“Sayang, apa ada yang ingin kamu katakan?”Aku berusaha membujuk anakku yang sekarang terlihat luruh saat menatapku.Akbar sekarang malah terlihat waktu.“Nak, katakan saja apa yang ingin kamu katakan.”Aku kemudian mulai membelai rambut anakku yang masih terlihat berantakan.“Ma, sebenarnya aku tidak suka sekolah.”Aku langsung mengernyit lugas menyergap anakku dengan tatapan yang lebih lekat.Tapi aku tetap berusaha menyajikan ketenangan meski hatiku disergap kekagetan saat mendengar ucapan anakku.“Kenapa Akbar nggak suka sekolah? Apa yang membuat Akbar nggak suka sekolah?”Aku berusaha mengorek keterangan dari anakku.Akbar masih saja memandangku dengan ragu.“Aku nggak suka karena ada teman Akbar yang suka ngeledek.”Aku mendesah tipis.“Kamu abaikan saja ledekan teman kamu, dan cari teman yang lain yang nggak suka ngeledek.”Akbar termangu ketika mendengar ucapannya dengan tatapannya yang terarah lurus padaku.“Tapi mereka bilang kalau aku nggak punya papa karena aku nggak perna
“Apa kamu yakin Mas?” Aku kembali bertanya untuk memastikan. “Iya, tunggu apalagi?” tegas Mas Mirza tanpa keraguan. Tangan Akbar yang masih dalam genggamanku langsung menyentak lugas. “Ma, ayo Ma kita berangkat sekarang, nanti kita terlambat.” Sekarang Akbar malah terlihat tidak sabar. Setelah mendapatkan ijin dari suamiku, dengan gerakannya yang cepat dan cukup lincah di usianya yang bahkan sudah paruh baya itu, Herlambang lalu membuka pintu mobilnya memberi isyarat pada kami untuk segera masuk ke dalam mobil. Aku masih memandang lurus pada Mas Mirza seakan ingin memastikan sekali lagi keputusan suamiku. Tapi nyatanya Mas Mirza memberikan tatapannya yang lugas diikuti anggukan kepalanya yang juga tegas. Aku segera mengikis keraguanku yang kemudian membuatku melangkah bersama anakku memasuki mobil dari pria yang selama ini sudah memberikan banyak bantuannya pada kami. *** Selama dalam perjalanan menuju sekolah Herlambang terus mengajak anakku berbicara. Nyata terlihat kalau
“ “Katakan padaku semuanya yang sudah menimpa keponakan Bu Nia?” Herlambang bertanya dengan sangat tegas. Aku terdiam sesaat, masih ragu untuk mengatakan semuanya sampai Danar mendekat dan menghampiriku ketika akhirnya Dina dan para preman itu berhasil diusir. “Budhe, bagaimana dengan Riska?” Kini Danar yang melontarkan tanyanya padaku. Aku melirik sebentar pada Riska yang sudah terlihat mengatupkan mata. “Dokter sudah memberinya obat penenang. Aku kemudian memperhatikan Danar dengan lebih lekat, melihat penampilannya yang acak-acakkan dengan kaos dan celana yang masih dipakainya sejak kemarin, membuatku mendesah sedih. “Nar, apa tidak sebaiknya kamu pulang dulu, kamu urus diri kamu dulu, mandi, ganti pakaian dan beristirahat dulu.” Danar terdiam meski kemudian menggeleng tegas. “Aku takut kalau Bulek Dina akan kembali dan berusaha mengambil Riska.” Danar malah mengunggah kecemasannya. “Kamu tidak usah khawatir tentang itu, aku akan bicara dengan petugas kepolisian dan nan
“Merasakan apa Nar?” tanyaku yang sekarang menjadi penasaran dengan sikap Danar yang menjadi berubah ganjil padaku. Danar malah menatapku penuh arti. “Budhe benar-benar tidak merasakannya?” Danar kembali mengulangi pertanyaannya yang semakin membuatku penasaran. “Aku benar-benar tidak paham dengan maksud kamu Nar,” sergahku sedikit kesal. “Budhe sebaik-baiknya harus lebih berhati-hati karena aku bisa merasakan dengan sangat jelas kalau Pak Herlambang sebenarnya menyimpan perasaan istimewa untuk Budhe.” Aku terperangah ketika mendengar ucapan Danar yang benar-benar tidak terduga. “Jangan terlalu berprasangka Nar,” elakku pada Danar sembari berusaha menghalau praduga keponakanku yang sebenarnya sudah bisa aku rasakan dan sejak awal sudah memancing kecemburuan suamiku. “Apa Budhe tidak bisa melihat bagaimana ca
