Davin terus berteriak memanggil dokter dan suster dengan panik, tidak tahan melihat istrinya yang terus meringis kesakitan. Dalam hitungan detik, dokter dan para suster masuk ke ruang persalinan dengan sigap.“Sudah bukaan akhir, Bu Naura! Kita mulai, ya,” ujar dokter dengan tenang sambil memeriksa kondisi Naura. Dokter mulai membimbing Naura.Naura yang sudah kehabisan tenaga hanya mampu mengangguk kecil, sementara tangannya mencengkeram lengan Davin dengan kuat."Sayang... sakit...," lirih Naura sambil menahan rasa sakit yang tak kunjung mereda.Davin berdiri di samping Naura, memegangi tangan istrinya dengan erat. “Aku di sini, Sayang. Aku nggak akan ke mana-mana. Kamu pasti bisa. Kamu kuat,” ucapnya lembut.Namun, rasa sakit yang semakin memuncak membuat Naura kehilangan kendali. Dengan penuh tenaga, ia menarik rambut Davin hingga pria itu sedikit terdorong ke depan.Davin meringis, tapi ia tidak berusaha menepis. Ia tahu ini adalah cara Naura menyalurkan rasa sakit yang luar bias
"Pak Davin, mari kita bawa si kembar ke ruang bayi untuk dilakukan pemeriksaan," ujar Suster Rina, seorang perawat wanita yang tengah mendorong boks bayi berwarna merah muda milik Rania.Davin mengangguk, lalu mengecup lembut kening sang istri. “Aku antar anak-anak kita dulu, ya, Sayang,” ucapnya dengan nada lembut.Naura, yang masih terbaring lemah di ranjang persalinan, membalasnya dengan senyuman tipis. Wajahnya masih pucat, namun kebahagiaan yang terpancar dari matanya cukup untuk membuat Davin merasa lega. Meski tubuhnya lemah, Naura terlihat puas telah berhasil melahirkan kedua buah hati mereka ke dunia dengan selamat.Davin melangkah sambil mendorong boks bayi berwarna biru muda milik putra sulungnya, Raka Abimanyu. Di sampingnya, Suster Rina mendorong boks bayi perempuan, Rania Abimanyu. Saat melangkah keluar dari ruang persalinan, hati Davin dipenuhi rasa perih yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Tidak ada kerabat atau keluarga yang menunggu mereka di luar. Tidak ada
“Permisi, Pak Davin, kami mohon izin untuk membawa Ibu Naura ke ruang perawatan,” ucap salah satu perawat yang tadi membantu dokter kandungan saat Naura melahirkan. “Oh, ya, baiklah. Saya akan ke sana sekarang,” jawab Davin. Tatapannya tetap fokus pada perawat tersebut, memastikan bahwa Naura akan diperlakukan dengan baik. Perawat itu mengangguk, lalu melangkah terlebih dahulu menuju ruang persalinan untuk memindahkan Naura ke ruang perawatan di sebelahnya.Davin menghela napas sejenak. Hari ini adalah hari yang melelahkan, namun penuh kebahagiaan. Ia sengaja menyewa ruang VVIP untuk persalinan Naura. Dalam satu lantai khusus, tersedia fasilitas lengkap: ruang rawat inap, ruang persalinan, ruang ICU, dan ruang bayi. Semua fasilitas terbaik itu disiapkan agar Naura dan bayi-bayi mereka mendapatkan perawatan maksimal. Baginya, keselamatan dan kenyamanan keluarganya adalah prioritas utama.Davin menoleh ke arah Bram dan Maria yang masih berdiri di dekatnya. “Aku serahkan semuanya sama
