Aku membalikkan tubuhku dan mataku langsung menatap sebuah pemandangan yang seharusnya tidak muncul di tempat seperti ini.
Seorang pria tinggi dengan tato di lengannya, hanya ada satu tato tidak seperti bandar judi itu yang seluruh lengan hingga lehernya dipenuhi tato. Wajah pria ini sangat tampan dengan rambut hitam kecoklatan. Dia memakai kemeja putih dengan pola daun, seakan-akan dia akan berlibur ke pantai.
Di belakangnya berdiri tiga orang pria memakai pakaian yang mirip dengan pria tampan itu, hanya saja dua diantaranya tampak menyeramkan dengan tubuh besarnya. Sementara seorang lagi tampak masih sangat muda, sepertinya usianya tidak jauh berbeda denganku.
Aku berbalik dan menatap ayahku. Pria tua itu tampak lebih ketakutan daripada kepada sang bandar judi tadi. Dia tidak bisa berkata apa-apa dan hanya berdiri diam dengan tubuh gemetar.
Pria tampan itu memberi tanda kepada pria besar di belakangnya, lalu salah satu dari pria berwajah seram itu pergi keluar.
"Siapa kau?" tanya si bandar judi sambil menunjuk pria tampan itu.
"Itu bukan urusanmu, yang penting uangmu kembali!" jawab pria tampan itu dengan ketus.
Pria besar berwajah seram itu kembali dan membawa sebuah tas hitam, lalu menyerahkannya kepada si bandar judi.
"Hitunglah, semuanya seratus juta!" ucap pria besar itu, membuat si bandar judi tersenyum senang lalu berseru sambil mengambil dan membuka tas itu.
"Baik, aku akan menghitungnya dan bila kurang, aku pasti akan menagihnya."
Ayahku sama sekali tidak berani mengangkat wajahnya. Apa yang terjadi dengannya dan siapa pria tampan ini?
"Papa," bisikku sambil menyentuh lengannya.
"Sst," jawabnya sambil meletakkan jari telunjuk di bibirnya.
"Tuan Alfredo, mari kita bicara diluar," ajak pria tampan itu.
Dia mengenal ayahku, dia bahkan mengetahui namanya. Aku semakin bingung dan langsung ikut keluar, ayahku pasti sedang menyembunyikan sesuatu.
"Tuan Dante, maaafkan saya," sapa ayahku canggung.
"Siapa kau? Mengapa kalian saling mengenal," potongku sambil berdiri diantara pria tampan itu dan ayahku.
"Ruby, jangan begitu. Mundurlah!" perintah ayahku sambil menarik tanganku dan mendorongku mundur.
"Kenapa? Siapa dia?" tanyaku terkejut karena ditarik.
"Ayahmu sudah menggadaikanmu kepadaku untuk membayar hutangnya, lalu melarikan diri."
Aku menatap muak ke arah ayahku.
"Apa kau pikir aku tidak akan bisa menemukanmu Tuan Alfredo?" lanjut pria tampan itu sambil tersenyum.
"Ma ... maafkan saya Tuan, saya bukan melarikan diri. Saya hanya mencoba mencari uang untuk membayar hutang saya kepada anda."
Aku semakin muak melihat wajah ayahku. Ternyata dia sudah menggadaikan aku? Apa dia pikir aku benda? Benar-benar menjijikkan!
"Lalu mengapa kau menjual putrimu padahal kau sudah terlebih dahulu menggadaikannya kepadaku?" tanya pria itu sangat tenang, hingga semakin menakutkan.
"Saya ... saya minta maaf, Tuan," tangis ayahku sambil berlutut di hadapan pria tampan itu.
"Kalau begitu mulai hari ini putrimu akan menjadi milikku!"
Aku menatap pria itu dengan penuh kebencian.
"Apa maksudmu? Aku bukan milik ayahku! Dia tidak berhak menjualku!" teriakku marah.
Ayahku menarik tanganku, memohon agar aku diam.
