Jam lima sore Dani dan yang lainnya pulang namun, langkahnya terhenti saat mobil kembali datang."Sebaiknya dibongkar besok saja, sudah tidak ada orang lagi, semua karyawan sudah pulang." Ujar pria yang ia panggil bos itu."Tapi kami harus balik lagi pak, pekerjaan dan barang harus segera dikirim kembali, karena yang di sana sudah disiapkan. Apa tidak sebaiknya hubungi mereka pak, supaya kembali lagi dan mengerjakan semua ini. Tapi itungannya jadi lembur untuk mereka," ucap sang sopir, tidak mungkin dia menunggu sampai esok hari. Bahkan bisa dikatakan akan menunggu sampai siang dan itu akan menghambat semua pekerjaannya, sedangkan barang yang harus mereka kirim sudah menumpuk. "Gimana ya, kalau dihubungi percuma aja karena mereka masih berada di jalan. Bagaimana kalau kita tunggu tiga puluh menit lagi?"Belum mendapat jawaban dari sopir, terdengar ucapan salam dari arah samping mereka."Assalamualaikum, bos, apa ada masalah?" ujar Dani."Waalaikumsalam, Alhamdulillah, kamu belum pula
Dani semakin giat bekerja, mengingat keinginan Sely yang ingin melihatnya kayak dulu lagi. Menjadi seorang manajer adalah impian Sely, namun sampai detik ini tak kunjung mendapatkan pekerjaan yang lain selain menjadi tukang panggul.Sambutan Sely yang selalu ketus, membuat Dani harus lebih sabar lagi menghadapinya. Tidak mudah untuk Sely mengikuti gaya hidupnya yang sederhana. "Belum tidur nak? Perlu ibu buatkan teh hangat lagi?" Bu Irma, yang tanpa sengaja melihat putranya begitu gelisah di depan rumahnya. Jam yang sudah menunjukkan dua belas malam namun Dani masih duduk di teras rumah seorang diri tanpa ada segelas air pun. "Nggak perlu buk, aku cuma lagi nyari angin,""Angin kok, di cari. Sudah malam masuklah, kamu butuh istirahat biar besok badan kamu fit lagi. Angin makam nggak baik untuk kesehatan,""Kenapa ibu belum tidur? Ini sudah malam loh buk,""Ibu sudah tidur dari tadi. Ibu mau ambil minum lihat pintu ke buka, ibu pikir ibu lupa kunci pintu,""Maaf buk, aku bikin khawat
"Ibu, jangan, ini buat beli beras. Kasihan Salwa belum makan Bu, aku mohon sisakan untuk makan hari ini, Bu," ucap Arumi mengiba."Sini uang kamu. Mulai hari ini setiap Bayu kasih kamu uang, harus kamu berikan pada ibu dan ini untukmu. Makanan seperti ini yang cocok untuk kamu. Cepetan ambil, nggak perlu dilihatin kayak gitu lagi pula makanan itu tidak akan berubah jadi emas seperti yang kamu khayalkan, itu!" Bu Laras mendorong kasar piring ada di tangannya hingga sebagian isinya jatuh."Bu, kenapa cuma singkong? Aku butuh nasi untuk mas Bayu dan Salwa. Ini nggak mungkin —" ucapan Arumi terhenti tatapan tidak suka terpancar dari sorot mata Bu Laras."Kenapa? Itu cocok untuk kalian bertiga jangan harap Ibu ngasih makanan yang enak untuk kalian. Udah sana pergi dasar orang miskin!!" ucap Bu Laras."Tapi, Bu, ini singkongnya basi, kenapa Ibu tega memberikan makanan ini pada kami, sedangkan ini sudah tidak layak untuk di makan?" Arumi, berusaha untuk menolak. Ia pun menjelaskan jika singk
