"Kapan kamu bisa melayaniku lagi?"
Dinda mengerutkan keningnya seketika saat ia mendengar hal tersebut.
Pertanyaan itu muncul dari bibir Dewa, atasannya, tanpa mengalihkan pandangannya dari tumpukan berkas yang harus dia baca dan mendapatkan tanda tangannya.
"Maksud Bapak?" tanya Dinda, benar-benar tidak paham.
Terdengar suara dengusan napas Dewa. Pria itu mendongak, melihat wajah polos Dinda. Sorot matanya yang tajam akhirnya membuat si sekretaris kembali menunduk karena merasa tidak nyaman.
"Kapan milikmu bisa aku pakai lagi?"
Kali ini, pertanyaan itu cukup bisa dimengerti. Dinda meremat jemarinya.
Kenapa pria itu terus memburunya?
Sudah beberapa bulan ini, Dinda terikat kontrak dengan Dewa. Pekerjaannya sebagai sekretaris hanyalah sebagai kedok agar Dinda bisa terus berada di dekat pria tersebut. Dengan terpaksa, Dinda menjadi pemuas hasrat sang presdir.
Kalau wanita itu punya pilihan lain, tidak akan mungkin ia merendahkan harga dirinya sebagai simpanan seperti ini.
Namun, saat ini, Dinda tengah datang bulan sehingga tidak dapat melayani Dewa. Sebenarnya, ia paham bahwa kekesalan Dewa berawal dari pertengkaran dengan istrinya tadi pagi. Ditambah keadaan di mana Dewa belum bisa menikmati bagian intim Dinda lantaran wanita itu tengah datang bulan.
"Itu ... mungkin tiga hari lagi, Pak."
Dewa berdecak. "Selama itu?” Ia terdengar kesal. Sudah tiga hari ia menahan diri untuk tidak berhubungan dengan sekretarisnya tersebut. “Aku menginginkanmu, Din!”
Jantung Dinda berdebar cepat. Kalimat terakhir itu membuatnya terlena, seolah memang merasa sangat diinginkan dan hanya dia yang diinginkan pria itu.
Kenyataan? Tidak. Dinda tidak spesial dan Dewa tidak menyimpan perasaan padanya, tapi karena pria itu masih menginginkan pelayanannya.
Hening sejenak, sebelum kemudian Dewa bertitah, “Gunakan tanganmu.”
Dua kata itu terdengar jernih di dalam kantor presdir yang tengah mereka tempati, membuat tubuh Dinda bergetar. Ia tahu, menolak tidak akan ada gunanya. Dinda tidak punya kuasa apa-apa.
Karenanya, tak butuh waktu lama, ruangan yang sejuk tersebut terasa panas akibat gairah kedua manusia itu.
“P-Pak–”
Permainan Dewa, sekali lagi, mampu membuat Dinda terbawa arus. Meski awalnya ia tidak punya pilihan untuk menolak perintah pria itu, Dewa berhasil membuatnya hanyut dengan menyasar kedua miliknya yang membusung.
Wanita itu kembali mengigit bibir bawahnya, menahan desahan yang nyaris keluar seiring ritme mereka yang makin cepat dan menggila hingga akhirnya Dewa mendapatkan kepuasan.
“Bagus.” Dewa tersenyum miring melihat wajah Dinda yang memerah karena ulahnya.
Pujian itu membuat pipi Dinda memanas. Dia bukan munafik. Dinda mengakui bahwa terkadang ia merasakan kesenangan, menikmati permainan ulung dari atasannya tersebut.
Akan tetapi, Dinda juga merasa sedih dan sangat berdosa. Ada banyak orang yang sudah mereka bohongi serta khianati.
Terutama istri Dewa.
“Benahi bajumu dan bereskan mejaku,” perintah Dewa lagi sembari membetulkan pakaiannya.
Tanpa berkomentar, Dinda menuruti ucapan atasannya.