"Dengar, saat ini aku sangat membutuhkan seorang istri. Dan hari ini juga aku harus menikah. Jadi aku hanya akan bertanya sekali kepadamu Tuan Albert. Siapa yang akan kau berikan untuk aku nikahi, putrimu atau istrimu?"
"Apa?" teriakku tidak percaya.
"Kau benar-benar binatang? Bagaimana bisa kau menjadikan ibuku istrimu?" teriakku marah.
Aku benar-benar berhadapan dengan iblis. Dia tetap tenang dan menatap ayahku tanpa memedulikan teriakannya.
"Papa! Kau lihat akibat dari tindakanmu! Kalau kau tidak bisa menjaga istri dan anakmu, seharusnya kau tidak pernah menikah dan menghadirkanku ke dunia!"
Aku memukuli punggung ayahku yang masih berlutut. Pria tua itu terus menangis seakan-akan dia menyesal, tapi aku yakin itu adalah tangisan palsu karena takut kepada pria bernama Dante itu.
"Satu lagi, menikahi salah satu anggota keluargamu tidak cukup untuk membayar hutangmu. Karena itu kau juga akan bekerja untukku! Kau akan menjadi anak buahku dan berada di bawah pengawasanku."
Aku diam dan kembali menatap pria itu.
"Bawa dia!" perintahnya kepada kedua pria besar dibelakangnya, yang langsung bergerak menyeret ayahku dan memasukkannya ke dalam mobil.
Ayahku terus menangis ketakutan dan aku tidak peduli, dalam hati aku berharap pria tampan ini memotong tangan ayahku sebagai bayaran dari hutangnya.
"Jadi, bagaimana? Apakah kau mau menikahiku? Ataukah aku harus pergi ke rumahmu dan menjemput ibumu?"
Aku menghela napas dalam menyiapkan keberanianku lalu dengan sekuat tenaga mengayunkan tanganku ke pipi pria itu.
Plak!
Suaranya terdengar sangat keras. Tiba-tiba aku merasa ketakutan, aku melihat tanganku yang merah dan terasa panas. Apa yang sudah aku lakukan? Mengapa aku menampar pria itu? Apa aku sudah gila?
Perlahan kuangkat wajahku, ekspresi pria itu belum berubah dia masih menatapku seperti tadi dengan pipi yang memerah.
"Jawab aku sekarang. Aku tidak punya banyak waktu karena harus segera ke catatan sipil untuk mendaftarkan pernikahanku!" ucapnya seakan-akan tamparan itu bukan apa-apa.
"A ... aku akan menikahimu," jawabku dengan suara gemetar.
"Apa yang kau cari?" tanya ibuku melihatku membongkar tempat surat-surat penting kami."Surat-suratku," jawabku sambil memasukkan semua surat yang diminta pria bernama Dante itu ke dalam map."Untuk apa surat-surat ini kau ba-""Ma, aku pergi dulu. Nanti setelah pulang, aku akan menjelaskan semuanya," potongku sambil menepuk pelan tangan ibuku yang sudah keriput itu.Aku menghindari pertanyaannya dengan berlari keluar dan langsung masuk ke dalam mobil milik Dante. Sementara ibuku berdiri di depan pintu rumah reyot kami dengan bingung. Aku tidak berani berlama-lama di dekatnya, dia akan mengetahui kalau aku menyembunyikan sesuatu. Aku tidak pernah bisa menutupi apapun darinya, karena dia adalah satu-satunya orang yang aku percayai dan andalkan dalam hidupku.Aku mengembuskan napas sambil menatap iba wanita yang sudah melahirkanku itu. Usianya baru saja memasuki 45 tahun tapi wajahnya sudah tampak renta. Padahal seingatku dia adalah wanita yang sangat cantik, entah sejak kapan dia mulai
