Bila Bram sudah menyelesaikan kegiatan panasnya dengan Maria, berbeda dengan Davin yang belum bisa memejamkan mata.Ruang rawat inap itu terasa tenang, meski di dalamnya Davin terus saja mengeluh dengan suara pelan namun penuh emosi. Pria itu berbaring di samping Naura, istrinya, yang masih terlihat kelelahan setelah persalinan. Sementara bayi kembar mereka berada di ruang khusus bayi dengan penjagaan ketat, Davin justru tidak bisa menahan hasratnya untuk terus mengganggu Naura dengan pertanyaan yang sama."Berapa lama sebenarnya aku harus puasa, Sayang, untuk tidak menyentuhmu?" tanya Davin lagi, kali ini lebih pelan namun tetap tidak menyembunyikan frustrasinya. Tangan besar pria itu dengan bandel menyentuh dada Naura, membuat wanita itu meringis kecil."Sayaaang, jangan! Dadaku sakit," ucap Naura, mencoba melepaskan tangan suaminya. Ia merasa tidak nyaman, bukan cuma karena ASI-nya belum lancar, tapi juga karena Davin terlihat tidak peduli pada kondisinya.“Jawab pertanyaanku, sa
“Sayang, aku keluar dulu ya,” bisik Davin, setelah berhasil membuat si kembar kenyang dan terlelap di box bayinya.Naura mengangguk, lalu Davin mengecup bibir sang istri sekilas.“Apa menurutmu aku harus bicara dengan Mama?” tanya Davin pada tangan kanannya. Mereka saat ini duduk di depan ruang rawat inap Naura. Baik Davin maupun Bram sangat yakin perempuan yang tertangkap itu benar-benar suruhan dari Nyonya Laura.“Saya rasa tidak akan ada gunanya bicara dengan Mama Anda, Pak Davin. Apalagi kita tidak punya bukti. Perempuan itu masih kukuh berkata bahwa dia membenci Naura dan ingin membalas dendam. Walaupun alasan itu sangat tidak masuk akal, karena selama ini Naura selalu baik kepada siapa pun. Kalau yang membenci Naura itu mantan tunangan Anda dulu, itu mungkin lebih masuk akal. Sementara yang ini, Naura bahkan tidak mengenal wajahnya,” tutur Bram, yang sebelumnya telah memperlihatkan wajah perempuan itu melalui layar ponselnya kepada Naura.“Mama benar-benar jahat banget kalau sam
Setelah dua minggu berlalu sejak kelahiran si kembar, Davin dan Bram dijadwalkan melakukan kunjungan kerja ke luar kota. Kedua pria itu telah berangkat sejak subuh, meninggalkan Naura untuk menjaga si kembar dibantu suster masing-masing di rumah. Davin berjanji akan kembali malam harinya, tetapi Naura tahu hari itu akan terasa panjang tanpa kehadiran suaminya.Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Maria untuk datang berkunjung. Wanita cantik penuh peson itu tiba di kediaman Davin dengan membawa parcel buah dan kado untuk si kembar sebagai alasan kunjungannya. Namun, setelah memastikan Naura dalam keadaan santai dan si kembar sedang terlelap, Maria mulai membuka pembicaraan yang sudah lama ingin ia sampaikan.Wajah Maria terlihat serius saat ia duduk di sofa kamar si kembar bersama Naura. Tanpa berbelit-belit, Maria mulai mengisahkan fakta yang selama ini mungkin tak pernah diketahui oleh Naura—kebenaran tentang hubungan Bram dan Davin. Maria menjelaskan bahwa Bram adalah kakak tiri Dav
