“Sayang, aku keluar dulu ya,” bisik Davin, setelah berhasil membuat si kembar kenyang dan terlelap di box bayinya.Naura mengangguk, lalu Davin mengecup bibir sang istri sekilas.“Apa menurutmu aku harus bicara dengan Mama?” tanya Davin pada tangan kanannya. Mereka saat ini duduk di depan ruang rawat inap Naura. Baik Davin maupun Bram sangat yakin perempuan yang tertangkap itu benar-benar suruhan dari Nyonya Laura.“Saya rasa tidak akan ada gunanya bicara dengan Mama Anda, Pak Davin. Apalagi kita tidak punya bukti. Perempuan itu masih kukuh berkata bahwa dia membenci Naura dan ingin membalas dendam. Walaupun alasan itu sangat tidak masuk akal, karena selama ini Naura selalu baik kepada siapa pun. Kalau yang membenci Naura itu mantan tunangan Anda dulu, itu mungkin lebih masuk akal. Sementara yang ini, Naura bahkan tidak mengenal wajahnya,” tutur Bram, yang sebelumnya telah memperlihatkan wajah perempuan itu melalui layar ponselnya kepada Naura.“Mama benar-benar jahat banget kalau sam
Setelah dua minggu berlalu sejak kelahiran si kembar, Davin dan Bram dijadwalkan melakukan kunjungan kerja ke luar kota. Kedua pria itu telah berangkat sejak subuh, meninggalkan Naura untuk menjaga si kembar dibantu suster masing-masing di rumah. Davin berjanji akan kembali malam harinya, tetapi Naura tahu hari itu akan terasa panjang tanpa kehadiran suaminya.Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Maria untuk datang berkunjung. Wanita cantik penuh peson itu tiba di kediaman Davin dengan membawa parcel buah dan kado untuk si kembar sebagai alasan kunjungannya. Namun, setelah memastikan Naura dalam keadaan santai dan si kembar sedang terlelap, Maria mulai membuka pembicaraan yang sudah lama ingin ia sampaikan.Wajah Maria terlihat serius saat ia duduk di sofa kamar si kembar bersama Naura. Tanpa berbelit-belit, Maria mulai mengisahkan fakta yang selama ini mungkin tak pernah diketahui oleh Naura—kebenaran tentang hubungan Bram dan Davin. Maria menjelaskan bahwa Bram adalah kakak tiri Dav
Setelah menyelesaikan perjalanan dinas di luar kota, rombongan Davin dan Bram memilih jalan pintas untuk segera kembali ke Sun City. Jalan yang mereka lalui merupakan jalur kecil yang melintasi hutan.Meski sepi dan agak menyeramkan, Davin yakin rute ini akan mempercepat waktu tempuh mereka. Tiga kendaraan beriringan memimpin perjalanan: mobil Davin yang dikemudikan oleh sopir pribadinya diapit oleh dua kendaraan pengawal di depan dan belakang.Perjalanan awal berlangsung tenang. Udara hutan terasa segar meski suasana agak mencekam. Davin duduk di dalam mobil, sesekali melirik ke arah Bram yang tampak sibuk mengutak-atik ponselnya. Ia tidak menyangka bahwa ketenangan ini akan segera berubah menjadi mimpi buruk.Ketika mereka tiba di sebuah jalan sempit yang diapit pohon-pohon besar, iring-iringan kendaraan mereka mendadak dihentikan oleh sekelompok orang tak dikenal yang menghadang di tengah jalan. Jumlah mereka hampir sama dengan jumlah rombongan Davin, tapi sorot mata mereka menunj