"Tapi katamu semua akan seperti sebelumnya," sahutku bingung."Aktivitasmu bukan hubunganmu! Kau sudah menjadi istriku, jadi bersikaplah seperti seorang istri!" bentak pria itu lalu segera membalikkan tubuhnya dan masuk ke dalam mobil."Nona, saya akan mengantar anda pulang untuk mengambil barang-barang anda," ucap salah satu pria besar dan seram kepadaku.Aku segera menuruti pria besar itu dan masuk ke dalam mobil sambil mengernyitkan dahi. Aku tidak mengerti apa mau pria bernama Dante ini. Kalau orang-orang tidak boleh tahu kami menikah, kenapa aku tidak boleh menjalin hubungan dengan pria lain?"Saya akan menunggu disini," ucap pria itu setelah kami tiba di depan rumahku.Aku masuk dengan perasaan bingung dan tidak menentu. Bagaimana aku harus menjelaskan semuanya kepada ibuku? Hatinya pasti hancur bila mengetahui apa yang terjadi."Ruby! Akhirnya kamu pulang, sayang," sapa ibuku sambil memelukku."Kenapa kau tidak mau ikut dengan kami? Bagaimana kalau kau kesepian, siapa yang akan
Aku menyerahkan semua kertas peraturan itu, setelah mengambil gambarnya. Aku tidak mau Dante berkelit karena tidak ada bukti. Jangan sampai 100 jutaku melayang, hanya karena dia sudah memusnahkan semua kertas-kertas ini."Nona, silakan beristirahat. Nanti saya akan kembali," ucap si panda dengan sopan.Aku kembali masuk ke dalam kamar besar yang sama besarnya dengan seluruh rumahku. Kamar ini tampak sangat indah. Seperti inilah kamar yang selalu aku impikan sejak kecil, ironisnya aku mendapatkan kamar impianku setelah dijual oleh ayahku.Mama, aku lupa aku harus memberitahunya kalau aku sudah sampai dan baik-baik saja.Aku mencoba menghubungi mama tapi teleponnya tidak aktif. Ada apa ini? Tidak biasanya mama mematikan teleponnya, apalagi saat dia menunggu kabarku.Apa jangan-jangan .... Aku segera keluar kamar dan berlari ke ruang tamu mencari Dante. Untungnya dia sedang duduk di ruang tamu sambil memeriksa telepon genggamnya."Dimana orangtuaku? Dimana ibuku? Kau sudah berjanji tida
"Kakek, ini tidak seperti yang kakek pikirkan, dia berbeda," jawab Dante mencoba meyakinkan kakeknya. Aku diam saja, aku perlu menganalisis keadaannya sebelum mengambil sikap."Sudahlah, kita bicarakan nanti saja setelah makan.""Yes!" jawabku senang lalu menyadari kalau suaraku terlalu kuat hingga semua orang menatapku dengan kaget."Selamat makan," ucapku lembut sambil tersenyum canggung dan mengangguk perlahan. Aku melihat kakek menggelengkan kepalanya. Sepertinya aku kehilangan satu poin.Makanannya sangat enak, ini bahkan lebih enak dari makanan yang disajikan saat tetanggaku menikah beberapa hari yang lalu. Aku yakin ini pasti dimasak dengan bahan-bahan terbaik dan oleh koki yang sangat handal."Nona, apa anda masih lapar?" tanya Pedro kepadaku sambil memberi tanda yang tidak aku mengerti.Aku menatap sekelilingku, semua orang sudah berhenti makan. Lalu aku melihat makanan di atas meja, masih ada beberapa potong daging dan salad sayur yang tersisa. Mungkin Pedro bermaksud memin
