“Akui saja Erna kalau kamu memang berencana untuk merebut Mas Mirza lagi dari Mbak Nia.”
Andika semakin menyudutkan istrinya yang sekarang bahkan menjadi tak berani untuk menentang tatapannya.
Aku ikut menyergap Erna dengan sorot mata tajam.
Wanita itu kemudian mulai memalingkan wajahnya.
“Kamu yang memaksa aku untuk melakukan semua ini.”
Erna malah menyalahkan suaminya.
Sikapnya menjadi tak bisa aku pahami.
Pun dengan Andika yang sekarang sudah membeliakkan mata karena menjadi sangat jengah ketika istrinya sangat enggan untuk disudutkan.
“Kamu menyalahkan aku?”
“Nyatanya kamu memang yang salah Pak,” tegas Erna sengit.
“Kamu itu jadi lelaki nggak pernah bisa tegas. Selama ini selalu aku yang berusaha, dan seka
“Pak, Bu, Budhe Nia, tolong Riska ...”Pria muda yang sedang berlari menyongsong kami itu wajahnya menyiratkan ketegangan yang nyata.“Ada apa dengan Riska Danar?” tanyaku ikut menjadi cemas kepada keponakanku yang sekarang telah tumbuh menjadi pemuda bertubuh tegap.Sementara Andika dan Erna ikut menatap lurus ke arah putra kedua mereka itu.Riska adalah anak dari Dina, keponakanku juga yang akhir-akhir menjadi sulit untuk aku hubungi dan benar-benar sangat ingin aku tahu kabarnya karena dulu kami memang begitu dekat. Tapi semenjak aku dan Mas Mirza pindah rumah dan Dina seakan memutuskan hubungannya dengan kami, aku menjadi sulit menghubungi keponakan dari pihak Mas Mirza itu yang memiliki wajah yang cantik dan tumbuh menjadi gadis yang memiliki kecantikan paripurna itu.Danar menata nafasnya terlebih dahulu sebelum mengatakan kabar yang ingin dia sampai
“Nar, apa Dina ada hubungannya dengan kemalangan yang menimpa Riska saat ini?”Aku kembali mendesak Danar untuk mengungkapkan kejadian yang sebenarnya hingga Riska tampak babak belur seperti itu dengan keadaan yang sangat menyedihkan.Danar malah menggeleng sedih hanya sesaat memandang ke arahku sebelum kemudian dia kembali melanjutkan langkahnya yang membuatku harus menahan rasa ingin tahuku lagi.“Budhe dengarkan saja apa yang akan dikatakan dokter,” gumam Danar ketika kami sudah mulai masuk ke dalam ruang dokter.“Ada yang bisa saya bantu?” tanya dokter wanita yang masih terlihat sangat muda itu.Danar kemudian malah menoleh ke arahku ketika kami sudah duduk berdampingan di hadapan dokter yang menangani Riska sejak dirawat di rumah sakit.“Begini Dok, budhe saya ini ingin mengetahui secara jelas tenta
“Sekarang katakan padaku, apa yang sudah terjadi pada Riska sampai dia mengalami luka yang sangat parah seperti itu?”Aku menjadi sangat emosional menjadi tak bisa menenangkan diri.“Katakan siapa pria terakhir yang bersama Riska?”Aku kembali mendesak Danar dan memaksanya untuk mengatakan semuanya padaku.“Katakan Nar, aku akan menyeret pria itu ke polisi. Dia harus mendapat hukuman yang setimpal.”Danar masih saja diam tampak sangat enggan untuk menjawab pertanyaanku.“Danar, jangan diam saja, jawab pertanyaanku!” Aku semakin memaksa dengan nada bicara yang mulai meninggi.Danar terperangah sejenak ketika mendapati kemarahanku.“Tapi ...”“Apa yang membuat kamu ragu Nar? Apa kamu bisa diam saja melihat Riska seperti
“Memangnya apa yang sudah dikatakan Akbar, Mas?” Aku bertanya tandas dengan hati memendam keresahan. Aku menjadi teringat beberapa hari lalu Akbar bahkan pernah mengatakan kalau dia malu memiliki papa dan mama yang tua. Aku kemudian menjadi gusar, apa mungkin Akbar juga mengatakan hal yang sama pada Mas Mirza karena Akbar juga sempat mengeluhkan tentang keadaan papanya yang sedang sakit dan hanya bisa beraktivitas di atas kursi roda berbeda dengan papa dari teman-temannya yang lain yang bisa diajak untuk bermain bola bersama dan berlarian. Mas Mirza saat ini malah mengunggah kesedihannya yang membuatku kian merasa tertekan. “Dia bilang kenapa dia tidak bisa memiliki ayah seperti ayah teman-temannya.” Mas Mirza berucap dengan wajah murung. Tatapannya kemudian beralih pada kedua kakinya yang lumpuh yang selama ini hanya bisa melakukan segala hal dari atas kursi roda. “Aku memang sangat tidak berguna.” Mas Mirza terdengar menyalahkan dirinya sendiri. Segera aku mendekat dan bersi