Banyak yang curiga pada Dinda di kantor, kenapa ia bisa menembus perusahaan besar seperti Diraja Corp. Seharusnya, tamatan SMA sepertinya tidak akan diterima menjadi sekretaris seorang Sadewa Diraja.
Untungnya, selain memiliki tubuh yang sangat indah, serta wajah yang cantik, Dinda juga gadis yang pintar dan cekatan. Tidak sulit baginya memahami apa saja yang menjadi pekerja dan tanggung jawab nya sebagai sekretaris. Hal itu bisa menutup mulut-mulut rekan kerjanya yang pada awalnya memandang sebelah mata padanya.
Dinda keluar dari toilet setelah membersihkan tangannya dan merapikan penampilan. Sementara itu, Dewa sudah kembali berkutat dengan berkas di atas mejanya.
"Apa saja agendaku hari ini?" tanya Dewa kemudian ketika ia menyadari sekretarisnya sudah kembali.
Dengan sigap, Dinda menjawab, "Hanya ada pertemuan dengan keluarga. Hari ini mertua Bapak datang dari Australia."
Wanita itu bisa melihat raut wajah atasannya menjadi keruh. Dalam hati, Dinda mengeluh. Ia akan menghadapi kejengkelan atasannya lagi kali ini.
"Katakan saja aku ke Bandung, mengurus proyek."
"Akan sedikit aneh kalau Bapak di Bandung dan saya di Jakarta," balas Dinda segera.
Sesungguhnya dia dilema. Seharusnya sebagai seorang sekretaris, Dinda tidak harus ikut mencampuri masalah keluarga Dewa apalagi rumah tangganya. Terlebih saat ia tahu bahwa Dewa sedang tidak akur dengan istri serta orang tua kandungnya, terutama ayahnya.
Namun, sebagai sekretaris yang terlibat langsung dengan Dewa, Dinda tidak punya banyak pilihan.
"Katakan kalau kamu juga ada di Bandung!"
"Tidak bisa, Pak. Ibu Anda minta saya membeli kue ubi talas untuk dibawa ke acara itu dan sudah saya titipkan pada sopir keluarga," terang Dinda.
Dia berharap agar Dewa mau pulang ke rumah orang tua dan bertemu mertuanya agar ia tidak terlibat drama keluarga yang lebih rumit jika harus berbohong.
Ibunda Dewa sudah menghubunginya sejak siang tadi, mengatakan bahwa bagaimanapun caranya, Dinda harus bisa membujuk Dewa untuk mau pulang. Sudah dua hari pria itu tidur di apartemen. Tampaknya sang ibunda tahu bahwa lagi-lagi Dewa bertengkar dengan Helen, istrinya.
Kemungkinan, beliau juga tahu bahwa istri Dewa tersebut nekat datang ke kantor untuk mencari Dewa dan marah-marah. Wanita itu murka karena suaminya sudah tidak pulang dua hari dan menyebabkan keributan, sekaligus membuat Dewa uring-uringan sepanjang hari.
"Kalau begitu kau temani aku ke sana." Dewa melempar bolpoin yang sejak jadi dia putar-putar di sela jarinya ke atas meja, membuat Dinda terkejut.
Dengan segera, Dinda menyahut, "Tidak bisa, Pak. Saya harus pulang karena ada urusan keluarga."
Kenapa pula dia harus dibawa-bawa segala?
Dewa berdecak. "Kalau begitu hubungi ibuku, katakan aku sudah mati dan tidak bisa datang."
Kalau Dinda bisa menggeplak kepala pria itu, pastilah sudah dia lakukan. Mana mungkin dia mengatakan hal itu pada Bu Reni, ibunda Dewa? Bisa pingsan di tempat wanita itu.
Lagi pula, Dewa harus datang. Ada hal serius yang ingin dibicarakan oleh mertuanya. Itulah pesan Bu Reni tadi, saat meminta Dinda menjamin kedatangan Dewa.