"Ka ... kakek menerimaku?" seruku senang."Kakek tidak akan menyesali keputusan kakek itu, mulai hari ini aku akan menjadi cucu menantu yang baik!" seruku bersemangat karena berhasil mendapatkan 100 juta ku."Sudahlah, hentikan semua omong kosongmu itu. Keluarlah dari ruanganku, aku butuh bicara dengan cucuku," jawabnya tampak tidak tertarik dengan dedikasiku."Baiklah, aku juga mau tidur karena besok harus ke kampus," jawabku kesal, benar-benar pria tua yang sombong.Aku berjalan keluar, menutup pintu lalu segera menempelkan telingaku ke pintu. Aku penasaran, mengapa tadi semua orang tampak mengkhawatirkan Dante. Aku mencoba menguping tapi tidak bisa mendengar apapun. Sepertinya pintu ini terbuat dari kayu yang sangat tebal.Sudahlah! Lebih baik aku beristirahat, besok akting yang sesungguhnya akan dimulai. Aku harus mencatat kebohongan apa saja yang akan aku katakan kepada teman-temanku, agar di masa depan aku tidak lupa dengan kata-kataku sendiri.***Aku terbangun sebelum matahari
"Tidak usah, aku sedang ingin berjalan kaki," jawabku sambil melirik ke belakang.Aku bisa melihat supir Dante masih memperhatikanku. Dia bisa saja mengadu kepada Dante dan membuat 100 jutaku melayang."Kenapa? Apa kau menunggu seseorang?" tanya Joshua sambil mengikuti pandanganku."Tidak. Aku hanya ... sedang berusaha untuk berolahraga lebih banyak," jawabku lagi-lagi berbohong."Baiklah, kalau begitu aku duluan."Joshua segera memacu motor besarnya menuju ke kampus. Sementara aku menatap punggungnya dengan perasaan kesal. Andai supir itu tidak mengawasi, aku pasti sedang berada di atas motor besar milik Joshua. Aku kembali melangkahkan kakiku dengan lunglai.Aku tiba di kampus tepat waktu untuk kuliah pertama hari ini. "Ruby, kenapa terlambat? Aku sudah lama menunggumu. Katamu akan datang lebih pagi hari ini," gerutu sahabatku Dora begitu melihatku masuk kelas."Maaf, tadi aku berjalan kaki cukup jauh," jawabku sambil duduk di kursi yang berada di samping Dora."Kenapa? Bus mu mogo
"Ruby, ada apa?" bisik Rahul sambil mencolek tanganku."Ha?" tanyaku bingung."Mengapa wajahmu tiba-tiba pucat seperti orang ketakutan?"Aku memaksa bibirku untuk tersenyum."Perutku sakit, karena ada yang harus aku setor ke toilet, " bisikku berpura-pura."Sial!" makinya dengan wajah jijik."Sekarang silakan nona yang berbaju pink," panggil Joshua."Namaku Naomi, kak," jawab Naomi sambil berdiri dan memainkan rambut panjangnya."Ayo bersiap untuk menerima pertanyaan aneh dan tidak masuk akal yang dia tanyakan hanya untuk mencari perhatian," bisik Rahul diikuti anggukan kepalaku dan Dora."Bagaimana dengan pernikahan untuk membayar hutang? Misalnya seseorang berhutang dan memberikan putrinya sebagai bayaran dan dinikahkan dengan orang yang memberinya hutang? Apa pendapat kalian dan bagaimana aturan hukumnya?"Dora melirikku meminta aku menjawab, tapi aku diam saja. Tiba-tiba kepalaku kosong, aku tidak tahu bagaimana harus menjawabnya. "Tentu saja itu bertentangan dengan hukum. Itu bi