Setelah menyelesaikan perjalanan dinas di luar kota, rombongan Davin dan Bram memilih jalan pintas untuk segera kembali ke Sun City. Jalan yang mereka lalui merupakan jalur kecil yang melintasi hutan.Meski sepi dan agak menyeramkan, Davin yakin rute ini akan mempercepat waktu tempuh mereka. Tiga kendaraan beriringan memimpin perjalanan: mobil Davin yang dikemudikan oleh sopir pribadinya diapit oleh dua kendaraan pengawal di depan dan belakang.Perjalanan awal berlangsung tenang. Udara hutan terasa segar meski suasana agak mencekam. Davin duduk di dalam mobil, sesekali melirik ke arah Bram yang tampak sibuk mengutak-atik ponselnya. Ia tidak menyangka bahwa ketenangan ini akan segera berubah menjadi mimpi buruk.Ketika mereka tiba di sebuah jalan sempit yang diapit pohon-pohon besar, iring-iringan kendaraan mereka mendadak dihentikan oleh sekelompok orang tak dikenal yang menghadang di tengah jalan. Jumlah mereka hampir sama dengan jumlah rombongan Davin, tapi sorot mata mereka menunj
“Sayang, kamu kenapa?” tanya Naura panik saat melihat suaminya datang dengan wajah masam, pakaiannya berantakan. Sejak tadi, Naura berusaha menghubungi Davin, tapi sama sekali tak ada jawaban dan ponselnya tidak aktif.Dia juga berusaha menghubungi Bram, namun ponselnya juga tak bisa dihubungi, hingga membuat Naura tak bisa memejamkan mata sepanjang hari ini. Waktunya dihabiskan bersama Maria dan menemani kedua buah hatinya yang sedikit rewel, namun saat malam tiba Naura tetap gelisah menunggu sang suami.“Bram... ditembak,” ucap Davin pelan lalu mendaratkan bokongnya di sofa kamar mereka. Pria itu menutup wajahnya dengan kedua tangan, bahunya bergetar hebat karena tadi sebelum dia pulang, dokter menyampaikan bahwa mereka tidak bisa memberi harapan apa pun karena kondisi Bram semakin memburuk.“Apaaaaaaaaa? Bram kena tembak? Kenapa ini bisa terjadi, Sayang? Bagaimana kejadiannya?” tanya Naura panik, pikirannya langsung melayang pada ibu mertua yang selama ini berniat jahat pada Bra
Davin berjalan perlahan menyusuri koridor rumah sakit yang sepi. Jantungnya berdebar kencang, seakan mengetahui bahwa ia akan menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya. Pikirannya berkecamuk, antara mempercayai cerita Naura atau menyangkalnya mentah-mentah. Namun, satu hal yang pasti, ia harus melihat sendiri kebenarannya.Sesampainya di depan ruang ICU, Davin menarik napas panjang sebelum membuka pintu. Di dalam ruangan itu, ia melihat Maria duduk di samping tempat tidur Bram, menggenggam tangan pria yang terbaring lemah dengan alat bantu pernapasan terpasang di wajahnya. Maria menoleh ketika mendengar suara pintu terbuka dan sedikit terkejut melihat Davin di sana."Pak Davin," panggil Maria pelan, mencoba tersenyum meskipun wajahnya terlihat lelah."Aku perlu bicara denganmu. Tolong jangan pergi," kata Davin singkat, matanya tak lepas dari tubuh Bram yang terbaring tak berdaya.Maria mengangguk, memahami situasi. Ia sudah membaca pesan dari Naura dan tahu bahwa Davin sudah me
Davin tiba di rumah sakit dengan wajah letih. Perjalanan panjang tak membuatnya melupakan tujuan utamanya—Bram.Setelah sopir berhenti di depan lobby rumah sakit, Davin langsung melangkah ke ruang ICU dengan langkah berat. Setiap ayunan kakinya terasa seperti membawa beban yang tak kasat mata. Ketika ia tiba di depan pintu ICU, Maria, tengah berdiri di sana dengan wajah yang dipenuhi kecemasan."Bagaimana kondisi Bram?" tanya Davin, suaranya berat, mencoba menahan emosi yang mendesak keluar.Maria menoleh dengan mata sembab. "Keadaannya masih sama, Pak. Bahkan... cenderung memburuk," jawab Maria pelan, suaranya hampir tak terdengar.Davin menarik napas panjang, mencoba menenangkan gejolak yang mulai menyeruak di dadanya. "Aku ingin masuk. Kamu makan saja dulu, Maria. Aku ingin bicara dengannya sebentar," ucapnya dengan nada tegas namun lembut.Maria menatap Davin sejenak, lalu mengangguk dengan ragu. "Baik, Pak. Tapi... jika ada apa-apa, segera panggil saya," pintanya sebelum melangk
