"Ini kado dari Hanin, Bu," ucap Mas Eros saat meletakkan kado bermotif batik itu di atas meja. Ibu sempat terkejut mendengar namaku diucapkan oleh anak lelakinya itu, tapi kini ibu berusaha mentralkan ekspresinya. "Hanin tak tahu apa kesukaan ibu, tapi semoga ibu menyukai kado ini," sambungnya dengan senyum tipis lalu duduk di samping ibunya. "Kamu memang tak pernah lupa dengan tanggal pernikahan ibu dan bapak. Pasti kamu yang ngasih tahu tanggal spesial ini pada Hanin kan?" tanya ibu sembari menepuk-nepuk lengan Mas Eros sambil menatapnya lekat. Mas Eros pun tersenyum tipis. "Aku belum menikah, Bu. Belum punya anak dan istri, wajar kalau cuma ibu dan bapak yang kuingat." Mas Eros meringis kecil. "Iya ... iya. Dulu kamu dan Eris juga sama-sama belum menikah, tetapi cuma kamu yang selalu ingat ulang tahun ibu dan bapak ataupun tanggal pernikahan kami. Eris selalu sibuk dengan dunianya sendiri. Apalagi setelah menikah seolah melupakan tanggal-tanggal spesial orang tuanya." Ibu mengh
Ibu men desah pelan. Ada seraut kecewa tersirat di wajahnya yang menua. "Lain kali jangan banyak pertimbangan, Ros. Jangan memikirkan Eris terus. Kalau memang dia belum punya pasangan dan kamu sudah mendapatkan pasangan, segera kenalkan pada ibu. Kalau memang dia belum sukses, sementara kamu sudah sukses, nikmati kesuksesanmu. Kalian berdua berhak bahagia meski dengan cara yang berbeda. Kalian sama-sama anak ibu, sukses atau nggak, tak pernah mengubah kasih sayang ibu pada kalian berdua. Sekali lagi ibu minta, jangan mengorbankan dirimu terus hanya untuk menyenangkan hatinya," ucap ibu dengan mata berkaca. "Aku tahu, Bu. Hanya saja apa Eris memahami itu?" Mas Eros menghela napas panjang. Kedua matanya menatap ke depan, sepertinya membayangkan sesuatu yang tak pernah kutahu sebelumnya. Aku tak tahu ada rahasia apa di antara mereka. Melihat tatapan sendu anak lelakinya, ibu memijit kening lalu menatap kembali kado di atas meja. "Jika dia nggak paham, setidaknya dia mau menerima takd
Deru mobil Mas Eris terdengar di garasi. Aku masih pura-pura sibuk membaca novel online di handphone. Terdengar celoteh anak lelaki dan tawa seorang perempuan yang tak asing di telinga. Rupanya mereka datang lagi ke sini. Keluarga harmonis. Seperti biasa, Ibu menyambut mantan menantunya dengan hangat. Celoteh Edo membuat tawa ibu kembali terdengar renyah di telinga. Aku hanya tersenyum tipis melihat keakraban mereka. Sebelumnya aku sempat iri karena belum juga dikaruniai buah hati, tapi melihat sikap Mas Eris seperti itu, sekarang justru bersyukur karena belum dikaruniai momongan. Tak bisa kubayangkan bagaimana sikap Mas Eris pada anakku nanti, mungkin berbanding terbalik dengan sikapnya pada Edo, anak pertamanya itu. "Hai, Hanin. Gimana kabarnya?" Perempuan itu tiba-tiba sudah berdiri di belakangku dengan senyum tipisny saat aku menutup pintu kamar. "Baik banget, Mbak." Aku tersenyum tipis lalu melangkah pergi. "Kamu nggak tanya bagaimana kabarku?" "Buat apa? Bukannya kamu terl
[Aku diajak makan siang sama bapak dan ibu, Fik. Cuma ada Hanin juga nanti. Kamu nggak apa-apa kan?] Pesan Mas Eris baru saja terkirim. Tak selang lama, balasan dari perempuan itu pun terkirim dan kini bebas kubaca setelah penyadapan kemarin.[Nggak masalah kalau sekadar makan siang, Mas. Asal kamu nggak lupa sama janjimu sendiri. Seminggu lagi akad nikah kita. Aku nggak mau kamu ingkar. Ingat, aku selalu setia menunggumu di sini]Rasanya begitu mual saat membaca pesan-pesan itu. Namun, aku berusaha tetap tenang. Beruntung Mas Eris nggak curiga jika aku tahu apa password handphonenya bahkan kini sudah kusadap. [Iya, aku nggak akan lupa. Semua sudah siap dan aku nggak mungkin membuat Edo kecewa] Perempuan itu menatapku sekilas dengan senyum liciknya. Dia pikir aku nggak tahu apa yang mereka berdua bicarakan. Sayangnya, aku selangkah lebih awal dibandingkan mereka. ~[Sekadar makan siang bersama, Hanin. Nggak perlu sepercaya diri itu. Mas Eris melakukan itu hanya untuk menyenangkan