"A ... apa? Jatuh cinta? Apa maksud kakek? Bukankah kakek tidak menyukaiku? Mengapa menginginkan Dante jatuh cinta kepadaku?""Jadi, kau mau menerima tawaranku atau tidak?" Pria tua ini tidak menjawab pertanyaanku. Apa mungkin telinganya sudah mulai bermasalah karena usianya? Atau dia sengaja tidak ingin menjawab?"Bolehkah aku memikirkannya?" tanyaku acuh."Silakan, aku akan memberikanmu waktu untuk berpikir. Besok pagi berikan jawabanmu. Sekarang, silakan keluar, aku harus bekerja."Aku segera berdiri dan keluar tanpa mengatakan apa-apa lagi. Orang-orang di rumah ini sepertinya memang terlahir kasar dan tidak sopan!"Apa yang kau lakukan di ruang kerja kakek?" tanya Dante yang baru pulang.Ada apa dengan pakaiannya? Mengapa dia memakai setelah rapi dan sepatu formil seakan-akan dia seorang CEO atau pengacara atau seorang aktor. Dia hanya seorang bandar judi, mengapa harus tampil setampan itu?"Ada sesuatu yang kami bicarakan," jawabku acuh lalu segera meninggalkannya dan berjalan m
Aku langsung mengalihkan pandanganku ke Joshua, dan lanjut bernyanyi hingga lagunya selesai. Para partner dan pengacara senior bertepuk tangan dengan keras. Sementara para pegawai terlihat enggan tapi terpaksa bertepuk tangan untuk menghormati atasan mereka."Bagus, aku sampai terharu mendengar suara kalian," komentar Kitty sambil bertepuk tangan."Nona, apakah aku boleh kembali ke kamarku? Aku ingin beristrahat," ucapku dengan wajah lelah."Tentu, beristirahatlah," jawabnya lalu langsung maju ke depan dan melanjutkan acara.Aku permisi kepada Joshua lalu keluar dari aula pertemuan itu, sambil memikirkan apa yang sedang dilakukan oleh Dante dan Naomi saat ini.Sepertinya Dante tidak menyukai suaraku, padahal aku berharap dia terpesona dengan suaraku seperti yang dirasakan Joshua. Tapi kenyataannya berbeda, dia bahkan tidak mau mendengarku bernyanyi sampai selesai."Ruby!" Aku menoleh. Dante menatapku lalu berjalan mendekatiku."Kau mau kemana?""Kembali ke kamarku.""Ikut aku," ajakn
"Nona Kitty, anda masih disini?" tanyaku terkejut."Aku kembali karena ada yang tertinggal. Jadi, bisa kau jelaskan? Apa benar kau sudah bersuami?" tanyanya dengan wajah serius.Aku tertawa canggung."Tidak, itu hanya candaan sahabat-sahabatku, memanggil kekasihku sebagai suamiku," elakku dengan wajah bingung."Kau sudah punya kekasih?" tanyanya lagi. Aku mengangguk."Anak muda sekarang memang luar biasa. Diantara kuliah dan magang masih sempat berpacaran. Ya sudah, istirahatlah!" sahutnya lalu segera keluar dari kamar.Aku mengembuskan napas lega. Untunglah dia tidak memperpanjang masalah suami ini. Selanjutnya aku harus sangat berhati-hati.***Aku terbangun, karena Kitty membangunkanku."Apa kakimu masih sakit?""Sepertinya sudah jauh lebih baik," jawabku masih dengan mata yang berat."Kalau begitu bersiaplah, lalu turun untuk makan malam.""Baik," jawabku sopan.Aku mandi dengan cepat lalu segera turun sebelum Kitty kembali menjemputku."Itu dia anak magang yang kemampuan aktingny
"Hei! Anak magang, apa yang kau lakukan? Untung kakiku tidak kena serpihan. Bersihkan cepat!" bentak pegawai yang tadi bicara denganku."Iya, maaf," jawabku panik lalu segera mengumpulkan pecahan gelas tidak sengaja kujatuhkan itu."Apa yang terjadi?" tanya Kitty yang duduk tidak begitu jauh dari tempatku."Tanganku licin, jadi gelasnya jatuh," jawabku berbohong."Biarkan saja, biar petugas kebersihan yang membereskannya," ucapnya sambil menarik tanganku."Kau tidak apa-apa?" tanya Dante yang tiba-tiba muncul di hadapanku."Dia tidak apa-apa, Tuan," jawab Kitty sopan, lalu memanggil petugas kebersihan untuk membersihkan serpihan kaca.Dante menatapku dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan wajah khawatir."Apa itu?" tanyanya sambil berjongkok dan mengangkat celana panjangku perlahan."Kakimu berdarah, ada pecahan kaca yang menusuk kakimu!" seru Dante panik. Aku tadinya bahkan tidak merasakan apapun tapi setelah Dante mengatakannya, kakiku mulai terasa perih."Apa kau bisa berjalan