"Arumi. Kamu yang bener aja, masa cuma masak. Lihat rumah berantakan halaman depan, belakang semua berantakan, bisa kerja apa nggak sih kamu? Jadi perempuan jangan malas. Dasar kampungan!" ujar Bu Laras, menyerahkan kasar sapu di depan Arumi."Bu, semua kerjaan sudah aku selesaikan. Kasihan kalau aku kelamaan di sini. Salwa sendiri di rumah," sahut Arumi, melihat halaman yang berantakan karena ulah wanita bergelar mertuanya."Emang ibu pikirin. Anak kamu itu miskin kayak kamu, buat apa Ibu kasihan. Sudah sana selesaikan kerjaan kamu. Ingat jangan pulang sebelum bersih semua!" Bu Laras berbalik meninggalkan Arumi yang hanya diam di tempat. Melihat sekeliling yang terlihat begitu berantakan bayangan wajah polos putrinya terlintas di benaknya.Empat jam sudah meninggalkannya di rumah tetangga tanpa memberikan uang sepeser pun. Helaan napas panjang terdengar, Arumi meraih sapu melanjutkan pekerjaan yang sebenarnya sudah bersih."Kalau kerja itu lihat depan dan bawah. Bukan lihat sekelilin
"Bund, aku lapar," lirih Salwa, "B - bunda, pergi dulu. Salwa tunggu di sini," Arumi berlari keluar rumah. Berharap jika putrinya makan hari ini."Assalamualaikum, Bu,""Mau apa kamu? Jangan bilang kalau kamu mau minta makan?" Bu Laras, wanita yang melahirkan suaminya menatapnya dingin."Bu, tolong berikan sepiring nasi untuk Salwa. Di .." "Emang Ibu pikirin. Sana pergi kamu, jadi mantu kok nggak mikir. Mau enaknya aja!" sentak Bu Laras."Tunggu!" "Kamu mau minta nasi sama lauk, kan?" Arumi mengangguk cepat. "Akan Ibu kasih. Tapi kamu bersihkan rumah ini dan setrika baju yang di sana. Sebelum semua selesai Ibu nggak akan memberikan nasi padamu,""Bu, aku akan kerjakan semuanya. Tolong berikan sepiring nasi dulu buat Salwa. Apa ibu tega membiarkan cucu Ibu kelaparan?" ucap Arumi mengiba."Ibu, nggak peduli. Lagi pula anak itu terlahir dari rahim wanita seperti kamu. Bisa-bisa dia sama kayak kamu bikin sial!""Ibu,""Apa. Nggak suka? Makanya jadi istri jangan cuma ongkang-ongkang k
"Uang apa yang ibu maksud? Aku nggak ambil uang ibu," "Halah, bohong kamu. Cepetan sini," "Bu, aku nggak ada uang. Lagi pula yang ibu bilang ini apa? Aku nggak tahu menahu tentang uang Ibu,""Halah, maling mana ngaku. Kalau ngaku penjara penuh dong!""Ibu tunggu sampai Bayu pulang, kalian harus ganti rugi. Kalau kamu nggak ngaku siap-siap kalian keluar dari rumah ini, ingat itu!" sambung Bu Laras, sebelum pergi dari rumah Arumi.Arumi menghela napas selepas kepergian Bu Laras, lelah menunggu namun Bayu tak kunjung pulang. Arumi menghampiri Salwa yang sedang makan sendirian, ia tahu tatapan putrinya yang sendu."Cantiknya bunda kenapa? Ayok, habiskan makannya," ujar Arumi, bibirnya tersenyum walau hatinya berkecamuk. Setelah ini semua akan menjadi pertengkaran yang cukup pelik tentu Ibu mertua yang menjadi pemenangnya. Setelah memberikan pengertian pada Salwa akhirnya gadis kecil itu pun pergi ke masjid walau wajahnya terlihat begitu sendu."Assalamualaikum, dek," "Wa'alaikumsalam,
"I – ibu,""Apa! Mau marah? Atau kamu mau mengelak lagi hah? Dasar mantu menyusahkan. Kamu lagi masih kecil bermain ambil makanan yang bukan punya kamu. Sini, kamu bisa makan nanti kalau ada sisanya!" Bu Laras merampas mangkuk yang berada di tangan Salwa. Tanpa belas kasih Bu Laras menghabiskan es campur itu tepat di depan mereka."Bu, tolong berikan sedikit saja untuk Salwa. Biarkan –""Makanya kerja sana. Hidup kok maunya miskin, lihat tuh menantu Ibu mereka hebat-hebat semua nggak kayak kamu itu!""Ibu, kenapa merembet kemana-mana? Aku cuma –""Sudah selesai?" Bu Laras, memperhatikan meja makan hidangan mewah yang ia minta tertata di sana. Begitu mengunggah selera yang melihatnya."Kamu tetap di sini. Sebelum acara selesai kamu dan anak kamu itu di larang keluar, apa lagi sampai bertemu tamu istimewa ibu!" sambung Bu Laras. Tanpa menoleh pada Salwa yang duduk di lantai.Bajunya basah akibat es campur yang tumpah karena ulah Bu Laras."Ya, Bu," sahut Arumi. Menyelesaikan berapa menu