[Mas, aku sudah siap. Cantik bukan?] Sebuah foto seorang perempuan dengan kebaya putih gadingnya terkirim ke nomor Mas Eris yang sudah kusadap. Aku tak menyangka jika ternyata mereka benar-benar akan melangsungkan akad nikah itu. Kupikir hanya rencana iseng Mas Eris, nyatanya dia memang sengaja menyakitiku perlahan. Tak mau menceraikan, kugugat ceraipun dia enggan. Menyebalkan bukan? [Mas, sekarang kamu di mana? Jangan sampai telat. Akad nikah kita jam sembilan. Jangan biarkan penghulu menunggu terlalu lama] Pesan kedua kembali muncul. Kuhela napas panjang lalu kembali melihat ke arah kamar mandi. Mas Eris masih di sana sejak beberapa menit lalu. Dia tak gugup. Seperti biasa yang terlalu cuek dan santai. Mungkin sengaja agar aku tak curiga apa yang akan dilakukannya pagi ini. Sabtu kemarin, tumben sekali dia di rumah seharian. Memintaku di rumah saja dan tak mengizinkanku ke mana-mana, termasuk ke rumah ibu. Dia bilang sesekali ingin di rumah bersamaku. Dulu, keinginannya itu men
"Hanin, mau kemana?" Pertanyaan ibu menghentikan langkahku. Aku menoleh pada ibu yang baru saja keluar dari kamar mandi. "Mau keluar sebentar, Bu," balasku singkat. Tatapan nanar ibu membuatku bertanya-tanya. Mungkinkah ibu tahu jika hari ini Mas Eris akan melangsungkan akad nikah dan ibu tak sanggup memberitahukan kabar itu padaku? Entah."Maafkan ibu." Hanya itu yang dia katakan saat aku pamit pergi. Kata maaf yang aku sendiri tak paham kesalahan mana yang diperbuatnya padaku. "Hati-hati, Nin." Aku tersenyum sembari mengangguk pelan saat menstaeter motor dan meninggalkan rumah minimalis dengan tiga kamar itu. Di tengah perjalanan, handphoneku masih saja bergetar. Sepertinya perempuan itu ketakutan jika Mas Eris tak datang. Dia terus meneror suamiku agar tak membatalkan rencana akad mereka yang digelar hari ini. Masjid An Nur yang tak begitu jauh dari rumah perempuan itu menjadi tujuanku sekarang. Kuhentikan motor sejenak untuk membeli minuman dingin. Setidaknya bisa mendinginkan
"Hanin ... kamu di sini?" Laki-laki itu berdiri sembari menatapku lekat. Tak ingin kelihatan rapuh, gegas kuusap kedua pipiku yang basah. Jika dia terkejut aku sudah ada di sini, aku juga tak kalah terkejutnya mengapa dia juga berada di tempat ini. Laki-laki itu menyimpan kameranya lalu memasukkannya ke dalam tas. "Kamu tahu saudara kembarmu menikah lagi, Mas?" tanyaku lirih. "Maaf, Hanin. Aku tak tega memberitahumu soal itu, tapi kamu jangan salah paham. Aku tak berada di pihaknya, tapi berada di pihakmu. Sengaja menyimpan bukti itu jika sewaktu-waktu kamu butuhkan." Mas Eros menatapku sendu. "Ibu dan bapak tahu soal ini?" "Ibu tahu, tapi bapak nggak tahu." Air mataku kembali menetes. Pantas saja ibu bersikap aneh padaku sejak kemarin, ternyata ibu tahu jika anak lelakinya itu akan menikah lagi dengan mantan istrinya. "Aku tahu kamu perempuan kuat dan cerdik, Nin. Aku akan mendukungmu dengan caraku." Laki-laki itu kembali meyakinkan lalu mengangguk pelan. Tak ingin terus ngobr
"Berbahagialah dengan Fika, bukankah dia istri idamanmu selama ini? Perempuan seperti itu mungkin memang pantas bersanding denganmu, Ris. Kalian berdua serasi, sama-sama tak tahu diri. Jadi, kuharap kamu tak mengekang Hanin lagi. Kenapa terus mempertahankan Hanin jika dia bukanlah istri yang kamu impikan?" Mas Eros tak berhenti mencecar membuat wajah Mas Eris makin merah padam. "Kasihan ibu. Selama ini hanya bisa diam dan membiarkan rasa bencimu menjalar. Tak memberimu nasehat bukan karena tak cinta, tapi karena kamu tak pernah mau peduli dengan nasehat ibu. Kamu pikir ibu nggak sakit kepala melihat sikapmu yang semena-mena?" Laki-laki itu melemparkan jasnya ke sembarang arah lalu mencengkeram kerah baju Mas Eros. Bukannya melawan, laki-laki itu justru hanya diam seolah membiarkan saudara kembarnya melampiaskan amarahnya. "Lakukan apa yang kamu inginkan, Ris. Jika memang itu membuatmu puas dan lega, tapi setelah itu aku harap kamu menyadari kesalahan-kesalahanmu sendiri. Tak perlu k