“Sayang, kamu kenapa?” tanya Naura panik saat melihat suaminya datang dengan wajah masam, pakaiannya berantakan. Sejak tadi, Naura berusaha menghubungi Davin, tapi sama sekali tak ada jawaban dan ponselnya tidak aktif.Dia juga berusaha menghubungi Bram, namun ponselnya juga tak bisa dihubungi, hingga membuat Naura tak bisa memejamkan mata sepanjang hari ini. Waktunya dihabiskan bersama Maria dan menemani kedua buah hatinya yang sedikit rewel, namun saat malam tiba Naura tetap gelisah menunggu sang suami.“Bram... ditembak,” ucap Davin pelan lalu mendaratkan bokongnya di sofa kamar mereka. Pria itu menutup wajahnya dengan kedua tangan, bahunya bergetar hebat karena tadi sebelum dia pulang, dokter menyampaikan bahwa mereka tidak bisa memberi harapan apa pun karena kondisi Bram semakin memburuk.“Apaaaaaaaaa? Bram kena tembak? Kenapa ini bisa terjadi, Sayang? Bagaimana kejadiannya?” tanya Naura panik, pikirannya langsung melayang pada ibu mertua yang selama ini berniat jahat pada Bra
Davin berjalan perlahan menyusuri koridor rumah sakit yang sepi. Jantungnya berdebar kencang, seakan mengetahui bahwa ia akan menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya. Pikirannya berkecamuk, antara mempercayai cerita Naura atau menyangkalnya mentah-mentah. Namun, satu hal yang pasti, ia harus melihat sendiri kebenarannya.Sesampainya di depan ruang ICU, Davin menarik napas panjang sebelum membuka pintu. Di dalam ruangan itu, ia melihat Maria duduk di samping tempat tidur Bram, menggenggam tangan pria yang terbaring lemah dengan alat bantu pernapasan terpasang di wajahnya. Maria menoleh ketika mendengar suara pintu terbuka dan sedikit terkejut melihat Davin di sana."Pak Davin," panggil Maria pelan, mencoba tersenyum meskipun wajahnya terlihat lelah."Aku perlu bicara denganmu. Tolong jangan pergi," kata Davin singkat, matanya tak lepas dari tubuh Bram yang terbaring tak berdaya.Maria mengangguk, memahami situasi. Ia sudah membaca pesan dari Naura dan tahu bahwa Davin sudah me
Davin tiba di rumah sakit dengan wajah letih. Perjalanan panjang tak membuatnya melupakan tujuan utamanya—Bram.Setelah sopir berhenti di depan lobby rumah sakit, Davin langsung melangkah ke ruang ICU dengan langkah berat. Setiap ayunan kakinya terasa seperti membawa beban yang tak kasat mata. Ketika ia tiba di depan pintu ICU, Maria, tengah berdiri di sana dengan wajah yang dipenuhi kecemasan."Bagaimana kondisi Bram?" tanya Davin, suaranya berat, mencoba menahan emosi yang mendesak keluar.Maria menoleh dengan mata sembab. "Keadaannya masih sama, Pak. Bahkan... cenderung memburuk," jawab Maria pelan, suaranya hampir tak terdengar.Davin menarik napas panjang, mencoba menenangkan gejolak yang mulai menyeruak di dadanya. "Aku ingin masuk. Kamu makan saja dulu, Maria. Aku ingin bicara dengannya sebentar," ucapnya dengan nada tegas namun lembut.Maria menatap Davin sejenak, lalu mengangguk dengan ragu. "Baik, Pak. Tapi... jika ada apa-apa, segera panggil saya," pintanya sebelum melangk
Bunyi monitor di samping ranjang Bram semakin cepat, membuat para dokter segera masuk ke ruang ICU. Salah satu dokter keluar dengan wajah tegang, menghampiri Maria yang berdiri dengan tubuh gemetar.“Kondisinya memburuk. Sebaiknya segera hubungi keluarganya,” ujar dokter itu cepat, dengan nada mendesak.Maria merasa tubuhnya melemah seketika. Tangannya gemetar saat meraih ponsel di saku. Napasnya tercekat ketika akhirnya berhasil menghubungi Davin.Begitu panggilan tersambung, suara Maria pecah di ujung telepon. “Pak, tolong cepat datang ke rumah sakit... Bram... keadaannya semakin kritis.”Davin, yang sedang duduk di ruang kerjanya, berdiri dengan wajah tegang mendengar suara panik Maria. “Aku segera ke sana,” jawabnya tanpa ragu, menutup telepon dan bergegas ke ruang keluarga.Naura sedang menggendong Rania, sementara Raka berada di boks bayi. Ia langsung menyadari sesuatu terjadi saat melihat raut wajah suaminya.“Sayang, ada apa?” tanya Naura, suaranya penuh kecemasan.“Bram kriti