"Pindahlah ke tempat lain. Aku harus duduk di depan," ucap Dante, membuat Joshua langsung berdiri dan mundur ke belakang.Aku mencoba menyembunyikan senyumanku. Aku rasa dugaanku kali ini benar. Dia memang sengaja mengajak para pegawai magang karena aku. Seperti saat ini di sengaja naik bus, karena aku.Aku sangat senang hingga bisa mencium aroma angin, yang berhembus masuk dari pintu bus. Aromanya sangat wangi.Bus akhirnya mulai bergerak maju, sementara suasana yang tadinya gaduh kini sangat sunyi."Apa kau sudah sarapan? Tadi kau keluar dari rumah tanpa makan apapun," bisik Dante kepadaku."Belum," jawabku juga berbisik."Apakah kalian membawa sesuatu untuk dimakan sebagai sarapan?" tanya Dante kebelakang."Ada, Tuan," seru para pegawai cepat.Lalu beberapa orang datang, ada yang membawa roti lapis, roti manis, pasta dan beberapa camilan asin serta minuman kemasan.Dante mengambil roti dan pasta serta sebotol air mineral. Lalu meminta para pegawai kembali ke kursinya."Kau mau yang
"Kau magang disini? Bukankah kau baru masuk kuliah? Untuk apa kau magang disini? Apa Dante yang menyuruhmu?" tanya Naomi bingung."Sebenarnya dia baru tahu setelah aku diterima. Seniorku mengajakku magang untuk mengisi liburan dan menambah ilmu," jelasku, lalu masuk ke dalam lift yang sudah terbuka."Ilmu apa? Magang di tahun pertama, hanya akan menjadi pesuruh," cibir Naomi sambil menekan tombol ke lantai tujuan kami.Aku diam saja karena dia benar. Sejauh ini aku hanya menjadi pesuruh."Aku tidak menyangka kau sanggup melakukan apapun untuk mendekati Dante. Dalam hal itu, aku akui kau memang gigih. Tapi untuk menaklukkan hati pria, gigih saja tidak cukup!" tegas Naomi lalu keluar dari lift yang sudah terbuka dan meninggalkanku."Siapa yang mau mendekati Dante?" gumamku cemberut karena kata-kata Naomi.Aku baru masuk ketika Kitty berteriak memanggilku."Anak magang, cepat!"Aku langsung berlari dan menyerahkan pesanannya. Lalu kembali ke mejaku dan mengerjakan tugas yang membosankan
"Kenapa aku harus meninggalkan Dante hanya karena ancaman monster itu?" tanyaku bersikeras."Kau tidak tahu sejahat apa dia. Dia bahkan sanggup membunuh kakaknya sendiri! Jadi, dia pasti bisa melakukan hal yang lebih buruk lagi!""Aku tidak takut!""Tapi-""Aku dan Dante sudah bertekad kalau kami akan mengalahkan dan menghancurkannya. Jadi aku tidak akan mau menurutinya!' tegasku, meski sedikit ketakutan muncul di dalam hatiku."Mama khawatir kalian sudah hancur sebelum membalas dendam. Dia bisa melakukan apapun dan mama yakin bahkan setelah kalian bersatu pun, kalian akan kesulitan melawannya.""Aku tidak peduli. Aku akan tetap melawannya, jadi tidak usah halangi kami. Dan aku minta, jangan katakan ini kepada Dante. Aku tidak mau dia khawatir," sahutku mencoba untuk tetap tenang."Ruby, mama mohon. Mama tidak sanggup membayangkan sesuatu yang buruk terjadi kepadamu," isak ibuku sambil menggenggam tanganku.Hatiku begitu sakit melihatnya menangis ketakutan dan tanpa sadar tubuhku lang