Suasana di Kota Sun City terasa dingin, namun suasana di dalam apartemen mewah Bram dipenuhi kehangatan dari percakapan yang sarat emosi. Bram duduk di depan jendela besar, menatap pemandangan kota yang gemerlap dengan tatapan kosong. Maria, kekasihnya, duduk di sampingnya, memberikan pelukan hangat yang seolah menjadi satu-satunya tempat Bram merasa aman."Apa ya kira-kira reaksi Pak Davin kalau dia tahu kamu dan dia terlahir dari ibu yang sama, Sayang?" tanya Maria dengan hati-hati. Ia tahu, pertanyaan itu menyentuh luka lama yang belum sepenuhnya sembuh.Bram menghela napas panjang sebelum menjawab, "Entahlah. Mungkin dia akan marah besar kalau tahu aku adalah kakaknya dari ayah yang berbeda. Aku yakin, dia mungkin akan memecatku saat itu juga... atau dia akan berpikir kalau aku masuk ke kantor Abimanyu Group untuk menjalankan balas dendam."Bram tersenyum getir, namun matanya memancarkan kesedihan yang mendalam. Tatapannya kembali terarah keluar jendela, mencoba menyembunyikan pe
Bila Bram sudah menyelesaikan kegiatan panasnya dengan Maria, berbeda dengan Davin yang belum bisa memejamkan mata.Ruang rawat inap itu terasa tenang, meski di dalamnya Davin terus saja mengeluh dengan suara pelan namun penuh emosi. Pria itu berbaring di samping Naura, istrinya, yang masih terlihat kelelahan setelah persalinan. Sementara bayi kembar mereka berada di ruang khusus bayi dengan penjagaan ketat, Davin justru tidak bisa menahan hasratnya untuk terus mengganggu Naura dengan pertanyaan yang sama."Berapa lama sebenarnya aku harus puasa, Sayang, untuk tidak menyentuhmu?" tanya Davin lagi, kali ini lebih pelan namun tetap tidak menyembunyikan frustrasinya. Tangan besar pria itu dengan bandel menyentuh dada Naura, membuat wanita itu meringis kecil."Sayaaang, jangan! Dadaku sakit," ucap Naura, mencoba melepaskan tangan suaminya. Ia merasa tidak nyaman, bukan cuma karena ASI-nya belum lancar, tapi juga karena Davin terlihat tidak peduli pada kondisinya.“Jawab pertanyaanku, sa
“Sayang, aku keluar dulu ya,” bisik Davin, setelah berhasil membuat si kembar kenyang dan terlelap di box bayinya.Naura mengangguk, lalu Davin mengecup bibir sang istri sekilas.“Apa menurutmu aku harus bicara dengan Mama?” tanya Davin pada tangan kanannya. Mereka saat ini duduk di depan ruang rawat inap Naura. Baik Davin maupun Bram sangat yakin perempuan yang tertangkap itu benar-benar suruhan dari Nyonya Laura.“Saya rasa tidak akan ada gunanya bicara dengan Mama Anda, Pak Davin. Apalagi kita tidak punya bukti. Perempuan itu masih kukuh berkata bahwa dia membenci Naura dan ingin membalas dendam. Walaupun alasan itu sangat tidak masuk akal, karena selama ini Naura selalu baik kepada siapa pun. Kalau yang membenci Naura itu mantan tunangan Anda dulu, itu mungkin lebih masuk akal. Sementara yang ini, Naura bahkan tidak mengenal wajahnya,” tutur Bram, yang sebelumnya telah memperlihatkan wajah perempuan itu melalui layar ponselnya kepada Naura.“Mama benar-benar jahat banget kalau sam
Setelah dua minggu berlalu sejak kelahiran si kembar, Davin dan Bram dijadwalkan melakukan kunjungan kerja ke luar kota. Kedua pria itu telah berangkat sejak subuh, meninggalkan Naura untuk menjaga si kembar dibantu suster masing-masing di rumah. Davin berjanji akan kembali malam harinya, tetapi Naura tahu hari itu akan terasa panjang tanpa kehadiran suaminya.Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Maria untuk datang berkunjung. Wanita cantik penuh peson itu tiba di kediaman Davin dengan membawa parcel buah dan kado untuk si kembar sebagai alasan kunjungannya. Namun, setelah memastikan Naura dalam keadaan santai dan si kembar sedang terlelap, Maria mulai membuka pembicaraan yang sudah lama ingin ia sampaikan.Wajah Maria terlihat serius saat ia duduk di sofa kamar si kembar bersama Naura. Tanpa berbelit-belit, Maria mulai mengisahkan fakta yang selama ini mungkin tak pernah diketahui oleh Naura—kebenaran tentang hubungan Bram dan Davin. Maria menjelaskan bahwa Bram adalah kakak tiri Dav
