Aku membawa laptop dan menyalakannya setelah kusimpan di atas meja makan. Ada beberapa tugas yang belum dikerjakan dan harus selesai besok. Kulihat pria itu pergi ke kamar, sepertinya akan berganti pakaian. Aku membiarkan dia melakukannya sendiri, meskipun ketika menelepon kemarin, Mama berpesan supaya aku selalu menyiapkan pakaian untuknya. Ah biar saja, toh dia tidak pernah memaksa dan menuntutku."Tralala! Sini!" Terdengar teriakan pria berkumis tipis dari dalam kamar. Sudah kebiasaan dia menyebut namaku dengan sebutan tralala kalau sedang kesal. Sebenarnya aku ingin protes, tapi aku sadar aku pun memanggilnya dengan sebutan Om Do. Sebutan yang tak pantas bagi seorang suami dari istrinya."Ada apa sih, Om teriak-teriak? Ini malam loh, tetangga sebelah sudah pada tidur." "Tidak perlu berbasa-basi, aku butuh penjelasan, La!""Penjelasan apa?""Jelaskan kenapa benda ini berada di lemarimu?!"Om Do melempar pembalut yang aku sembunyikan di bawah bajuku, seketika mataku terbelalak."I
"Argh!! Jadi kamu menipuku, menipu Rendy dan semua keluargaku?! Kenapa kamu mempermainkan pernikahan, memfitnah Rendy dan mencoreng nama baik keluarga kami?!" Om Do bergerak maju, ia meraih kedua bahuku dan mengguncangkannya. Aku yang merasa bersalah tidak bisa berbuat apapun, melawan pun aku tak bisa. Kubiarkan saja dia melakukan apa yang dia mau, aku pasrah meskipun dia akan menyakitiku.Namun semua itu tidak ia lakukan, Om Do menghempaskan tubuhkuhingga aku bersandar ke dinding lalu pria itu berjalan mundur dan kedua tangannya meremas rambutnya. Tubuhnya ia hempaskan pada ranjang hingga sedikit memantul saking kerasnya."Jadi apa maksudmu memfitnah Rendy?" Sekarang tatapan tajamnya tertuju padaku, matanya terlihat merah."Apakah Rendy pernah menyakitimu hingga kamu berbuat setega itu?"Aku menggeleng dengan air mata yang tidak lagi terbendung. Rendy memang tidak bersalah, aku hanya ingin keluar dari rumah itu tanpa tahu harus bagaimana."Rendy tidak salah, aku yang salah, aku mint
"Maksudnya apa? Kenapa Om tidak mengijinkan aku masuk ke keluarga Rendy?""Kamu pikir kakakku akan begitu saja menerima gadis pembohong sepertimu? Apalagi kalau dia tahu bahwa sesungguhnya kamu sekarang tidak hamil. Kamu tidak akan mempunyai tempat di sana.""Jadi Om mau memaafkan aku?""Pikirkan saja olehmu. Apakah ada seorang pria yang begitu mudah memaafkan wanita yang telah menjebaknya dalam sebuah pernikahan. Wanita yang sudah menghancurkan masa depannya dan mimpinya tentang sebuah rumah tangga yang bahagia." Setelah itu Om Do keluar dari kamar dan menutup pintu dengan kasar. Aku terhenyak, baru kali ini melihat pria itu marah. Satu sudut hatiku merasa lega karena suamiku sudah tahu kebenarannya. terlepas dia mau marah atau tidak. Apa? Tanpa sadar barusan aku sudah menyebut pria itu dengan sebutan suamiku.Aku pikir Om Do tidak akan begitu marah padaku, sebab akhirnya dia tahu kalau aku tidak hamil dan itu artinya aku gadis yang bisa menjaga kesuciannya. Selama ini dia selalu men
Om Do benar-benar mengunci mulutnya, ketika dia mengantarku kuliah sampai menjemput, tidak ada suara yang keluar dari bibirnya. Hingga malam pun tiba, pria itu masih membisu.Walau bagaimana akulah yang bersalah, tapi bukankah aku sudah minta maaf padanya. Kenapa Om Do jadi se-egois ini. Kalau memang dia membenciku, apa salahnya dia melepaskan aku. Biarkan aku kembali ke rumah Mama tanpa mempedulikan aku, apapun perlakuan Om Dimas terhadapku.Kalau memang dia kasihan padaku kenapa aku malah dicuekin."Sekali lagi aku minta maaf, Om." Aku mencoba berbicara lagi setelah satu kali dua puluh empat jam, siapa tahu Om Do mau membuka suara. Tapi tetap saja, pria itu hanya melirik sekilas lalu kembali fokus pada laptopnya. Entah apa yang dikerjakannya dan apa pekerjaan sebenarnya, yang jelas sekarang aku tahu bahwa toko ini adalah usaha sampingan Om Do, pantas saja ia mempunyai mobil sebagus itu, rupanya ada pekerjaan lain selain penghasilan dari toko."Om tahu 'kan posisiku bagaimana. Bukan