Karenanya, Dinda memasang tatapan sendu. Sepasang matanya meredup dan wajahnya tampak murung. Ekspresi ini selalu berhasil membuat Dewa tidak bisa menolak permintaannya, meskipun kadang dengan sedikit dongkol. Karenanya, Dinda yakin kali ini pun ia akan berhasil.
Namun, ternyata perkiraannya meleset.
"Aku pergi, kalau kau ikut!" tegas Dewa. Sepasang matanya yang tampak dingin membalas tatapan sendu Dinda.
Pada akhirnya, Dinda menghela napas. Ia tahu ini adalah keputusan final Dewa.
Mungkin karena hari ini mereka tidak bercinta, hati Dewa makin menjadi keras dan pendiriannya kokoh seperti batu hingga bujukan Dinda tidak mempan.
“Baik, Pak.”
***
"Makasih ya, Din. Kamu sudah berhasil menarik tali lehernya, sehingga mau datang ke sini," bisik Bu Reni setibanya Dewa dan Dinda di kediaman mereka. Wanita paruh baya itu tersenyum pada Dinda dan mencubit pelan pipi gadis itu.
"Bapak benar-benar mau datang kok, Bu. Bukan karena paksaan," jawab Dinda sopan. Ia balas tersenyum.
Keluarga Dewa sangat baik padanya. Kalau biasanya keluarga terpandang akan memandang sebelah mata pada bawahan, tidak begitu dengan Keluarga Diraja.
Tiba-tiba ponsel Dinda berdering. Wanita itu izin pada ibunda Dewa untuk mengangkat panggilan tersebut.
“Halo?”
Wajah Dinda yang tampak tenang berangsur menjadi panik saat mendengarkan penjelasan orang di telepon.
“Leon?” Dinda menyebut nama putra kecilnya. Ia kemudian kembali mendengarkan. “Ya, tunggu aku, Bu.”
“Din, ayo duduk,” ucap ibunda Dewa kemudian. “Gak enak sama keluarga Helen, mereka sudah datang soalnya.”
"Saya pulang saja, Bu," ujar Dinda spontan. Raut wajahnya tampak khawatir. Ia memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas.
Bu Reni mengernyit. “Ada apa?” tanyanya.
Dinda menggeleng. “Saya harus–”
Ucapannya terpotong seketika oleh suara bariton milik Dewa, membuat Dinda sontak menoleh pada atasannya.
"Tidak! Kamu harus tetap di sini!"
"Tidak! Kamu harus tetap di sini!"Dinda menghela napas. “Pak, saya harus pulang.” Kali ini dia berkata tegas, membuat rahang Dewa mengeras.Pria itu berdiri, kemudian membawa Dinda menuju ruang kerjanya untuk berbicara tanpa perlu didengar orang lain.“Pak, saya harus pulang,” pinta Dinda lagi. “Saya sudah ikut ke sini. Sebelumnya Bapak tidak menegaskan kalau saya harus tinggal–”Dewa tersenyum miring. “Pandai bermain kata-kata ya sekarang.”“Pak.” Dinda menghela napas. Ia mencoba menjelaskan dengan sabar. “Tadi saya sudah mengatakan kalau saya harus segera kembali karena ada urusan keluarga. Ibu saya membutuhkan saya, Pak.”“Seperti yang kamu ketahui, ini masih hari Jumat. Kewajibanmu padaku belum selesai.”Dinda menunduk. Ini memang masih pukul 8 malam. Dalam surat perjanjian yang mereka tandatangani bersama, jelas tertera, kalau pihak nomor dua, yaitu Dinda, berhak menolak permintaan pihak pertama jika sudah di luar hari kontrak. Ia hanya berkewajiban mematuhi Dewa lima hari semi