“Mas, memangnya Dina datang dengan membawa niat tidak baik?” Aku mengunggah rasa penasaranku. “Memang sejak dulu Dina selalu seperti itu, selalu saja akan membawa kesulitan untuk orang lain,” keluh Mas Mirza sudah tidak tertahankan lagi. Tapi setelah itu Mas Mirza kembali memandangku. “Ya sudah kalau aku pikir memang sebaiknya kamu ikut menemui dia juga,” gumam Mas Mirza kemudian. Akhirnya kami beriringan menuju ke ruang depan. Aku membantu mendorong kursi roda Mas Mirza hingga kami sampai di ruang tamu di mana Dina sedang menanti kami saat ini. Wanita itu langsung menatapku tajam ketika kami sudah berada di depannya. “Aku minta mulai saat ini kamu nggak usah ikut campur masalah keluargaku,” sergah Dina sengit bahkan di saat aku belum sampai duduk di sofa. Mas Mirza segera membalas sikap
“Katakan padaku memangnya apa kesalahan kami pada kamu?” sergahku sengit. Dina menentang tatapanku dengan sama tajamnya. “Jelas karena kesalahan kalian karena kalian sudah tidak mau tahu lagi dengan urusan kami. Bahkan saat itu Mas Mirza sendiri yang bilang kalau dia tak mau lagi berurusan dengan aku lagi hanya karena aku membawa uang hasil penjualan rumah ibu.” Dina mencari pembenaran atas kesalahan yang sudah dilakukannya dengan menyalahkan Mas Mirza yang selama ini sudah kesulitan untuk bisa menghubungi adik-adiknya sendiri. Mereka semua menjauh karena mengira kami masih miskin dan menganggap aku dan Mas Mirza hanya akan menjadi beban mereka. Nyatanya sekarang Dina malah menyalahkan suamiku atas apa yang sedang terjadi sekarang. “Kamu keterlaluan Din, melemparkan kesalahan kamu pada orang lain.” Aku menyergah dengan lebih s
“Nia, apa kamu akan mengijinkan aku untuk menemui Muchtar besok?” Aku langsung tersenyum menanggapi pertanyaan suamiku yang sudah terlihat tak bisa memendam kesabarannya lagi itu. “Iya Mas, tentu saja besok aku akan menemani kamu untuk menemui Muchtar.” Kali ini aku menjawab sembari mengusap punggung tangannya. Tapi Mas Mirza malah bergeming, diam tak menanggapi. “Aku tidak mau kamu temani, aku ingin menemui dia sendiri karena aku ingin dia bisa memastikan satu hal padaku seperti yang sudah dia janjikan sebelumnya.” Aku mengernyit lugas sekarang. “Memastikan apa Mas? Apa Dina memiliki hutang yang lain sama Mas?” Aku mulai mendesak menjadi sangat ingin tahu. Mas Mirza malah menggeleng. “Jadi memastikan apa Mas?” “Bukan Dina, tentang janji
“Ayo Bu Nia, tunggu apalagi silakan masuk ....” Tatapan pria itu kian menegas seakan ingin memaksaku untuk segera masuk ke dalam mobilnya. Aku merasa tak memiliki pilihan lain yang membuatku akhirnya tetap menerima tumpangan pria itu hingga akhirnya aku sampai ke pabrik tempat usahaku selama ini berjalan. “Terima kasih banyak Pak untuk semua bantuannya,” ucapku sebelum aku keluar dari dalam mobilnya. Lagi-lagi Herlambang mengulas senyumnya. “Tak usah terlalu dipikirkan Bu Nia, oh iya soal pengacara buat mengawal kasusnya Riska, aku sudah melakukan koordinasi dengan beberapa pengacara langgananku, mereka bahkan sudah melakukan tugasnya untuk mengumpulkan semua bukti dengan mengajak dokter yang menangani Riska bekerjasama. Insya Allah kita bisa menyeret pelaku kekejaman pada Riska ke penjara untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.” Herlambang berucap d