“Bram...” gumam Laura pelan saat membuka mata.Wanita paruh baya itu kini berada di ruang UGD setelah sebelumnya pingsan di ruang ICU. Naura setia mendampingi di sampingnya, meskipun ia tahu dirinya tidak pernah diterima sepenuh hati oleh sang Mama mertua. Namun, dalam situasi seperti ini, Naura tetap berada di sana, menjaga dan menemani dengan setulus hati, meski dia adalah salah satu orang yang ingin dihabisi oleh sang mama mertua.“Mama...” panggil Naura dengan suara lirih. Jantungnya berdetak kencang karena takut akan mendapat penolakan dari sang mama mertua.Nyonya Laura yang mendengar suara itu pun perlahan menoleh ke arah Naura. Ia mendapati menantunya duduk di samping ranjang pasien dengan mata yang sembab, penuh bekas tangis.“Jangan bilang kalau Bram sudah pergi...” ujar Laura dengan suara bergetar, air matanya mulai jatuh.Naura buru-buru menggeleng, mencoba menenangkan. “Tidak, Ma. Bram sudah kembali. Anak Mama telah kembali. Dia tidak pernah meninggalkan kita,” jawab Naur
Daniel Dominic Montgomery dan Darren Damian Montgomery adalah nama yang dipilih oleh kedua orang tua mereka dan sudah disepakati oleh keluarga untuk si kembar. Kedua bayi itu kini berada di ruang perawatan sang Mama. Setelah dilahirkan kemarin, mereka sempat dibawa ke ruang perawatan bayi, tetapi pagi ini mereka sudah dipindahkan ke ruang perawatan Rania. "Selamat ya, Nia! Aku senang banget akhirnya punya keponakan," ucap Raka. "Untung saja wajahnya kayak kamu," tambahnya lagi sambil melirik ke arah sang adik ipar yang usianya jauh di atasnya. Edward hanya tersenyum mendengar ucapan iparnya. "Kamu kapan menyusul, Raka?" tanyanya. "Menyusul? Bisa-bisa aku digantung sama Mommy dan Daddy. Pacaran saja nggak boleh, apalagi nyusul kalian nikah dan punya anak. Mommy bisa mati berdiri," kata Raka sambil melirik ke arah sang Mommy. "Bener kan, Mom?" tanyanya lagi. "Bukan cuma digantung, tapi Mommy akan ikat seluruh tubuh Raka biar nggak bisa bergerak," jawab Naura, membuat seluruh or
Sementara itu, di dalam mobil, Rania terus menangis. Tangannya mencengkeram erat kursi, napasnya terengah-engah menahan rasa sakit yang begitu menyiksa. Perutnya terasa melilit hebat, sakit yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Setiap gelombang kontraksi yang datang membuat tubuhnya menegang, dan air mata semakin deras mengalir di pipinya."Sabar ya, sayang… sabar… kita sebentar lagi sampai," ucap Edward, suaranya bergetar, namun ia berusaha tetap tenang untuk istrinya. Tangannya terulur, mengusap kening Rania yang penuh peluh. Ia ingin melakukan sesuatu untuk mengurangi rasa sakit istrinya, tetapi ia tahu tidak ada yang bisa benar-benar membantu selain memastikan mereka segera tiba di rumah sakit.Rania menggigit bibirnya, tubuhnya sudah mulai gemetar. "Sakit, sayang… sakit banget…" ucapnya dengan suara lemah, hampir seperti bisikan. Air ketubannya sudah pecah sejak beberapa menit yang lalu, dan kini darah mulai keluar, membasahi pahanya hingga betisnya.Melihat kondisi itu, E