“Dari mana kamu dapat uang untuk membeli semua ini?”Dinda diam sejenak, menyembunyikan perasaan tidak nyaman dalam hatinya. Meskipun ia paham mengapa ibunya curiga, tetapi tetap saja ia berharap sang ibu tidak perlu bertanya.Tiga bulan lalu, Dinda sulit mendapatkan pekerjaan karena kartu tanda pengenal yang oa punya bukan dari kota ini. Padahal saat itu mereka sedang kesulitan finansial karena semua harta yang mereka punya sudah habis untuk bisa berusaha menyelamatkan Leon. Waktu itu, Dinda hampir gila saat dokter mengatakan kemungkinan Leon tidak akan mungkin bisa diselamatkan kalau tidak segera menjalani operasi.Dinda pontang-panting, pergi selama dua hari tanpa ada kabar berita pada sang ibu, hingga pada hati ketiga, dia datang ke rumah sakit dan menyerahkan sejumlah uang untuk deposit operasi di rumah sakit tersebut agar putranya bisa segera menjalani operasi.Wanita itu tidak pernah mengatakan pada sang ibu mengenai asal uang tersebut. Tidak sampai sekarang, bahkan hingga kap
Pesanlah makan siang untuk kita berdua.”“Saya ada janji dengan teman, Pak,” tolaknya dengan cepat.Dewa mengerutkan kening, “Dengan siapa?” tanyanya. Salah satu alisnya naik ke atas. Ciri khas pria itu kalau tengah menyelidik. “Sepertinya aku belum cukup memberimu pelajaran ya?”“Bukan begitu, Pak,” sanggah Dinda buru-buru.“Kamu pasti tahu kalau ini masih jam kerja kamu.”“Saya mengerti,” ucap Dinda, mencoba untuk tidak terdengar terlalu membantah sang atasan. “Saya akan pesankan makan siang untuk Bapak. Namun, saya tidak bisa menemani Bapak makan kali ini.”Langkahnya terhenti ketika Dewa menghadangnya. “Dengan siapa?”Pria itu mengulang pertanyaan yang sama.“Peraturan nomor 5, Pak. Maaf saya permisi,” jawab Dinda tegas. Ia menyebutkan pasal di mana pihak pertama dilarang mengurusi urusan pribadi pihak kedua. Baik itu menyelidiki, memata-matai, atau sekadar bertanya sekalipun.Dewa tidak bergerak, sebelum kemudian berkata, “Langsung ke apartemen.”Pria itu akhirnya sadar bahwa Dind
“Dari mana saja kamu? Lagi-lagi kamu memancing amarah saya, ya?” Salak Dewa begitu mendapati wajah Dinda di balik daun pintu. Sejak tadi dia dilingkupi rasa kesal yang luar biasa pada gadis itu. Janjinya pergi hanya sebentar, tapi ditunggu, tak kunjung datang. Dewa juga sudah berusaha menghubungi ponselnya, tapi tidak aktif. “Ya, Maaf, Pak. Saya juga gak tahu kan, bakal lama ngobrol nya,” jawab Dinda menerobos masuk, melewati lengan kekar pria arogan itu. Memilih kursi single lalu mengempaskan bokongnya di sana. Pandangannya kini menatap lekat ke arah Dewa, ketika pria itu melihatnya, dia buang muka. Tubuh Dinda sangat lelah, sepanjang hari menemani pria itu bermain peluh di ranjang, kini rasa lelahnya bertambah dengan misi penuh beban yang diberikan Helen padanya. “Tampaknya malam ini kau harus kembali di hukum, seolah hukuman siang tadi tidak cukup.” Dewa sudah mendekat dan menarik tangan Dinda masuk ke dalam kamar. Wanita itu pasrah, dia terlalu lelah untuk mendebat. *** “Ada
