.Hari ini. Tepat setelah satu bulan, ketika aku mengatakan perasaanku pada Dewa. Sejak hari itu. Semua tak lagi sama.Cintaku tidak bertepuk sebelah tangan. Dewa membalas perasaanku. Ia ternyata memiliki rasa yang sama terhadapku. Hingga aku dan dia menjalin hubungan yang bisa dikatakan pacaran.Meski pada akhirnya, aku harus mengubah kamusku karena mengatakan perasaanku terlebih dulu pada Dewa.Andai bukan aku yang mengatakan lebih dulu. Mungkin, sampai lebaran gajah pun, Dewa akan tetap bungkam. Serta status friend zone kami tidak akan pernah berubah sampai saat ini.Berselang satu bulan dari kejadian itu. Dewa memutuskan untuk menikahiku secepatnya. Dengan senang hati, aku pun menyetujuinya.Entahlah. Pesona seorang Sadewa Arthayuda benar-benar sudah membuatku jatuh hati.Maka siang ini, adalah hari pernikahanku dengannya. Hanya satu bulan status ka