Setelah menyelesaikan perjalanan dinas di luar kota, rombongan Davin dan Bram memilih jalan pintas untuk segera kembali ke Sun City. Jalan yang mereka lalui merupakan jalur kecil yang melintasi hutan.Meski sepi dan agak menyeramkan, Davin yakin rute ini akan mempercepat waktu tempuh mereka. Tiga kendaraan beriringan memimpin perjalanan: mobil Davin yang dikemudikan oleh sopir pribadinya diapit oleh dua kendaraan pengawal di depan dan belakang.Perjalanan awal berlangsung tenang. Udara hutan terasa segar meski suasana agak mencekam. Davin duduk di dalam mobil, sesekali melirik ke arah Bram yang tampak sibuk mengutak-atik ponselnya. Ia tidak menyangka bahwa ketenangan ini akan segera berubah menjadi mimpi buruk.Ketika mereka tiba di sebuah jalan sempit yang diapit pohon-pohon besar, iring-iringan kendaraan mereka mendadak dihentikan oleh sekelompok orang tak dikenal yang menghadang di tengah jalan. Jumlah mereka hampir sama dengan jumlah rombongan Davin, tapi sorot mata mereka menunj
Daniel Dominic Montgomery dan Darren Damian Montgomery adalah nama yang dipilih oleh kedua orang tua mereka dan sudah disepakati oleh keluarga untuk si kembar. Kedua bayi itu kini berada di ruang perawatan sang Mama. Setelah dilahirkan kemarin, mereka sempat dibawa ke ruang perawatan bayi, tetapi pagi ini mereka sudah dipindahkan ke ruang perawatan Rania. "Selamat ya, Nia! Aku senang banget akhirnya punya keponakan," ucap Raka. "Untung saja wajahnya kayak kamu," tambahnya lagi sambil melirik ke arah sang adik ipar yang usianya jauh di atasnya. Edward hanya tersenyum mendengar ucapan iparnya. "Kamu kapan menyusul, Raka?" tanyanya. "Menyusul? Bisa-bisa aku digantung sama Mommy dan Daddy. Pacaran saja nggak boleh, apalagi nyusul kalian nikah dan punya anak. Mommy bisa mati berdiri," kata Raka sambil melirik ke arah sang Mommy. "Bener kan, Mom?" tanyanya lagi. "Bukan cuma digantung, tapi Mommy akan ikat seluruh tubuh Raka biar nggak bisa bergerak," jawab Naura, membuat seluruh or
Sementara itu, di dalam mobil, Rania terus menangis. Tangannya mencengkeram erat kursi, napasnya terengah-engah menahan rasa sakit yang begitu menyiksa. Perutnya terasa melilit hebat, sakit yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Setiap gelombang kontraksi yang datang membuat tubuhnya menegang, dan air mata semakin deras mengalir di pipinya."Sabar ya, sayang… sabar… kita sebentar lagi sampai," ucap Edward, suaranya bergetar, namun ia berusaha tetap tenang untuk istrinya. Tangannya terulur, mengusap kening Rania yang penuh peluh. Ia ingin melakukan sesuatu untuk mengurangi rasa sakit istrinya, tetapi ia tahu tidak ada yang bisa benar-benar membantu selain memastikan mereka segera tiba di rumah sakit.Rania menggigit bibirnya, tubuhnya sudah mulai gemetar. "Sakit, sayang… sakit banget…" ucapnya dengan suara lemah, hampir seperti bisikan. Air ketubannya sudah pecah sejak beberapa menit yang lalu, dan kini darah mulai keluar, membasahi pahanya hingga betisnya.Melihat kondisi itu, E