Bunyi monitor di samping ranjang Bram semakin cepat, membuat para dokter segera masuk ke ruang ICU. Salah satu dokter keluar dengan wajah tegang, menghampiri Maria yang berdiri dengan tubuh gemetar.“Kondisinya memburuk. Sebaiknya segera hubungi keluarganya,” ujar dokter itu cepat, dengan nada mendesak.Maria merasa tubuhnya melemah seketika. Tangannya gemetar saat meraih ponsel di saku. Napasnya tercekat ketika akhirnya berhasil menghubungi Davin.Begitu panggilan tersambung, suara Maria pecah di ujung telepon. “Pak, tolong cepat datang ke rumah sakit... Bram... keadaannya semakin kritis.”Davin, yang sedang duduk di ruang kerjanya, berdiri dengan wajah tegang mendengar suara panik Maria. “Aku segera ke sana,” jawabnya tanpa ragu, menutup telepon dan bergegas ke ruang keluarga.Naura sedang menggendong Rania, sementara Raka berada di boks bayi. Ia langsung menyadari sesuatu terjadi saat melihat raut wajah suaminya.“Sayang, ada apa?” tanya Naura, suaranya penuh kecemasan.“Bram kriti
Menyadari laki-laki muda itu sangat gugup, Laura pun menjauhkan tangannya dari paha pria itu."Apa kamu tidak pernah berhubungan dengan perempuan? Masa sih orang seusiamu mendengar kata-kata saya ini terlihat sangat gugup?" tanya Laura.Andi benar-benar kehilangan konsentrasinya. Dia harus fokus berkendara, namun pikirannya terganggu oleh pertanyaan ambigu yang dilayangkan oleh Laura.Usianya saat ini baru 25 tahun, namun postur tubuhnya yang sangat tinggi dan besar membuat wajah tampannya terlihat lebih tua dari usianya."Kamu yakin belum pernah melakukannya dengan kekasihmu atau perempuan lain?" tanya Laura lagi ketika pria itu benar-benar semakin salah tingkah."Demi Tuhan, Nyonya. Saya tidak pernah melakukan itu dengan siapapun. Saya benar-benar hanya fokus pada penyembuhan ibu saya. Hanya beliau satu-satunya orang yang saya miliki di dunia ini," jawab Andi, semakin membuat Laura tersenyum bahagia."Kalau begitu, aku akan memanjakanmu dengan uang yang aku miliki. Aku akan membelik
"Naura sayang," panggil sang Mama mertua."Ya, Ma," jawab Naura, lalu membuka pintu kamarnya untuk menanyakan apa sebenarnya yang dibutuhkan oleh sang Mama mertua.Si kembar ikut keluar dan menyembulkan kepala mereka di balik pintu untuk melihat sang nenek. Saat ini, Naura dan si kembar baru saja selesai mandi setelah panen buah di kebun.Bahkan Raka dan Rania tubuhnya masih terlilit handuk, dan rambutnya masih setengah basah."Mama mau pergi sebentar ya, sayang," pamit sang Mama mertua pada Naura. Ia juga mengusap rambut kedua cucunya."Kenapa nenek tidak di lumah saja? Padahal kami mau pamel kado ulang tahun, loh. Nenek jangan pergi ya," bujuk Raka."Iya, nih! Nenek halus temenin kami buka kado!" Rania ikut merengek."Kalau kalian mau ditemani nenek, berarti Mommy yang akan pergi ke kantor. Gimana?" Naura memberi tawaran sambil menaik-turunkan alisnya ketika kedua anak kembarnya menatap ke arah Naura."Oh, tidak bisa, Nyonya!" jawab keduanya kompak, lalu memeluk sang Mommy."Ya udah