“Sayang, apa ada yang ingin kamu katakan?”Aku berusaha membujuk anakku yang sekarang terlihat luruh saat menatapku.Akbar sekarang malah terlihat waktu.“Nak, katakan saja apa yang ingin kamu katakan.”Aku kemudian mulai membelai rambut anakku yang masih terlihat berantakan.“Ma, sebenarnya aku tidak suka sekolah.”Aku langsung mengernyit lugas menyergap anakku dengan tatapan yang lebih lekat.Tapi aku tetap berusaha menyajikan ketenangan meski hatiku disergap kekagetan saat mendengar ucapan anakku.“Kenapa Akbar nggak suka sekolah? Apa yang membuat Akbar nggak suka sekolah?”Aku berusaha mengorek keterangan dari anakku.Akbar masih saja memandangku dengan ragu.“Aku nggak suka karena ada teman Akbar yang suka ngeledek.”Aku mendesah tipis.“Kamu abaikan saja ledekan teman kamu, dan cari teman yang lain yang nggak suka ngeledek.”Akbar termangu ketika mendengar ucapannya dengan tatapannya yang terarah lurus padaku.“Tapi mereka bilang kalau aku nggak punya papa karena aku nggak perna
“Apa kamu yakin Mas?” Aku kembali bertanya untuk memastikan. “Iya, tunggu apalagi?” tegas Mas Mirza tanpa keraguan. Tangan Akbar yang masih dalam genggamanku langsung menyentak lugas. “Ma, ayo Ma kita berangkat sekarang, nanti kita terlambat.” Sekarang Akbar malah terlihat tidak sabar. Setelah mendapatkan ijin dari suamiku, dengan gerakannya yang cepat dan cukup lincah di usianya yang bahkan sudah paruh baya itu, Herlambang lalu membuka pintu mobilnya memberi isyarat pada kami untuk segera masuk ke dalam mobil. Aku masih memandang lurus pada Mas Mirza seakan ingin memastikan sekali lagi keputusan suamiku. Tapi nyatanya Mas Mirza memberikan tatapannya yang lugas diikuti anggukan kepalanya yang juga tegas. Aku segera mengikis keraguanku yang kemudian membuatku melangkah bersama anakku memasuki mobil dari pria yang selama ini sudah memberikan banyak bantuannya pada kami. *** Selama dalam perjalanan menuju sekolah Herlambang terus mengajak anakku berbicara. Nyata terlihat kalau
“ “Katakan padaku semuanya yang sudah menimpa keponakan Bu Nia?” Herlambang bertanya dengan sangat tegas. Aku terdiam sesaat, masih ragu untuk mengatakan semuanya sampai Danar mendekat dan menghampiriku ketika akhirnya Dina dan para preman itu berhasil diusir. “Budhe, bagaimana dengan Riska?” Kini Danar yang melontarkan tanyanya padaku. Aku melirik sebentar pada Riska yang sudah terlihat mengatupkan mata. “Dokter sudah memberinya obat penenang. Aku kemudian memperhatikan Danar dengan lebih lekat, melihat penampilannya yang acak-acakkan dengan kaos dan celana yang masih dipakainya sejak kemarin, membuatku mendesah sedih. “Nar, apa tidak sebaiknya kamu pulang dulu, kamu urus diri kamu dulu, mandi, ganti pakaian dan beristirahat dulu.” Danar terdiam meski kemudian menggeleng tegas. “Aku takut kalau Bulek Dina akan kembali dan berusaha mengambil Riska.” Danar malah mengunggah kecemasannya. “Kamu tidak usah khawatir tentang itu, aku akan bicara dengan petugas kepolisian dan nan
“Merasakan apa Nar?” tanyaku yang sekarang menjadi penasaran dengan sikap Danar yang menjadi berubah ganjil padaku. Danar malah menatapku penuh arti. “Budhe benar-benar tidak merasakannya?” Danar kembali mengulangi pertanyaannya yang semakin membuatku penasaran. “Aku benar-benar tidak paham dengan maksud kamu Nar,” sergahku sedikit kesal. “Budhe sebaik-baiknya harus lebih berhati-hati karena aku bisa merasakan dengan sangat jelas kalau Pak Herlambang sebenarnya menyimpan perasaan istimewa untuk Budhe.” Aku terperangah ketika mendengar ucapan Danar yang benar-benar tidak terduga. “Jangan terlalu berprasangka Nar,” elakku pada Danar sembari berusaha menghalau praduga keponakanku yang sebenarnya sudah bisa aku rasakan dan sejak awal sudah memancing kecemburuan suamiku. “Apa Budhe tidak bisa melihat bagaimana ca