POV AUTHOR***"Puas lo, hancurin keluarga lo sendiri?"Dewa menyeka sudut matanya. Menoleh, mencari sumber suara.Ternyata dia memang tak salah dengar. Nakula yang berdiri di belakangnya. Didampingi satu petugas kepolisian. Terhalang satu makam dari makam Ibu mereka saat ini.Dewa memalingkan wajahnya cepat-cepat, setelah melihat Nakula. Para tetangga yang ikut mengantar ke pemakaman Bu Utari, telah pergi.Tersisa hanya beberapa kerabat saja di sini."Puas lo? Udah bikin Ibu meninggal, hah?"Sadewa mendongak. Lantas menegakkan tubuhnya yang sedari tadi berjongkok. Menghadap Nakula yang sudah ada di belakang papan nisan yang tertancap."Sekarang aja lo nangisin Ibu. Seharusnya lo pikirin ini sebelum lo bertindak!" ketus Nakula pada sang Kakak.Dewa melirik sekilas pada Nakula yang menghadapnya. Wajah itu memancarkan kemarahan. Sedangkan mata Nakula begitu sembab dengan bola mata yang memerah."Semua ga akan kayak gini. Kalo lo ga khianati gue. Lo ngerti ga, hah? Yang salah disini itu,
Rumah besar Bu Utari. Kini hanya diisi oleh beberapa kerabat yang masih berdiam di sana. Memutuskan pulang, setelah mengikuti tahlilan nanti malam.Di dapur, Bi Yuyun serta Mang Parjo—suaminya. Tengah meratapi kepergian majikan mereka. Sepasang mata mereka masih mengembun. Dipenuhi sisa-sisa airmata.Majikan yang telah memperkerjakan mereka bertahun-tahun. Majikan yang sangat baik di mata mereka. Kini, telah kembali kepelukan Sang Pemilik Kehidupan.Dewa serta Nakula, berada di ruang depan. Duduk berhadapan di sofa single dan Wira di tengah-tengah mereka.Wira menatap bergantian kedua anak dari almarhum Bu Utari. Wira yang merupakan kerabat dekat dari Bu Utari merasakan kekesalan pada kelakuan Dewa dan Nakula.“Kita cari jalan keluar dari masalah yang terjadi di antara kalian!" tegas Wira tanpa banyak basa-basi."Nakula. Kamu yang paling bertanggungjawab, dan menjadi pemicu dari segala masalah yang terjadi saat ini!" ujar Wira. Membuat Nakula mendongak, dan matanya membesar. Tak perca
Dalam kamar Dewa. Wira telah duduk bersila di atas tempat tidur king size. Dengan laptop di pangkuannya.Sementara Dewa. Memilih duduk di hadapan Om-nya itu. Tak sanggup, dia melihat adegan-adegan menjijikan itu lagi. Dewa mual jika harus melihat semua adegan yang terekam di sana.Wira fokus memeriksa satu persatu file yang terdapat dalam galeri.Wira terkejut. Melihat begitu banyak foto Kharisma dalam balutan lingerie terpampang di depan matanya.Begitu juga foto-foto Kharisma di club malam. Belum lagi, foto Kharisma bersama Guntur. Wira hanya mampu menggelengkan kepalanya tak percaya.Dalam galeri foto. Memang tidak ada foto Kharisma bersama Nakula. Lantas Wira segera beralih pada folder video.Mata Wira membesar. Video itu belum dia putar satu pun. Tapi, hanya tangkapan awal video itu saja, sudah membuat jantung Wira hampir copot.Wira terpaksa memutar satu demi satu video yang ada. Termasuk video Kharisma bersama Nakula, yang memang hanya ada satu. Berbeda dengan video Kharisma de
Wira menutup layar laptop. Menaruhnya ke samping. Lantas menatap Dewa di sebelahnya. Wira menatap iba pada anak dari kerabatnya itu. Dewa yang tampan. Mapan. Sukses dan kaya. Harus mendapati kenyataan yang sangat menyakitkan.Wira bisa merasakan posisinya. Wira mengusap punggung Dewa. Menyalurkan sedikit ketegaran padanya. Mengisyaratkan, bahwa dia ada di sana. Ada untuk Dewa dan menolong semampu yang dia bisa. Menyiratkan, bahwa Dewa tak sendiri. Wira akan ada untuknya.Dewa bergeming di tempatnya. Menatap kosong tembok berwarna khaki dalam kamarnya."Bunuh saja Dewa, Om!" cetusnya, dengan pandangan lurus ke depan. Wira dapat mendengar ucapan lelaki di sampingnya itu. Wira mengerti sakit hati yang mendera pada Dewa.Wira menepuk-nepuk punggung Dewa. Lalu tangannya beralih pada pundak Dewa. "Nggak, Wa! Jangan pernah bicara seperti itu. Om mengerti keadaan kamu. Percaya pada Om. Om ada di sini. Kamu nggak sendirian!"Dewa menunduk. Hatinya patah. Hancur berkeping. Bahkan mungkin remuk