"Dante? Apa yang kau lakukan disini?" tanyaku terkejut sekaligus lega."Aku sedang ada urusan. Kau sendiri?""Aku ditugaskan untuk meminta izin kunjungan tahanan.""Sendirian? Kenapa tidak ada yang menemanimu?" tanya Dante sambil melihat ke belakang."Entahlah! Pegawai-pegawaimu sangat menyebalkan. Apa mereka tidak tahu kalau aku sama sekali tidak punya pengalaman! Bisa-bisanya menyuruh anak magang, mahasiswa tingkat satu pergi sendirian seperti ini," keluhku hampir menangis."Kalau begitu berhenti saja," sahut Dante sambil tersenyum."Tidak! Aku akan bertahan! Tapi ... bisakah kau membantuku?""Aku? Kau bilang aku tidak boleh mempergunakan posisiku. Kenapa sekarang kau meminta bantuanku?" "Ayolah, bukan itu maksudku. Lagipula, aku hanya minta tolong diberitahu kemana aku harus pergi," pintaku dengan wajah memelas."Tidak!" tegasnya sambil berjalan masuk. Aku langsung berlari dan menghalanginya."Aku mohon. Tolong beritahu aku, kemana aku harus pergi. Itu saja."Aku kembali memohon d
"Dante," ucapku gugup sambil melihat sekelilingku.Untunglah ruangan ini sudah kosong, sepertinya semua pegawai sudah pulang kecuali aku."Apa yang kau lakukan disini? Semalam ini!" tanyanya dengan wajah serius."Aku ... aku sedang magang," jawabku dengan suara bergetar."Kau magang disini? Siapa yang mengizinkanmu magang?" "Aku ingin mengisi liburanku dengan hal yang berguna.""Kenapa tidak melakukan hal lain? Ambil kelas tambahan atau apapun itu. Untuk apa kau magang padahal kau hanya mahasiswa tahun pertama?" tanyanya dengan wajah kesal."Aku akan menjadi mahasiswa tahun kedua bulan depan. Dan kau tidak berhak mengatur bagaimana aku mengisi liburanku. Lagipula aku diterima magang karena kemampuanku. Buktinya mereka menerimaku meski tanpa bantuanmu!" bentakku ikut kesal.Kenapa dia tidak suka aku magang disini? Apa dia malu kalau orang-orang tahu aku istrinya?"Tentu saja mereka akan menerimamu! Apa kau tahu kalau firma hukum akan dengan senang hati menerima mahasiswa sepertimu? Ka
"Pedro!" seruku terkejut."Siapa dia?" tanya Joshua menatap aku dan Pedro bergantian."Dia kenalanku," jawabku cepat."Pedro, aku tidak tahu kalau kau bekerja disini. Ayo kita berbincang sebentar," ucapku sambil menarik lengan Pedro dan mengajaknya menjauhi Joshua.Pedro mengikutiku dengan wajah bingung."Nona, ada apa ini? Apa yang sedang anda lakukan disini?" tanya Pedro begitu kami sampai pantri yang kosong."Aku akan magang selama liburan di kantor ini. Dengar! Jangan katakan apapun kepada Dante!""Tapi, kenapa?" "Aku hanya akan magang selama sebulan, jadi dia tidak perlu tahu. Selain itu cobalah untuk menyapaku dengan biasa saja kalau kita bertemu, jangan bereaksi berlebihan seperti tadi. Aku tidak mau ada yang mengetahui hubunganku dengan Dante!" tegasku sambil menatapnya dengan tajam."Ba ... baik, Nona," jawabnya gugup.Aku segera meninggalkannya dan kembali ke ruang foto copy. Joshua sudah tidak ada, begitu juga dokumen yang harus aku perbanyak. Aku segera kembali ke ruangan