Esok harinya, semua sudah berkumpul di meja makan. Naura mengenakan pakaian rumahan, namun sudah wangi dan cantik. Cuti hari ini diberikan langsung oleh sang CEO, dan akan dimanfaatkan dengan baik menemani kedua buah hatinya seharian penuh di rumah.Rania dan Raka melirik menu di atas meja. Ada daging dan salad sayur, serta susu untuk keduanya. Segera mereka mengambil posisi di samping kanan dan kiri sang Daddy.Bram masuk ke rumah itu, dan melayangkan protes saat tempat duduk yang biasa ia tempati diambil oleh Raka.“Minggir,” kata Bram mengusir Raka.Segera Raka berpegangan pada lengan sang Daddy, dan kakinya melilit pada tiang meja.“Iiiih, apaan nih. Dasal tamu tak diundang, tak punya sopan, ya numpang makan di lumah olang,” omelnya.Davin hanya terkekeh, sambil mengecup wajah jagoannya, yang makin hari makin bawel.“Iiih, apaan nih. Dad, tolongin apa anaknya,” kata Raka lagi, saat Bram kembali berniat mengangkat tubuhnya.Laura bergabung dan menjewer Bram hingga membuat Rania dan
Rania dan Raka menajamkan telinganya, mereka seolah tahu yang datang itu kedua orang tuanya. Dan mereka sangat bahagia kalau sang mommy pulang sebelum makan malam.“Ayo tulun, mommy datang,” ucap Rania.Keduanya berjalan cepat menuruni anak tangga agar bisa membukakan pintu sang mommy. Keduanya bahkan mengabaikan panggilan sang nenek yang terus memanggilnya. Laura dan Dinda menyusul ke lantai bawah.“Mommyyyyyyy, yeeeeeee Mommy aku udah pulang.” Rani dan Rak masuk dalam dekapan sang mommy. Mencium wajah wanita yang melahirkannya bertubi-tubi. Naura sampai terkekeh melihat kelakuan anak kembarnya, sementara Davin yang berdiri di sampingnya malah dicuekin.“Aku curiga, kalau mereka ini hanya anaknya Naura. Kamu hanya mengakui secara catatan saja,” ejek Bram.Davin hanya tertawa sambil menggeleng.“Penculiiii, kau culi mommy kami sampai sole balu pulang,” ucap Rania, lalu terkekeh saat sang Daddy membuat tubuhnya melayang. “Aka mau, Dad,” ujar jagoannya.Davin merengkuh kedua anaknya, l
"Kalian doakan saja agar Uncle dan Aunty cepat berjodoh," ucap Laura.Segera, Raka, Rania, dan Dinda menoleh ke sumber suara. Raka dan Rania langsung berlari ke ambang pintu untuk memeluk sang nenek."Neneeeeeek! Kami kangen sama Nenek," ucap kedua anak yang baru saja merayakan ulang tahun kemarin. Mereka memeluk sang nenek dengan penuh antusias.Bahkan mereka belum sempat membuka kado-kado ulang tahun. Niatnya, habis makan malam kado-kado itu akan dibuka bersama, tetapi kedua orang tua mereka sudah lebih dulu menelepon, mengatakan bahwa mereka akan pulang terlambat.Dinda tersenyum melihat Raka dan Rania begitu menyayangi sang nenek.Mereka pun akhirnya berbincang tentang banyak hal. Laura mencoba mendekatkan diri pada Dinda. Kini, ia tidak peduli lagi pada latar belakang keluarga Dinda. Laura telah meninggalkan sifat egonya yang dulu, karena yang terpenting baginya saat ini adalah kebahagiaan anak-anaknya bersama wanita yang mereka cintai.Di tempat berbeda, Davin dan Naura telah t
Saat mobil yang ditumpangi Dinda mulai memasuki gerbang kota Suncity, ponselnya tiba-tiba berdering. Nama Bram tertera jelas di layar. Dinda cepat-cepat mengangkat panggilan itu, memastikan suaranya terdengar netral agar sopir yang duduk di depannya tidak curiga.“Halo, Pak Bram,” sapanya ramah namun hati-hati. Ia tidak mau hubungan spesialnya dengan Bram terungkap, apalagi di depan sopir pribadi majikannya. Hubungan mereka adalah rahasia yang harus Dinda jaga rapat-rapat.“Halo, Baby,” suara Bram terdengar lembut di seberang telepon, namun tetap penuh perhatian. “Boleh minta tolong?” tanyanya, nadanya terdengar agak cemas.“Tentu saja, Pak. Apa yang bisa saya bantu?” Dinda berusaha menjaga formalitas dalam jawabannya.“Kamu sudah sampai di mana sekarang?” tanya Bram, suaranya terdengar khawatir.“Sebentar lagi, Pak. Kami sudah masuk kota,” jawab Dinda sambil melirik pemandangan jalan yang mulai ramai di luar jendela.“Kalau begitu, tolong jangan langsung pulang, ya. Mampir dulu ke r