Dering bel yang tiba-tiba terdengar dan terus berulang-ulang menyelamatkan Dinda dari terkaman Dewa kali ini. Keduanya saling tatap seolah dalam diam bertanya siapa yang datang malam ini."Ada yang datang, Pak."Dewa masih mengunci tatapan matanya pada wajah ketakutan Dinda. Bagaimana tidak, dia masih ada di apartemen milik bosnya, pada malam hari, terlebih saat ini dalam keadaan tanpa sehelai pakaian pun! Habislah dia kali ini.Tanpa kata, Dewa meninggalkan kamar mandi dan berjalan menuju ruang depan guna melihat siapa yang datang bertamu malam-malam begini. Di dalam kamar mandi, Dinda yang ketakutan menebak kalau orang yang menekan bel kemungkinan adalah pengurus apartemen ini. Bulan lalu, saat dia juga berada di apartemen ini, pria itu datang untuk menanyakan perihal keamanan dan kebersihan apartemen apakah sudah memuaskan Dewa.Dinda terus berdoa, jangan sampai ada yang tahu dia bersembunyi di kamar mandi ini, siapapun yang datang kali ini.Rasa penasaran membuatnya menempelkan t
"Keluarlah!"Mendengar Instruksi dari Dewa, barulah Dinda berani memutar kunci. Perlahan dia keluar dari kamar mandi. Tubuhnya kembali menegang, Dewa menutup aksesnya untuk keluar dengan tangan kekarnya melintang di kusen pintu."Saya mau pulang, Pak. Tolong!" Pinta Dinda dengan suara bergetar. Kedatangan Helena nyaris membuatnya pingsan, jadi kalau Dewa masih menyimpan hasrat padanya malam ini, sebaiknya lupakan saja, dia tidak akan mau.Dewa masih bergeming, meski dia jelas melihat ketakutan di mata gadis itu, dan Dinda sudah bersiap untuk berdebat kalau pria itu masih saja mempertahankan egonya.Apa dia pikir Dinda bukan manusia yang punya perasaan? Bagaimana mungkin dia bisa berhubungan dengan Dewa sementara pikirannya masih shock memikirkan Helen.Nuraninya semakin tersiksa, tapi mau marah, pada siapa? Dia tidak bisa berbuat apa-apa.Tebakannya salah. Dewa tidak mengatakan apapun, dia menarik tangannya dan memberi jalan pada Dinda yang sudah berpakaian."Ini sudah jam 11 malam, t
"Jadi begitu rencananya, Pak. Apa bapak setuju?" Pertanyaan Ferdi, utusan dari PT Global Jaya hanya mengambang di udara. Meeting yang mereka lakukan selama satu jam itu terasa hanya berjalan searah.Fokus Dewa justru tertuju pada pemandangan menggugah hatinya di depan sana. Seorang anak yang tampak dikeroyok oleh tiga orang anak seumurannya. Anak itu dikelilingi, dan seperti diintrogasi. Anehnya, dia merasa tertarik untuk mengetahui pembicaraan mereka."Pak Sadewa," ulang Ferdi, kali ini lebih keras agar Dewa memberikan perhatian padanya. Kalau saja sekretaris Dewa ikut, Ferdi pasti tidak sekesal ini mengurus mau pria itu yang sangat banyak. Bahkan rapat sepenting ini dia hanya datang dengan tangan kosong dan ogah-ogahan menanggapi tawaran kerja sama yang diajukan oleh perusahaan itu."Mmm?""Ini gimana, Pak? Saya harap Bapak mau membaca draft nya terlebih dulu." Ferdi menyerahkan dokumen dalam amplop coklat besar yang masih terikat rapi."Aku akan membacanya. Kirimkan saja lewat emai
"Akhirnya kamu muncul. Apa kamu benar-benar sudah sembuh? Jangan membawa virus ke kantor ini!"Baru saja melangkah masuk ke dalam ruangan pria menyebalkan yang sudah mendapat julukan dari Dinda- raja iblis- , Dinda sudah kembali dibuat berwajah masam. Kalau bukan memikirkan kontrak, memangnya Dinda mau kembali?"Iya, Pak. Saya sudah sembuh.""Bagus! Ini!" Dewa seenak udelnya melempar berkas yang sudah dua hari ini menumpuk di mejanya yang diletakkan Anita setelah diantar setiap kepala divisi. Mereka membutuhkan tanda tangan Dewa, tapi alih-alih menandatangani, membaca apa isinya saja belum.Selama Dinda tidak ada, Dewa uring-uringan. Dia tidak bisa berpikir jernih. Seperti meeting kemarin, sedikitpun hasil negosiasi itu tidak menempel di kepalanya.Dinda memunguti berkas yang tercecer di lantai. Pagi-pagi sudah membuat mood Dinda berubah jelek. "Ini mau diapain, Pak?""Bakar!""Baik, Pak!""Heh!"Dinda berhenti. Dia hanya berusaha melakukan apa yang diperintahkan pria gila itu. Kata