Di kantor polisi.Nakula duduk berhadapan dengan Bu Gita—Mama dari Karina. Mereka bertemu di ruang besuk kantor kepolisian. Mereka duduk berhadapan terhalang meja panjang di tengahnya."Naku, maap Tante baru bisa menjenguk kamu di sini. Tante sendiri masih sangat syok ...." ujar Bu Gita pelan.Nakula mengangguk memaklumi. "Nggak papa, Tante. Aku paham situasinya," sahutnya."Gimana kabar Karina, Tan?" lanjutnya bertanya.Bu Gita menghela napasnya berat, saat mendengar pertanyaan dari Nakula barusan. Lantas, ia merogoh tas di pangkuannya. Untuk mengambil sesuatu.Kemudian, ia mengeluarkan benda pipih dari dalam tasnya. Mengotak-atik beberapa saat, barulah detik berikutnya benda pipih miliknya itu disodorkan pada Nakula. "Lihatlah!" titahnya.Tanpa banyak pertanyaan. Nakula mengambil ponsel dari tangan Bu Gita. Lalu melihat, apa yang ingin Bu Gita tunjukkan.Nakula mendapati sebuah video. Di mana seorang wanita yang sangat ia kenali. Tengah berteriak-teriak di atas brankar. Kedua kakiny
"Tunggu!"Nakula yang berdiri di depan pintu sel dan siap kembali masuk ke dalamnya. Sontak berbalik badan, saat mendengar teriakan Dewa dari belakang.Dewa yang hanya beberapa langkah di belakang Nakula, menghambur pada Nakula yang telah berhadapan dengannya.Dewa merengkuh adik satu-satunya di hadapannya saat ini.Beberapa detik, Nakula terkesiap. Terkejut dengan perlakuan sang kakak. Barulah di detik berikutnya, Nakula tersadar dan membalas pelukan dari sang kakak."Maafin gue, Bang! Maafin gue," ujar Nakula dengan suara yang parau.Dewa hanya mengangguk. Menepis serta menghalau rasa sakit di hatinya. Membuang semua ego dan dendamnya. Demi pesan terakhir sang ibu, yang terus terngiang di telinga dan pikirannya.Dewa lantas melerai pelukannya dengan Nakula. Dia memegangi bahu adiknya itu. "Kamu adik abang satu-satunya. Keluarga satu-satunya yang abang punya. Seperti kata Ibu, kita harus hidup akur, Naku. Abang akan coba memenuhi pesan terakhirnya itu. Kita pulang, kamu akan abang be
Alwina baru saja sampai di kediaman Dewa. Namun, berkali-kali dia mengetuk pintu rumah Dewa. Pintu tak kunjung dibuka.Dewa pun tak membalas pesan darinya. Sehingga Alwina memutuskan ke rumah Dewa secara langsung dengan menggunakan ojek online. Karena sedan merah miliknya, masih menginap di bengkel.Entah angin apa, yang membawa Alwina sampai di rumah Dewa. Alwina hanya mengikuti kata hatinya. Ya, kata hati yang aneh dan meresahkan Alwina sendiri. Resah jika tak bertemu dengan Dewa. Alwina paham apa yang menderanya. Tapi, Alwina tak berani memulai lebih dulu.Apalagi akhir-akhir ini, di setiap pagi selalu ada kiriman buket mawar putih di meja kerjanya, tanpa identitas pengirimnya. Membuat Alwina berprasangka sendiri. Bahwa Dewa-lah yang mengirimkan untuknya. Alwina berpikir, bahwa Dewa memang sosok yang romantis jika tengah mendekati perempuan. Dan jujur saja, Alwina suka hal itu.Alwina berbalik dari pintu rumah yang tak kunjung dibuka. Dia melangkah turun dari teras rumah Dewa. Berj
Detik berganti menit. Menit berlalu, berganti jam. Jam berputar, berganti hari.Hari demi hari, berganti menjadi minggu. Satu minggu bertemu minggu berikutnya, hingga menjadi bulan.Bulan bulan telah berlalu, hingga menjadi tahun.Ternyata Satu tahun sudah, kematian Kharisma bersama Guntur sejak hari itu di penginapan.Satu tahun sudah, peristiwa kelam itu berlalu. Meninggalkan luka di hati pasangan mereka masing-masing, yang telah berhasil disembuhkan, seiring berjalannya waktu.Luka itu telah mengering. Meski menyisakan bekas tak terlihat.Baik Dewa maupun Alwina. Mereka masih sendiri. Mereka menyibukkan diri, dengan bisnis masing-masing. Mereka tetap berteman baik. Meski mereka menyadari, ada hal lain yang telah menjalar di hati mereka. Namun, tak ada satu pun dari mereka yang mau mengakui terlebih dulu.Alwina, dia perempuan. Tak ada dalam kamusnya, mengungkapkan perasaan pada lawan jenis lebih dulu. Alwina hanya menanti, saat laki-laki yang telah menawan hatinya, akan dengan gent