“Kalau begitu katakan padaku apa yang terjadi sebenarnya?”
Aku mulai mendesak Mas Mirza untuk segera menjelaskan apa yang terjadi sekarang.
Mas Mirza tak segera menjawab malah menarik nafas dalam sampai beberapa lama.
“Kelihatannya kamu sangat berat untuk mengatakannya Mas, apa kalian memang sedang melakukan sesuatu yang tercela?”
Aku mulai mengungkapkan kecurigaanku dengan begitu lugas.
Tapi nyatanya Mas Mirza malah membeliakkan mata ke arahku.
“Apa sebegitu rendah anggapan kamu padaku?” sergah Mas Mirza yang terlihat sangat tak mau disudutkan.
Aku membalas tatapannya dengan sama lugasnya.
“Sudahlah Mirza nggak pernah ngaku, yang jelas tadi aku melihat Erna sedang memeluk suami kamu bahkan aku melihat mereka mau berciuman,” sahut ibu sengit.
Apa yan
“Untuk tujuan apa Erna mendadak mendatangi rumah kita Mas?” tanyaku mengulangi.Mas Mirza membalas tatapanku dengan lurus.“Dia ingin mengadukan tentang keadaan perekonomian keluarganya padaku.”Mas Mirza lalu menarik nafas panjang.“Dia ingin meminta bantuan lagi pada kita,” ucap Mas Mirza lugas.Aku ikut mendesah panjang, menjadi sangat menyayangkan sikap adik ipar suamiku di mana dulu dia pernah menampik untuk memberikan bantuan di saat kami sangat membutuhkan. Bukan hanya itu Erna juga bahkan mempengaruhi Andika, adik dari suamiku agar menjauhi kami di saat kami sudah tak memiliki apapun.Tapi kini di saat kami sudah mulai bangkit dan dia kembali terpuruk dia malah datang dan mengemis bantuan.Meski begitu aku tetap berusaha untuk melapangkan hati agar aku bisa menyikapi semua ini dengan bijak tak t
“Jadi katakan padaku siapa yang kamu tolong terlebih dahulu?”Aku mulai bertanya mencaritahu pendapat suamiku untuk membantu adik-adiknya yang sekarang kembali terbelit masalah.Mas Mirza menatapku lurus lalu tersenyum penuh arti padaku.“Sejak dulu kamu selalu begitu tulus memberikan perhatian pada keluargaku, bahkan dengan keadaanku yang sudah seperti ini kamu tak pernah mengeluh apapun padaku.”Aku membalas senyuman suamiku dengan lebih lebar.“Mas, kita ini sudah lama menikah bahkan sudah lebih dari 30 tahun kita bersama, kenapa kamu masih saja bersikap seperti ini? Keluarga kamu juga keluargaku.”Aku kemudian malah menjatuhkan kepalaku di atas pangkuannya, yang membuat Mas Mirza malah membelai kepalaku dengan penuh cinta.“Terima kasih ya sayang,” ucap Mas Mirza terdengar
“Akui saja Erna kalau kamu memang berencana untuk merebut Mas Mirza lagi dari Mbak Nia.”Andika semakin menyudutkan istrinya yang sekarang bahkan menjadi tak berani untuk menentang tatapannya.Aku ikut menyergap Erna dengan sorot mata tajam.Wanita itu kemudian mulai memalingkan wajahnya.“Kamu yang memaksa aku untuk melakukan semua ini.”Erna malah menyalahkan suaminya.Sikapnya menjadi tak bisa aku pahami.Pun dengan Andika yang sekarang sudah membeliakkan mata karena menjadi sangat jengah ketika istrinya sangat enggan untuk disudutkan.“Kamu menyalahkan aku?”“Nyatanya kamu memang yang salah Pak,” tegas Erna sengit.“Kamu itu jadi lelaki nggak pernah bisa tegas. Selama ini selalu aku yang berusaha, dan seka
“Pak, Bu, Budhe Nia, tolong Riska ...”Pria muda yang sedang berlari menyongsong kami itu wajahnya menyiratkan ketegangan yang nyata.“Ada apa dengan Riska Danar?” tanyaku ikut menjadi cemas kepada keponakanku yang sekarang telah tumbuh menjadi pemuda bertubuh tegap.Sementara Andika dan Erna ikut menatap lurus ke arah putra kedua mereka itu.Riska adalah anak dari Dina, keponakanku juga yang akhir-akhir menjadi sulit untuk aku hubungi dan benar-benar sangat ingin aku tahu kabarnya karena dulu kami memang begitu dekat. Tapi semenjak aku dan Mas Mirza pindah rumah dan Dina seakan memutuskan hubungannya dengan kami, aku menjadi sulit menghubungi keponakan dari pihak Mas Mirza itu yang memiliki wajah yang cantik dan tumbuh menjadi gadis yang memiliki kecantikan paripurna itu.Danar menata nafasnya terlebih dahulu sebelum mengatakan kabar yang ingin dia sampai