Semwntara itu, sinrumah Bram, berbaring di atas ranjang yang luas, saling memandang dalam diam. Dinda memeluk Bram, pria itu menyandarkan tubuhnya pada kepala ranjang, memandangi wanita yang terbaring di sisinya dengan sorot penuh kasih. Setwlah pulang dat hotel, mereka tak ikut ke rumah utama, katena besok Raka dan Rania batu akan membuka kado. Hari ini Mommy dan Daddynya tak mengizinkan negadang.Sesekali Bram mengusap lembut rambut Dinda, seolah ingin menenangkan kekhawatirannya. “Baby,” Bram membuka suara, memecah keheningan. “Aku nggak bisa terus begini. Aku nggak tahan lihat kamu terus-terusan diancam oleh Dimas. Dia nggak punya hak buat mengatur hidup kamu seperti ini.” Barusan Dinda kembali mencurahkan isi hatinya pada Bram.Dinda hanya mendesah pelan, mengeratkan pelukannya pada tubuh Bram. "Aku tahu, Baby... Tapi aku juga bingung harus gimana. Selama ini aku cuma menuruti dia supaya semuanya nggak makin rumit."Bram menatap wajah Dinda dengan serius. Ia tidak suka melihat
“Apa di antara kalian ada yang masih perawan?” tanya Aldo. Matanya merem melek, menikmati sentuhan bibir wanita muda, di bagian intimnya.“Saya Tuan,” jawab wanita itu. Dia menghentikan kegiatannya mengulum bagian intim Aldo.Aldo memicingkan mata, tak percaya. Wanita ini seperti sedang berbohong.“Kau yakin?” tanya Aldo.“Yakin, Tuan. Anda bisa mengambil keperawanan saya, tapi anda harus memberi saya bonus lebih,” ucapnya. Wanita itu baru saja jatuh miskin setelah perusahaan orang tuanya bangkrut, bahkan dia ditinggalkan kekasihnya karena miskin. Wanita itu sudah terbiasa memuaskan kekasihnya dengan oral seks.“Lalu kalau kamu berbohong?” tanya Aldo.“Anda boleh tak membayar saya malam ini,” jawabnya.Aldo menatap wanita di depannya ini, teringat dengan Naura. Wanita itu pernah pinjam uang satu miliar dan rela memberikan keperawanannya pada Aldo. Sayangnya Aldo tak bisa memberi uang sebanyak itu. Dan Aldo yakin Naura akhirnya memberikan untuk Davin. Mengingat itu, dia jadi semakin me
Aldo duduk santai di sofa mewah dengan rokok di tangannya. Matanya terpaku pada tiga penari yang sedang menari sensual di hadapannya, menggunakan jam besar sebagai alat utama tari mereka. Musik berdentum, menggema di seluruh ruangan, seolah mengiringi langkah-langkah tarian mereka. Asap rokok mengepul di udara, memenuhi ruangan dengan aroma yang khas.Tiba-tiba, pintu ruangan itu terbuka. Seorang pria berpakaian rapi masuk dengan langkah penuh percaya diri. Pria itu adalah Edward, orang kepercayaan Aldo yang bertugas mengumpulkan informasi tentang target-targetnya. Edward memberi kode kecil dengan tatapan matanya, meminta Aldo mengizinkannya masuk lebih jauh. Aldo melirik sekilas dan memberikan anggukan ringan.“Masuk, Edward,” ujar Aldo dengan nada santai.Edward melangkah ke dalam, mengabaikan suasana gemerlap di ruangan itu. Ia langsung mengeluarkan sebuah map dari tasnya dan menyerahkannya kepada Aldo."Ini, Bos," ucapnya sambil menaruh map itu di meja kaca. "Semua data sudah le