Dewa hampir saja melompat, tapi yang bisa dilakukan hanya mengusap wajahnya. Dia menatap Dinda yang masih berbaring atas ranjang."Sayang, kita akan punya anak lagi?" Mata Dewa bahkan hampir berkaca-kaca. Masih seperti mimpi.Dinda tidak kalau terharunya dengan Dewa. dia bahkan memeluk suaminya dengan sangat erat membiarkan kemeja Dewa bahasa oleh air matanya.Baik dokter dan juga perawat yang ada di ruangan itu ikut tersenyum bisa merasakan kebahagiaan mereka.Setelah pulang dari rumah sakit, Dia memutuskan untuk tidak pergi ke kantor hari itu. Dia ingin menjaga cinta menghabiskan waktu bersama istrinya."Kamu ke kantor aja. Masa iya, jadi gak kerja," ucap Dinda yang masih geli melihat sikap overprotektif suaminya."Besok. kerjaan gampang ada John yang mengurusnya." Dinda tak lagi berani mendebat, mengikuti apa yang dikatakan Dewa.Sesampainya di rumah, Dewa tidak ingin segera memberikan kabar itu kepada Reni. Jangan karena histeria dan rasa gembira mereka membuat Dinda kelelahan. C
Laura masih merasakan debar jantungnya yang berdegup semakin cepat. Tubuhnya masih bersandar di balik pintu kamarnya.Setelah mendengar perbincangan para asisten rumah tangga itu, dia merasa tidak kuat untuk berdiri lebih lama di sana. Laura memutuskan untuk meninggalkan pintu dapur berjalan menuju kamarnya."Jadi, Mas Naka dan Mbak Dinda dulu pernah bertunangan dan Mas Naka sangat mencintainya?" batin Laura menghapus air matanya yang mulai deras menetes di pipi. Tubuhnya perlahan merosot dan terduduk di pintu.Laura begitu minder jadinya. Dibandingkan Dinda, dia hanya bocah yang sedang dimabuk cinta. Tidak punya pengalaman, dan terlihat seperti gadis kampung yang tidak bisa berdandan. Naka pasti malu jika membawanya nanti ke pertemuan."Oh, Tuhan. Apa yang harus aku lakukan? Kenapa begitu sakit mengetahui kenyataan ini?" cicitnya menunduk dan meletakkan kepala di dengkulnya yang dilipat menyatu ke dada.Sampai Naka pulang, Laura hanya diam. Naka sudah bertanya, ada apa, tapi Laura ha
Dinda mengabaikan keberadaan Dewa yang menunggunya keluar dari kamar mandi. Tidak hanya pengantin baru, semua keluarga ikut menginap di hotel tempat Naka dan Laura beristirahat sekaligus malam pertama."Sayang," panggil Dewa lembut. Dinda melirik, di tangan suaminya sudah ada sisir dan juga hair dryer. Dia menebak Dinda pasti keramas, jadi demi mendapatkan perhatian wanita itu, Dewa segera mengambil alat-alat itu."Apa?""Sini aku keringkan rambutmu," ucapnya sembari mengangkat kedua tangan. Dinda mendekat ke arah Dewa tapi bukan untuk menerima tawaran pria itu, melainkan mengambil alat itu dan mengerjakannya sendiri.Tidak akan mudah untuk mendapatkan maaf dari Dinda, terlebih Dewa sudah sengaja mendiamkan masalah itu hingga pesta selesai. Kalau memang tidak ada apa-apa antara dirinya dan Helen kenapa tidak langsung dijelaskan saja pada saat itu.Dia tentu tahu bahwa diamnya Dinda adalah karena kesal dengan sikap Dewa yang merangkul Helen."Sayang, udah, dong. Jangan diamin aku terus