Arumi menyadari semua yang terjadi dalam hidupnya bukan sepenuhnya kesalahan Bayu. Tetapi keluargamu yang tidak menyukainya."Sudah mas, kamu nggak usah minta maaf. Sekarang kamu siap-siap ke rumah Ibu. Tapi, kali ini aku nggak ikut," ujar Arumi, tak ingin pergi yang tentu akan membuatnya terluka."Ya, mas tahu. Sebenarnya mas juga males kalau datang ke rumah ibu apalagi perlakuan keluarga Mas sama kita terutama kamu dan anak kita, terus terang hati mas sangat sakit," lirih Bayu. "Aku baik-baik saja, mas. Sudah sana pergi, keburu malam, soal ganti rugi itu gimana mas?" tanya Arumi, mendorong tubuh Bayu. "Kamu jangan pikirkan ya, mas yang akan bicara sama ibu. Mas pergi sekarang ya, Assalamualaikum," pamit Bayu, tak lupa mengecup kening Arumi."Wa'alaikumsalam," sahut Arumi.Baru beberapa langkah Bayu meninggalkan rumah suara teriakan Salwa berhasil menghentikan langkahku."Ayah, tunggu, aku ikut. Udah lama nggak ketemu kak Vani," rengek Salwa."Gimana dek? Salwa minta ikut mas," ra
Dani semakin giat bekerja, mengingat keinginan Sely yang ingin melihatnya kayak dulu lagi. Menjadi seorang manajer adalah impian Sely, namun sampai detik ini tak kunjung mendapatkan pekerjaan yang lain selain menjadi tukang panggul.Sambutan Sely yang selalu ketus, membuat Dani harus lebih sabar lagi menghadapinya. Tidak mudah untuk Sely mengikuti gaya hidupnya yang sederhana. "Belum tidur nak? Perlu ibu buatkan teh hangat lagi?" Bu Irma, yang tanpa sengaja melihat putranya begitu gelisah di depan rumahnya. Jam yang sudah menunjukkan dua belas malam namun Dani masih duduk di teras rumah seorang diri tanpa ada segelas air pun. "Nggak perlu buk, aku cuma lagi nyari angin,""Angin kok, di cari. Sudah malam masuklah, kamu butuh istirahat biar besok badan kamu fit lagi. Angin makam nggak baik untuk kesehatan,""Kenapa ibu belum tidur? Ini sudah malam loh buk,""Ibu sudah tidur dari tadi. Ibu mau ambil minum lihat pintu ke buka, ibu pikir ibu lupa kunci pintu,""Maaf buk, aku bikin khawat
Jam lima sore Dani dan yang lainnya pulang namun, langkahnya terhenti saat mobil kembali datang."Sebaiknya dibongkar besok saja, sudah tidak ada orang lagi, semua karyawan sudah pulang." Ujar pria yang ia panggil bos itu."Tapi kami harus balik lagi pak, pekerjaan dan barang harus segera dikirim kembali, karena yang di sana sudah disiapkan. Apa tidak sebaiknya hubungi mereka pak, supaya kembali lagi dan mengerjakan semua ini. Tapi itungannya jadi lembur untuk mereka," ucap sang sopir, tidak mungkin dia menunggu sampai esok hari. Bahkan bisa dikatakan akan menunggu sampai siang dan itu akan menghambat semua pekerjaannya, sedangkan barang yang harus mereka kirim sudah menumpuk. "Gimana ya, kalau dihubungi percuma aja karena mereka masih berada di jalan. Bagaimana kalau kita tunggu tiga puluh menit lagi?"Belum mendapat jawaban dari sopir, terdengar ucapan salam dari arah samping mereka."Assalamualaikum, bos, apa ada masalah?" ujar Dani."Waalaikumsalam, Alhamdulillah, kamu belum pula