"Bagaimana kalau kita menikah bulan depan saja?" tanya Bram tiba-tiba, menatap Monica dengan penuh harapan.Mereka sedang duduk di balkon kamar Monica. Awalnya, Bram berencana menemani Angelica di kamar ibunya karena gadis kecil itu ingin tidur bersama sang nenek. Namun, Laura tampaknya memahami situasinya dan justru menyuruh Bram untuk menemani Monica.Monica tersenyum lembut, tatapannya penuh kehangatan. "Aku ikut saja, sayang. Terserah kamu mau kapan, aku siap," jawabnya tulus. "Aku bahagia banget akhirnya Angelica mau menerima kehadiranku."Bram merasakan haru menyelimuti hatinya. Ia lalu meraih Monica ke dalam pelukannya, mendekapnya dengan penuh kasih sayang. "Terima kasih, sayang. Terima kasih juga karena sudah mau menerima pernyataan cinta dari seorang duda beranak satu," ucapnya dengan suara lembut.Monica tersenyum dan membalas pelukan itu. "Aku mencintaimu, Bram. Statusmu tidak pernah menjadi masalah untukku," bisiknya.Bram mengusap pelan punggung calon istrinya. "Tapi aku
Naura menghela napas panjang, matanya masih terlihat menerawang, seolah pikirannya belum bisa benar-benar menerima kenyataan yang baru saja terjadi. “Aku nggak pernah menyangka kalau Angelica bisa langsung menerima Monica sebagai calon Mama barunya,” ucapnya lirih, suaranya terdengar masih dipenuhi rasa haru.Saat ini, dia sudah berada di kamar bersama suaminya, Davin. Malam di London terasa lebih dingin dari biasanya, tetapi suasana hati Naura jauh lebih hangat setelah melihat kebahagiaan di wajah keponakannya tadi.Davin yang tengah bersandar di kepala ranjang ikut tersenyum, meskipun ada sedikit keterkejutan di matanya. “Iya, sayang. Aku juga tidak menyangka kalau Angelica secepat itu menerima kehadiran Monica. Aku pikir tadi, saat dia mencium foto Mamanya, dia tidak akan mau Mamanya digantikan oleh siapa pun.”Naura mengangguk pelan, memahami perasaan yang mungkin sempat berkecamuk di hati Angelica. Ia tahu betul seberapa besar gadis kecil itu mencintai sosok ibunya, meskipun tak
Angelica masih sibuk menyapa teman-temannya satu per satu dengan wajah ceria. Senyumnya terus mengembang, mencerminkan kebahagiaan yang begitu tulus. Sesekali, ia tertawa kecil saat berbincang dengan sahabat-sahabatnya, menikmati momen berharga yang baru pertama kali diberikan oleh sang Papa. Sejak kecil, Angelica memang tidak pernah merasakan pesta ulang tahun sebesar ini, dan melihat banyak orang yang datang hanya untuknya membuat gadis kecil itu merasa begitu istimewa. Bram berdiri bersama ibunya, Laura, serta Monica, sekretarisnya yang selama ini selalu berada di sisinya, mendukung setiap langkahnya dalam pekerjaan maupun kehidupan pribadinya. Tidak ada banyak orang di sekitar mereka, memberikan kesempatan bagi mereka bertiga untuk berbicara lebih leluasa tanpa ada yang mendengar.Laura menatap putranya dengan penuh arti sebelum akhirnya membuka suara, "Bram, kau benar-benar akan meminta izin pada Angelica untuk menikahi Monica?" Suaranya terdengar tenang, tapi ada sedikit kekh
Waktu terus berjalan, tanpa terasa minggu depan adalah jadwal kelahiran kedua anak Rania dan Edward. Perjalanan panjang yang mereka lalui bersama akhirnya membawa mereka ke titik ini—menanti hadirnya dua buah hati yang akan melengkapi keluarga kecil mereka.Sejak tiga bulan lalu, Rania telah resmi pindah ke Sun City, meninggalkan London untuk membangun kehidupan baru bersama Edward. Edward, yang sejak awal ingin memberikan kenyamanan terbaik bagi istrinya, sudah menyiapkan rumah mewah untuk Rania. Namun, meskipun Rania menerima rumah tersebut dengan penuh rasa syukur, menjelang persalinannya, dia lebih memilih tinggal di kediaman kedua orang tuanya. Bagi Rania, berada di dekat Mommy dan Daddy akan membuatnya lebih tenang.Bisnis butiknya yang kini berkembang pesat tetap berjalan dengan baik meskipun Rania sementara waktu harus istirahat dari dunia fashion. Dia mempercayakan pengelolaan butik itu kepada manajernya, tetapi setiap laporan tetap dikirimkan kepada William, asisten keper