Syukurlah, acara pernikahan Laura dan Naka berjalan dengan lancar. Baik acara akad ataupun saat ini resepsi berjalan.Semakin banyak para tamu undangan yang menghadiri pernikahan keduanya, hingga Dewa memasang pengamanan berlapis. Dia tidak mau ambil resiko ada penyusup yang mengacak-acak pesta adiknya.Jhon sudah memberi kabar kalau Rey tidak tertangkap, berhasil kabur dari kejaran polisi lagi meski keadaan fisiknya sudah parah."Kamu cantik sekali," bisik Naka di telinga Laura. Keduanya duduk di pelaminan, jadi raja dan ratu sehari."Kamu juga tampan, Mas" jawab Laura malu-malu. Membuat Naka jadi gemas."Hari ini kita sudah jadi satu. Husband and wife selamanya," bisik Naka membawa tangan Laura ke bibirnya, mencium penuh cinta."Kenapa masih cemberut, sih? Sayang banget wajah cantiknya. Udah dari subuh dandan, masak manyun, sih?" rayu Dewa kesekian kali.Dinda masih diam, masih marah. Kalau bukan karena Reni memaksa Dinda untuk berdansa dengan Dewa, saat ini pasti wanita itu memilih
"Kamu cantik sekali," ucap Dinda ikut menatap wajah Laura di cermin. Perias pengantin sudah selesai merias Laura hingga gadis cantik itu semakin tambah cantik.Hari ini adalah hari besar bagi Laura dan Naka. Mereka akan menikah. Setelah melewatkan beberapa Minggu masa pemulihan Naka, kini pria itu siap mempersunting wanita idamannya."Terima kasih, Kak," jawab Laura menggenggam tangan Dinda yang bertengger di atas pundaknya. Beruntung bisa memiliki ipar seperti Dinda, yang baik hatinya serta selalu bisa menjadi tempatnya bertanya.Laura masih belum percaya, seakan mimpi kalau pada akhirnya dia jadi menikah dengan pria yang dulu tanpa sengaja dia kenal karena bersembunyi di kamarnya.Takdir memang tidak ada yang tahu, dan dia bersyukur dengan takdir yang dilalui sekarang ini.Belum waktunya Laura keluar, jadi Dinda menemani di dalam kamar Naka yang nantinya akan menjadi kamar mereka berdua. Sementara Reni dan Dewa menyambut para tamu yang sudah mulai berdatangan.Acara digelar di rumah
"Papa pulang," teriak Leon berlari kecil menyongsong langkah Dewa masuk ke dalam rumah. Dari balkon kamarnya dia mendengar suara mobil Dewa memasuki halaman rumah.Dari tadi Leon menunggu kedatangan Dewa, ayahnya berjanji untuk menemaninya bermain game online yang sedang viral karena besok Leon tidak sekolah karena murid kelas enam ujian, maka anak-anak kelas satu hingga kelas lima diliburkan selama tiga hari.Harusnya Dewa memang sudah sampai di rumah tiga jam lalu, tapi karena menjalankan misinya memberi pelajaran pada Rey, pria itu jadi terlambat sampai di rumah.Kabar terakhir dari Jhon, mereka sudah melemparkan Rey tidak jauh dari kantor polisi. Bisa dipastikan pihak berwajib akan dengan mudah menemukannya.Kaki sebelah kanan Rey sudah dipatahkan oleh Dewa. Lengkingan kesakitan keluar dari mulut Rey. Beruntung, lokasi penyekapan itu jauh dari pemukiman warga.Tangan kanan Rey juga dibuat cacat dengan mematahkan dua tulang jari Rey. Sebenarnya, Dewa ingin menyayat perut Rey guna m