Setelah pembicaraan mereka berdua, Sely memutuskan untuk tinggal sementara di rumah Dani. Ibunya yang begitu baik menyayangi Sely, tidak jarang wanita mudah itu diratu kan oleh Bu Irma."Nak kamu sarapan dulu ya, hari ini jadi nyari kerjaan?" Bu Irma meletakkan nasi goreng di atas meja. Makan sederhana namun begitu nikmat, Sely yang turut serta sarapan sebab Bu Irma sedang menyuapi cucunya.'kalau di rumah pasti aku sibuk ngurus Geo belum lagi buat sarapan sendiri. Mama yang ada malah bikin buat sendiri tanpa inget sama aku,' batin Sely."Jadi buk,""Ya, sudah kalian lanjutkan sarapan biar ibu yang ngurus gantengnya ibu," "Aku pergi dulu ya, kamu bisa bantu ibu kerjakan yang ringan aja. Sepertinya ibu akan sibuk sama Geo," ujar Dani menunjuk dengan dagunya kearah wanita paruh baya yang tengah sibuk dengan cucunya."Ya, kamu jangan pikirin. Udah siang sana!" Sely mengantar Dani setelah sarapan, wanita itu melihat ibu mertuanya begitu telaten mengurus cucunya tidak seperti ibunya yang
"Nggak ada yang perlu dijelaskan lagi, semua sudah jelas. Sebaiknya kamu pergi dan tunggu surat panggilan dari pengadilan agama datang ke rumah kamu. Dan aku ingatkan padamu, untuk tidak datang ke pengadilan cukup tanda tangani saja agar semua cepat selesai. Aku sudah tidak ingin lagi menjadi istri kamu!""Istighfar Sely, kita sudah punya anak, bahkan aku belum pernah menggendongnya hanya beberapa kali kamu datang dan membawakan anak kita dan itu hanya beberapa menit. Apakah kamu tidak ingin mewujudkan impian seperti orang-orang di luar sana, sebagai orang tua yang menyayangi anak-anaknya," Dani mencoba untuk mengambil hati istrinya, yang kini dalam kemarahan yang di timbulkan oleh kesalah pahaman."Sely, kamu jangan dengarkan omongan Dani. Suami kamu yang tidak berguna ini, kamu masih cantik kamu bisa mendapatkan laki-laki yang jauh lebih daripada suami kamu. Percaya sama mama mengenai anak seperti yang mama katakan sama kamu, kalau Dani ingin merawatnya berikan saja anak itu padan
Keesokan harinya Nila dan Sely pergi ke pengadilan agama untuk menggugat cerai Dani. Namun sayang, sebelum mereka sampai ke sana mereka harus bertemu dengan Arumi yang baru saja keluar dari salah satu restoran ternama dengan seorang pria, hal itu tidak dilewatkan oleh mereka berdua. "Mah, ini adalah senjata untuk kita, menekan dan memeras Arumi. Kalau Mereka menolak maka kita ini adukan pada Bayu dan juga kita viralkan!"Mereka mengangguk, sepanjang menuju restoran senyum terukir di bibir mereka berdua. Tidak sampai di sana ibu dan anak itu menghampiri wanita yang melangkah dengan elegan menuju parkiran.Prok Prok!!"Wah! Lihat wanita yang disebut sholehah yang sering menutupi auratnya, justru keluar dari restoran dengan laki-laki yang bukan mahramnya. Lalu sebutan apa yang pantas untuk perempuan seperti dia mah!" tunjuk Sely, mengenai wajah Arumi."Wanita murahan berkedok," Nila, mengetuk kening dengan ibu jarinya. Seolah tengah memikirkan sesuatu."Eh, wanita alim mau ke mana? Kita
"Besan astaghfirullahaladzim, apa segitu bencinya sama anak saya, sampai cucu kita saja kamu perlakukan begitu?" geram Irma."Kenapa? Memang kamu tidak suka. Apa lagi anak kamu pengangguran, mana mantan napi lagi!""Ibu masuk aja ya, biarin Dani yang bicara sama mama," ujar Dani, berharap apa yang akan mereka bicara tidak akan menemui kesulitan."Ya, sudah ibu kedalam dulu. Kamu bicara dengan kepala dingin ya,""Mama duduklah dulu, kita bicara,""Halah, ngapin ngajak ngomong. Sudah sekarang katakan mau apa kamu?""Mah, duduklah tidak pantas kita bicara sambil berdiri," Nila mencebik melihat sikap Dani padanya, Nila akui kalau Dani begitu sopan dan sayang padanya. Tapi itu tidak cukup, Nila ingin lebih. Hidupnya bukan cuma butuh cinta, uang yang akan menunjang kehidupan mereka."Mah, aku sayang sama Sely. Terlebih ada anak di antara kami, mana mungkin aku menceraikannya.""Omong kosong soal cinta. Sebaiknya kamu segera ceraikan anakku, biarkan dia menikah dengan laki-laki yang lebih k