"Bagaimana kalau kita menikah bulan depan saja?" tanya Bram tiba-tiba, menatap Monica dengan penuh harapan.Mereka sedang duduk di balkon kamar Monica. Awalnya, Bram berencana menemani Angelica di kamar ibunya karena gadis kecil itu ingin tidur bersama sang nenek. Namun, Laura tampaknya memahami situasinya dan justru menyuruh Bram untuk menemani Monica.Monica tersenyum lembut, tatapannya penuh kehangatan. "Aku ikut saja, sayang. Terserah kamu mau kapan, aku siap," jawabnya tulus. "Aku bahagia banget akhirnya Angelica mau menerima kehadiranku."Bram merasakan haru menyelimuti hatinya. Ia lalu meraih Monica ke dalam pelukannya, mendekapnya dengan penuh kasih sayang. "Terima kasih, sayang. Terima kasih juga karena sudah mau menerima pernyataan cinta dari seorang duda beranak satu," ucapnya dengan suara lembut.Monica tersenyum dan membalas pelukan itu. "Aku mencintaimu, Bram. Statusmu tidak pernah menjadi masalah untukku," bisiknya.Bram mengusap pelan punggung calon istrinya. "Tapi aku
Naura menghela napas panjang, matanya masih terlihat menerawang, seolah pikirannya belum bisa benar-benar menerima kenyataan yang baru saja terjadi. “Aku nggak pernah menyangka kalau Angelica bisa langsung menerima Monica sebagai calon Mama barunya,” ucapnya lirih, suaranya terdengar masih dipenuhi rasa haru.Saat ini, dia sudah berada di kamar bersama suaminya, Davin. Malam di London terasa lebih dingin dari biasanya, tetapi suasana hati Naura jauh lebih hangat setelah melihat kebahagiaan di wajah keponakannya tadi.Davin yang tengah bersandar di kepala ranjang ikut tersenyum, meskipun ada sedikit keterkejutan di matanya. “Iya, sayang. Aku juga tidak menyangka kalau Angelica secepat itu menerima kehadiran Monica. Aku pikir tadi, saat dia mencium foto Mamanya, dia tidak akan mau Mamanya digantikan oleh siapa pun.”Naura mengangguk pelan, memahami perasaan yang mungkin sempat berkecamuk di hati Angelica. Ia tahu betul seberapa besar gadis kecil itu mencintai sosok ibunya, meskipun tak
Angelica masih sibuk menyapa teman-temannya satu per satu dengan wajah ceria. Senyumnya terus mengembang, mencerminkan kebahagiaan yang begitu tulus. Sesekali, ia tertawa kecil saat berbincang dengan sahabat-sahabatnya, menikmati momen berharga yang baru pertama kali diberikan oleh sang Papa. Sejak kecil, Angelica memang tidak pernah merasakan pesta ulang tahun sebesar ini, dan melihat banyak orang yang datang hanya untuknya membuat gadis kecil itu merasa begitu istimewa. Bram berdiri bersama ibunya, Laura, serta Monica, sekretarisnya yang selama ini selalu berada di sisinya, mendukung setiap langkahnya dalam pekerjaan maupun kehidupan pribadinya. Tidak ada banyak orang di sekitar mereka, memberikan kesempatan bagi mereka bertiga untuk berbicara lebih leluasa tanpa ada yang mendengar.Laura menatap putranya dengan penuh arti sebelum akhirnya membuka suara, "Bram, kau benar-benar akan meminta izin pada Angelica untuk menikahi Monica?" Suaranya terdengar tenang, tapi ada sedikit kekh
Waktu terus berjalan, tanpa terasa minggu depan adalah jadwal kelahiran kedua anak Rania dan Edward. Perjalanan panjang yang mereka lalui bersama akhirnya membawa mereka ke titik ini—menanti hadirnya dua buah hati yang akan melengkapi keluarga kecil mereka.Sejak tiga bulan lalu, Rania telah resmi pindah ke Sun City, meninggalkan London untuk membangun kehidupan baru bersama Edward. Edward, yang sejak awal ingin memberikan kenyamanan terbaik bagi istrinya, sudah menyiapkan rumah mewah untuk Rania. Namun, meskipun Rania menerima rumah tersebut dengan penuh rasa syukur, menjelang persalinannya, dia lebih memilih tinggal di kediaman kedua orang tuanya. Bagi Rania, berada di dekat Mommy dan Daddy akan membuatnya lebih tenang.Bisnis butiknya yang kini berkembang pesat tetap berjalan dengan baik meskipun Rania sementara waktu harus istirahat dari dunia fashion. Dia mempercayakan pengelolaan butik itu kepada manajernya, tetapi setiap laporan tetap dikirimkan kepada William, asisten keper