"Kenapa jadi cemberut? Katanya tadi rindu." Naka menggoyangkan tangan Laura yang sejak pintu ditutup Dinda hanya diam.Padahal hanya ada mereka berdua, tapi gadis itu masih menjaga lidah."Hey, Cantik, kok, aku dicuekin?" Naka masih mencoba membujuk Laura dengan menggoyang tangannya, terus menerus sampai gadis itu pun mau buka suara."Aku gak suka kamu dirawat gadis itu," ucap Laura buka suara. Tapi sedetik kemudian, dia menyesali perkataannya. Kata-kata itu hanya ada dalam benaknya tadi tanpa berniat mengatakan segera langsung. Tapi tanpa sadar justru kata-kata itu terucap begitu saja."Siapa? Mira? Dia 'kan memang pelayan di sini, dan ditugaskan Mama untuk membantu ku," jawab Naka dengan kening berkerut, bingung kenapa Laura mempermasalahkan pelayan di rumahnya."Tapi kenapa firasat ku bilang dia suka sama kamu."Naka lantas tersenyum. Dia paham, ternyata Laura cemburu pada Mira. Naka padahal bersikap biasa saja pada pelayannya itu, tapi dia tidak mungkin mengatakan hal itu pada Lau
"Bagaimana, apa kau sudah menemukan bedebah itu?" Dewa menyingkirkan berkas dari pandangannya kala Jhon masuk menghadap. Sampai ke lobang semut pun Dewa harus menemukan Rey."Belum, Bos. Tampaknya Nona Sisil menyembunyikan Rey. Kami sempat mengikutinya ke sebuah kontrakan dan sangat yakin kalau Rey ada di sana, tapi begitu tiba, Rey sudah pergi, bahkan tidak memberitahukan pada Sisil. Terlihat wanita itu juga menanyakan pada tetangga sekitar," terang Jhon menyiapkan mentalnya untuk kena semprot Dewa. Sangat mengenal baik karakter pria itu.Dewa mengepal tinjunya, menahan amarah hingga gigi gemeretak. Dia tidak bisa berdiam diri saja, sementara pria yang sudah menyakiti istrinya masih berkeliaran di luar sana."Bagaimana dengan istrinya?""Nihil, Bos. Istrinya juga membencinya, jadi tidak mungkin bersembunyi di sana.""Lantas, apa rencanamu?""Kami masih terus mengikuti Sisil. Saya yakin, cepat atau lambat Rey akan menghubungi Sisil sebagai penyuplai dana."Dewa tidak berkata apapun la
"Gimana keadaan kamu?" Laura sedikit malu-malu bertanya. Sejak tadi dia hanya duduk di sofa, mendengar pembicaraan Naka, Dewa dan Hansa. Sesekali dia melirik ke arah Naka. Hatinya harap-harap cemas dengan keadaan pria itu.Setelah mendapat kabar dari Dewa, Laura dan Hansa memutuskan untuk melihat Naka di rumah sakit. Gelisah dalam hati Laura bisa dibaca oleh sang ayah hingga memutuskan mengajak putrinya ikut bersamanya.Bukan mudah, di tengah mereka akan keluar rumah, keduanya berpapasan dengan Sisil yang entah baru pulang dari mana. Ini Sabtu, tidak ada agenda ke kantor."Kalian mau kemana?" Tatapan menyelidik dilayangkan pada Laura, lalu berpindah pada Hansa. Dalam hati bertanya cemas, apa mereka berniat ke kantor polisi. Sisil belum bisa menyimpulkan apakah Hansa sudah tahu sepak terjangnya, atau belum. Beberapa hari terakhir ini, mereka jarang bertemu. Setelah jatuh sakit waktu itu, Hansa memang tidur di kamar yang berbeda dengan Sisil. Meninggalkan wanita itu di kamar pribadi me