Suara teriakan Arumi mengejutkan Bayu yang sedang berada di ruang makan. Pria tampan itu berlari keluar menghampiri sang istri, alangkah terkejutnya Bayu saat melihat wanita yang sangat ia cintai tengah ketakutan yang luar biasa terlihat wajahnya yang begitu pucat tubuhnya bergetar. "Sayang ada apa? Paket apa yang sudah kamu terima sampai kamu seperti ini?' Bayu memeluk tubuh Arumi, wanita itu begitu ketakutan sehingga tak mampu untuk mengatakan apapun."I–itu mas, aku takut," lirih Arumi, menunjuk kearah kotak yang posisinya terbalik."Kamu tenang ya, mas akan lihat," Meski takut, Arumi menurut ia duduk menjauh dari Bayu. Sama dengan Arumi, Bayu pun mengalami hal yang sama, ia terkejut bukan main.[Tiga tahun sudah kalian hidup dengan tenang, tapi aku tidak begitu saja membiarkan kalian terus bahagia. Kapan waktunya tiba, anak-anak kalian akan mengalami hal yang sama seperti boneka yang aku kirimkan padamu.] Bayu meremas kertas dalam genggaman tangannya. "Sial siapa yang sudah mel
Arumi membayar mobil untuk mengangkut semua barang milik keluarga Tante dari suaminya. "Buk sudah semua, apa ada lagi yang mau di bawa?" "Sudah semua, tolong kamu masukkan semua ke dalam. Nanti ada ibu yang menunggu di sana, ini bayarannya,""Terima kasih buk, nanti saya rapikan,""Terima kasih pak."Arumi meninggalkan rumah yang selama ini di tempati oleh Dani, 'seandainya kejadian di restoran itu tidak terjadi. Maka hidup kalian akan tenang di sini, aku pasti akan membantu kalian untuk berbicara dengan Mas Bayu," batin Arumi.Setelah kejadian kemarin, Arumi tak lagi bertemu dengan saudara dari suaminya. Kali ini ia ingin menemui Nila dan Sely yang berada di kantor polisi. Belum sempat masuk ke dalam mobil seorang wanita yang rumahnya tidak jauh dari rumah Dani menghampiri."Assalamualaikum Bu Arumi,""Waalaikumsalam," Wanita itu tersenyum melihat kebingungan Arumi, ia kembali bersuara. "Buk, suami saya salah satu karyawan di toko pak Bayu," ujarnya menjelaskan."Maaf, Bu Arumi, men
"Ibu, maaf apa betul ini rumah mbak Arumi? Kebetulan saya temannya mas Yoga, tadi saya di minta datang ke sini," ujar wanita ayu di depannya."Benar nak, ayok masuk. Yoga ada di dalam," Bu Wati mengajak wanita muda itu menemui keluarga besannya. Terlihat begitu anggun wanita yang mengaku sebagai sahabat Yoga itu."Hei, kamu sudah datang? Oh, ya, kenalkan ibunya Arumi," ujar Yoga."Terima kasih buk," sambung Yoga, menyambut kedatangan wanita yang sejak tadi ia tunggu kehadirannya. Wanita yang mampu mengalihkan perhatiannya dari semua pekerjaan yang akhir-akhir ini menjadi sahabat terbaiknya. "Ibu, salam kenal, aku Salsabila sahabat mas Yoga,""Salam kenal nak, wah kamu cantik sekali. Oh, iya, ayok masuk mereka menunggu di dalam. Yoga tidak akan marah kok, kami tahu jalanan pasti macet, Yoga ajak temannya ketemu sama yang lain,""Ya, buk,""Yang di katakan ibu benar, aku nggak marah kok," sambung Yoga."Tapi aku nggak enak mas, maaf ya, aku jadi terlambat,""Udah jangan pikirin, aku