Akan tetapi, setelah beberapa saat kami hanya saling diam. Setelah merapikan kerudungku aku meraih gagang trolly bag lalu menyeretnya menuju pintu. Sampai sini aku masih berharap Om Do menahanku dan memanggilku untuk kembali. Tapi aku harus kecewa karena dia tetap tidak bergerak dan tidak bersuara.Tiba di lantai bawah aku menghubungi Mitha, dialah satu-satunya yang bisa kuharapkan. Aku meminta dia menjemputku dengan tidak banyak pertanyaan."Nanti aku jelaskan di rumah Lo." Hanya itu yang aku sampaikan setelah itu aku mengirimkan lokasi di mana aku berada.Aku celingukan menengok ke sekeliling. Berada di pinggir jalan dalam keadaan gelap cukup membuat bulu kudukku berdiri. Lagian kenapa sih, Om Do tidak menyusulku atau menahanku untuk tidak pergi. Padahal maksudku tadi, aku hanya menggertaknya. Siapa tahu dengan begitu dia terpancing untuk mau berbicara denganku.Tapi nyatanya pria itu tetap diam. Malah seperti yang tidak menghiraukan aku, apa aku mau bertemu Om Dimas atau tidak. Pad
"Jujur saja Gue butuh perlindungan. Om Do juga mandiri, selain punya usaha toko tersebut, Gue yakin dia punya usaha lain. Sebab setiap hari dia enggak ada di toko, dia keluar tapi gue belum tahu ngapain. Gue pikir Om Do juga gak sengsara-sengsara amat. Mobil dia mahal loh, sama kaya milik Mama Gue di rumah."Mitha terbelalak ketika aku menyebutkan merek mobilnya."Serius!""Gue juga heran, awalnya Gue kira itu mobil punya temannya. Tapi ternyata mobil dia, soalnya setiap hari dia pakai mobil itu.""Lalu kenapa Lo sampai kabur? Apa dia KDRT atau Lo nggak sanggup melayani hasratnya yang berlebihan?""Bukan, bukan itu. Gue belum disentuh sama dia."Mitha kembali terbelalak."Eh, jangan-jangan laki Lo itu enggak normal, La. Masa nikah udah segitu lama kalian belum berhubungan?"Lalu aku menceritakan semuanya, tentang kehidupan rumah tanggaku bersama Om Do, tentang sifatnya yang keras dan dingin, tentang prinsipnya, tentang kehidupan beragamanya yang kental, dan yang terakhir kali aku ceri
"Om Do kenapa tadi tak nahan gue ya? Terus kenapa sekarang dia enggak telepon gue terus nanyain gue dimana." Aku merebahkan diri lalu menatap langit-langit kamar Mitha."Emang sepenting apa Lo buat dia? Ngarep aja Lo!" Mitha menoyor kepalaku."Gue kan istrinya.""Istri durhaka, udah pergi tanpa pamit hahaha." Mitha terbahak."Lo kok jadi ngeledek?""Yang ada, suami Lo bersyukur karena Lo pergi. Terus dia kawin sama calon istrinya." Mitha kembali tertawa.Dia gak tahu kalau ucapannya itu membuatku semakin kesal. Bagaimana kalau beneran Om Do merasa bahagia aku kabur terus dia kawin lagi. Duh!Seketika aku bangkit lagi lalu duduk bersila di hadapan Mitha. Kuraih ponsel yang tergeletak tak jauh dariku. Membuka aplikasi WhatsApp dan mengintip profil Om Do. Online. Tiba-tiba seperti ada yang mencubit hatiku, sakit dan perih. Pria itu online tapi tidak menanyakan keberadaanku. "Ikh, sebel!!" Aku melempar ponsel sembarangan."Lala? Lo ngomong sama siapa?" "Sama jin!" "Ish!!""Sama ponsel
"Ada apa, La?" tanya Mitha antusias, mungkin karena melihat raut wajahku yang cemas."Mama masuk rumah sakit, asmanya kambuh. Barusan Om Dimas yang menelepon menggunakan nomor Mama.""Terus?""Gue harus ke sana.""Enggak apa-apa, gue antar. Ayo!" Mitha bangkit sambil merapikan rambutnya."Enggak!" Aku menggeleng sambil tetap duduk di atas kasur."Kenapa? Bukankah Mama Lo di rumah sakit, kita harus segera ke sana, La ""Kita berdua?!" Aku menyipit."Terus sama siapa lagi?" Mitha juga memicing."Gak mungkin, masa kita datang berdua ke rumah sakit. Nanti mama akan mempertanyakan kenapa gue malam-malam seperti ini ke rumah sakit tanpa Om Do. Lagian gue tidak berani berhadapan dengan pria itu.""Kan ada Gue."Aku menggeleng. Berangkat berdua bersama Mitha malam-malam seperti ini dan harus berhadapan dengan om Dimas? Aku tidak mau."Oke, kalau begitu kita minta antar sama supir gue aja."Aku tetap menggeleng."Ya terus gimana?"Aku membuang nafas kasar, ini situasi benar-benar tidak bisa di