“Nar, apa Dina ada hubungannya dengan kemalangan yang menimpa Riska saat ini?”Aku kembali mendesak Danar untuk mengungkapkan kejadian yang sebenarnya hingga Riska tampak babak belur seperti itu dengan keadaan yang sangat menyedihkan.Danar malah menggeleng sedih hanya sesaat memandang ke arahku sebelum kemudian dia kembali melanjutkan langkahnya yang membuatku harus menahan rasa ingin tahuku lagi.“Budhe dengarkan saja apa yang akan dikatakan dokter,” gumam Danar ketika kami sudah mulai masuk ke dalam ruang dokter.“Ada yang bisa saya bantu?” tanya dokter wanita yang masih terlihat sangat muda itu.Danar kemudian malah menoleh ke arahku ketika kami sudah duduk berdampingan di hadapan dokter yang menangani Riska sejak dirawat di rumah sakit.“Begini Dok, budhe saya ini ingin mengetahui secara jelas tenta
“Sekarang katakan padaku, apa yang sudah terjadi pada Riska sampai dia mengalami luka yang sangat parah seperti itu?”Aku menjadi sangat emosional menjadi tak bisa menenangkan diri.“Katakan siapa pria terakhir yang bersama Riska?”Aku kembali mendesak Danar dan memaksanya untuk mengatakan semuanya padaku.“Katakan Nar, aku akan menyeret pria itu ke polisi. Dia harus mendapat hukuman yang setimpal.”Danar masih saja diam tampak sangat enggan untuk menjawab pertanyaanku.“Danar, jangan diam saja, jawab pertanyaanku!” Aku semakin memaksa dengan nada bicara yang mulai meninggi.Danar terperangah sejenak ketika mendapati kemarahanku.“Tapi ...”“Apa yang membuat kamu ragu Nar? Apa kamu bisa diam saja melihat Riska seperti
“Memangnya apa yang sudah dikatakan Akbar, Mas?” Aku bertanya tandas dengan hati memendam keresahan. Aku menjadi teringat beberapa hari lalu Akbar bahkan pernah mengatakan kalau dia malu memiliki papa dan mama yang tua. Aku kemudian menjadi gusar, apa mungkin Akbar juga mengatakan hal yang sama pada Mas Mirza karena Akbar juga sempat mengeluhkan tentang keadaan papanya yang sedang sakit dan hanya bisa beraktivitas di atas kursi roda berbeda dengan papa dari teman-temannya yang lain yang bisa diajak untuk bermain bola bersama dan berlarian. Mas Mirza saat ini malah mengunggah kesedihannya yang membuatku kian merasa tertekan. “Dia bilang kenapa dia tidak bisa memiliki ayah seperti ayah teman-temannya.” Mas Mirza berucap dengan wajah murung. Tatapannya kemudian beralih pada kedua kakinya yang lumpuh yang selama ini hanya bisa melakukan segala hal dari atas kursi roda. “Aku memang sangat tidak berguna.” Mas Mirza terdengar menyalahkan dirinya sendiri. Segera aku mendekat dan bersi
“Sayang, apa ada yang ingin kamu katakan?”Aku berusaha membujuk anakku yang sekarang terlihat luruh saat menatapku.Akbar sekarang malah terlihat waktu.“Nak, katakan saja apa yang ingin kamu katakan.”Aku kemudian mulai membelai rambut anakku yang masih terlihat berantakan.“Ma, sebenarnya aku tidak suka sekolah.”Aku langsung mengernyit lugas menyergap anakku dengan tatapan yang lebih lekat.Tapi aku tetap berusaha menyajikan ketenangan meski hatiku disergap kekagetan saat mendengar ucapan anakku.“Kenapa Akbar nggak suka sekolah? Apa yang membuat Akbar nggak suka sekolah?”Aku berusaha mengorek keterangan dari anakku.Akbar masih saja memandangku dengan ragu.“Aku nggak suka karena ada teman Akbar yang suka ngeledek.”Aku mendesah tipis.“Kamu abaikan saja ledekan teman kamu, dan cari teman yang lain yang nggak suka ngeledek.”Akbar termangu ketika mendengar ucapannya dengan tatapannya yang terarah lurus padaku.“Tapi mereka bilang kalau aku nggak punya papa karena aku nggak perna