Mereka baru saja turun dari mobil.Davin hanya bisa menghela napas panjang saat melihat Naura dengan cekatan mengambil black card miliknya, seolah kartu itu sudah menjadi milik pribadi istrinya. "Sayang, kamu kan udah punya kartu sendiri," protesnya, meski nada suaranya lebih terdengar seperti pasrah daripada keberatan.Naura hanya tersenyum manis, menggoyangkan kartu itu di depan wajah suaminya. "Tapi kan tetap saja uang suami adalah uang istri, sayang. Uang istri ya uang istri," sahutnya santai. "Apalagi aku mau belanjain anak-anak juga."Davin hanya bisa menggelengkan kepala sambil tersenyum. Dia tahu, pada akhirnya, apa pun yang ia miliki memang untuk istri dan anak-anaknya tercinta.Sementara itu, Angelica yang sedari tadi sibuk melihat-lihat koleksi sepatu mewah tiba-tiba menoleh pada pamannya. "Uncle, Angelica di-belanjain juga nggak?" tanyanya dengan mata berbinar.Davin menoleh ke arah gadis mungil itu, yang kini menatapnya dengan ekspresi menggemaskan. Wajah Angelica yang c
Davin melangkah masuk ke ruang keluarga apartemen Edward dan Rania, mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ia baru saja tiba bersama Naura dan Angelica, membawa beberapa koper berisi makanan dan oleh-oleh untuk putri mereka. Belum sempat duduk, Edward sudah menyambutnya dengan senyum lebar.“Duduk dulu, Daddy,” ucap Edward sambil menunjuk sofa di hadapannya.Davin mendengus geli, menatap menantunya dengan ekspresi datar. “Geli kali aku dipanggil Daddy olehmu,” sahutnya, nada suaranya masih terasa tak bersahabat.Naura yang duduk di sampingnya hanya menghela napas, sementara Edward malah cengengesan. “Masak mau dipanggil Paman?” goda Edward.Naura ikut menimpali, “Lagian kamu ini, sayang. Memang sudah sepantasnya menantu memanggilmu dengan sebutan Daddy. Kenapa protes terus setiap sama Edward?”Davin menatap istrinya dengan alis terangkat. “Makin besar kepalanya Edward. Semua dibelain. Heran deh, sama kamu dan Mamaku. Doyan sekali membela laki-laki ini,” ujarnya bercanda.Edward hanya te
Saat Rania dan Edward tiba di sebuah restoran, mereka bertemu dengan seseorang yang sudah lama tidak Rania jumpai."Hai, Andrew! Apa kabar?" sapa Rania dengan ramah, sambil mengulurkan tangan ke arah pria itu.Namun, sebelum tangannya sempat menyentuh tangan Andrew, Edward dengan sigap menarik tangan istrinya, menjauhkannya dari jangkauan pria lain. Andrew, yang sudah hendak menyambut salam Rania, hanya bisa menarik tangannya kembali dengan ekspresi sedikit terkejut.Rania melirik suaminya dengan kesal. "Kamu apa-apaan sih?" tanyanya, tak habis pikir dengan tindakan Edward yang begitu protektif.Edward menatapnya tanpa rasa bersalah sedikit pun. "Aku nggak suka ada yang nyentuh-nyentuh istriku, meskipun hanya sekadar salaman," ucapnya tegas.Andrew tertawa kecil melihat sikap Edward yang begitu posesif. "Nggak apa-apa, Rania. Semua pria pasti punya pemikiran seperti suamimu ini. Wajar kalau dia nggak mau istrinya yang cantik dimiliki orang lain," ujarnya santai.Edward langsung meloto