Mereka baru saja turun dari mobil.Davin hanya bisa menghela napas panjang saat melihat Naura dengan cekatan mengambil black card miliknya, seolah kartu itu sudah menjadi milik pribadi istrinya. "Sayang, kamu kan udah punya kartu sendiri," protesnya, meski nada suaranya lebih terdengar seperti pasrah daripada keberatan.Naura hanya tersenyum manis, menggoyangkan kartu itu di depan wajah suaminya. "Tapi kan tetap saja uang suami adalah uang istri, sayang. Uang istri ya uang istri," sahutnya santai. "Apalagi aku mau belanjain anak-anak juga."Davin hanya bisa menggelengkan kepala sambil tersenyum. Dia tahu, pada akhirnya, apa pun yang ia miliki memang untuk istri dan anak-anaknya tercinta.Sementara itu, Angelica yang sedari tadi sibuk melihat-lihat koleksi sepatu mewah tiba-tiba menoleh pada pamannya. "Uncle, Angelica di-belanjain juga nggak?" tanyanya dengan mata berbinar.Davin menoleh ke arah gadis mungil itu, yang kini menatapnya dengan ekspresi menggemaskan. Wajah Angelica yang c
Davin melangkah masuk ke ruang keluarga apartemen Edward dan Rania, mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ia baru saja tiba bersama Naura dan Angelica, membawa beberapa koper berisi makanan dan oleh-oleh untuk putri mereka. Belum sempat duduk, Edward sudah menyambutnya dengan senyum lebar.“Duduk dulu, Daddy,” ucap Edward sambil menunjuk sofa di hadapannya.Davin mendengus geli, menatap menantunya dengan ekspresi datar. “Geli kali aku dipanggil Daddy olehmu,” sahutnya, nada suaranya masih terasa tak bersahabat.Naura yang duduk di sampingnya hanya menghela napas, sementara Edward malah cengengesan. “Masak mau dipanggil Paman?” goda Edward.Naura ikut menimpali, “Lagian kamu ini, sayang. Memang sudah sepantasnya menantu memanggilmu dengan sebutan Daddy. Kenapa protes terus setiap sama Edward?”Davin menatap istrinya dengan alis terangkat. “Makin besar kepalanya Edward. Semua dibelain. Heran deh, sama kamu dan Mamaku. Doyan sekali membela laki-laki ini,” ujarnya bercanda.Edward hanya te
Saat Rania dan Edward tiba di sebuah restoran, mereka bertemu dengan seseorang yang sudah lama tidak Rania jumpai."Hai, Andrew! Apa kabar?" sapa Rania dengan ramah, sambil mengulurkan tangan ke arah pria itu.Namun, sebelum tangannya sempat menyentuh tangan Andrew, Edward dengan sigap menarik tangan istrinya, menjauhkannya dari jangkauan pria lain. Andrew, yang sudah hendak menyambut salam Rania, hanya bisa menarik tangannya kembali dengan ekspresi sedikit terkejut.Rania melirik suaminya dengan kesal. "Kamu apa-apaan sih?" tanyanya, tak habis pikir dengan tindakan Edward yang begitu protektif.Edward menatapnya tanpa rasa bersalah sedikit pun. "Aku nggak suka ada yang nyentuh-nyentuh istriku, meskipun hanya sekadar salaman," ucapnya tegas.Andrew tertawa kecil melihat sikap Edward yang begitu posesif. "Nggak apa-apa, Rania. Semua pria pasti punya pemikiran seperti suamimu ini. Wajar kalau dia nggak mau istrinya yang cantik dimiliki orang lain," ujarnya santai.Edward langsung meloto